Perkembangan Transmigrasi Lahan Kering

19 informasi pasar, permodalan, serta teknologi manajemen termasuk didalamnya kemampuan lobi ekonomi. 4 Jaminan atas hak-hak masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal. 5 Pengembangan kemampuan teknis dan manajerial kelompok masyarakat sehingga berbagai masalah teknis dan organisasi dapat dipecahkan dengan baik. 6 Terpenuhinya kebutuhan hidup dan meningkatnya kesejahteraan hidup mereka serta kemampuan menjamin kelestarian daya dukung lingkungan bagi pembangunan.

2.3. Perkembangan Transmigrasi Lahan Kering

Perubahan politik dan lingkungan strategis antar era pembangunan telah mendorong upaya-upaya intelektual, pakar dan birokrat untuk membangun kesamaan persepsi mengenai transmigrasi, yang dilakukan dengan melibatkan stakeholder, LSM dan lainnya. Namun demikian, sejauh ini hasilnya belum dapat menjawab strategi lingkungan secara komprehensif. Strategi dan rencana fisik pemukiman telah relatif baik, namun rencana konservasi tanah dan air belum disadari sebagai sesuatu yang perlu. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan lokasi dengan lahan marjinal, bertopografi dengan lereng 8-30. Di hamparan LP dan LU di lokasi transmigrasi lahan kering masih ditemui lahan terdegradasi. Hal ini diduga disebabkan karena kurang cermatnya penyusunan RTSP, disamping teknik–teknik pembukaan lahan yang kurang memperhatikan aspek fisik dan kesuburan lahan. Gambaran tersebut merupakan tantangan berat untuk usaha tani dalam memenuhi kebutuhan hidup transmigran. Sementara itu, perkembangan pembinaan yang diberikan oleh pemerintah dari waktu ke waktu belum ditetapkan berdasarkan Rentekbin. Upaya kearah perbaikan aksi pembinaan sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1992, namun hal tersebut juga baru sebatas konsep. Kebanyakan birokrat pelaksana masih berpikir paket–paket pembinaan yang cukup diberikan dengan norma standar tanpa memperhatikan karakteristik lahan land characteristics dan kompetensi petugas UPT dan transmigran. Kondisi tersebut telah menyebabkan perkembangan tingkat keberhasilan ternyata kurang menggembirakan. Pada tahun 1992, dicanangkan penanganan 56 UPT bermasalah oleh Siswono selaku Meneteri Transmigrasi pada waktu itu, yang Rentekbinnya disusun oleh LSM dan Perguruan Tinggi. Selanjutnya, 20 diberikan program pendampingan dan pemberian input stimulan terutama saprodi dan pembentukan kelembagaan. Ternyata, dalam kurun waktu 2–3 tahun, UPT-UPT tersebut dapat menjadi lebih baik, tercermin dari pendapatan per KK per tahun yang telah mencapai atau melampui 3,000 kg setara beras Kep. Men. Trans Nomor : 269MEN1984. Pada tahun 1999, Pusdatin Transmigrasi melaporkan bahwa pada saat itu terdapat seluas 122,394 ha lahan bertopografi dengan kemiringan lebih besar dari 15. Lahan ini diduga sangat berpotensi terdegradasi terutama oleh aliran permukaan dan erosi tanah. Lembaga yang sama pada tahun 2003 menginformasikan bahwa berdasarkan hasil pengolahan data di 115 UPT, terdapat sejumlah 3,261 KK 11.7 transmigran yang melakukan mutasi keluar UPT, terdapat 20 kasus masalah tanah yang belum terselesaikan, adanya lahan marjinal seluas 5,093 ha dan adanya masalah status lahan sebesar 1,690 ha. Disamping itu, jumlah, keberadaan dan kompetensi perangkat pemerintah desa maupun sarananya tidak memadai, sehingga pelayanan kepada transmigran rendah. Perkembangan usaha tani juga rendah, tercermin dari rerata produktivitas tanaman padi yang hanya 15.03 kwha, jagung 18.53 kwha, kedelai 6.98 kwha, kacang tanah 8.47 kwha, kacang hijau 6.53 kwha, ubi kayu 66.27 kwha, ubi jalar 36.1 kwha. Pengeluaran rataan transmigran adalah sebesar Rp. 3,757,000,-KKtahun, padahal hasil survei tahun 1998, dilaporkan pendapatan transmigran berkisar Rp. 1,851,953,- sampai Rp. 3,635,413,-KKtahun. Selanjutnya pada pertengahan tahun 2004, Pusdatin Transmigrasi melaporkan bahwa dari sejumlah 431 UPT yang dibina terdapat 230 UPT 53 yang diduga bermasalah, diantaranya sebanyak 139 UPT merupakan lokasi Transmigrasi Umum Lahan Kering TULK. Walaupun usia pembinaannya telah lebih dari 5 tahun melampaui usia pembinaan normatif, ternyata UPT-UPT tersebut belum mandiri, sehingga dapat dikatagorikan bermasalah berdasarkan kriteria dari Kepmennakertrans No. 6MEN1999. Berdasarkan Kepmenakertrans tersebut, rataan normatif usia pembinaan UPT adalah selama 5 tahun. Rendahnya kinerja pada era otonomi ini, diduga merupakan akibat dari kualitas pembina in-situ yang sangat memprihatinkan. Cukup banyak UPT yang pembinaannya diserahkan kepada kepala desa dan sekretaris desa dengan segala keterbatasannya. 21

2.4. Lahan Kering Sebagai Basis Usaha Tani Transmigrasi