21
2.4. Lahan Kering Sebagai Basis Usaha Tani Transmigrasi
a. Batasan transmigrasi Dalam penelitian ini, ada tiga terminologi transmigrasi yang digunakan,
yakni : 1 Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk
meningkatkan kesejahteraan dan menetap di wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi.
2 Transmigran adalah warga negara Indonesia yang berpindah secara sukarela ke kawasan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi
melalui pengaturan dan pelayanan pemerintah. 3 Transmigrasi Lahan Kering adalah transmigrasi, dimana transmigran
bermukim di kawasan transmigrasi atau permukiman transmigrasi di lahan kering dengan pola usaha pokok tanaman pangan, PIR-Trans, HTI
dalam penelitian ini difokuskan pada tanaman pangan. b. Tahap - tahap Pembinaan Transmigrasi
Menurut pasal 49 PP No. 21999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, disebutkan bahwa ada tiga tahap pembinaan dalam transmigrasi yaitu :
1 Tahap Penyesuaian, yang ditujukan untuk adaptasi dengan lingkungan; tahap ini berlangsung selama 1.5 tahun
2 Tahap Pemantapan, yang ditujukan untuk peningkatan kemampuan dan pemenuhan kebutuhan hidup transmigran; tahap ini berlangsung selama
1.5 sampai dari 2 tahun. 3 Tahap Pengembangan, yaitu tahapan untuk pengembangan usaha
produktif secara mandiri; tahap ini berlangsung kurang lebih selama 2 tahun.
c. Karakteristik Lahan Kering Lahan Kering menurut Rukmana 1995 adalah sebidang lahan yang
dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan hanya memanfaatkan air secara terbatas dan biasanya bergantung pada hujan. Sementara itu, Hidayat
et al. 2000, mengatakan bahwa lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun.
Abdurachman 1997 menyatakan bahwa lahan kering adalah lahan yang digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas
dan biasanya hanya bersumber dari air hujan.
22 Ciri-ciri lahan kering menurut Rukmana 1995 dan Departemen Pertanian
1998, adalah : 1 Peka terhadap erosi, terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak
tertutup tumbuh-tumbuhan. 2 Tingkat kesuburan rendah, baik kandungan unsur hara, bahan organik
maupun reaksi tanah serta kapasitas tukar kationnya. 3 Sifat fisik tanahnya kurang baik, tercermin dari struktur yang padat,
lapisan tanah atas dan lapisan tanah bawah memiliki kelembaban yang rendah, sirkulasi udara agak lambat dan kemampuan menyimpan air
rendah. Freebairn 2004b menyatakan bahwa penggunaan jerami sebagai mulsa
dapat digunakan untuk menurunkan aliran permukaan dan meningkatkan kandungan karbon organik tanah. Zheng et al. 2004 dan Terra at al. 2006
mendukung pendapat tersebut dan menyatakan bahwa peningkatan karbon organik tanah pada lahan yang berada di bawah program konservasi
cenderung menurunkan koefisien erodibilitas tanah dan aliran permukaan dibandingkan dengan program pengeloaan konvesional.
Shaver et al. 2002, Baker et al. 2004 dan Lado et al. 2004 menyatakan bahwa pemberian bahan organik dan penggunaan tanaman
penutup tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Peningkatan jumlah porositas makro tanah melalui pemberian bahan organik dapat menurunkan
kekuatan tanah soil strength dan bobot isi tanah. Sebaliknya pengaruh pemberian bahan organik dan penggunaan tanaman penutup tanah dapat
meningkatkan kapasitas menahan air tanah, kandungan bahan organik, dan stabilitas agregat tanah.
Menurut Kelly dan Mays 2005 kandungan karbon organik tanah meningkat sebesar 73 pada lahan yang mendapatkan program konservasi
melalui pemberian bahan organik tanah dibandingkan dengan lahan tanpa program konservasi. Whalen et al. 2003, Allmaras et al. 2004, Wiliams dan
Weil 2004, Wilts et al. 2004, dan Canqui et al. 2006 berpendapat bahwa penggunaan tanaman penutup tanah, pemberian bahan organik, dan rotasi
tanaman dapat meningkatkan kandungan karbon organik tanah pada daerah perakaran dan memperbaiki struktur tanah sehingga kandungan air tanah
dapat dipertahankan untuk mecukupi kebutuhan tanaman.
23 Perbaikan sifat fisik tanah dapat dilakukan melalui perbaikan pola tanam,
pemberian bahan organik, pemupukan, dan pengolahan tanah Gicheru et al., 2004; Humberto et al., 2005. Pendapat tersebut mendukung Grant et al.
2001, Kladivko 2001, Takken et al. 2001, dan Imhoff et al. 2002 yang menyatakan bahwa rotasi tanaman dengan menggunakan jenis tanaman
kacang-kacangan legume dapat meningkatkan nisbah CN tanah pada lapisan permukaan, menurunkan laju erosi tanah dan aliran permukaan,
memperbaiki kekuatan tarik tanah tensile strength, dan mengurangi pemadatan tanah.
Pengaruh pengelolaan lahan dalam jangka panjang terhadap perubahan sifat fisik dan kimia tanah telah dipelajari oleh Hooker et al. 2005, Kubota et
al. 2005, Tomer et al. 2006, dan Manna et al. 2006 yang menyatakan bahwa pengolahan tanah, pemberian bahan organik, dan rotasi tanaman
dapat menekan kehilangan lapisan olah tanah oleh erosi, meningkatkan ketersediaan unsur hara nitrogen dan fosfor, mengurangi pemadatan tanah
bertekstur liat ,dan menurunkan daya hantar air tanah bertekstur pasir. Arsyad 2000 menyatakan bahwa pola tanam tumpang gilir dan
pemberian mulsa pada areal budidaya palawija dapat menurunkan faktor tanaman C dan faktor pengelolaan P sehingaa erosi tanah dapat
dikendalikan. Lebih lanjut Wu dan Tiessen 2002, Grandy et al. 2002, Huang et al. 2003, Chapplot dan Bissonnais 2003, dan Turley et al. 2003
menyatakan bahwa degradasi struktur tanah pada lahan yang dikelola secara intensif dapat diperbaiki melalui praktek pengelolaan lahan dengan
menerapkan rotasi tanaman, pemberian kompos, dan pupuk kandang. Perubahan perilaku fisik tanah sebagai akibat perbedaan pola tanam
campuran antara leguminoceae dan rumput-rumputan dengan pola tanam jagung dan kedelai secara monokultur telah dipelajari oleh Seobi et al.
2005. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bobot isi tanah bulk density pada perlakuan pola tanam campuran leguminoceae dan rumput-rumputan
turun sebesar 2,3 dibanding dengan pola tanam jagung dan kedelai secara monokultur. Zotarelli et al. 2005 menyatakan bahwa rotasi tanaman antara
gandum dan kedelai dapat memperbaiki stabilitas agregat tanah dan ruang pori tanah.
Lahan kering dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek. Pengelompokan antara lain, dapat berdasarkan pada : a penggunaannya
24 seperti untuk pertanian; b elevasinya; c topografinya; d iklimnya; dan
berdasarkan kemasaman tanahnya. Berdasarkan topografinya, lahan kering di Indonesia dibedakan menjadi 4
empat kelompok yaitu : a lahan datar berombak dengan lereng 3–8; kelompok ini menempati areal seluas 31.478.000 ha; b lahan berombak-
bergelombang dengan lereng 8 – 15 , menempati areal seluas 24.290.000 ha; c lahan berbukit dengan lereng 15 – 30 , menempati areal seluas
36.871.000 ha; dan d lahan bergunung dengan lereng 30 , meliputi areal seluas 51.306.000 ha Hidayat dan Anny, 2002, dimodifikasi.
d. Agribisnis Tanaman Pangan di Lahan Kering Sistem agribisnis mengandung pengertian sebagai rangkaian kegiatan
beberapa sub-sistem yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Sub–sub-sistem tersebut adalah : 1 sub-sistem faktor input pertanian input
factor sub-sistem; 2 sub-sistem produksi pertanian production sub-sistem; 3 sub-sistem pengolahan hasil pertanian processing sub-sistem; 4 sub-
sistem pemasaran, baik untuk faktor produksi, hasil produksi maupun hasil olahannya marketing sub-system; dan 5 sub-sistem kelembagaan
penunjang supporting institution sub-system Krisnamurthi dan Saragih, 1992.
Dalam terminologi umum, termasuk yang digunakan dalam birokrasi pemerintah, input faktor sub-sistem sering disebut sebagai kegiatan- kegiatan
yang berhubungan dengan sarana produksi pertanian saprotan. Production sub-system disebut juga sebagai budidaya pertanian atau karena umumnya
dilaksanakan di tingkat unit usaha pertanian juga disebut sebagai kegiatan usaha tani. Bahkan pengertian “pertanian” yang selama ini digunakan juga
lebih banyak mengacu pada kegiatan–kegiatan dalam production sub-system ini. Production sub-system sering disebut sebagai kegiatan agroindustri hasil
pertanian, sedang sub–sistem yang terakhir, supporting institution sub- system sering pula disebut sebagai sub-sistem jasa services sub-system.
Dengan demikian, dalam pengertian yang umum digunakan saat ini, sistem agribisnis sebenarnya terdiri dari 5 kegiatan yaitu: 1 kegiatan pertanian
budidaya sebagai kegiatan utama, dan didukung oleh 2 pengadaan sarana produksi pertanian; 3 agroindustri pengolahan; 4 pemasaran; 5 jasa – jasa
penunjang.
25 Jika dilakukan pengelompokan, kegiatan pertanian budidaya akan
dimasukkan sebagai usaha tani on-farm activities sedangkan pengadaan sarana produksi, agroindustri pengolahan, pemasaran dan jasa–jasa
penunjang dikelompokkan dalam kegiatan luar usaha tani off-farm activities. 1 Status dan Peranan Agribisnis Kecil
Pengertian agribisnis yang telah dijelaskan pada awal tulisan ini mengandung dua dimensi penting. Pertama, agribisnis mengandung
pengertian fungsional, yaitu sebagai rangkaian fungsi-fungsi kegiatan untuk memenuhi kegiatan manusia. Kedua, sistem agribisnis
mengandung pengertian struktural, yaitu sebagai kumpulan unit usaha yang melaksanakan fungsi dari masing-masing sub-sistem. Unit usaha
tersebut dapat berbentuk usaha seorang petani dengan usaha taninya yang tidak berbadan usaha hingga perusahaan besar milik swasta atau
negara dengan bentuk PT, CV, Perum, koperasi atau bentuk-bentuk lain. Unit usaha tersebut dapat juga memiliki sifat homogen atau heterogen,
berteknologi tinggi atau tradisional, komersial atau subsisten, padat modal atau padat tenaga kerja, dan berbagai keragaman sifat lainnya. Dengan
demikian, pengertian sistem agribisnis tidak hanya mencakup kegiatan “bisnis pertanian“ yang “besar” dan dengan modal yang kuat tetapi
termasuk juga kegiatan-kegiatan skala kecil dan lemah. Unit kegiatan skala kecil tersebut, atau yang dikenal dengan usaha pertanian rakyat,
telah memberikan sumbangan yang cukup besar baik dilihat dari jumlah unit kegiatan, luas lahan, produksi yang dihasilkan, keragaman jenis
kegiatan, kesempatan kerja yang diciptakan, maupun sumbangannya terhadap pendapatan daerah dan nasional. Agribisnis kecil merupakan
ciri bentuk agribisnis di Indonesia pada saat sekarang dan pada masa yang akan datang. Dengan demikian, dalam strategi pengembangan
sistem agribisnis sebagai wujud dari pengembangan pertanian maka pengembangan unit usaha kegiatan skala kecil ini harus ditempatkan
sebagai objek sekaligus subjek utama. 2 Sub-sistem Kegiatan Usaha Tani
Sub-sistem kegiatan usaha tani dalam sistem agribisnis merupakan bagian yang terbesar dari seluruh sistem agribisnis Indonesia.
Disamping itu, sub-sistem ini juga merupakan bagian yang paling banyak menghadapi masalah, yang berwujud dalam segala bentuk keterbatasan:
26 modal, lahan, ketrampilan, penguasaan teknologi, aksesibilitas terhadap
pasar, bargaining position, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut bermuara pada rendahnya tingkat pendapatan dan kesulitan untuk
berkembang. Identifikasi masalah kemiskinan yang telah dilaksanakan
menunjukkan bahwa kantong-kantong kemiskinan di pedesaan berhubungan erat dengan keragaan kegiatan sub-sistem usaha tani.
Dengan demikian, pengembangan sub-sistem agribisnis ini harus merupakan prioritas dalam pengembangan sistem agribisnis di UPT-
TPLK. 3 Sub-Sistem Kegiatan Luar Usaha Tani
Sub-sistem luar usaha tani yang memegang peranan yang sangat besar dalam sistem agribisnis di Indonesia maupun negara – negara
berkembang lainnya adalah layanan dalam bidang pengolahan dan pemasaran. Sub-sistem ini umumnya berciri capitaltechnological
intensive dan telah memberikan sumbangan yang besar pada nilai tambah kegiatan ekonomi pertanian dan pedesaan. Di banyak negara
Asia dan Amerika Latin, kegiatan luar usaha tani ini memberikan sumbangan hingga 20 dan 30 persen terhadap total kesempatan kerja
pedesaan dan peningkatan sekitar 30 persen pada tahun 1970-an dan 1980-an, sedangkan kesempatan kerja kegiatan usaha tani sendiri hanya
meningkat sekitar 14 persen pada kurun waktu yang sama. Di samping itu, pendapatan perkapita dari kegiatan luar usaha tani tumbuh sekitar 14
persen per tahun, sedangkan dari kegiatan usaha tani hanya 3 per tahun. Keterkaitan kegiatan tersebut telah lebih meningkatkan laju
pertumbuhan pendapatan per kapita di pedesaan. Di samping itu, Asia dan Amerika Latin memiliki elastisitas permintaan atas pendapatan untuk
produk-produk pertanian yang telah mendapatkan pengolahan lanjut yang lebih besar dari produk pertanian mentah. Fenomena tersebut belum
terjadi di Afrika. Di Indonesia sendiri, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh
industri kecil merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan penyerapan oleh jenis industri lain. Pada tahun 1986, kegiatan industri
rumah tangga industri dengan 1 - 4 pekerja telah menyerap 53,7 persen dari total tenaga kerja yang diserap sektor industri. Kegiatan industri kecil
27 industri dengan 5 – 19 pekerja menyerap 14 persen, dan industri besar
industri dengan lebih dari 20 pekerja menyerap 32.2 persen. Dari tahun 1975 hingga 1986, penyerapan tenaga kerja oleh industri kecil meningkat
sekitar 20 persen per tahun, sedangkan peningkatan pada industri besar hanya sekitar 16 persen Tambunan,1989.
Besarnya kegiatan usaha tani sebenarnya menunjukkan potensi pasar domestik yang besar. Namun demikian, kegiatan-kegiatan luar
usaha tani tersebut sering luput dari pandangan kita karena terlalu “silau“ oleh orientasi ekspor. Seharusnya pengembangan pasar domestik,
terutama dalam bentuk kegiatan–kegiatan non-usahatani, dapat merupakan bentuk tahapan antara sebelum menuju ke pasar
internasional. Hal ini didukung oleh berbagai masalah yang sekarang dihadapi dalam perdagangan internasional seperti mutu, kontinuitas, dan
sebagainya, yang sebenarnya dapat lebih mudah diatasi dengan mengembangkan kegiatan domestik yang dapat melaksanakan fungsi-
fungsi tata niaga penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, sortasi, grading, dan sebagainya.
e. Penelitian dan Telaahan Terdahulu 1 Agribisnis.
Pembangunan bidang pertanian tetap menjadi prioritas dalam program pembangunan di Indonesia dengan tujuan utama terciptanya
peningkatan produksi, pendapatan dan kesempatan kerja. Di sektor pangan, pembangunan pertanian diarahkan untuk mengatasi kekurangan
pangan melalui peningkatan produksi secara nasional. Upaya peningkatan produksi ini pada gilirannya diharapkan akan membawa
kepada peningkatan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Program pembangunan transmigrasi tanaman pangan secara politis dan
kebijakan pemerintah merupakan salah satu elemen dalam program peningkatan produksi dan kesempatan kerja nasional.
Menurut Sadikin dan Purwanto 2003, program revolusi hijau telah menghasilkan peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan
produksi padi secara nasional. Akan tetapi peningkatan tersebut hanya menguntungkan petani berlahan luas, sementara petani berlahan sempit
tidak banyak memperoleh manfaat dari hasil-hasil peningkatan produksi. Para petani yang memiliki dan menguasai lahan luas, yang sebenarnya
28 juga pemilik modal, mempunyai kesempatan yang lebih besar terhadap
akses teknologi maju, sehingga dapat lebih memperluas usaha taninya. Pengembangan revolusi hijau yang dilakukan di Pulau Jawa di
lahan sawah telah mengakibatkan petani terperangkap dalam situasi ketergantungan yang semakin tinggi dalam penggunaan input modern.
Harga input produksi dan kebutuhan konsumsi meningkat, sementara harga hasil produksi pertanian tidak mampu mengimbangi tuntutan
kebutuhan ekonomi keluarga sehingga petani berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Nasib petani transmigran tanaman pangan di lahan
kering saat ini dapat dikatakan hampir sama dengan kondisi petani pada revolusi hijau tersebut, walaupun rataan luas lahan transmigran lebih luas
dibandingkan rataan petani sawah di Pulau Jawa. Jika di Pulau Jawa tidak efektifnya program revolusi hijau lebih disebabkan karena
kurangnya kebijakan tentang penataanpembaharuan agraria dan penataan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan, maka di
lokasi transmigrasi belum adanya kebijakan pemberdayaan transmigran yang sesuai karakteristik lokasi, belum tertatanya pranata kelembagaan,
belum diterapkannya strategi pencegahan dan penanganan degradasi lahan, merupakan beberapa penyebabnya.
Lahan yang berproduksi tinggi untuk suatu komoditi dapat diperoleh jika ditunjang oleh tanah yang subur, ketersediaan air yang
cukup, energi matahari dan suhu yang memungkinkan dan aerasi yang baik. Menurut Djaenudin dan Sudjadi 1987, tanah yang digunakan untuk
lokasi transmigrasi di Kalimantan dan Sumatera pada umumnya tergolong tanah masam. Faktor iklim di lahan-lahan ini sebenarnya bukan
merupakan penghambat bagi usahatani, sebaliknya curah hujan yang tinggi pada lahan dapat menimbulkan erosi. Kendala utama dalam
pengelolaan usahatani di tanah masam, adalah miskinnya unsur hara dan terjadinya fiksasi P yang tinggi.
Produktivitas tanah berkaitan erat dengan sifat fisik dan kimia tanah. Hasil penelitian Rumawas 1984, menunjukkan bahwa: a
produktivitas tanah di Sitiung II pada lahan yang dibuka secara manual selalu lebih baik dibandingkan dengan lahan yang dibuka cara mekanik;
b pembukaan lahan dengan kombinasi cara manual dan cara mekanik merupakan cara terbaik karena 80 lahan dapat diusahakan; c tanah
29 miskin akibat penggusuran tanah secara mekanik dapat diatasi dengan
pemberian dolomit, kapur dan pupuk fosfat. Penelitian pengelolaan tanah dan tanaman sistem lahan kering
pada tanah Podsolik menunjukkan bahwa selama 5 tahun berturut–turut, hasil pola tanam tumpang sari lebih baik dari pada tanaman tunggal
secara bergantian. Sedangkan penelitian Nugroho 1988 di Kuamang Kuning menunjukkan bahwa lereng, kedalaman lapisan olah dan tekstur
tanah berpengaruh nyata terhadap bobot tanaman jagung. Meskipun demikian, pengaruh pemupukan lebih besar terhadap produksi bobot
gabah kering panen dari pada pengaruh lereng, kedalaman lapisan olah dan kelas tekstur tanah. Sedangkan penelitian Irawan, Soemardjo dan
Adhi 1989, menunjukkan bahwa produktivitas tanah ditentukan oleh asal bahan induk, lereng dan sarana produksi. Selanjutnya Syaiful, Tastra dan
Syarifuddin 1984 menyimpulkan bahwa permasalahan produktivitas lahan di daerah transmigrasi lahan kering ditentukan oleh kesuburan
tanah, kemampuan pengelolaan tanah oleh petani, pembukaan lahan, waktu tanam, ketepatan waktu, dosis pupuk dan sarana yang tersedia.
Pembangunan pemukiman transmigrasi dengan pendekatan agribisnis sebenarnya telah lama dilaksanakan, namun dalam
perkembangannya masih banyak hal yang perlu dicermati ulang. Bagian yang banyak menghadapi masalah adalah pembinaan sistem usahatani
atau budidaya. Permasalahan yang dihadapi antara lain berupa keterbatasan keterampilan dan penguasaan teknologi masalah
kompetensi sumber daya transmigran dan pendamping organizer, keterbatasan modal dan tenaga mengelola lahan usaha, karena usaha
tani berciri land base. Untuk itu aspek keragaman lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya menjadi sangat strategis untuk diperhatikan
dalam perencanaan dan implementasi Depnakertrans, 1999. Diperlukan penetapan komoditas unggulan dan komoditas pertanian lain yang dapat
dipadukan sebagai penyangga buffer bagi kelangsungan rumah tangga transmigran pada tahap konsolidasi berupa aktivitas mix farming yang
sesuai dengan kelayakan usaha. Di lahan kering, rataan produktivitas masih rendah terutama
komoditi tanaman pangan yang ditanam oleh transmigran yakni padi 15.03 kwha, jagung 18.53 kwha, ubi jalar 36.1 kwha, ubi kayu 66.27
30 kwha, kacang kedelai 6.98 kwha, kacang tanah 8.47 kwha, dan kacang
hijau 6.53 kwha. Menurut data dari Depertemen Pertanian, produktifitas rerata nasional tahun 2003 dan 2004 berturut-turut adalah sebagai
berikut: a padi ladang 24.03 kwha dan 24.73 kwha gabah kering giling; b jagung 24.04 kwha dan 27.02 kwha pipilan; c ubi jalar 94.66 kwha
dan 95.69 kwha umbi basah; d ubi kayu 126.73 kwha dan 130.53 kwha umbi basah; e kacang kedelai 11.67 kwha dan 11.93 kwha biji
kering; f kacang tanah 10.92 kwha dan 11.51 kwha biji kering; kacang hijau 9.70 kwha dan 9.7 kwha biji kering, http:www.deptan.go.id
ditjen tpsit Prod Aklin 04.htm. Menurut Abdurachman et al. 1997, petani lahan kering tidak
mungkin hidup jika ekonomi rumah tangga hanya tergantung kepada hasil tanaman. Oleh karena itu pendekatan yang tepat adalah melalui
pendekatan sistem usahatani yang memadukan komoditas tanaman pangan dengan tanaman tahunan dan ternak dalam suatu model usaha
tani yang sesuai, dengan mempertimbangkan keserasian sumber daya yang dimiliki petani. Contoh model usahatani terpadu antara lain meliputi
padi gogo dan palawija yang diatur penanamannya dalam pola setahun disesuaikan dengan musim tanam seluas 1 ha, tanaman karet 1 ha siap
sadap, dan ternak yang awalnya terdiri atas 1 ekor sapi, 3 ekor kambing, dan 11 ekor ayam buras. Dengan modal tersebut, ternyata pendapatan
petani meningkat dari Rp. 1.4 jutatahun pada tahun 19881989 menjadi Rp. 2.3 jutatahun pada tahun 19901991, sedangkan pendapatan petani
yang tidak menerapkan teknologi model usahatani tersebut berkisar antara Rp.1.1 juta sd 1.2 jutatahun. Dalam model usahatani tersebut,
terdapat interaksi komplementer antara pengusahaan tanaman dengan tanah. Selanjutnya Akhadiarto et al. 1997 mendukung hal tersebut dan
menyatakan bahwa dengan adanya sistem usahatani terpadu, akan diperoleh keuntungan antara lain : a meningkatkan populasi ternak; b
meningkatnya produksi buah-buahan; c membuka lapangan kerja di pedesaan; d berhasilnya konservasi tanah dan air; dan e meningkatnya
pendapatan petani lahan kering. Menurut Siagian et al, 1987 melalui pembuatan teras dan
pemberian kompos selama 3 tahun berturut-turut sebesar 40 ton, 30 ton dan 15 ton ternyata produksi tanaman cabe, kedelai dan jagung dapat
31 mencapai masing-masing 8 tonha, 1.9 tonha dan 6.0 tonha berat
basah dengan tongkol. Tanpa pembuatan teras dan tanpa pemberian kompos, produksi cabe hanya sebesar 2.0 tonha, kedelai 0.7 tonha dan
jagung 1.0 tonha berat basah dengan tongkol. Selanjutnya Saragih et al. 1991 menyatakan bahwa dengan melakukan pergiliran pola tanam,
peningkatan kualitas dan kuantitas input, dan perbaikan perencanaan usahatani oleh kelompok dalam usahatani lahan kering dapat dihasilkan
rata-rata produksi tanaman pangan sebesar 4,062.4 kghatahun setara padi, lebih tinggi dari produksi tanaman pangan kontrol yakni 2,630.7
kghatahun setara padi. Hasil penelitian Tuherkih et al. 19971998 pada lahan kering di Pauh Menang Propinsi Jambi memberikan produktifitas
hasil kacang tanah varietas Kelinci yang cukup tinggi, yakni 1.92 tonha polong kering, diikuti oleh varietas Pelanduk 1.78 tonha dan Gajah
1.73 tonha. Mereka menyimpulkan bahwa ketiga varietas tersebut mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan pada lahan
kering yang bersifat masam. 2 Degradasi Lahan.
Degradasi tanah atau lahan soil or land degradation merupakan proses berkurangnya atau hilangnya kegunaan suatu tanah atau lahan
dalam usaha meningkatkan produksi pertanian dan kehutanan. Menurut Lai 1994, kerusakan tanahlahan dapat disebabkan oleh pemadatan
tanah, erosi, desertifikasi, penurunan tingkat kesuburan, keracunan dan pemasaman tanah, kelebihan garam di permukaan tanah, dan polusi
tanah. Sedangkan menurut Oldeman 1999, faktor–faktor yang mempengaruhi degradasi tanahlahan adalah: a pembukaan lahan
deforestation dari penebangan kayu hutan secara berlebihan untuk kepentingan secara domestik; b penggunaan lahan untuk
peternakanpenggembalaan secara berlebihan over grasing; c aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan.
Penggunaan lahan yang tidak mempertimbangkan kaidah–kaidah konservasi tanah dan air akan berakibat mempercepat proses degradasi
lahan yang terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai. Degradasi lahan perlu dinyatakan secara kuantitatif dengan
mengukur perubahan–perubahan akibat pengelolaan lahan terhadap sifat–sifat dan produktivitas tanah. Tujuan dari pemantauan kualitas dan
32 produktivitas lahan adalah untuk : a mengidentifikasi sejak awal
masalah–masalah dan alternatif teknologi atau pendekatan untuk memperbaiki dampak dari pengelolaan lahan yang salah; b
mengevaluasi keragaan teknologi atau program pengelolaan lahan yang digunakan untuk memperbaiki masalah tersebut; dan c menyediakan
bahan bagi pembuat kebijakan dan perencanaan pembangunan pertanian untuk menyusun dan memperbaiki kebijakan–kebijakan dan program–
program pembangunan pertanian FAO dan IIRR, 1955, dalam Santoso, et al., 2001. Selanjutnya Santoso et al. 2001 menjelaskan pengguna
dari pemantauan kualitas dan produktivitas lahan adalah termasuk petani, masyarakat, penyuluh, peneliti, pembuat kebijakan, dan perencanaan
pembangunan. Petani, pengambil kebijakan dan organiser mungkin tidak menyadari pentingnya kualitas lahan petani. Hal ini diduga karena
keterbatasan pengetahuan knowledge. Secara kasat mata, dampak dari kegiatan pertanian atau degradasi lahannya tidak terjadi dengan segera
dan tidak mudah dilihat. Juga diketahui bahwa dampak pengelolaan lahan tidak terbatas hanya pada lahan yang dikelola saja, tetapi berpengaruh
pada areal yang lebih luas dibawahnya yakni berupa eutropism, polusi, banjir dan lain-lainnya. Pemantauan kualitas dan produktivitas lahan perlu
dilakukan berulang kali secara teratur dalam jangka waktu lama. Menurut Lai 1994, terdapat 3 kategori sifat utama yang perlu
diperhatikan dalam menilai degradasi lahan, yakni sifat fisik, kimia dan biologis tanah dan proses-proses perubahannya Gambar 2.1. Ketiga
kategori ini dalam proses perubahannya mendominasi dalam mempengaruhi kualitas tanah. Dengan demikian hubungan sebab-akibat
antara sifat–sifat tanah dan produktivitas tanaman sangat penting untuk diketahui dan dimantapkan sebagai pedoman untuk membuat program
peningkatan produksi dan perbaikan lahan kering yang terdegradasi. Sifat–sifat lahan yang dapat diukur atau diamati yang menggambarkan
kecepatan dan arah perubahan kualitas dan produktivitas lahan harus ditentukan sebagai indikator–indikator penggunaan lahan yang
berkelanjutan. Singth dan Dumanski 1993, memberikan definisi dari indikator, kriteria dan batas kritis sebagai berikut :
33 a
Indikator adalah statistik lingkungan yang mengukur atau mencerminkan status kondisi lingkungan atau perubahan kondisinya
misalnya erosi dalam tonha. b Kriteria ialah standar atau aturan model, uji atau ukuran yang
menentukan penilaian atas kondisi lingkungan misalnya dampak erosi terhadap hasil tanaman, kualitas air dsb.
c Batas kritis yaitu tingkatan–tingkatan dimana diluar batas tersebut sistemnya akan mengalami perubahan nyata; titik-titik dimana
rangsangan akan menimbulkan respon misalnya level dimana di luar batas tersebut erosi sudah tidak dapat ditolerir lagi.
Sifat–sifat yang penting dan perlu diperhatikan dalam memilih indikator yang berkaitan dengan tanah menurut Oackley 1991, yang
dirujuk oleh Lai 1994 adalah sebagai berikut : 1 sederhana dan mudah untuk diukur pada kondisi lapang; 2 dapat digunakan secara lintas waktu,
tempat, dan sistem antara lain proses erosi; 3 dapat diekstrapolasikan dan diduga pada tanah-tanah dan wilayah yang manapun juga; 4 dapat
diadaptasikan dan sesuai pada kisaran yang luas dan sifat-sifat lahan dan proses-proses perubahannya antara lain kandungan bahan organik
tanah; 5 mudah dianalisis dan diinterprestasikan untuk mengetahui penyebab-penyebab utama dari proses degradasi lahan; 6 sesuai
dengan kondisi ekologis misalnya penilaian proses pemasaman tidak sesuai untuk tanah berkapur di daerah beriklim kering; dan 7
berorientasi pada proses dan sesuai dengan proses degradasi yang utama.
34
Proses Degradasi Lahan
Erosi Tanah yang
dipercepat Pemadatan
Tanah Keadaan
anaerob Pengurasan
Kesuburan Tanah
Pemasaman Tanah
Keadaan Salin dan
Sodik Degradasi
Biologis
• Keadaan tanah lapisan
atas yang tersisa
• Tanah ber-
batu • Warna tanah
• Tekstur tanah • Kapasitas air
tersedia • Kandungan
bahan organik tanah
• Kandungan CaCO3
• Akar – akar pohon muncul
• Berat Isi BD • Ketahanan
pemadatan • Porositas
• Laju infiltrasi • Surface
ponding • Akar – akar
tanaman • Tingkat
kebasahan • Permeabi-litas
• Warna tanah • Karat tanah
• Pori drainase • Tanaman
– tanaman
hidromorfis • Kandungan
unsur hara • Gejala-gejala
tanaman • Tingkat
– tingkat
keracunan unsur hara
• pH • Al dapat di-
tukar • Kemasaman
total • Tanaman
– tanaman
toleran • Warna
tanah • Konduktivi-
tas listrik • Struktur
tanah • SAR
• Permeabili- tas
• Tanaman – tanaman
holomorfik • Kandungan
bahan organik tanah
• Keaneka- ragaman
biologis • Aktivitas
cacing tanah • Struktur tanah
Gambar 3. Indikator – indikator tanah, air dan tanaman yang berkaitan dengan proses – proses yang sangat berpengaruh pada degradasi lahan Sumber : Lai, 1994
35 Dalam penelitian ini, tidak semua indikator degradasi lahan
sebagaimana disajikan pada Gambar 3 diteliti, karena terdapat indikator- indikator yang perubahannya memerlukan waktu yang relatif lama.
Dalam penelitian ini hanya dipilih beberapa indikator yang dinilai penting dan perlu diteliti untuk menilai kualitas dan produktivitas lahan dengan
bentuk wilayah bergelombang sampai dengan berbukit. Indikator yang diamati adalah: erosi, pemadatan tanah, air, kesuburan, kemasaman,
salinitas dan sodisitas, dan degradasi biologis kadar bahan organik dan struktur tanah, produksi tanaman pangan, hortikultura, buah-buahan dan
tanaman perkebunan yang dibudidayakan transmigran. f. Pembangunan Berkelanjutan
Munasinghe 1993, menyatakan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan sustainable development terkandung tiga aspek utama,
yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Hal ini berarti bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan generasi saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan bagi generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.
Pembangunan berkelanjutan menurut Dahuri 2003 mengandung tiga dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi
ekologi. Melalui suatu public decision, porsi ke-tiga dimensi tersebut harus disepakati dan disesuaikan dengan perkembangan ekonomi
masyarakat. Sitorus 2003 berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat menjamin
terpenuhinya kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
2.5. Sosial Budaya