35 Dalam penelitian ini, tidak semua indikator degradasi lahan
sebagaimana disajikan pada Gambar 3 diteliti, karena terdapat indikator- indikator yang perubahannya memerlukan waktu yang relatif lama.
Dalam penelitian ini hanya dipilih beberapa indikator yang dinilai penting dan perlu diteliti untuk menilai kualitas dan produktivitas lahan dengan
bentuk wilayah bergelombang sampai dengan berbukit. Indikator yang diamati adalah: erosi, pemadatan tanah, air, kesuburan, kemasaman,
salinitas dan sodisitas, dan degradasi biologis kadar bahan organik dan struktur tanah, produksi tanaman pangan, hortikultura, buah-buahan dan
tanaman perkebunan yang dibudidayakan transmigran. f. Pembangunan Berkelanjutan
Munasinghe 1993, menyatakan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan sustainable development terkandung tiga aspek utama,
yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Hal ini berarti bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan generasi saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan bagi generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.
Pembangunan berkelanjutan menurut Dahuri 2003 mengandung tiga dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi
ekologi. Melalui suatu public decision, porsi ke-tiga dimensi tersebut harus disepakati dan disesuaikan dengan perkembangan ekonomi
masyarakat. Sitorus 2003 berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat menjamin
terpenuhinya kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
2.5. Sosial Budaya
Menurut Surmayanto 1997, jenis penggunaan tanah di suatu wilayah atau negara, berkaitan erat dengan kepadatan penduduk, struktur perekonomian,
kondisi biofisik lingkungan serta keragaan geografis dan geopolitiknya. Baik Soerianegara 1977 dan Surmayanto 1997 menyebutkan bahwa,
penggunaan lahan berkaitan dengan aspek kependudukan. Hal ini berarti karakteristik demografi rumah tangga akan mempengaruhi perilaku kepala rumah
tangga dalam penggunaan lahan. Karakteristik demografi rumah tangga yang mempengaruhi prilaku penggunaan lahan meliputi aspek pendidikan dan umur
36 Mather, 1986. Aspek pendidikan dapat dilihat dari tingkat pendidikan kepala
keluarga yang diukur dari lamanya mereka mengikuti pendidikan secara formal. Hal ini penting mengingat daya serap pikiran dan daya adaptasi terhadap
lingkungan ditentukan oleh wawasan yang dimiliki yang diperoleh dari bangku sekolah. Selain itu tingkat pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang bermanfaat untuk pengembangan bakat maupun minat untuk berinovasi. Disamping aspek pendidikan, aspek umur juga
dapat mempengaruhi prilaku penggunaan lahan, karena usia dapat menunjukkan tingkat usia produktifitas kepala rumah tangga dan pengalaman didalam
budidaya usaha tani. Pengetahuan yang dikuasai kepala rumah tangga dan dibutuhkan didalam pengambilan keputusan untuk penggunaan lahan dapat
meliputi pengetahuan ilmiah moderen maupun pengetahuan tradisional atau budaya lokal masyarakat asli traditional knowledge yang telah berkembang
secara turun temurun dalam suatu komunitas disuatu wilayah tertentu. Menurut Barlow 1986 penggunaan lahan dipengaruhi oleh beberapa
pertimbangan utana seperti faktor fisik lahan, faktor ekonomi, faktor kelembagaan. Faktor kelembagaan yang dimaksud meliputi aspek kondisi sosial
budaya, dan tradisi masyarakat, kepercayaan yang dianut masyarakat serta kebijaksaan pemerintah. Ditinjau dari aspek ekonomi, yang erat mempengaruhi
prilaku penggunaan lahan meliputi aspek struktur pembiayaan dari jenis komoditi, kemantapan, sistem pemasaran Wijayanto, 2001. Menurut Natural Resources
Managemen 1996, perilaku pemilihan alternatif penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh sikap terhadap berbagai manfaat atau nilai dari sumber daya
alam dan faktor suku. Dalam Webster’s New World Dictionary Neufeldt dan Guralnik, 1988,
istilah budaya atau culture mengandung banyak arti. Salah satu arti yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yang berkaitan dengan kolektivitas
manusia “masyarakat”. Makna budaya ini antara lain mencakup aspek tata nilai, norma, cara pengelompokan atau kerjasama masyarakat, peningkatan
kompetensi manusia misalnya melalui peningkatan pengetahuan dan bagaimana masyarakat mengelola lingkungan untuk melangsungkan
kehidupannya Pranadji, 2003. Makna budaya ini, dalam perspektif pembangunan ekonomi dan pedesaan berkelanjutan dan masyarakat madani
civil society, oleh Kliksberg 1999 dan Grootaert 1998 disebut sebagai modal sosial social capital dan budaya culture.
37 Paling tidak ada empat pilar atau modal yang menopang kehidupan
masyarakat, yaitu modal manusia human capital, alam dan lingkungan natural capital, prasarana produced or contructed capital dan sosio-budayanya Social
Capital and Culture: as Master Keys to Development; Kliksberg, 1999. Dalam perspektif pembangunan pedesaan terpadu, keempat pilar harus dilihat dalam
satu kesatuan Kostov dan Lingrad, 2001, dan sering kali penyelenggara pembangunan pedesaan alpa dalam menempatkan aspek sosio-budaya Social
Capital: The Missing Link?; Grootaert, 1998 sebagai salah satu faktor kuncinya. Bisa dipahami jika kondisi lingkungan atau natural capital akan ikut menentukan
dinamika sosio-budaya setempat akan sangat menentukan kestabilan dan keberadaan kondisi lingkungan hidup setempat.
Seorang ahli ekologi kebudayaan, Julian H. Steward 1995, mengajukan pendapat bahwa dari waktu ke waktu masyarakat mempunyai daya kreasi untuk
melakukan adaptasi budaya misalnya dalam bentuk akulturasi terhadap lingkungannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara aspek budaya
masyarakat dan lingkungannya terjadi hubungan yang saling mempengaruhi. Hal ini pula yang memberikan gambaran, dengan menggunakan kekuatan pikiran
dan pengetahuan yang dimilikinya, organisma manusia dalam batas tertentu mempunyai peran yang menentukan dalam pengelolaan agroekosistemnya.
Penguatan aspek atau modal sosio-budaya sangat penting untuk meningkatkan kreativitas masyarakat Fischer et al., 2002 dan sangat penting pula untuk
mewujudkan pembangunan pedesaan terpadu Kostov dan Lingrad, 2001 berbasis agroekosistem setempat.
Sorokin 1964, dengan mengutip pendapat Ogburn, menyebutkan ada dua jenis budaya, yaitu budaya material material-culture dan budaya non-
material non material-culture. Budaya material berkaitan dengan bagian kreativitas masyarakat yang telah berbentuk material, seperti teknik budi daya
penanaman, teknik melakukan pola pertanian dengan terasering, produktivitas tanah dalam bentuk bahan pangan dan semacamnya. Budaya non-material
berkaitan dengan aspek bentuk keorganisasian sosial, tata-nilai, kepercayaan, pola kepemimpinan, kesadaran kolektif masyarakat untuk menegakkan teknik
pengelolaan agroekosistem yang sehat dan semacamnya. Biasanya perubahan pada aspek budaya material lebih cepat dibanding budaya non-materialnya, dan
hal ini bisa menimbulkan gejala disharmoni pada hubungan antar manusia dan antara manusia dan lingkungannya. Zaltman and Duncan 1977 menempatkan
38 aspek sosio-budaya dalam perspektif perubahan atau pemberdayaan
masyarakat dalam dimensi jangka panjang dan pada ukuran sistem sosial yang relatif besar.
2.6. Pengembangan Ekonomi Rakyat