pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.
Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal 26, gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta
perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. Selain itu seorang suami atau
istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap sebagai suami istri dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, haknya gugur. Saat batalnya perkawinan, menurut Pasal 28 ayat 1 UU No.1 1974 jo Pasal 37 PP No.9
Tahun 1975, ialah dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut terhadap Pasal 28 ayat 2 UU No.1 1974: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu; c. Orang yang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
F. Putusnya Perkawinan
Dalam UU No.1 1974 dalam Pasal 38 , putusnya perkawinan karena tiga 3 hal, yaitu : 1. Kematian
2. Perceraian 3. Keputusan pengadilan
Syarat-syarat perceraian menurut Penjelasan pasal 39 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 junto Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 menambah 2 butir dari syarat-syarat menurut KUHPerdata,
lengkapnya sbb : Di dalam penjelasan Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tersebut disebutkan bahwa alasan-alasan
yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah: 63
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suamiistri.
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Tuntutan perceraian di pengadilan hanya dapat diajukan oleh suami atau isteri yang tidak bersalahterkena dengan alasan tersebut dan sebelum pengadilan memberikan putusan terlebih
dahulu harus berupaya melakukan mediasi perdamaian-dading sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 39 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 junto Pasal 31 PP No.9 Tahun 1975 junto Pasal 115
KHI Inpres No.1 Tahun 1991 junto Pasal 56 ayat 2, 65, dan 82 UU No. 7 Tahun 1989.
Bunyi dari salah satu pasal tentang upaya perdamaian di atas , yaitu Pasal 39 UU No.1
Tahun 1974, sebagai berikut : a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Mengenai putusnya perkawinan dan akibat yang ditinbulkannya, UU No.1 Tahun 1974
menentukan dalam :
a. Pasal 37, Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya Masing-masing.
b. Pasal 41, Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:1 Baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
keputusannya. 2 Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
64
3 Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”
65
BAB V HUKUM KELUARGA
A. Konsep Dasar, Istilah dan Pengertian
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu : familierecht. Hukum keluarga diartikan oleh Ali Affandi sebagai berikut :
108
Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan tak hadir. Dua 2 hal penting yang terdapat dalam pengertian tersebut di atas, yaitu mengatur
hubungan kekeluargaan yang timbul karena : 1 hubungan darah nazab; dan 2 perkawinan. Hubungan kekeluargaan sedarah yaitu terjadinya suatu pertalian darah karena mempunyai satu
ketunggalan leluhur yang sama. Sedangkan Hubungan kekeluargaan karena perkawinan yaitu terjadinya pertalian keluarga karena perkawinan salah seorang anggota keluarga dengan orang
lainnya. Salim HS, mengartikan hukum keluarga sebagai :
109
Keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum mengenai perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan,
kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian. Dalam pengertian Salim HS tersebut, memuat dua 2 hal penting yaitu 1 kaidah hukum;
dan 2 substansi ruang lingkup hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tidak tertulis. Kaidah hukum keluarga tertulis bersumber dari undang-undang,
yurisprudensi dan traktat. Sedangkan kaidah hukum keluarga tidak tertulis bersumber dari kebiasaan dalam masyarakat setempat.
Adapun pengertian menurut Titik Triwulan Tutik,
110
pada dasarnya : Hukum keluarga merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi : 1Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan; 2 Peraturan
perceraian; 3 Peraturan kekuasaan orang tua; 4 Peraturan kedudukan anak; 5 Peraturan pengampuan curatele; dan 6 Peraturan perwalian voogdij.
108 Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga,Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-BW Jakarta : Bina Aksara, 1986 , h.93.
109 Salim HS, op. cit.,h. 56. 110Titik Triwulan Tutik, op. cit., 76.
66