1. Pemberitahuan tentang rencana kawin dan pengumuman rencana kawin pada Kantor Catatan Sipil. Pengumuman ditempel selama 10 hari pada register-register catatan sipil
diselenggarakan. Tujuan pengumuman tersebut untuk memberi kesempatan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencegah terjadinya perkawinan karena alasan-alasan tertentu yang
dibenarkan oleh hukum. 2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilansungkannya perkawinan.
Apabila semua syarat telah terpenuhi, maka perkawinan dapat dilansungkan dan perkawinan telah dianggap sah.
2. Hukum Perkawinan Menurut Agama Islam
Hukum Perkawinan dalam Islam disebut dengan figih munakahat, yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya.
Menurut istilah hukum Islam perkawinan disebut dengan “pernikahan” yaitu ikatan atau aqad yang sangat kuat. Disamping itu perkawinan juga tidak terlepas dari unsur mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya juga bernilai ubudiyah ibadat.
81
Hal senada juga dikemukakan oleh Ahmad Azhar Basyir bahwa “nikah” ialah melakukan aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu
kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah SWT.
82
Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan kehalalan hubungan seksual, kerelaan kedua belah pihak dsb tertera dalam kalam-kalam Ilahi sebagai berikut :
Al Qur’an Surah An-Nisa 4 ayat 24 : ...
Terjemahnya : ... . Dan dihalalkan bagimu selain perempuan-perempuan yang demikian itu, jika kamu
berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas kawinnya kepada mereka sebagai
suatu kewajiban. ... .
83
81Mohammad Daud Ali, Hukum, h.5.
82Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.108.
83Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah Kata Perkata, Bandung :Syaamil Al Qur’an, 2007 h.82
46
Kehalalan hubungan seksual dan kemitraan suami isteri ditegaskan pula dalam Al Qur’an pada Surah Al Baqarah ayat 187 sebagai berikut :
...
Terjemahannya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi maaf kepadamu. ...
84
Al Qur’an Surah Ar Rum ayat 21:
Terjemahnya : Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
85
Berdasarkan ayat-ayat Al qur’an tersebut di atas, hikmah nikah antara lain : menyalurkan naluri sex, jalan mendapatkan keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapakan dan keibuan,
dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menghubungkan silaturrahmi antara keluarga suami-isteri.
86
Dalam Hukum Islam dalam perkawinan adalah sunnatullah, maka dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat nikah sbb :
a. Rukun Nikah, ada 5 yaitu : 1. Ada Calon suami; calon suami biasanya selalu ada dalam upacara pernikahan tetapi
dalam keadaan tertentu sangat darurat boleh diwakili oleh orang lain dalam ijab kabul. 2. Ada Calon isteri;
Calon isteri biasanya hadir dalam upacara pernikahannya . 3. Ada Wali;
Yang menjadi wali adalah yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita wali nasab, tetapi dalam keadaan tertentu darurat wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim,
84Ibid, h.29. 85Ibid.,h.406.
86 H.Djamaan Nur, Fiqih Munakahat Semarang : Toha Putera, 1993,h.10.
47
4. Ada dua2 saksi; Dalam pelaksanaan perkawinan harus dihadiri minimal dua orang saksi yang memenuhi
syarat. Menurut pendapat umum walaupun rukun-rukun lainnya terpenuhi, apabila tidak ada saksi yang menghadirinya maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah.
5. Adalah Ijab Kabul: Harus terjadi ijab Kabul, ijab menurut arti katanya adalah menawarkan tanggungjawab ,
sedangkan kabul artinya menerima tanggung jawab tersebut. Dalam pengertian hukum perkawinan, ijab artinya penegasan kehendak untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dari pihak
wanita, sedangkan Kabul adalah penegasan penerimaan pengikatan diri itu oleh pengantin pria. Penegasan penerimaan itu harus diucapkan oleh pengantin pria lansung sesudah ucapan penegasan
penawaran dilakukan oleh pihak wanita. Tidak ada jeda waktu yang lama yang mengesankan keragu-raguan.
87
Adapun Syarat Nikah dalam Hukum Islam yaitu :
88
1. Persetujuan kedua mempelai. Persetujuan ini merupakan syarat mutlak untuk melangsungkan perkawinan. Persetujuan itu
harus lahir dari perasaan dan pikiran kedua calon pengantin, tanpa tekanan atau paksaan.Bila kedua calon pengantin tidak menyatakan persetujuannya untuk menikah, perkawinan tidak dapat
dilangsungkan . 2. Mahar maskawin.
Menurut hukum Islam, mahar adalah hak mutlak calon pengantin perempuan dan calon calon pengantin laki-laki memberikan sebelum akad nikah dilangsungkan. Bentuknya bermacam-
macam. Pelaksanannya dapat tunai, dapat diutangkan. Mahar yang diberikan pengantin laki-laki menjadi milik mutlak pengantin perempuan. Mahar adalang lambang penghalalan hubungan suami
isteri dan lambang tanggung jawab pengantin pria terhadap pengantin wanita yang kemudian menjadi isterinya.
3. Tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Larangan-larangan perkawinan secara rinci dan tegas disebutkan dalam Al Quran pada surat
2,4 dan surat-surat lain. Pengelompokannya adalah sebagai berikut: a. Larangan perkawinan karena perbedaan agama
Larangan ini ditujukan kepada laki-laki sebagaimana disebutkan dalam Qs 2:221. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa laki-laki muslim tidak boleh mengawini waniti musyrik sebelum ia
beriman, juga laki-laki muslim tidak boleh mengawinkan laki-laki musyrik dengan perempuan
87
Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995
, h.72.
88Ibid., h.72-76.
48
beriman bertauhid sebelum laki-laki musyrik itu beriman yang sama pula. Sebab,wanita dan pria yang musyrik itu akan membawa pasangannya ke neraka menurut istilah Al Quran, sedangkan
tuhan akan membawa pria dan wanita beriman itu kearah kebaikan dan keampunan. Dalm QS 5:5 Tuhan membolehkan laki-laki muslim mengawini wanita Ahlul-kitab, yaitu menurut pendapat
umum, wanita Yahudi dan Nasrani. Namun , mengenai kebolehan laki-laki mengawini wanita Ahlul-Kitab ini, para ahli hukum Islam ada yang berpendapat bahwa untuk kepentingan kesatuan
imam dalam keluarga dan untuk kepentingan pendidikan anak-anak,kebolehan yang berbentuk kewenangan itu, sebaiknya tidak dipergunakan oleh laki-laki muslim. Bahkan ada yang tegas
mengharamkan. Alasanya, rumah tangga yang didirikan oleh orang-orang yang berbeda agama, menurut pengalaman, lebih rapuh dibandingkan dengan rumah tangga yang didirikan oleh orang-
orang seiman, seagama.
89
Larangan ditujukan kepada wanita muslim untuk kawin dengan laki-laki non muslim, disebutkan diberbagai ayat diantaranya Qs 2;21 yakni larangan kawin dengan laki-laki musyrik, Qs
60;10 larangan kawin dengan laki-laki kafir, dan secara tersirat dalam Qs 5;5 dan 60;10 larangan kawin dengan laki-laki Ahlul Kitab, yakni laki-laki yang beragama Yahudi dan Nasrani.
b. Larangan perkawinan karena hubungan darah Larangan ini dirinci dalam Qs 4;23 yang antara lain larangan mengawini 1ibu,2anak
perempuan,3saudara perempuan,4saudara perempuan ibu,5saudara perempuan ayah6anak perempuan saudara laki-laki,7anak perempuan saudara perempuan.
c. Larangan perkawinan karena adanya hubungan kekeluargaan yang disebabkan karena perkawinan.
Larangan ini disebutkan dalam Qs 4;32 lanjutan ayat diatas. Dalam ayat ini ditegaskan larangan:1. Mengawini mertua perempuan; 2. Anak tiri perempuan yaitu anak isteri yang telah
dicampuri yang berada dalam pemeliharaan seseorang;3. Menantu perempuan; 4. Dua wanita bersaudara; dan 5.Ibu tiri yaitu wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh ayah Qs. 4;22
d. Larangan perkawinan karena hubungan sepersusuan Larangan ini disebutkan dalam Qs 4;32 lanjutan ayat diatas. Dalam ayat ini dengan jelas
ditegaskan larangan mengawini: 1. Ibu susu, yaitu wanita yang menyusukan seseorang sewaktu ia kecil; 2. Saudara sepersusuan yaitu orang yang pernah menyusu pada ibu susu yang sama.
Hubungan sepersusuan ini , menurut Al quran, dekat sama dengan hubungan darah. Karena itu, perkawinan antara perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah sepersusuan,
dilarang. d. Larangan bagi wanita, yaitu larangan poliandri
89Ibid. .
49
Larangan ini tersirat dalam Qs. 4;24. Dalam ayat ini disebutkan larangan bagi laki-laki untuk mengawini perempuan yang sedang bersuami. Kalau larangan ini dilihat dari sudut
perempuan sebaliknya, maka ini berarti bahwa wanita dilarang mempunyai suami lebih dari seorang atau poliandri. Sebab, dalam hukum perkawinan dan kewarisan Islam, soal kemurnian
keturunan sangatlah penting dan menentukan. Artinya, keturunan atau hubungan darah seseorang itu harus jelas benar jalurnya. Karena itu, darah anak yang dikandung oleh seseorang haruslah
murni. Darah tersebut hanya dapat dihubungkan dengan darah seorang laki-laki saja sebagai ayahnya, tidakbercampur dengan beberapa darah laki-laki lain.
Dalam pasal 8 Undang-undang perkawinan Indonesia disebutkan larangan-larangan perkawinan antara dua orang a behubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan
keatas b berhubungan darah dalam keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya c berhubungan semenda
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri d berhubungan susuan e berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri, dalam hal seorang suami istri lebih dari
seorang, dan f mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Larangan-larangan perkawinan dalam pasal 8 undang-undang perkawinan ini sesuai
dengan ajaran Islam.
3.Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
UU No.1 Tahun 1974 terdiri 14 empat belas bab dan 67 enam puluh tujuh pasal yang hanya mengatur hal-hal pokok saja tentang dasar, syarat, pencegahan, batalnya perjanjian, putusnya
perkawinan, serta akibatnya, kedudukan anak, perwalian, ketentuan lain, peralihan, dan ketentuan penutup. Untuk kelancaran pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975. Pengertian perkawinan menurut pasal 1 UU No.1 No. Tahun1974 adalah sebagai berikut :
Perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga Rumah Tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa.
Antara pengertian Perkawinan menurut KUHPerdata dengn UU No.1 Tahun 1974 terdapat perbedaan menyolok, yaitu dalam KUHPerdata aspek keagamaan bisa diabaikan dan juga
menganut asas monogami mutlak Pasal 27 KUHPerdata, sedangkan UU No.1 Tahun 1974 sangat memperhatikan aspek keagamaan dan tidak menganut asas monogami mutlak.
Ketidak mutlakan asas monogami dalam UU No.11974 dapat dilihat dalam pasal 3 1 dan 2, untuk dapatnya seorang laki-laki mempunyai seorang istri lebih dari seorang diatur dalam pasal
4 2 yaitu: 50
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan Disamping itu, ketika mengajukan permohonan izin beristri lebih dari seorang kepada
Pengadilan Agama, ia harus juga membuktikan : 1 adanya persetujuan dari istri atau istri-istri,
2. ada kepastian bahwa ia mampu menjamin keperluan hidup istri-istri serta anak-anaknya, dan
3. ada jaminan bahwa suami itu akan berlaku adil terhadap istri-istri serta anak-anaknya. Peluang yang diberikan bagi laki-laki tersebut sebagai pintu terakhir untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang tidak teratasi dengan satu 1 isteri. Ketidakmutlakan monogami dalam UU No.1 Tahun 1974 sejalan dengan asas perkawinan
dalam hukum Islam. Asas tersebut terdapat dalam QS An Nisaa 4 ayat 3 yang terjemahannya antara lain berbunyi: “ .... jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrimu jika kamu
beristri lebih dari seorang, kawinilah seorang wanita saja....sebab kawin dengan seorang wanita saja lebih baik bagimu agar kamu tidak berbuat aniaya”.
90
Ayat tersebut menunjukkan nasihat atau anjuran Tuhan Islam agar laki-laki sebaiknya beristrikan seorang wanita saja, karena beristri lebih dari seorang wanita berpotensi membuat suami
berlaku curang, aniaya, dan sewenang-wenang terhadap istri-istri atau anak-anaknya. Monogami adalah asas hukum Islam sedangkan poligami hanya pengecualian dibolehkan-bukan dianjurkan
sebagai jalan atau pintu darurat untuk ke-luar dari kesulitan rumah tangga atau terdapat suatu keadaan mendesak, tujuan-tujuan yang baik tetapi dengan syarat-syarat yang berat.
Perbedaan lainnya antara KUHPerdata sebagai hukum yang bersumber dari hukum barat, suami adalah pemegang kekuasaan atas istri marital dan istri harus tunduk dan patuh pada suami,
dengan demikian setiap perbuatan hukum yang akan dilakukan oleh isteri harus diwakili oleh suaminya. Demikian yang tertuang dalam KUHPerdata, tetapi mungkin dalam praktek adalah
sebaliknya. Hal ini di sebabkan kaidah hukum keluarga bersifat mengatur dan hukum yang bersifat
memaksa tidaklah merupakan sebenarnya essensial, walaupun dalam pasal 106 KUHPerdata dan pasal-pasal lainnya menegaskan bahwa istri harus tunduk dan patuh pada suaminya.
Kedudukan istri menurut KUHPerdata, yang berasal dari Hukum Barat adalah berlainan dengan Hukum Adat sistem kekerabatan parental, Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
90Departemen Agama RI, op. cit., h.7.
51
Menurut Hukum Adat yang menganut sistem kekerabatan parental dan Hukum Agama Islam , istri mempunyai kedudukan yang sama dengan suami dan begitu pula dalam pasal 31 Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dalam rumah tangga, pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan masing-
masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian seorang istri juga cakap
hukum.
4. Perkawinan Menurut Hukum Adat