Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut Hukum Adat yang menganut sistem kekerabatan parental dan Hukum Agama Islam , istri mempunyai kedudukan yang sama dengan suami dan begitu pula dalam pasal 31 Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dalam rumah tangga, pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan masing- masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian seorang istri juga cakap hukum.

4. Perkawinan Menurut Hukum Adat

Perkawinan dan keluarga dalam hukum adat, menurut Otje Salman Soemadiningrat 91 memiliki korelasi yang sangat tajam. Bukan semata-mata sebagai ikatan kontraktual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan. Konsep hukum adat sama pula dengan konsep dalam hukum Islam dan UUP. Setelah berlakunya UUP, secara formal menurut M Yahya Harahap 92 : Kedudukan hukum adat telah tergeser,landasan primer dalam suatu perkawinan telah diambil alih oleh undang-undang ini UUP, sedangkan hukum adat semata-mata sebagai unsur komplementer atau sekunder yang tidak menentukan bagi sahnya suatu perkawinan, perceraian maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan pemeliharaan anak. Walaupun hukum adat telah tergeser dengan keberadaan UUP, tetapi sepanjang menyangkut urusan materil, internal, kepercayaan masyarakat masih bersifat plural. 93 Karena UUP lebih banyak mengatur urusan-urusan yang bersifat publik atau administratif menyangkut wewenang pejabat- pejabat negara dan pengadilan. Sebagai telah diketahui, bahwa di Indonesia dikenal tiga3 bentuk sistem kekerabatan, yaitu: a. Patrilineal. b. Matrilineal, dan c. Parental. Bahkan variasi dari ke tiga bentuk tersebut dikenal juga sistem kekerabatan alternered parten. Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat sangat mempengaruhi bentuk perkawinannya dan akibatnya. a. Bentuk Perkawinan Pada Masyarakat Patrilineal Pada kekerabatan Patrilineal, masyarakat menarik garis keturunankekeluargaan dari pihak laki-lakibapak. Bentuk perkawinannya disebut dengan “kawin jujur” dimana pihak mempelai laki- laki memberikan “jujuran” kepada pihak mempelai perempuan. Jujuran bruidschaadt tersebut berupa benda-benda sucibernilai magisuang sebagai simbol pelepasan isteri dari klan marga asalnya untuk masuk dalam klan marga suaminya. Perkawinan yang dilakukan dengan 91HR Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer Bandung : Alumni, 2002, h.173. 92M Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993, h.18. 93HR Otje Salman Soemadiningrat, op. cit., 173. 52 pembayaran “jujuran” “beli” di Maluku, “belis” di Timor, dan “tuhor” di Batak dari pihak kerabat laki-laki kepada kerabat perempuan. Dengan diterimanya bendauang “jujuran” ini, maka mempelai perempuan akan melepaskan kedudukan dirinya pada kerabat asal dan masuk bergabung menjadi anggota kerabat pihak laki-laki selama ikatan perkawinan. Konsekwensi bentuk perkawinan tersebut antara lain : 1 Isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sepadam dengan anggota-anggota keluarga suaminya; 2 Anak-anak masuk dalam klan bapaknya, dengan demikian tanggung pemeliharaan dan pewarisan anak-anak hanya dari garis bapaknya. Variasi bentuk perkawinan jujur, di antaranya. 94 1 Perkawinan ganti suami Perkawinan ganti suami levirate, Belanda; “mangabia” di Batak “semalang nyikok” di Sumatera Selatan disebabkan dalam perkawinan jujur si suami meninggal. Untuk meneruskan hubungan kekeluargaan, adik atau kakak si suami menggantikan posisi suami yang meninggal dengan tidak ada kewajiban untuk membayar uang jujur. 2 Perkawinan ganti istri Perkawinan ganti istri “nuket” di Lampung, “karang wulu” di Jawa, dan “turun atau naik ranjang” di Banten adalah kebalikan dari bentuk ganti suami, yaitu bahwa si istrilah yang meninggal sehingga adik atau kakak perempuan si istri yang menggantikan posisinya. 3 Perkawinan mengabdi Terjadinya variasi ini “iring beli” di Lampung, “nunggonin” di Bali adalah disebabkan pada saat peminangan pihak pria belum memenuhi tanggung jawab uang jujur di satu pihak, sedangkan di pihak lain tidak ada hasrat untuk mengikuti bentuk semanda. Lama waktu bertempat tinggal pada pihak kerabat wanita adalah sesuai dengan kesepakatan yang menyatakan waktu yang pantas pengabdiannya setara dengan nilai uang jujur yang tidak terbayarkan. 4 Perkawinan ambil beri Bentuk perkawinan ini juga disebut “ngejuk ngakuk” di Lampung, yaitu pada suatu masa laki-laki dari keluarga A mengambil calon istri pada keluarga B. Pada masa lain keluarga B mengambil calon istri pada keluarga A. Hal ini dianggap impas dan dari perjanjian tidak usah diadakan pembayaran uang jujur. Selain itu, tentu juga harus mempertimbangkan nilai-nilai kepatutan dan kebolehan pada hukum agama yamg dianut. 5 Perkawinan ambil anak Di Lampung bentuk ini dikenal dengan “ngakuk ragah”,sedangkan di Bali disebut “nyentane” adalah perkawinan yang terjadi karena hanya mempunyai anak perempuan tunggal maka keluarga wanita tersebut mengambil pria dari anggota kerabat untuk menjadi suaminya dan 94I Gede AB Wiranata , op. cit., h.279 53 mengikuti kerabat istrinya selama pelaksanaan ikatan perkawinan dan menjadi penerus keturunan pihak istri. Suami berkedudukan sebagai wanita di dalam kerabat istrinya “jeng mirul” di Lampung. b. Bentuk Perkawinan Pada Masyarakat Matrilineal Pada kekerabatan Patrilineal, masyarakat menarik garis keturunankekeluargaan dari pihak perempuan ibu. Bentuk perkawinannya disebut dengan “semendo” dimana pihak mempelai perempuan menjemput mempelai laki-laki. Bentuk semendo ini sering terjadi di Minangkabau dan Rejang-Lebong Bengkulu. Didaerah yang masih kental menganut perkawinan semendo seperti misalnya Minangkabau, berlaku tiga 3 bentuk perkawinan, yaitu : 95 1 Kawin semendo bertandang; 2 Kawin menetap; dan 3 Kawin Bebas. 1 Kawin semendo bertandang Ciri-ciri kawin semendo bertandang : a Suami isteri tidak tinggal bersama, masing-masing tinggal dalam lingkungan klan-nya; b Kedudukan suami hanya sebagai “tamu” ke keluarga isterinya; c Tidak mempunyai hak dan kewajiban terhadap isteri dan anak-anaknya serta segala hal dalam rumah tangga; d Harta pencaharian suami hanya untuk dirinya, ibunya dan saudara-saudara perempuan berserta anak-anaknya harta suarang; dan f Pemeliharaan isteri dan anak-anaknya menjadi tanggung keluarga isteri, g Tidak mengenal harta bersama, harta dikuasai isteri. 2 Kawin semendo menetap Perkembangan selanjutnya adalah kawin menetap, ciri-cirinya : a Suami isteri sudah tinggal bersama dalam satu rumah meninggalkan rumah gadang klannya masing-masing; b Isteri dan anak-anak sudah berhak terhadap harta pencaharian suami secara mandiri, c Harta benda hasil pencaharian suami secara mandiri sudah diwariskan pada anak-anak kandung dan menjadi harta peninggalan generasi pertama harta pusaka rendah. 3 Kawin semendo bebas Pada bentuk perkawinan semendo bebas, setiap orang sudah dapat memilih pasangannya tanpa harus terikat dengan tradisi adat yang mengikat bagi kelompok mereka.Bentuk perkawinan yang terakhir ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang secara fisik jauh dari lingkungan keluarga asalnya. Variasi dari bentuk perkawinan semanda: 96 1 Semendo raja-raja 95 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat Jakarta : Pradnya Paramita, h. 15-16. 96I Gede AB Wiranata , op. cit., h.280-282. 54 Kedudukan kedua belah pihak akan ditentukan sendiri oleh pihak suami istri yang menikah.Anak-anak yang akan lahir dibebaskan untuk memilih siapa yang menjadi ayahnya dan siapa penerus pihak ibunya. 2 Semendo lepas Semanda ini dapat dikatakan bentuk semanda yang asli, dimana suami melepaskan diri dari kedudukan dalam keluarganya, dan masuk serta menjadi anggota kerabat pihak istrinya. 3 Semendo nunggu Bersifat sementara, menunggu waktu tertentu, misalnya menunggu adik si istri yang masih kecil-kecil, menunggu sampai tugas dan tanggung jawabnya terhadap keluarga mertua selesai diurusnya, dan lain-lain. 4 Semendo anak dagang Bentuk perkawinan semanda yang tidak kuat ikatannya. Datangnya dapat kapan saja dan suami dapat pergi kapan saja tanpa membawa apa-apa. Bentuk ini sering juga disebut “semanda nabuh bedug” yang penyebabnya bisa karena hanya untuk bayar hutang, untuk membayar pengabdian, dan lain-lain. 5 Semendo ngangkit Berlaku pada masyarakat adat yang menganut aturan penguasaan atas harta kekayaan pada tangan anak perempuan. Misalnya karena suatu keluarga yang hanya mempunyai anak laki-laki saja, padahal penguasaan harta ada pada tangan perempuan. Maka anak laki-laki salah satu daripadanya harus bertempat tinggal di rumah dan ia dicarikan istri secara semenda. c. Bentuk Perkawinan Pada Masyarakat Parental Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental, garis keturunan ditarik dari kedua belah pihak yaitu laki-laki bapak dan perempuan ibu.Pada umumnya sistem kekerabatan inilah yang dominan di anut masyarakat di Indonesia seperti di Sulawesi Selatan, Jawa. Madura dsb. Bentuk perkawinannya yang dilaksanakannya adalah kawin bebas. Artinya setiap orang bebas memilih pasangan dari dalam atau luar lingkungan keluarga. Demikian pula hak dan kewajiban antara suami dan isteri seimbang dalam rumah tangga dan dalam pergaulan sosial.

C. Tujuan, Asas-asas dan Syarat-syarat Perkawinan 1. Tujuan Perkawinan