Ragam hias ular naga

4.2.4 Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta

Kota Surakarta atau dikenal dengan nama Kota Solo, memiliki sejarah yang panjang sebelum menjadi kota yang berpengaruh di Jawa Tengah. Kota Surakarta banyak mengalami perubahan pada bentukan lanskap dan kehidupan sosial masyarakat didalamnya. Terbentuknya Kota Surakarta tidak lepas dari keberadaan Keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1745. Keberadaan Keraton dengan tata cara dan konsep tersendiri memberi dampak pada lanskap kota yang menjadi ciri khas dari Kota Surakarta. Sebelum adanya Keraton Surakarta, Kota Surakarta adalah sebuah desa yang terletak di persimpangan antara dua buah sungai, yaitu Bengawan Solo dan Sungai Pepe, desa ini bernama Desa Sala. Desa Sala merupakan dataran rendah dengan banyak rawa, sehingga pada musim penghujan sering terjadi banjir. Desa Sala memiliki batas pada sebelah utara dengan Sungai Pepe, sebelah timur Bengawan Beton, sebelah selatan dengan Sungai Wingka dan sebelah barat berbatasan dengan liku-liku sungai mulai dari Sungai Pepe turun ke selatan dengan Sungai Wingka Sajid, 1984. Kondisi masyarakat desa saat itu didominasi oleh suku Jawa yang kental dengan nuansa tradisional dan kejawen. Hal ini membentuk lanskap Desa Sala menjadi suatu kesatuan dengan elemen pembentuk antara lain sungai, sawah, hutan dan bangunan pemukiman yang tradisional. Pemerintahan Keraton Surakarta masih berada di bawah kedaulatan pemerintah Hindia Belanda, yang dikenal dengan nama VOC sebelum tahun 1800. Dengan kedudukan seperti ini maka rakyat yang berada di luar wilayah kerajaan diperintah langsung oleh pemerintahan VOC. Pada tahun 1745 Keraton Surakarta memulai masa pemerintahan di Kota Surakarta. Keberadaan keraton membuat pusat aktivitas masyarakat menjadi terpusat di wilayah Keraton Surakarta. Keraton Surakarta merupakan sebuah kerajaaan Islam yang merupakan rintisan dari Kerajaan Majapahit yang dahulunya menganut kepercayaan Hindu yang hingga saat ini banyak mewariskan ilmu-ilmu yang diterapkan pada kehidupan sehari-hari maupun dalam arsitektur dan tata ruang wilayahnya. Hal ini membuat keraton memiliki ciri khas dalam membentuk wilayahnya. Keberadaan VOC semenjak tahun 1602 hingga 1800 memberi banyak pengaruh dan membuat perubahan pada lanskap maupun tata guna lahan di Kota Surakarta. Pemerintahan VOC di Kota Solo semakin mendominasi, hal ini mengakibatkan terciptanya Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga pada tahun 1755. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 membuat Keraton Surakarta Hadiningrat membagi daerah kekuasannya dan dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Pada tahun 1757 pihak VOC membagi kembali wilayah Kasunanan Surakarta dengan Raden Mas Said yang kemudian bergelar Kanjeng Adipati Arya Mangkunegara I dan mendirikan Pura Mangkunegaran. Sejak keberadaan Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta seperti memiliki dualisme kepemimpinan, sehingga pusat kegiatan terpusat pada Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran Zaida, 2004. Kedua wilayah ini berkembang dengan memiliki ciri yang berbeda dari setiap kerajaan yang berkuasa. Sejak pemerintahan Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Deandles maka pada tahun 1810 dibangun sebuah jalan yang memanjang dari barat menuju timur di Kota Surakarta, jalan ini dibangun di atas Sungai Bathangan. Jalan yang dikenal dengan nama Jalan Slamet Riyadi ini secara tidak langsung menjadi pemisah antara daerah kekuasaan Keraton Surakarta di selatan jalan dan wilayah kekuasan Pura Mangkunegaran di sebelah utara. Peta Kota Surakarta pada awal tahun 1800 disajikan pada Gambar 29. Pada tahun 1864 jalur transportasi kereta api juga mulai merambah Kota Solo yang menghubungkan Semarang dan Surakarta Iqbal, 2010. Lebih lanjut Zaida 2004 menyatakan bahwa pada bagian utara Jalan Slamet Riyadi dikenal dengan Kampung Lor, yang menjadi kekuasaan mangkunegaran. Sebagian besar pihak Hindia-Belanda bermukim di Kampung Lor ini. Kampung Lor berkembang menjadi lebih modern dengan banyak mendapat pengaruh dari luar. Pada bagian selatan Jalan Slamet Riyadi, dikenal dengan nama Kampung Kidulan yang merupakan daerah kekuasaan Keraton Surakarta. Kampung Kidulan memiliki tipe perkembangan yang konservatif, klasik dan tidak menerima akan pengaruh luar. Kampung Kidulan dianggap sebagai wilayah yang sakral karena pengaruh kuat dari Keraton Surakarta.