Design of Sustainable Dry-land Transmigration Development System.

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lahan kering (dry-land) merupakan salah satu sumberdaya lahan (land resources) potensial yang tersebar luas di Indonesia. Jenis lahan ini tersebar di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan beberapa pulau lain. Lahan kering sudah digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai tempat bercocok tanam tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun untuk penggembalaan dan penggunaan-penggunaan lain.

Pembukaan lahan kering di luar Pulau Jawa secara terencana menjadi pemukiman baru dilakukan pertama kali pada tahun 1905, yang dikenal dengan program “kolonisasi” di Gedong Tataan yang waktu itu merupakan daerah karesidenan Lampung. Para pemukimnya, sebanyak 155 KK, berasal dari daerah Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo, yang pada waktu itu secara administratif termasuk dalam wilayah Karesidenan Kedu, Jawa Tengah. Dalam perkembangan selanjutnya pada beberapa dekade kemudian, program ini kemudian dikenal sebagai “program transmigrasi”.

Program transmigrasi merupakan salah satu program pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah sejak beberapa dekade. Pada garis besarnya, program ini dilaksanakan untuk memeratakan persebaran penduduk diantara berbagai wilayah di Indonesia. Dalam realisasinya, pembangunan transmigrasi telah membuka peluang lapangan kerja, terutama bagi komunitas petani gurem, buruh tani, nelayan, pengangguran, perambah hutan, peladang berpindah, mayarakat terasing dan masyarakat yang permukimannya tergusur oleh proyek pembangunan pemerintah yang digunakan untuk pelayanan publik. Sejak transmigrasi dimulai melalui program kolonisasi sampai tahun 2004, sektor transmigrasi telah terealisasi membuka lapangan kerja kepada 1.236.487 KK (http://www.nakertrans.go.id, 03/10/2005).

Sebagian besar lahan di Indonesia merupakan lahan-lahan yang bersifat marjinal. Pada satu sisi, lahan marjinal masih tersedia cukup luas, namun di sisi lain disadari, bahwa upaya pemanfaatan lahan-lahan seperti ini merupakan usaha yang tidak mudah dan memerlukan upaya khusus, sesuai dengan keterbatasan pada masing-masing jenis sumberdaya tersebut. Oleh karena itu,


(2)

dengan berbagai upaya teknologi, pembangunan transmigrasi perlu diarahkan untuk memanfaatkan lahan marjinal (marginally land) yang masih tersedia cukup luas di luar Pulau Jawa. Pembukaan lahan eks padang alang dan lahan-lahan yang bertopografi bergelombang – berbukit menjadi salah satu alternatif.

Pada pembangunan permukiman transmigrasi yang berbasis lahan, kepada setiap Kepala Keluarga (KK) diberikan Lahan Pekarangan (LP) dan Lahan Usaha (LU) sebagai hak milik yang bersertifikat. Lahan tersebut diperuntukkan untuk pemukiman dan area untuk usaha tani guna memenuhi kebutuhan hidup yang berkelanjutan.

Sejak tahun 1950 sampai tahun ke-4 Pelita VI telah dibuka LP dan LU seluas ± 4.000.000 ha, kurang lebih 42% merupakan lahan kering yang awalnya ditumbuhi alang – alang dan gulma lainnya. Lahan yang telah dibuka tersebut ditanami tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, rumput pakan ternak dan lainnya. Produksi lahan-lahan ini telah berkontribusi menunjang program swasembada pangan dan industri perkebunan terutama kelapa sawit dan karet.

Meskipun demikian, ternyata banyak kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program transmigrasi ini. Keragaman latar belakang transmigran yang hanya memiliki sumberdaya faktor produksi berupa tenaga kerja, rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan, pendapatan, tingginya tingkat kemiskinan dan keterbelakangan diduga berdampak terhadap ketidakmampuan mereka dalam mengelola sumberdaya lahan secara tepat dan berkelanjutan (Yudohusodo, 1988). Pembukaan LP, LU, Fasilitas Umum (FU) dan pembukaan Jalan Penghubung (JPH) dan Jalan Poros (JPR) yang biasanya dilakukan dengan menggunakan alat berat berupa buldozer, grader, traktor dan lainnya, umumnya merusak lapisan atas tanah (top soil) yang merupakan awal dari terjadinya degradasi lahan (land degradation).

Penelitian Hassen (1987) menunjukkan bahwa pada lahan hutan diatas tanah Podsolik Merah Kuning di Sumatera Selatan yang dibuka menjadi lahan pertanian, terjadi kemerosotan sifat-sifat tanah sejalan dengan waktu. Dalam penelitiannya, penurunan kualitas utama ditandai dengan hilangnya lapisan tanah sebesar 1,4 – 2,8 cm per tahun pada lahan dengan kemiringan lereng 3 – 15 %. Sedangkan Nugroho (1988) melaporkan bahwa produktivitas tanah Typic Paleudults di Kuamang Kuning menurun karena pengaruh perubahan struktur tanah, meningkatnya kepadatan tanah dan turunnya kadar P tersedia akibat erosi. Terjadinya pola perubahan penggunaan lahan tanaman pangan


(3)

transmigrasi ke lahan bera yang ditumbuhi alang - alang merupakan indikasi terjadinya degradasi lahan. Lahan usaha transmigran yang dibuka pada tahun 1980 dan 1983, ternyata pada tahun 1991 kurang lebih 82 % telah ditinggalkan dan ditumbuhi alang – alang. Hal ini terjadi antara lain karena para transmigran mempunyai kendala keterbatasan modal sehingga tidak mampu mempertahankan produktivitas lahannya. Hasil penelitian seperti ini juga diperoleh oleh Holden dan Simanjuntak (1993) dalam penelitiannya di WPP VII Rengat. Penelitian di lokasi yang sama oleh Lanya (1996) menyimpulkan bahwa pada lahan miring yang berbahan induk batuan sedimen telah terjadi degradasi morfologi tanah. Dalam kondisi demikian, semakin lama lahan diusahakan semakin berat tingkat degradasinya. Kehilangan tanah di lapisan atas dikuantifikasikan sebesar 2 cm/tahun. Tanpa pemberian input dan tanpa upaya perlakukan sesuai dengan kaidah konservasi, lahan demikian hanya akan dapat bertahan selama dua tahun. Dalam perhitungan juga dinyatakan bahwa dalam kondisi pengusahaan demikian, empat tahun merupakan batas kritis, sedangkan pengusahaan dalam jangka enam tahun atau lebih akan menyebabkan penurunan produktivitas tidak dapat balik, artinya lahan tersebut sudah tidak menguntungkan secara ekonomis dan tidak mencukupi kebutuhan pangan keluarga petani.

Menurut kriteria Dent (1993) lahan yang mengalami proses penurunan produksi seperti diatas disebut sebagai lahan yang terdegradasi akibat pengaruh manusia, yang fenomena degradasi tanahnya disebabkan oleh erosi air. Lai, Hal, dan Miller (1989) menyimpulkan bahwa degradasi lahan akibat kehilangan tanah lapisan atas berimplikasi terhadap kehilangan unsur hara, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas.

Sementara itu, pembinaan usaha tani transmigrasi yang dilakukan dari waktu ke waktu masih bersifat top down. Perlakuan yang diberikan juga masih menggunakan pendekatan rataan dalam arti pemberian perlakuan yang sama terhadap sumberdaya yang memiliki sifat yang berbeda-beda. Hal ini terjadi antara lain pada program pengelolaan lahan, pembelajaran, pelatihan dan pemberian input sarana produksi (saprodi) dan alat produksi pertanian (alsintan). Pelaksanaan pembinaan tersebut umumnya belum dilakukan berdasarkan sebuah Rencana Teknis Pembinaan (Rentekbin) yang berlaku spesifik untuk masing-masing lokasi. Padahal, sumberdaya lahan tersebut, disamping memiliki sifat yang berbeda-beda, pada umumnya juga merupakan lahan marjinal yang


(4)

sifat fisik dan kimia tanahnya kurang menguntungkan, sangat rentan terdegradasi jika pengelolaannya dilakukan dengan kurang hati-hati.

Belajar dari fakta-fakta tersebut diatas, menunjukkan bahwa pengelolaan lahan kering di daerah transmigran merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan dinamis. Kompleks karena melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (multi stake holder), seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Wilayah Propinsi Pemerintah kabupaten, masyarakat transmigran, dan masyarakat sekitar/penduduk asli. Melihat kenyatan tersebut maka dibutuhkan sebuah paradigma baru dalam pembinaan dan pengelolaan lahan kering transmigran. Pembinaan dan pengelolaan harus dilakukan secara holistik-integratif dengan melibatkan masyarakat transmigran sebagai stake holder utamanya. Hal ini sangat penting dalam pengelolaan lahan kering, terutama pada lahan-lahan dengan kemiringan 8-30% atau lebih. Pemberdayaan transmigran merupakan upaya menciptakan suasana yang memungkinkan potensi transmigran dapat berkembang dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki untuk mengelola sumberdaya lahan marginal secara berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan penelitian komprehensif mengenai permasalahan pembinaan dan pemberdayaan transmigrasi secara tersistem, yang akan dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan perubahan baik pada tataran kebijakan, strategi maupun implementasi.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah mengembangkan rancang bangun model sistem pengembangan transmigrasi di lahan kering yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyusun rekomendasi kebijakan sistem pengembangan transmigrasi lahan kering berkelanjutan. Tujuan penelitian secara spesifik adalah: 1. Menganalisis kondisi existing transmigrasi lahan kering secara ekologi,

ekonomi, sosial dan kelembagaan transmigrasi lahan kering.

2. Menyusun suatu model sistem pengbangan pemberdayaan transmigrasi lahan kering secara terpadu dengan melibatkan masyarakat transmigran. 3. Merumuskan kebijakan dan skenario strategis untuk pengembangan


(5)

1.3. Kerangka Pemikiran

Pembangunan transmigrasi, baik yang dilaksanakan sebelum maupun pada pasca era reformasi ini, belum seluruhnya terencana dan terlaksana secara sistematis dan komprehensif. Hal ini tercermin, antara lain dari pola rekruitmen calon transmigran yang belum berbasis kompetensi yang sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan. Demikian juga, perencanaan pembangunan pemukiman masih cukup banyak yang belum berbasis pada karakteristik spesifik sumberdaya alamnya. Perencanaan juga belum sepenuhnya memanfaatkan tingkat ilmu pengetahuan (knowledge) yang telah dicapai dalam hal teknologi pemanfaatan sumberdaya, dan diduga masih cukup banyak dilakukan oleh orang-orang yang kurang memperhatikan masalah etika dan moral (moral hazard).

Salah satu contoh praktek kurang menguntungkan ditinjau dari sisi kelestarian sumberdaya adalah fakta bahwa pembukaan lahan di pemukiman baru umumnya dilakukan dengan menggunakan alat berat. Sementara itu, operasional pembukaan lahan juga belum sepenuhnya memperhatikan rekomendasi Rencana Teknis Satuan Pemukiman (RTSP) yang disiapkan sebelum dilakukannya pembukaan lahan.

Hal-hal tersebut telah menghasilkan antara lain lahan yang miskin unsur hara karena lapisan atasnya tergusur dan terkelupas. Wilayah yang semula direncanakan merupakan jalur hijau juga tidak jarang ikut dibuka. Kondisi seperti ini, terutama pada lahan dengan bentuk wilayah bergelombang sampai berbukit, sangat berpotensi mengakibatkan terjadinya erosi dalam skala yang luas, sehingga daya tangkap air dan produktivitas lahan menurun dengan cepat.

Disamping berbagai kekurangan dari sisi sumberdaya fisik, tinjauan dari sisi sosial-ekonomi dan budaya di lokalita transmigrasi juga masih belum menunjukkan hal yang belum menggembirakan. Pembinaan ekonomi (economic), sosial budaya (social culture) dan lingkungan (enviroment) serta pelatihan yang diberikan sampai saat ini masih belum disusun berdasarkan Rentekbinuntuk setiap lokasi.

Selama ini, input pembinaan masih ditetapkan secara top down dengan satuan dan jenis input rerata. Pelatihan dan input untuk aksi rehabilitasi lahan dan air belum disadari sebagai sesuatu yang strategis. Keadaan ini mengkondisikan rendahnya keberdayaan transmigran secara finansial, karena usaha taninya tidak mampu menghasilkan produksi yang dikonsumsi dan dijual


(6)

untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Keadaan tersebut telah menyebabkan banyaknya Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) bermasalah terus meningkat. Berdasarkan daftar UPT Binaan, saat ini ada 162 UPT lahan kering yang tersebar di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Papua, Propinsi NTB dan NTT. Kurang lebih 60% lahan transmigran merupakan lahan tidur, artinya lahan yang tidak atau belum dikelola secara maksimal pada setiap musim tanam. Jumlah tenaga kerja yang cukup besar di lokasi transmigrasi belum sepenuhnya dapat berimplikasi pada produksi yang tinggi, karena daya nalar (sense making) yang rendah, kesiapan dibidang pengelolaan lahan yang relatif rendah, keterbatasan penguasaan teknologi tinggi, jiwa wiraswasta yang relatif rendah, permodalan yang sangat terbatas serta pengetahuan yang terbatas tentang peluang pasar komoditi unggulan.

Menghadapi berbagai keterbatasan tersebut, saatnya diperlukan kebijakan dan kearifan pemerintah dalam pemberdayaan transmigran. Menurut BPS (2000), luas lahan kering di Indonesia mencapai 138.646.215 ha. Sejumlah ± 43.605.194 orang penduduk Indonesia memiliki matapencaharian sebagai petani, dimana ± 30 juta orang merupakan petani lahan kering. Sebagian besar dari petani lahan kering tersebut hidup dibawah garis kemiskinan. Komunitas transmigran lahan kering digambarkan sebagai masyarakat yang relatif tertinggal dan kadangkala terpinggirkan.

Kentalnya kesan kemiskinan, terjadinya degradasi lahan kering, keterbelakangan usaha pertanian, dan ketidakberdayaan transmigran diduga akan tetap berlangsung selama usaha tani mereka tidak diarahkan untuk mencapai kemandirian, misalnya melalui upaya-upaya pengembangan agribisnis dan agroindustri. Tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa diperlukan perbaikan di segala lini untuk menunjang perkembangan perekonomian usaha tani lahan kering. Diperlukan pula investasi yang cukup besar untuk pemberdayaan transmigran. Langkah menuju hal tersebut dapat dilakukan, antara lain melalui peningkatan wadah kelembagaan (institution) masyarakat transmigran yang didahului dengan Rentekbin yang akurat, penyediaan teknologi, penyediaan input sarana produksi, perbaikan manajemen dan organisasi pembelajaran (learning organization).

Keadaan tersebut merupakan resultante akibat yang ditimbulkan oleh permasalahan terkait dengan a) keterbatasan sumberdaya manusia transmigran, b) keterbatasan sumberdaya lahan, c) kurangnya pembinaan dan pemberdayaan


(7)

sumberdaya, d) lemahnya institusi UPT, e) kurang maksimalnya peran stakeholders dalam pengembangan sistem pengelolaan lahan kering. Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang sistematik dan holistik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pendekatan masalah yang diuraikan diatas disajikan pada Gambar 1.

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang ingin ditelaah dan dicari pemecahannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana model sistem pemberdayaan transmigrasi lahan kering secara terpadu dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat setempat ?

2. Bagaimana rumusan kebijakan dan skenario strategi untuk pengembangan pemberdayaan transmigrasi lahan kering yang berkelanjutan ?

Pendekatan yang digunakan untuk melakukan penelaahan dan pencarian solusi penanganannya dilakukan dengan pendekatan sistem, dengan didasarkan pada berbagai hasil analisis terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan transmigrasi lahan kering dengan menggunakan contoh kasus di unit permukiman transmigrasi lahan kering, sebagaimana disajikan dalam kerangka pikir pada Gambar 2.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sistem, yang berarti suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Melalui pendekatan ini, diharapkan manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan sistem tersebut (Marimin, 2004).


(8)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pendekatan Masalah

Rekruitmen Catrans • Blm berdasarkan

kompetensi • Rentekrah minim

Komunitas • Petani gurem • Buruh tani • Nelayan • Pengangguran • Perambah hutan • Peladang berpindah • Masy. Terasing • Masy. kena proyek pem.

Kompetensi rendah • Tenaga kerja • Pendidikan rendah • Keterampilan rendah • Motivasi rendah.

Finansial rendah • Pendapatan rendah • Modal rendah • Kesejahteraan rendah • Tingkat kemiskinan tinggi

Pelatihan Catrans (minim) Catrans Pertumbuhan Penduduk Migrasi RTSP/ RTUPT S. Fisik S. Kimia S. Biologi Lahan Marjinal L C eks padang alang2

eks hutan konversi lainnya

Alat berat • Buldozer • Grader • traktor RTSP / RTUPT • Kurang diperhatikan • Tidak memperhatikan

aspek fisik/kesuburan • Jalur hijau ikut di buka

Curah hujan tinggi

Lapisan atas tergusur bahan organik / hilang

LP LU

Penempatan I

II


(9)

Sifat Kimia

• Kandungan P rendah (fiksasi P tinggi • Reaksi tanah masam

• Unsur hara miskin

Sifat Biologi

• Bahan organik rendah (……%)

Degradasi lahan / air

III

Pembinaan Marjinal • waktu

• varietas • jumlah • kualitas • waktu • kualitas • jumlah • waktu • kualitas • jumlah

bibit / benih Obat-obatan pertanian pupuk / kaptan Musim tanam Kemampuan mengolah lahan

Input rehabilitas lahan air tidak ada Tanpa

Rentek Bin / Top down Kompetensi Organizer/ CD Worker Semua Organizer/ CD Worker Keberadaan Organizer/ CD Worker Kompetensi / Keterampilan Trans.

Pembelajaran / Pelatihan • Pemerintahan • Usahatani • Teknologi pedesaan • Kelembagaan • Manajemen

• Tanpa Ka. UPT • Kades / Sekdes • Kurang arif / bijak

• Usahatani • Motivasi • Teknologi • Manajemen Sosial budaya Tanpa Rentek Bin / Top down

Sifat Fisik

• Tepografi dominan ( 8-30 % ) • Erosi 1,4-2,8 cm/tahun • Tekstur

• Pemadatan

• Daya tangkap / serap air rendah • Kedalaman lapisan olah

B


(10)

Produktivitas LP dan LU rendah

Kompetensi transmigran ( rendah ) • Pengetahuan / keterampilan pengelolaan LK • Penguasaan teknologi

• Jiwa wirausaha rendah • Pengetahuan peluang pasar

• Relatif tertinggal / kadang tersingkirkan • Tak berdaya

Finansial • Modal terbatas

• Pendapatan Rp. 1.851.953 s/d Rp. 3.635.413 /kk/thn (1988) • Pengeluaran Rp. 3.757.000 / kk/thn

(1988)

• Pendapatan Rp. 5.115.000/thn ( 2 046 k b ) Produktivitas tanaman

pangan rendah Kw/Ha • Padi gogo 15,03 (gabah

kering giling)

• Jagung 18,53 (pipilan) • K.kedelai 6,98 (biji

kering)

• K. tanah 8,47 (biji kering)

• K. hijau 6,53 (biji

UPT Bermasalah • 56 UPT (1992) • 230 UPT (162 UPT-LK 60

% lahan tidur) (2004) • 122.394 ha bergelombang

– berbukit (kemiringan > 15 % (1999)

• 5.093 ha lahan marginal (2003)

Pendapatan trans Terus menurun

Degradasi lahan dan air berkelanjutan

Dari Usaha Tani Dari luar Usaha Tani

IV

B

Regulasi Peningkatan Keterampilan Kehidupan Transmigran

Peningkatan Kualitas Organiser

Perbaikan Penyiapan Lahan

Perbaikan Input Usaha Tani, Sosial,

Budaya


(11)

Gambar 2. Metaforma Sistem Pemberdayaan Transmigran/si Berkelanjutan pada Lahan Kering sebagai Sebuah Closed Loop Control System (Siller, T. 2001, dimodifikasi oleh Ginting B.D, 2007)

Pengelo laan Tanah

Pengelo laan Tanaman Kebi j akan

Pemberdayaan

Capasity Bui ldi ng

Aparat UPT/ Desa

Transmigran/ Kel ompok/ Organi ser

Kompetensi Keterampilan

Learni ng Organi zati on Knowledge Creation

Institutional Development Konservasi LK Kesesuai an Lahan Pok Produksi Lahan Pok Konserv asi, Pok Tani Pok Koper asi Komoditi Unggulan

VISI KEHIDUPAN TRANSMIGRAN/ SI

• UU No. 15 Th. 1997 Bab VIII, Pasal 32, 33 tentang Pembi naan Masyarakat Transmi grasi dan Pembi naan Li ngkungan Permuki man Transmigrasi.

• PP No. 2 Th. 1999 Bab VIII, Pasal 51, tentang Pembi naan Masyarakat Transmigrasi Umum. • UU No. 32 Th… tentang Otonomi Daer ah

Permodelan Sistem Dinamis, Anal isis Prospektif Strategi Sistem Pemberdayaan Transmigran/ si LK Berkelanj utan Pemberdyaan

Transmigran/ si Berkelanj utan pada LK Ekologi SOSBUD Ekonomi

(+) Kual i tas Kehidupan

Transmigran/ si Meni ngkat Secara

Berkelanj utan

Kondisi Nyata Saat ini Anal isis Mendal am Data dan

Informasi Perkembangan Transmigran/ si (-)

Gab


(12)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1. penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Perencanaan Pemberdayaan Transmigrasi Lahan Kering.

2. penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penyusunan rencana detail dan implementasi pemberdayaan transmigrasi lahan kering pada umumnya dan sebagai percontohan desain dan model sistem pemberdayaan transmigrasi lahan kering.

3. penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengembangan sistem pengelolaan lahan kering sehingga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penelitian selanjutnya.

1.5. Novelty (Kebaharuan) Penelitian

Penelitian-penelitian tentang degradasi lahan, pemberdayaan masyarakat, sosial budaya, ekonomi dan sumberdaya manusia secara parsial telah banyak dilaksanakan. Diantaranya adalah penelitian Pengaruh Lamanya Tahun Pembukaan Hutan terhadap Beberapa Sifat Tanah Podzolik Merah Kuning Sumatera Selatan dan kaitannya dengan proses degradasi tanah (Hasan, 1987), Lahan Kering untuk Pertanian, Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan (Hidayat dan Anny, 2002), An Agronomic Analysis of Transmigration Settlement in Siberida, Riau Province, Sumatera (Holden dan Simanjuntak, 1993), Evaluasi Kualitas dan Produktivitas Lahan Kering Terdegradasi di Daerah Transmigrasi WPP VII Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau (Lanya, 1996) dan Studi Beberapa Sifat Lahan untuk Klasifikasi Kesesuaian Lahan pada Tingkat Detail di Daerah Kuamang Kuning (Nugroho, 1988). Namun penelitian secara komprehensif untuk memecahkan berbagai masalah transmigrasi lahan kering melalui pendekatan model pemberdayaan transmigrasi bedasarkan pada tinjauan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan dengan analisis sistem dimanik belum pernah dilakukan.


(13)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan (empowerment) berasal dari bahasa Inggris dengan kata dasar to empower. Menurut Merriam-Webster Online Dictionary (2006) to empower diartikan sebagai to promote the self-actualization or influence of (meningkatkan aktualisasi diri atau pengaruh terhadap sesuatu). Sedangkan Narayan (2002) mengartikan pemberdayaan sebagai peningkatan modal dan kemampuan dari rakyat yang lemah untuk berpartisipasi dalam bernegosiasi dengan mempengaruhi mengawasi dan mengendalikan tanggung jawab kelembagaan yang mempengaruhi hidupnya.

Pemberdayaan merupakan suatu proses dimana pekerja diberi peningkatan sejumlah otonomi dan keleluasaan, dalam hubungannya dengan pekerjaan mereka (Greenberg dan Baron, 1997). Menurut Wibowo (2004), pemberdayaan adalah suatu proses untuk menjadikan orang lebih berdaya atau lebih berkemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dengan cara memberikan kepercayaan dan kewenangan sehingga menumbuhkan rasa tanggung jawab. Sedangkan pemberdayaan transmigran (Depnakertrans, 2004), diartikan sebagai suatu proses untuk menjadikan transmigran lebih berdaya atau lebih berkemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dengan cara memberikan kepercayaan dan kewenangan sehingga menumbuhkan rasa tanggung jawabnya.

Menurut Prijono dan Pranarka (1996), pemberdayaan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar-menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan.

Menurut Karsidi (2002) pemberdayaan masyarakat (community empowerment) adalah upaya untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar mampu menggali potensi dirinya dan berani bertindak memperbaiki kualitas hidupnya, antara lain melalui pendidikan untuk penyadaran dan pemapanan diri mereka.

Pemberdayaan/pengembangan masyarakat petani berarti menciptakan kondisi hingga petani (yang lemah) dapat menyumbangkan kemampuannya


(14)

secara maksimal untuk tujuannya. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu (Wibowo 2002). Djohani (1996) juga mengartikan pemberdayaan masyarakat sebagai pengembangan kemampuan masyarakat agar secara berdiri sendiri memiliki keterampilan untuk mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Merujuk pada penjelasan tersebut, maka pemberdayaan merupakan suatu pendekatan yang berorientasi pada manusia, dengan mengedepankan azas partisipasi (paticipacy), musyawarah dan keadilan (equity), yang dalam prosesnya memberikan suatu kemudahan (akses) sehingga pada akhirnya dicapai kemajuan dan kemandirian

Setyawati dan Rejeki (2002) dalam Soetrisno (1995) menyatakan bahwa pemberdayaan memiliki pengertian pembenahan kesempatan pada masyarakat untuk merencanakan pembangunan yang dipilih sendiri. Pemberdayaan juga berarti memberi kemampuan untuk mengontrol masa depan sendiri, berarti juga meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menguasai lingkungan yang kemudian disertai dengan meningkatkan tingkat hidup mereka sebagai akibat dari penguasaan. Sedangkan Marjuki (2002), mengemukakan bahwa memberdayakan masyarakat bukan sekedar “memobilisasi masyarakat untuk mengambil bagian” melainkan untuk “mengejar jaringan kemitraan”. Ia mengemukakan lebih lanjut, fokus pemberdayaan masyarakat berorientasi kepada keluarga, artinya pemberdayaan dimaksud berisikan: 1) membangun kapasitas internal keluarga (pengetahuan, keterampilan, informasi); 2) merubah kepercayaan dan perilaku yang menghambat kemajuan seperti perkawinan usia dini, pelanggaran disiplin dan kriminalitas; dan 3) memperkuat nilai-nilai tradisionil yang kondusif untuk pembangunan (gotong royong, rasa hormat) dan penyaringan nilai-nilai baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Adimihardja (2002 dalam Hikmat, 2001), yang mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi masyarakat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga diri dan terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Selanjutnya, Adimihardja (2002 dalam Hikmat, 2001) juga mengutip pendapat Simon (1990) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment sebagai berikut “Pemberdayaan adalah suatu aktivitas refleksif”, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri atau self determination, sementara proses lainnya hanya memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat


(15)

prosedural yang menyebabkan masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Dengan kata lain, pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik.

Pemberdayaan merupakan proses belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif artinya mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungannya, sedangkan reproduktif berarti mampu mewariskan nilai-nilai kearifan. Setiap generasi yang berdaya harus mampu mewariskan nilai kearifan kepada generasi berikutnya, utamanya nilai-nilai pembebasan diri dari keterbelakangan dan kemiskinan serta kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan.

Menurut Vitalaya dalam Pambudy dan Adhi (2000), pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui pengembangan kelembagaan pembangunan dan pengembangan sistem Tiga-P (Pendampingan, penyuluhan, dan pelayanan). Pendampingan berfungsi untuk menggerakkan partisipasi total masyarakat, penyuluhan berfungsi merespon dan memantau perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat,dan pelayanan berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non-fisik yang diperlukan masyarakat.

Cook dan Macaulay (1996), menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan alat yang penting untuk memperbaiki kinerja bisnis melalui penyebaran pembuatan keputusan dan tanggung jawab, sehingga akan mendorong keterlibatan para karyawan. Keuntungan utama adalah naiknya energi yang dihasilkan dan semakin besarnya tanggung jawab yang dimiliki yang disebabkan oleh rasa ikut memiliki akan keputusan tersebut dan mempengaruhi kinerja. Crescent (2002) menegaskan kembali bahwa pemberdayaan sesungguhnya merupakan upaya mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya melalui usaha-usaha agribisnis yang profitable. Upaya pemberdayaan yang lebih terarah dapat dilaksanakan secara intensif dengan mengikutsertakan langsung masyarakat atau kelompok sasaran dan pemerintah sehingga lebih efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan kelompok sasaran. Carlson (1996), dalam buku Perfect Empowerment, menggambarkan empowerment sebagai: membebaskan seseorang dari kendali kaku, dan memberikan orang tersebut kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-idenya, keputusan dan tindakannya. Pemberdayaan merupakan perubahan yang terjadi pada falsafah manajemen yang dapat membantu menciptakan suatu


(16)

lingkungan dimana setiap individu dapat menggunakan kemampuan dan energinya untuk meraih tujuan organisasi. Ini merupakan metoda untuk mendorong terjadinya inisiatif dan respon, sehingga semua permasalahan yang dihadapi dapat dipecahkan secepatnya dan sefleksibel mungkin di titik mana masalah tersebut ditemukan. Empowerment murni memerlukan waktu yang tidak sedikit, tapi dirasakan berdesir di seluruh organisasi dan menyebabkan perubahan di seluruh bagian organisasi. Para pakar menyatakan bahwa diperlukan waktu 2 sampai 5 tahun untuk mencapai perubahan secara fundamental. Lazimnya, 3 bulan pertama digunakan untuk menyusun kelompok-kelompok dan melakukan temu kerja dengan para manajer untuk menciptakan kesadaran akan pemberdayaan. Tiga bulan berikutnya melatih karyawan di garis depan yakni memprakarsai kelompok-kelompok proyek fungsi silang dan menyusun program manajemen kinerja pencatatan. Selanjutnya pada 3 bulan ketiga, membentuk tim–tim menejemen mandiri di beberapa bagian yang ditekuni. Pemberdayaan dimulai dari pimpinan tertinggi, sehingga seorang pemimpin yang berpemberdayaan mengacu kepada visi, realita, orang dan keberanian yang dikenal sebagai berlian kepemimpinan (Cook dan Macaulay, 1996). Organisasi yang berpemberdayaan tersebut haruslah didukung oleh suatu learning organization yang berfikir sistematis.

2.2. Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Marjuki (2002), strategi pemberdayaan masyarakat dan keluarga serta membangun kemitraan didasarkan pada : 1) analisis yang jelas tentang situasi masyarakat yang sangat heterogen yang akan diberdayakan; 2) pemilihan kelompok yang seksama dengan tidak memilih mereka yang telah diberdayakan pada kelompok yang terpilih itu bila kemitraan dikembangkan; 3) mekanisme yang dibutuhkan untuk menjamin keterlibatan anggota masyarakat yang tersisih/marjinal, misalnya kuota keanggotaan wanita dalam kelembagaan pembangunan setempat; 4) unit-unit organisasi lokal yang ada perlu disesuaikan untuk mewadahi keikutsertaan mereka dalam proses menciptakan struktur baru; 5) kegiatan pembangunan yang bersifat multidimensional yang mengakibatkan adanya interdepedensi antar aktor kunci yang menuntut adanya kemitraan yang kuat dan harus didasari saling percaya dan saling menguatkan. Pola kemitraan hanya bisa diraih dengan berdayanya elemen dasar individu keluarga dan masyarakat.


(17)

Sejalan dengan hal tersebut diatas, Karsidi (2002) memperjelas secara lebih tegas pendekatan strategis dalam pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:

a) Proses pembelajaran rakyat harus dimulai dengan tindakan mikro, namun memiliki konteks makro dan global. Dialog mikro-makro harus terus menerus menjadi bagian dari pembelajaran masyarakat agar berbagai pengelolaan mikro dapat menjadi policy input dan policy reform sehingga memiliki dampak yang lebih luas.

b) Pengembangan sektor ekonomi strategis dilakukan sesuai dengan kondisi lokal. Yang dimaksud produk strategis (unggulan) di sini tidak hanya produksi yang ada di masyarakat seperti laku di pasaran, tetapi juga unggul dalam hal bahan baku dan teknis produksinya serta memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi.

c) Mengganti pendekatan kewilayahan administratif dengan pendekatan kawasan, karena pemberdayaan masyarakat tidak mungkin didasarkan atas kewilayahan administratif. Pendekatan kewilayahan administratif adalah pendekatan birokrasi/kekuasaan sedangkan pendekatan kawasan berarti lebih menekankan pada kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan tertentu. Pendekatan ini akan memungkinkan terjadinya pemberdayaan masyarakat dalam skala besar disamping keragaman model yang didasarkan atas keunggulan kawasan satu terhadap yang lainnya. Lebih lanjut akan dimungkinkan terjadinya kerja sama antar kawasan yang lebih produktif.

d) Membangun kembali kelembagaan masyarakat. Peran serta masyarakat menjadi keniscayaan bagi semua upaya pemberdayaan masyarakat, jika tidak dibarengi dengan munculnya kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang benar-benar diciptakan oleh masyarakat itu sendiri.

e) Mengembangkan penguasaan pengetahuan teknis. Perlu dipahami bersama bahwa desakan modernisasi telah menggusur ilmu pengetahuan dan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan pada input luar serta hilangnya kepercayaan diri yang sangat serius. Penyuluhan harus mampu mengembalikan kepercayaan diri kelompok sasaran penyuluhan serta dapat menggerakkan proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan mereka yang sangat penting untuk dikembangkan.


(18)

Temuan-temuan lokal harus mendapatkan pengakuan sejajar dengan inovasi baru dari luar.

f) Pengembangan kesadaran, perlunya diketahui aspek politik dan ekonomi, sehingga bukan hanya yang berorientasi bantuan teknis. Penyuluhan yang berorientasi pada sasaran merupakan pendekatan yang sangat penting sebagai upaya membangun kesadaran masyarakat.

g) Membangun jaringan ekonomi strategis, yang berfungsi mengembangkan kerja sama dalam mengatasi keterbatasan yang dimiliki kelompok ekonomi satu dengan lainnya baik dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. Disamping itu, jaringan strategis juga berfungsi sebagai pembelajaran sasaran penyuluhan.

h) Kontrol kebijakan pemerintah agar benar-benar mendukung upaya pemberdayaan masyarakat. Sebagai contoh adalah keikutsertaan organisasi petani dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan pertanian. i) Menerapkan model pembangunan berkelanjutan, agar setiap peristiwa

pembangunan mampu secara terus menerus mengkonservasi daya dukung lingkungan sehingga daya dukung lingkungan dapat dipertahankan untuk mendukung pembangunan bagi generasi mendatang.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, sasaran strategi pemberdayaan masyarakat bukanlah sekedar peningkatan pendapatan semata, melainkan juga merupakan upaya membangun basis ekonomi yang bertumpu pada usaha tani, kebutuhan masyarakat dan sumber daya lokal yang handal. Disamping itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat harus pula diarahkan pada upaya-upaya untuk menciptakan proses pembangunan ekonomi yang lebih demokratis dan berkeadilan serta menjamin terciptanya kemandirian dan berkelanjutan.

Dalam kerangka tersebut, keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari meningkatnya pendapatan masyarakat melainkan juga dari aspek-aspek penting dan mendasar lainnya. Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pemberdayaan masyarakat antara lain:

1) Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang dikembangkan dan berfungsi dalam mendinamiskan kegiatan produktif masyarakat.

2) Pengembangan jaringan strategis antar kelompok/organisasi masyarakat yang terbentuk dan berperan dalam pengembangan masyarakat.

3) Kemampuan kelompok masyarakat dalam mengakses sumber-sumber luar yang dapat mendukung pengembangan mereka, baik dalam bidang


(19)

informasi pasar, permodalan, serta teknologi manajemen termasuk didalamnya kemampuan lobi ekonomi.

4) Jaminan atas hak-hak masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal. 5) Pengembangan kemampuan teknis dan manajerial kelompok masyarakat

sehingga berbagai masalah teknis dan organisasi dapat dipecahkan dengan baik.

6) Terpenuhinya kebutuhan hidup dan meningkatnya kesejahteraan hidup mereka serta kemampuan menjamin kelestarian daya dukung lingkungan bagi pembangunan.

2.3. Perkembangan Transmigrasi Lahan Kering

Perubahan politik dan lingkungan strategis antar era pembangunan telah mendorong upaya-upaya intelektual, pakar dan birokrat untuk membangun kesamaan persepsi mengenai transmigrasi, yang dilakukan dengan melibatkan stakeholder, LSM dan lainnya. Namun demikian, sejauh ini hasilnya belum dapat menjawab strategi lingkungan secara komprehensif. Strategi dan rencana fisik pemukiman telah relatif baik, namun rencana konservasi tanah dan air belum disadari sebagai sesuatu yang perlu. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan lokasi dengan lahan marjinal, bertopografi dengan lereng 8-30%. Di hamparan LP dan LU di lokasi transmigrasi lahan kering masih ditemui lahan terdegradasi. Hal ini diduga disebabkan karena kurang cermatnya penyusunan RTSP, disamping teknik–teknik pembukaan lahan yang kurang memperhatikan aspek fisik dan kesuburan lahan. Gambaran tersebut merupakan tantangan berat untuk usaha tani dalam memenuhi kebutuhan hidup transmigran.

Sementara itu, perkembangan pembinaan yang diberikan oleh pemerintah dari waktu ke waktu belum ditetapkan berdasarkan Rentekbin. Upaya kearah perbaikan aksi pembinaan sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1992, namun hal tersebut juga baru sebatas konsep. Kebanyakan birokrat pelaksana masih berpikir paket–paket pembinaan yang cukup diberikan dengan norma standar tanpa memperhatikan karakteristik lahan (land characteristics) dan kompetensi petugas UPT dan transmigran.

Kondisi tersebut telah menyebabkan perkembangan tingkat keberhasilan ternyata kurang menggembirakan. Pada tahun 1992, dicanangkan penanganan 56 UPT bermasalah oleh Siswono selaku Meneteri Transmigrasi pada waktu itu, yang Rentekbinnya disusun oleh LSM dan Perguruan Tinggi. Selanjutnya,


(20)

diberikan program pendampingan dan pemberian input stimulan terutama saprodi dan pembentukan kelembagaan. Ternyata, dalam kurun waktu 2–3 tahun, UPT-UPT tersebut dapat menjadi lebih baik, tercermin dari pendapatan per KK per tahun yang telah mencapai atau melampui 3,000 kg setara beras (Kep. Men. Trans Nomor : 269/MEN/1984).

Pada tahun 1999, Pusdatin Transmigrasi melaporkan bahwa pada saat itu terdapat seluas 122,394 ha lahan bertopografi dengan kemiringan lebih besar dari 15%. Lahan ini diduga sangat berpotensi terdegradasi terutama oleh aliran permukaan dan erosi tanah. Lembaga yang sama pada tahun 2003 menginformasikan bahwa berdasarkan hasil pengolahan data di 115 UPT, terdapat sejumlah 3,261 KK (11.7%) transmigran yang melakukan mutasi keluar UPT, terdapat 20 kasus masalah tanah yang belum terselesaikan, adanya lahan marjinal seluas 5,093 ha dan adanya masalah status lahan sebesar 1,690 ha. Disamping itu, jumlah, keberadaan dan kompetensi perangkat pemerintah desa maupun sarananya tidak memadai, sehingga pelayanan kepada transmigran rendah. Perkembangan usaha tani juga rendah, tercermin dari rerata produktivitas tanaman padi yang hanya 15.03 kw/ha, jagung 18.53 kw/ha, kedelai 6.98 kw/ha, kacang tanah 8.47 kw/ha, kacang hijau 6.53 kw/ha, ubi kayu 66.27 kw/ha, ubi jalar 36.1 kw/ha. Pengeluaran rataan transmigran adalah sebesar Rp. 3,757,000,-/KK/tahun, padahal hasil survei tahun 1998, dilaporkan pendapatan transmigran berkisar Rp. 1,851,953,- sampai Rp. 3,635,413,-/KK/tahun.

Selanjutnya pada pertengahan tahun 2004, Pusdatin Transmigrasi melaporkan bahwa dari sejumlah 431 UPT yang dibina terdapat 230 UPT (53%) yang diduga bermasalah, diantaranya sebanyak 139 UPT merupakan lokasi Transmigrasi Umum Lahan Kering (TULK). Walaupun usia pembinaannya telah lebih dari 5 tahun (melampaui usia pembinaan normatif), ternyata UPT-UPT tersebut belum mandiri, sehingga dapat dikatagorikan bermasalah berdasarkan kriteria dari Kepmennakertrans No. 6/MEN/1999. Berdasarkan Kepmenakertrans tersebut, rataan normatif usia pembinaan UPT adalah selama 5 tahun. Rendahnya kinerja pada era otonomi ini, diduga merupakan akibat dari kualitas pembina in-situ yang sangat memprihatinkan. Cukup banyak UPT yang pembinaannya diserahkan kepada kepala desa dan sekretaris desa dengan segala keterbatasannya.


(21)

2.4. Lahan Kering Sebagai Basis Usaha Tani Transmigrasi a. Batasan transmigrasi

Dalam penelitian ini, ada tiga terminologi transmigrasi yang digunakan, yakni :

1) Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi.

2) Transmigran adalah warga negara Indonesia yang berpindah secara sukarela ke kawasan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi melalui pengaturan dan pelayanan pemerintah.

3) Transmigrasi Lahan Kering adalah transmigrasi, dimana transmigran bermukim di kawasan transmigrasi atau permukiman transmigrasi di lahan kering dengan pola usaha pokok tanaman pangan, PIR-Trans, HTI (dalam penelitian ini difokuskan pada tanaman pangan).

b. Tahap - tahap Pembinaan Transmigrasi

Menurut pasal 49 PP No. 2/1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, disebutkan bahwa ada tiga tahap pembinaan dalam transmigrasi yaitu : 1) Tahap Penyesuaian, yang ditujukan untuk adaptasi dengan lingkungan;

tahap ini berlangsung selama 1.5 tahun

2) Tahap Pemantapan, yang ditujukan untuk peningkatan kemampuan dan pemenuhan kebutuhan hidup transmigran; tahap ini berlangsung selama 1.5 sampai dari 2 tahun.

3) Tahap Pengembangan, yaitu tahapan untuk pengembangan usaha produktif secara mandiri; tahap ini berlangsung kurang lebih selama 2 tahun.

c. Karakteristik Lahan Kering

Lahan Kering menurut Rukmana (1995) adalah sebidang lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan hanya memanfaatkan air secara terbatas dan biasanya bergantung pada hujan. Sementara itu, Hidayat et al. (2000), mengatakan bahwa lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Abdurachman (1997) menyatakan bahwa lahan kering adalah lahan yang digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya bersumber dari air hujan.


(22)

Ciri-ciri lahan kering menurut Rukmana (1995) dan Departemen Pertanian (1998), adalah :

1) Peka terhadap erosi, terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak tertutup tumbuh-tumbuhan.

2) Tingkat kesuburan rendah, baik kandungan unsur hara, bahan organik maupun reaksi tanah serta kapasitas tukar kationnya.

3) Sifat fisik tanahnya kurang baik, tercermin dari struktur yang padat, lapisan tanah atas dan lapisan tanah bawah memiliki kelembaban yang rendah, sirkulasi udara agak lambat dan kemampuan menyimpan air rendah.

Freebairn (2004b) menyatakan bahwa penggunaan jerami sebagai mulsa dapat digunakan untuk menurunkan aliran permukaan dan meningkatkan kandungan karbon organik tanah. Zheng et al. (2004) dan Terra at al. (2006) mendukung pendapat tersebut dan menyatakan bahwa peningkatan karbon organik tanah pada lahan yang berada di bawah program konservasi cenderung menurunkan koefisien erodibilitas tanah dan aliran permukaan dibandingkan dengan program pengeloaan konvesional.

Shaver et al. (2002), Baker et al. (2004) dan Lado et al. (2004) menyatakan bahwa pemberian bahan organik dan penggunaan tanaman penutup tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Peningkatan jumlah porositas makro tanah melalui pemberian bahan organik dapat menurunkan kekuatan tanah (soil strength) dan bobot isi tanah. Sebaliknya pengaruh pemberian bahan organik dan penggunaan tanaman penutup tanah dapat meningkatkan kapasitas menahan air tanah, kandungan bahan organik, dan stabilitas agregat tanah.

Menurut Kelly dan Mays (2005) kandungan karbon organik tanah meningkat sebesar 73% pada lahan yang mendapatkan program konservasi melalui pemberian bahan organik tanah dibandingkan dengan lahan tanpa program konservasi. Whalen et al. (2003), Allmaras et al. (2004), Wiliams dan Weil (2004), Wilts et al. (2004), dan Canqui et al. (2006) berpendapat bahwa penggunaan tanaman penutup tanah, pemberian bahan organik, dan rotasi tanaman dapat meningkatkan kandungan karbon organik tanah pada daerah perakaran dan memperbaiki struktur tanah sehingga kandungan air tanah dapat dipertahankan untuk mecukupi kebutuhan tanaman.


(23)

Perbaikan sifat fisik tanah dapat dilakukan melalui perbaikan pola tanam, pemberian bahan organik, pemupukan, dan pengolahan tanah (Gicheru et al., 2004; Humberto et al., 2005). Pendapat tersebut mendukung Grant et al. (2001), Kladivko (2001), Takken et al. (2001), dan Imhoff et al. (2002) yang menyatakan bahwa rotasi tanaman dengan menggunakan jenis tanaman kacang-kacangan (legume) dapat meningkatkan nisbah C/N tanah pada lapisan permukaan, menurunkan laju erosi tanah dan aliran permukaan, memperbaiki kekuatan tarik tanah (tensile strength), dan mengurangi pemadatan tanah.

Pengaruh pengelolaan lahan dalam jangka panjang terhadap perubahan sifat fisik dan kimia tanah telah dipelajari oleh Hooker et al. (2005), Kubota et al. (2005), Tomer et al. (2006), dan Manna et al. (2006) yang menyatakan bahwa pengolahan tanah, pemberian bahan organik, dan rotasi tanaman dapat menekan kehilangan lapisan olah tanah oleh erosi, meningkatkan ketersediaan unsur hara nitrogen dan fosfor, mengurangi pemadatan tanah bertekstur liat ,dan menurunkan daya hantar air tanah bertekstur pasir.

Arsyad (2000) menyatakan bahwa pola tanam tumpang gilir dan pemberian mulsa pada areal budidaya palawija dapat menurunkan faktor tanaman (C) dan faktor pengelolaan (P) sehingaa erosi tanah dapat dikendalikan. Lebih lanjut Wu dan Tiessen (2002), Grandy et al. (2002), Huang et al. (2003), Chapplot dan Bissonnais (2003), dan Turley et al. (2003) menyatakan bahwa degradasi struktur tanah pada lahan yang dikelola secara intensif dapat diperbaiki melalui praktek pengelolaan lahan dengan menerapkan rotasi tanaman, pemberian kompos, dan pupuk kandang.

Perubahan perilaku fisik tanah sebagai akibat perbedaan pola tanam campuran antara leguminoceae dan rumput-rumputan dengan pola tanam jagung dan kedelai secara monokultur telah dipelajari oleh Seobi et al. (2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bobot isi tanah (bulk density) pada perlakuan pola tanam campuran leguminoceae dan rumput-rumputan turun sebesar 2,3% dibanding dengan pola tanam jagung dan kedelai secara monokultur. Zotarelli et al. (2005) menyatakan bahwa rotasi tanaman antara gandum dan kedelai dapat memperbaiki stabilitas agregat tanah dan ruang pori tanah.

Lahan kering dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek. Pengelompokan antara lain, dapat berdasarkan pada : (a) penggunaannya


(24)

seperti untuk pertanian; (b) elevasinya; (c) topografinya; (d) iklimnya; dan berdasarkan kemasaman tanahnya.

Berdasarkan topografinya, lahan kering di Indonesia dibedakan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu : a) lahan datar berombak dengan lereng 3–8%; kelompok ini menempati areal seluas 31.478.000 ha; b) lahan berombak-bergelombang dengan lereng 8 – 15 %, menempati areal seluas 24.290.000 ha; c) lahan berbukit dengan lereng 15 – 30 %, menempati areal seluas 36.871.000 ha; dan d) lahan bergunung dengan lereng >30 %, meliputi areal seluas 51.306.000 ha (Hidayat dan Anny, 2002, dimodifikasi).

d. Agribisnis Tanaman Pangan di Lahan Kering

Sistem agribisnis mengandung pengertian sebagai rangkaian kegiatan beberapa sub-sistem yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Sub–sub-sistem tersebut adalah : 1) sub-sistem faktor input pertanian (input factor sub-sistem); 2) sub-sistem produksi pertanian (production sub-sistem); 3) sub-sistem pengolahan hasil pertanian (processing sub-sistem); 4) sub-sistem pemasaran, baik untuk faktor produksi, hasil produksi maupun hasil olahannya (marketing sub-system); dan 5) sub-sistem kelembagaan penunjang (supporting institution sub-system ) (Krisnamurthi dan Saragih, 1992).

Dalam terminologi umum, termasuk yang digunakan dalam birokrasi pemerintah, input faktor sub-sistem sering disebut sebagai kegiatan- kegiatan yang berhubungan dengan sarana produksi pertanian (saprotan). Production sub-system disebut juga sebagai budidaya pertanian atau karena umumnya dilaksanakan di tingkat unit usaha pertanian juga disebut sebagai kegiatan usaha tani. Bahkan pengertian “pertanian” yang selama ini digunakan juga lebih banyak mengacu pada kegiatan–kegiatan dalam production sub-system ini. Production sub-system sering disebut sebagai kegiatan agroindustri hasil pertanian, sedang sub–sistem yang terakhir, supporting institution sub-system sering pula disebut sebagai sub-sistem jasa (services sub-system). Dengan demikian, dalam pengertian yang umum digunakan saat ini, sistem agribisnis sebenarnya terdiri dari 5 kegiatan yaitu: 1) kegiatan pertanian (budidaya) sebagai kegiatan utama, dan didukung oleh 2) pengadaan sarana produksi pertanian; 3) agroindustri pengolahan; 4) pemasaran; 5) jasa – jasa penunjang.


(25)

Jika dilakukan pengelompokan, kegiatan pertanian (budidaya) akan dimasukkan sebagai usaha tani (on-farm activities) sedangkan pengadaan sarana produksi, agroindustri pengolahan, pemasaran dan jasa–jasa penunjang dikelompokkan dalam kegiatan luar usaha tani (off-farm activities). 1) Status dan Peranan Agribisnis Kecil

Pengertian agribisnis yang telah dijelaskan pada awal tulisan ini mengandung dua dimensi penting. Pertama, agribisnis mengandung pengertian fungsional, yaitu sebagai rangkaian fungsi-fungsi kegiatan untuk memenuhi kegiatan manusia. Kedua, sistem agribisnis mengandung pengertian struktural, yaitu sebagai kumpulan unit usaha yang melaksanakan fungsi dari masing-masing sub-sistem. Unit usaha tersebut dapat berbentuk usaha seorang petani dengan usaha taninya yang tidak berbadan usaha hingga perusahaan besar milik swasta atau negara dengan bentuk PT, CV, Perum, koperasi atau bentuk-bentuk lain. Unit usaha tersebut dapat juga memiliki sifat homogen atau heterogen, berteknologi tinggi atau tradisional, komersial atau subsisten, padat modal atau padat tenaga kerja, dan berbagai keragaman sifat lainnya. Dengan demikian, pengertian sistem agribisnis tidak hanya mencakup kegiatan “bisnis pertanian“ yang “besar” dan dengan modal yang kuat tetapi termasuk juga kegiatan-kegiatan skala kecil dan lemah. Unit kegiatan skala kecil tersebut, atau yang dikenal dengan usaha pertanian rakyat, telah memberikan sumbangan yang cukup besar baik dilihat dari jumlah unit kegiatan, luas lahan, produksi yang dihasilkan, keragaman jenis kegiatan, kesempatan kerja yang diciptakan, maupun sumbangannya terhadap pendapatan daerah dan nasional. Agribisnis kecil merupakan ciri bentuk agribisnis di Indonesia pada saat sekarang dan pada masa yang akan datang. Dengan demikian, dalam strategi pengembangan sistem agribisnis sebagai wujud dari pengembangan pertanian maka pengembangan unit usaha kegiatan skala kecil ini harus ditempatkan sebagai objek sekaligus subjek utama.

2) Sub-sistem Kegiatan Usaha Tani

Sub-sistem kegiatan usaha tani dalam sistem agribisnis merupakan bagian yang terbesar dari seluruh sistem agribisnis Indonesia. Disamping itu, sub-sistem ini juga merupakan bagian yang paling banyak menghadapi masalah, yang berwujud dalam segala bentuk keterbatasan:


(26)

modal, lahan, ketrampilan, penguasaan teknologi, aksesibilitas terhadap pasar, bargaining position, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut bermuara pada rendahnya tingkat pendapatan dan kesulitan untuk berkembang.

Identifikasi masalah kemiskinan yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa kantong-kantong kemiskinan di pedesaan berhubungan erat dengan keragaan kegiatan sub-sistem usaha tani. Dengan demikian, pengembangan sub-sistem agribisnis ini harus merupakan prioritas dalam pengembangan sistem agribisnis di UPT-TPLK.

3) Sub-Sistem Kegiatan Luar Usaha Tani

Sub-sistem luar usaha tani yang memegang peranan yang sangat besar dalam sistem agribisnis di Indonesia maupun negara – negara berkembang lainnya adalah layanan dalam bidang pengolahan dan pemasaran. Sub-sistem ini umumnya berciri capital/technological intensive dan telah memberikan sumbangan yang besar pada nilai tambah kegiatan ekonomi pertanian dan pedesaan. Di banyak negara Asia dan Amerika Latin, kegiatan luar usaha tani ini memberikan sumbangan hingga 20 dan 30 persen terhadap total kesempatan kerja pedesaan dan peningkatan sekitar 30 persen pada tahun 1970-an dan 1980-an, sedangkan kesempatan kerja kegiatan usaha tani sendiri hanya meningkat sekitar 14 persen pada kurun waktu yang sama. Di samping itu, pendapatan perkapita dari kegiatan luar usaha tani tumbuh sekitar 14 persen per tahun, sedangkan dari kegiatan usaha tani hanya 3% per tahun. Keterkaitan kegiatan tersebut telah lebih meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan per kapita di pedesaan. Di samping itu, Asia dan Amerika Latin memiliki elastisitas permintaan atas pendapatan untuk produk-produk pertanian yang telah mendapatkan pengolahan lanjut yang lebih besar dari produk pertanian mentah. Fenomena tersebut belum terjadi di Afrika.

Di Indonesia sendiri, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri kecil merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan penyerapan oleh jenis industri lain. Pada tahun 1986, kegiatan industri rumah tangga (industri dengan 1 - 4 pekerja) telah menyerap 53,7 persen dari total tenaga kerja yang diserap sektor industri. Kegiatan industri kecil


(27)

(industri dengan 5 – 19 pekerja) menyerap 14 persen, dan industri besar (industri dengan lebih dari 20 pekerja) menyerap 32.2 persen. Dari tahun 1975 hingga 1986, penyerapan tenaga kerja oleh industri kecil meningkat sekitar 20 persen per tahun, sedangkan peningkatan pada industri besar hanya sekitar 16 persen (Tambunan,1989).

Besarnya kegiatan usaha tani sebenarnya menunjukkan potensi pasar domestik yang besar. Namun demikian, kegiatan-kegiatan luar usaha tani tersebut sering luput dari pandangan kita karena terlalu “silau“ oleh orientasi ekspor. Seharusnya pengembangan pasar domestik, terutama dalam bentuk kegiatan–kegiatan non-usahatani, dapat merupakan bentuk tahapan antara sebelum menuju ke pasar internasional. Hal ini didukung oleh berbagai masalah yang sekarang dihadapi dalam perdagangan internasional seperti mutu, kontinuitas, dan sebagainya, yang sebenarnya dapat lebih mudah diatasi dengan mengembangkan kegiatan domestik yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi tata niaga (penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, sortasi, grading, dan sebagainya).

e. Penelitian dan Telaahan Terdahulu 1) Agribisnis.

Pembangunan bidang pertanian tetap menjadi prioritas dalam program pembangunan di Indonesia dengan tujuan utama terciptanya peningkatan produksi, pendapatan dan kesempatan kerja. Di sektor pangan, pembangunan pertanian diarahkan untuk mengatasi kekurangan pangan melalui peningkatan produksi secara nasional. Upaya peningkatan produksi ini pada gilirannya diharapkan akan membawa kepada peningkatan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Program pembangunan transmigrasi tanaman pangan secara politis dan kebijakan pemerintah merupakan salah satu elemen dalam program peningkatan produksi dan kesempatan kerja nasional.

Menurut Sadikin dan Purwanto (2003), program revolusi hijau telah menghasilkan peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan produksi padi secara nasional. Akan tetapi peningkatan tersebut hanya menguntungkan petani berlahan luas, sementara petani berlahan sempit tidak banyak memperoleh manfaat dari hasil-hasil peningkatan produksi. Para petani yang memiliki dan menguasai lahan luas, yang sebenarnya


(28)

juga pemilik modal, mempunyai kesempatan yang lebih besar terhadap akses teknologi maju, sehingga dapat lebih memperluas usaha taninya.

Pengembangan revolusi hijau yang dilakukan di Pulau Jawa di lahan sawah telah mengakibatkan petani terperangkap dalam situasi ketergantungan yang semakin tinggi dalam penggunaan input modern. Harga input produksi dan kebutuhan konsumsi meningkat, sementara harga hasil produksi pertanian tidak mampu mengimbangi tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga sehingga petani berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Nasib petani transmigran tanaman pangan di lahan kering saat ini dapat dikatakan hampir sama dengan kondisi petani pada revolusi hijau tersebut, walaupun rataan luas lahan transmigran lebih luas dibandingkan rataan petani sawah di Pulau Jawa. Jika di Pulau Jawa tidak efektifnya program revolusi hijau lebih disebabkan karena kurangnya kebijakan tentang penataan/pembaharuan agraria dan penataan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan, maka di lokasi transmigrasi belum adanya kebijakan pemberdayaan transmigran yang sesuai karakteristik lokasi, belum tertatanya pranata kelembagaan, belum diterapkannya strategi pencegahan dan penanganan degradasi lahan, merupakan beberapa penyebabnya.

Lahan yang berproduksi tinggi untuk suatu komoditi dapat diperoleh jika ditunjang oleh tanah yang subur, ketersediaan air yang cukup, energi matahari dan suhu yang memungkinkan dan aerasi yang baik. Menurut Djaenudin dan Sudjadi (1987), tanah yang digunakan untuk lokasi transmigrasi di Kalimantan dan Sumatera pada umumnya tergolong tanah masam. Faktor iklim di lahan-lahan ini sebenarnya bukan merupakan penghambat bagi usahatani, sebaliknya curah hujan yang tinggi pada lahan dapat menimbulkan erosi. Kendala utama dalam pengelolaan usahatani di tanah masam, adalah miskinnya unsur hara dan terjadinya fiksasi P yang tinggi.

Produktivitas tanah berkaitan erat dengan sifat fisik dan kimia tanah. Hasil penelitian Rumawas (1984), menunjukkan bahwa: a) produktivitas tanah di Sitiung II pada lahan yang dibuka secara manual selalu lebih baik dibandingkan dengan lahan yang dibuka cara mekanik; b) pembukaan lahan dengan kombinasi cara manual dan cara mekanik merupakan cara terbaik karena 80% lahan dapat diusahakan; c) tanah


(29)

miskin akibat penggusuran tanah secara mekanik dapat diatasi dengan pemberian dolomit, kapur dan pupuk fosfat.

Penelitian pengelolaan tanah dan tanaman sistem lahan kering pada tanah Podsolik menunjukkan bahwa selama 5 tahun berturut–turut, hasil pola tanam tumpang sari lebih baik dari pada tanaman tunggal secara bergantian. Sedangkan penelitian Nugroho (1988) di Kuamang Kuning menunjukkan bahwa lereng, kedalaman lapisan olah dan tekstur tanah berpengaruh nyata terhadap bobot tanaman jagung. Meskipun demikian, pengaruh pemupukan lebih besar terhadap produksi (bobot gabah kering panen) dari pada pengaruh lereng, kedalaman lapisan olah dan kelas tekstur tanah. Sedangkan penelitian Irawan, Soemardjo dan Adhi (1989), menunjukkan bahwa produktivitas tanah ditentukan oleh asal bahan induk, lereng dan sarana produksi. Selanjutnya Syaiful, Tastra dan Syarifuddin (1984) menyimpulkan bahwa permasalahan produktivitas lahan di daerah transmigrasi lahan kering ditentukan oleh kesuburan tanah, kemampuan pengelolaan tanah oleh petani, pembukaan lahan, waktu tanam, ketepatan waktu, dosis pupuk dan sarana yang tersedia.

Pembangunan pemukiman transmigrasi dengan pendekatan agribisnis sebenarnya telah lama dilaksanakan, namun dalam perkembangannya masih banyak hal yang perlu dicermati ulang. Bagian yang banyak menghadapi masalah adalah pembinaan sistem usahatani atau budidaya. Permasalahan yang dihadapi antara lain berupa keterbatasan keterampilan dan penguasaan teknologi (masalah kompetensi sumber daya transmigran dan pendamping (organizer), keterbatasan modal dan tenaga mengelola lahan usaha, karena usaha tani berciri land base. Untuk itu aspek keragaman lingkungan (fisik, ekonomi, dan sosial budaya) menjadi sangat strategis untuk diperhatikan dalam perencanaan dan implementasi (Depnakertrans, 1999). Diperlukan penetapan komoditas unggulan dan komoditas pertanian lain yang dapat dipadukan sebagai penyangga (buffer) bagi kelangsungan rumah tangga transmigran pada tahap konsolidasi berupa aktivitas mix farming yang sesuai dengan kelayakan usaha.

Di lahan kering, rataan produktivitas masih rendah terutama komoditi tanaman pangan yang ditanam oleh transmigran yakni padi 15.03 kw/ha, jagung 18.53 kw/ha, ubi jalar 36.1 kw/ha, ubi kayu 66.27


(30)

kw/ha, kacang kedelai 6.98 kw/ha, kacang tanah 8.47 kw/ha, dan kacang hijau 6.53 kw/ha. Menurut data dari Depertemen Pertanian, produktifitas rerata nasional tahun 2003 dan 2004 berturut-turut adalah sebagai berikut: a) padi ladang 24.03 kw/ha dan 24.73 kw/ha (gabah kering giling); b) jagung 24.04 kw/ha dan 27.02 kw/ha (pipilan); c) ubi jalar 94.66 kw/ha dan 95.69 kw/ha (umbi basah); d) ubi kayu 126.73 kw/ha dan 130.53 kw/ha (umbi basah); e) kacang kedelai 11.67 kw/ha dan 11.93 kw/ha (biji kering); f) kacang tanah 10.92 kw/ha dan 11.51 kw/ha (biji kering); kacang hijau 9.70 kw/ha dan 9.7 kw/ha (biji kering), (http://www.deptan.go.id/ ditjen tp/sit Prod Aklin 04.htm).

Menurut Abdurachman et al. (1997), petani lahan kering tidak mungkin hidup jika ekonomi rumah tangga hanya tergantung kepada hasil tanaman. Oleh karena itu pendekatan yang tepat adalah melalui pendekatan sistem usahatani yang memadukan komoditas tanaman pangan dengan tanaman tahunan dan ternak dalam suatu model usaha tani yang sesuai, dengan mempertimbangkan keserasian sumber daya yang dimiliki petani. Contoh model usahatani terpadu antara lain meliputi padi gogo dan palawija yang diatur penanamannya dalam pola setahun disesuaikan dengan musim tanam seluas 1 ha, tanaman karet 1 ha (siap sadap), dan ternak yang awalnya terdiri atas 1 ekor sapi, 3 ekor kambing, dan 11 ekor ayam buras. Dengan modal tersebut, ternyata pendapatan petani meningkat dari Rp. 1.4 juta/tahun pada tahun 1988/1989 menjadi Rp. 2.3 juta/tahun pada tahun 1990/1991, sedangkan pendapatan petani yang tidak menerapkan teknologi model usahatani tersebut berkisar antara Rp.1.1 juta s/d 1.2 juta/tahun. Dalam model usahatani tersebut, terdapat interaksi komplementer antara pengusahaan tanaman dengan tanah. Selanjutnya Akhadiarto et al. (1997) mendukung hal tersebut dan menyatakan bahwa dengan adanya sistem usahatani terpadu, akan diperoleh keuntungan antara lain : a) meningkatkan populasi ternak; b) meningkatnya produksi buah-buahan; c) membuka lapangan kerja di pedesaan; d) berhasilnya konservasi tanah dan air; dan e) meningkatnya pendapatan petani lahan kering.

Menurut Siagian et al, (1987) melalui pembuatan teras dan pemberian kompos selama 3 tahun berturut-turut sebesar 40 ton, 30 ton dan 15 ton ternyata produksi tanaman cabe, kedelai dan jagung dapat


(31)

mencapai masing-masing 8 ton/ha, 1.9 ton/ha dan 6.0 ton/ha (berat basah dengan tongkol). Tanpa pembuatan teras dan tanpa pemberian kompos, produksi cabe hanya sebesar 2.0 ton/ha, kedelai 0.7 ton/ha dan jagung 1.0 ton/ha (berat basah dengan tongkol). Selanjutnya Saragih et al. (1991) menyatakan bahwa dengan melakukan pergiliran pola tanam, peningkatan kualitas dan kuantitas input, dan perbaikan perencanaan usahatani oleh kelompok dalam usahatani lahan kering dapat dihasilkan rata-rata produksi tanaman pangan sebesar 4,062.4 kg/ha/tahun setara padi, lebih tinggi dari produksi tanaman pangan kontrol yakni 2,630.7 kg/ha/tahun setara padi. Hasil penelitian Tuherkih et al. (1997/1998) pada lahan kering di Pauh Menang Propinsi Jambi memberikan produktifitas hasil kacang tanah varietas Kelinci yang cukup tinggi, yakni 1.92 ton/ha (polong kering), diikuti oleh varietas Pelanduk (1.78 ton/ha) dan Gajah (1.73 ton/ha). Mereka menyimpulkan bahwa ketiga varietas tersebut mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan pada lahan kering yang bersifat masam.

2) Degradasi Lahan.

Degradasi tanah atau lahan (soil or land degradation) merupakan proses berkurangnya atau hilangnya kegunaan suatu tanah atau lahan dalam usaha meningkatkan produksi pertanian dan kehutanan. Menurut Lai (1994), kerusakan tanah/lahan dapat disebabkan oleh pemadatan tanah, erosi, desertifikasi, penurunan tingkat kesuburan, keracunan dan pemasaman tanah, kelebihan garam di permukaan tanah, dan polusi tanah. Sedangkan menurut Oldeman (1999), faktor–faktor yang mempengaruhi degradasi tanah/lahan adalah: a) pembukaan lahan (deforestation) dari penebangan kayu hutan secara berlebihan untuk kepentingan secara domestik; b) penggunaan lahan untuk peternakan/penggembalaan secara berlebihan (over grasing); c) aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Penggunaan lahan yang tidak mempertimbangkan kaidah–kaidah konservasi tanah dan air akan berakibat mempercepat proses degradasi lahan yang terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai.

Degradasi lahan perlu dinyatakan secara kuantitatif dengan mengukur perubahan–perubahan akibat pengelolaan lahan terhadap sifat–sifat dan produktivitas tanah. Tujuan dari pemantauan kualitas dan


(32)

produktivitas lahan adalah untuk : a) mengidentifikasi sejak awal masalah–masalah dan alternatif teknologi atau pendekatan untuk memperbaiki dampak dari pengelolaan lahan yang salah; b) mengevaluasi keragaan teknologi atau program pengelolaan lahan yang digunakan untuk memperbaiki masalah tersebut; dan c) menyediakan bahan bagi pembuat kebijakan dan perencanaan pembangunan pertanian untuk menyusun dan memperbaiki kebijakan–kebijakan dan program– program pembangunan pertanian (FAO dan IIRR, 1955, dalam Santoso, et al., 2001). Selanjutnya Santoso et al. (2001) menjelaskan pengguna dari pemantauan kualitas dan produktivitas lahan adalah termasuk petani, masyarakat, penyuluh, peneliti, pembuat kebijakan, dan perencanaan pembangunan. Petani, pengambil kebijakan dan organiser mungkin tidak menyadari pentingnya kualitas lahan petani. Hal ini diduga karena keterbatasan pengetahuan (knowledge). Secara kasat mata, dampak dari kegiatan pertanian atau degradasi lahannya tidak terjadi dengan segera dan tidak mudah dilihat. Juga diketahui bahwa dampak pengelolaan lahan tidak terbatas hanya pada lahan yang dikelola saja, tetapi berpengaruh pada areal yang lebih luas dibawahnya yakni berupa eutropism, polusi, banjir dan lain-lainnya. Pemantauan kualitas dan produktivitas lahan perlu dilakukan berulang kali secara teratur dalam jangka waktu lama.

Menurut Lai (1994), terdapat 3 kategori sifat utama yang perlu diperhatikan dalam menilai degradasi lahan, yakni sifat fisik, kimia dan biologis tanah dan proses-proses perubahannya (Gambar 2.1). Ketiga kategori ini dalam proses perubahannya mendominasi dalam mempengaruhi kualitas tanah. Dengan demikian hubungan sebab-akibat antara sifat–sifat tanah dan produktivitas tanaman sangat penting untuk diketahui dan dimantapkan sebagai pedoman untuk membuat program peningkatan produksi dan perbaikan lahan kering yang terdegradasi. Sifat–sifat lahan yang dapat diukur atau diamati yang menggambarkan kecepatan dan arah perubahan kualitas dan produktivitas lahan harus ditentukan sebagai indikator–indikator penggunaan lahan yang berkelanjutan. Singth dan Dumanski (1993), memberikan definisi dari indikator, kriteria dan batas kritis sebagai berikut :


(33)

a) Indikator adalah statistik lingkungan yang mengukur atau mencerminkan status kondisi lingkungan atau perubahan kondisinya (misalnya erosi dalam ton/ha).

b) Kriteria ialah standar atau aturan (model, uji atau ukuran) yang menentukan penilaian atas kondisi lingkungan (misalnya dampak erosi terhadap hasil tanaman, kualitas air dsb).

c) Batas kritis yaitu tingkatan–tingkatan dimana diluar batas tersebut sistemnya akan mengalami perubahan nyata; titik-titik dimana rangsangan akan menimbulkan respon (misalnya level dimana di luar batas tersebut erosi sudah tidak dapat ditolerir lagi).

Sifat–sifat yang penting dan perlu diperhatikan dalam memilih indikator yang berkaitan dengan tanah menurut Oackley (1991), yang dirujuk oleh Lai (1994) adalah sebagai berikut : 1) sederhana dan mudah untuk diukur pada kondisi lapang; 2) dapat digunakan secara lintas waktu, tempat, dan sistem (antara lain proses erosi); 3) dapat diekstrapolasikan dan diduga pada tanah-tanah dan wilayah yang manapun juga; 4) dapat diadaptasikan dan sesuai pada kisaran yang luas dan sifat-sifat lahan dan proses-proses perubahannya (antara lain kandungan bahan organik tanah); 5) mudah dianalisis dan diinterprestasikan untuk mengetahui penyebab-penyebab utama dari proses degradasi lahan; 6) sesuai dengan kondisi ekologis (misalnya penilaian proses pemasaman tidak sesuai untuk tanah berkapur di daerah beriklim kering); dan 7) berorientasi pada proses dan sesuai dengan proses degradasi yang utama.


(34)

Proses Degradasi Lahan

Erosi Tanah yang dipercepat Pemadatan Tanah Keadaan anaerob Pengurasan Kesuburan Tanah Pemasaman Tanah Keadaan Salin dan Sodik Degradasi Biologis

• Keadaan tanah lapisan atas yang tersisa

• Tanah ber- batu

• Warna tanah

• Tekstur tanah

• Kapasitas air tersedia

• Kandungan bahan organik tanah

• Kandungan CaCO3

• Akar – akar pohon muncul

• Berat Isi (BD)

• Ketahanan pemadatan

• Porositas

• Laju infiltrasi

Surface ponding

• Akar – akar tanaman

• Tingkat kebasahan

• Permeabi-litas

• Warna tanah

• Karat tanah

• Pori drainase

• Tanaman – tanaman hidromorfis

• Kandungan unsur hara

• Gejala-gejala tanaman

• Tingkat – tingkat

keracunan unsur hara

• pH

• Al dapat di-tukar

• Kemasaman total

• Tanaman – tanaman toleran

• Warna tanah

• Konduktivi-tas listrik

• Struktur tanah

• SAR

• Permeabili-tas

• Tanaman – tanaman holomorfik

• Kandungan bahan organik tanah

• Keaneka- ragaman biologis

• Aktivitas cacing tanah

• Struktur tanah

Gambar 3. Indikator – indikator tanah, air dan tanaman yang berkaitan dengan proses – proses yang sangat berpengaruh pada degradasi lahan (Sumber : Lai, 1994)


(35)

Dalam penelitian ini, tidak semua indikator degradasi lahan sebagaimana disajikan pada Gambar 3 diteliti, karena terdapat indikator-indikator yang perubahannya memerlukan waktu yang relatif lama. Dalam penelitian ini hanya dipilih beberapa indikator yang dinilai penting dan perlu diteliti untuk menilai kualitas dan produktivitas lahan dengan bentuk wilayah bergelombang sampai dengan berbukit. Indikator yang diamati adalah: erosi, pemadatan tanah, air, kesuburan, kemasaman, salinitas dan sodisitas, dan degradasi biologis (kadar bahan organik dan struktur tanah), produksi tanaman pangan, hortikultura, buah-buahan dan tanaman perkebunan yang dibudidayakan transmigran.

f. Pembangunan Berkelanjutan

Munasinghe (1993), menyatakan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) terkandung tiga aspek utama, yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Hal ini berarti bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan bagi generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.

Pembangunan berkelanjutan menurut Dahuri (2003) mengandung tiga dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi ekologi. Melalui suatu public decision, porsi ke-tiga dimensi tersebut harus disepakati dan disesuaikan dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Sitorus (2003) berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. 2.5. Sosial Budaya

Menurut Surmayanto (1997), jenis penggunaan tanah di suatu wilayah atau negara, berkaitan erat dengan kepadatan penduduk, struktur perekonomian, kondisi biofisik lingkungan serta keragaan geografis dan geopolitiknya.

Baik Soerianegara (1977) dan Surmayanto (1997) menyebutkan bahwa, penggunaan lahan berkaitan dengan aspek kependudukan. Hal ini berarti karakteristik demografi rumah tangga akan mempengaruhi perilaku kepala rumah tangga dalam penggunaan lahan. Karakteristik demografi rumah tangga yang mempengaruhi prilaku penggunaan lahan meliputi aspek pendidikan dan umur


(36)

(Mather, 1986). Aspek pendidikan dapat dilihat dari tingkat pendidikan kepala keluarga yang diukur dari lamanya mereka mengikuti pendidikan secara formal. Hal ini penting mengingat daya serap pikiran dan daya adaptasi terhadap lingkungan ditentukan oleh wawasan yang dimiliki yang diperoleh dari bangku sekolah. Selain itu tingkat pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang bermanfaat untuk pengembangan bakat maupun minat untuk berinovasi. Disamping aspek pendidikan, aspek umur juga dapat mempengaruhi prilaku penggunaan lahan, karena usia dapat menunjukkan tingkat usia produktifitas kepala rumah tangga dan pengalaman didalam budidaya usaha tani. Pengetahuan yang dikuasai kepala rumah tangga dan dibutuhkan didalam pengambilan keputusan untuk penggunaan lahan dapat meliputi pengetahuan ilmiah moderen maupun pengetahuan tradisional atau budaya lokal masyarakat asli (traditional knowledge) yang telah berkembang secara turun temurun dalam suatu komunitas disuatu wilayah tertentu.

Menurut Barlow (1986) penggunaan lahan dipengaruhi oleh beberapa pertimbangan utana seperti faktor fisik lahan, faktor ekonomi, faktor kelembagaan. Faktor kelembagaan yang dimaksud meliputi aspek kondisi sosial budaya, dan tradisi masyarakat, kepercayaan yang dianut masyarakat serta kebijaksaan pemerintah. Ditinjau dari aspek ekonomi, yang erat mempengaruhi prilaku penggunaan lahan meliputi aspek struktur pembiayaan dari jenis komoditi, kemantapan, sistem pemasaran (Wijayanto, 2001). Menurut Natural Resources Managemen (1996), perilaku pemilihan alternatif penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh sikap terhadap berbagai manfaat atau nilai dari sumber daya alam dan faktor suku.

Dalam Webster’s New World Dictionary (Neufeldt dan Guralnik, 1988), istilah budaya atau culture mengandung banyak arti. Salah satu arti yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yang berkaitan dengan kolektivitas manusia (“masyarakat”). Makna budaya ini antara lain mencakup aspek tata nilai, norma, cara pengelompokan atau kerjasama masyarakat, peningkatan kompetensi manusia (misalnya melalui peningkatan pengetahuan) dan bagaimana masyarakat mengelola lingkungan untuk melangsungkan kehidupannya (Pranadji, 2003). Makna budaya ini, dalam perspektif pembangunan (ekonomi dan pedesaan) berkelanjutan dan masyarakat madani (civil society), oleh Kliksberg (1999) dan Grootaert (1998) disebut sebagai modal sosial (social capital) dan budaya (culture).


(37)

Paling tidak ada empat pilar atau modal yang menopang kehidupan masyarakat, yaitu modal manusia (human capital), alam dan lingkungan (natural capital), prasarana (produced or contructed capital) dan sosio-budayanya (Social Capital and Culture: as Master Keys to Development; Kliksberg, 1999). Dalam perspektif pembangunan pedesaan terpadu, keempat pilar harus dilihat dalam satu kesatuan (Kostov dan Lingrad, 2001), dan sering kali penyelenggara pembangunan pedesaan alpa dalam menempatkan aspek sosio-budaya (Social Capital: The Missing Link?; Grootaert, 1998) sebagai salah satu faktor kuncinya. Bisa dipahami jika kondisi lingkungan (atau natural capital) akan ikut menentukan dinamika sosio-budaya setempat akan sangat menentukan kestabilan dan keberadaan kondisi lingkungan hidup setempat.

Seorang ahli ekologi kebudayaan, Julian H. Steward (1995), mengajukan pendapat bahwa dari waktu ke waktu masyarakat mempunyai daya kreasi untuk melakukan adaptasi budaya (misalnya dalam bentuk akulturasi) terhadap lingkungannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara aspek budaya masyarakat dan lingkungannya terjadi hubungan yang saling mempengaruhi. Hal ini pula yang memberikan gambaran, dengan menggunakan kekuatan pikiran dan pengetahuan yang dimilikinya, (organisma) manusia dalam batas tertentu mempunyai peran yang menentukan dalam pengelolaan (agro)ekosistemnya. Penguatan aspek (atau modal) sosio-budaya sangat penting untuk meningkatkan kreativitas masyarakat (Fischer et al., 2002) dan sangat penting pula untuk mewujudkan pembangunan pedesaan terpadu (Kostov dan Lingrad, 2001) berbasis agroekosistem setempat.

Sorokin (1964), dengan mengutip pendapat Ogburn, menyebutkan ada dua jenis budaya, yaitu budaya material (material-culture) dan budaya non-material (non material-culture). Budaya material berkaitan dengan bagian kreativitas masyarakat yang telah berbentuk material, seperti teknik budi daya penanaman, teknik melakukan pola pertanian dengan terasering, produktivitas tanah dalam bentuk bahan pangan dan semacamnya. Budaya non-material berkaitan dengan aspek bentuk keorganisasian sosial, tata-nilai, kepercayaan, pola kepemimpinan, kesadaran kolektif masyarakat untuk menegakkan teknik pengelolaan agroekosistem yang sehat dan semacamnya. Biasanya perubahan pada aspek budaya material lebih cepat dibanding budaya non-materialnya, dan hal ini bisa menimbulkan gejala disharmoni pada hubungan antar manusia dan antara manusia dan lingkungannya. Zaltman and Duncan (1977) menempatkan


(38)

aspek sosio-budaya dalam perspektif perubahan atau pemberdayaan masyarakat dalam dimensi jangka panjang dan pada ukuran sistem sosial yang relatif besar.

2.6. Pengembangan Ekonomi Rakyat

Pada tataran ekonomi makro, pemberdayaan ekonomi pedesaan harus disinergikan dengan sistem atau kebijakan pemerintah. Sistem atau kebijakan tersebut dikategorikan dengan ekonomi kerakyatan, yaitu kebijakan atau sistem ekonomi yang mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dalam proses pembangunan. Keterlibatan semua stakeholders dalam pembangunan ekonomi regional dan promosi pendekatan dari bawah (bottom up approach) secara aktif merupakan bagian kebijakan pemerintah dalam pembangunan wilayah untuk membangun kembali ekonomi berkelanjutan (Hughes et al., 2002).

Berbeda dengan ekonomi perkotaan (urban economic) yang bertumpu pada penguasaan kapital dengan ciri keterbukaan antar pelaku ekonomi yang tidak memiliki batas (borderless), maka ekonomi pedesaan (rural economic) adalah ekonomi pribumi (people’s economy is endogenous economy), bukan aktivitas perekonomian yang berasal dari luar aktivitas masyarakat. Ekonomi pedesaan didefinisikan sebagai perekonomian atau perkembangan ekonomi kelompok masyarakat yang berkembang relatif lambat, sesuai dengan kondisi yang melekat pada masyarakat tersebut sebagai masyarakat pedesaan. Ekonomi pedesaan lebih bersifat operasional dan mikro. (Basri,1999)

Strategi pengembangan ekonomi pedesaan diupayakan dengan cara memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat di pedesaan terlibat secara aktif dalam proses pembangunan pedesaan. Pembangunan atau modernisasi pedesaan bukan sekedar menjadikan desa tradisional menjadi modern. Pembangunan dan modernisasi adalah suatu usaha dan kegiatan yang sangat operasional dengan mengejar tujuan yang nyata dalam jangka waktu tertentu.

Sasaran pokok pembangunan ekonomi pedesaan adalah terciptanya kondisi ekonomi rakyat di pedesaan yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan (JURITERADIL) (Sumodiningrat, 1999). Oleh karena itu, keberpihakan kepada ekonomi rakyat sangat diperlukan dan semakin mendesak untuk dioperasionalkan sesuai dengan sasaran pokok pembangunan ekonomi pedesaan. Keberpihakan pada ekonomi rakyat berarti melakukan serangkaian


(39)

upaya untuk menyusun aturan main ekonomi yang adil, yaitu menempatkan ekonomi rakyat pada posisi yang sederajat dengan usaha menengah dan besar.

Pemihakan (affirmative actions) tidak berarti memenangkan yang lemah, tetapi agar persaingan berjalan sehat dan seimbang (in a level playing field), antara ekonomi konglomerat yang minoritas dengan ekonomi rakyat yang mayoritas. Meskipun demikian, dibutuhkan prakondisi agar bisa sampai pada keadaan di mana partisipasi rakyat dalam pembangunan berjalan secara optimal antara lain: (1) ketiadaan kesenjangan kemampuan dan produktivitas, (2) kesempatan atau akses yang proporsional terhadap sumber dana dan daya antar pelaku ekonomi di pedesaan, dan (3) adanya kemitraan antar sesama pelaku ekonomi pedesaan.

Pemberdayaan ekonomi rakyat berkelanjutan sekurang-kurangnya mencakup tiga dimensi yaitu tujuan ekonomi, tujuan sosial, dan tujuan ekosistem (Anwar dan Rustiadi, 2000)

2.7. Pemodelan dengan Metoda Sistem Dinamik

Maarif dan Tanjung (2003), menyatakan bahwa model merupakan abstraksi dari suatu sistem yang dikembangkan untuk tujuan studi. Untuk membuat suatu model diperlukan beberapa tahapan sebagai berikut : a) penetapan struktur model yang meliputi system boundary, entity, atribut dan aktivitas; b) pemenuhan data/info yang meliputi nilai atribut serta mendefinisikan hubungan dalam aktivitas, yang biasanya dituangkan dalam bentuk flowchart.

Model menurut Suryadi dan Ramdhani (2002) diartikan sebagai tiruan dari kondisi sebenarnya, atau dengan kata lain, model didefiniskan sebagai representasi atau formulasi dalam bahasa tertentu (yang disepakati berdasarkan sudut pandang tertentu) dari suatu sistem nyata, atau penyederhanaan dari gambaran sistem yang nyata. Dengan kata lain model adalah suatu perwakilan atau abstraksi dan sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam pengertian sebab akibat (Eryatno, 2003). Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian, dan derajat keabstrakannya. Secara umum model dikelompokkan menjadi model ikonik, model analog, dan model simbolik. Mengacu pada beberapa definisi model yang telah disebutkan di atas, maka peneliti berpendapat bahwa model adalah suatu


(1)

Tabel 13. Pendapatan Petani per bulan

Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Pendapatan Petani/Bulan/Hektar 0 0 0 0 404,972 492,939 501,756 566,756 680,506 Pendapatan Petani/Bulan/2 Hektar 0 0 0 0 809,944 985,878 1,003,511 1,133,511 1,361,011

Tahun 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Pendapatan Petani/Bulan/Hektar 745,506 679,256 694,256 694,256 1,056,055 1,200,506 1,109,256 Pendapatan Petani/Bulan/2 Hektar 1,491,011 1,358,511 1,388,511 1,388,511 2,112,110 2,401,011 2,218,511 Tabel 14. Payback Perriode

Tahun Keterangan

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Total Investasi 7,739,610 9,757,160 13,184,855 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 Total Pendapatan 0 0 0 0 7,770,000 18,330,000 29,730,000 42,330,000 57,030,000

Tahun Keterangan

2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Total Investasi 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 Total Pendapatan 72,930,000 88,830,000 105,030,000 121,230,000 137,430,000 153,225,000 167,925,000


(2)

Tabel 15. Analisa Investasi Net Present Value

Asumsi : Bunga Bank = 10%

Tahun Ke Keterangan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Total Investasi 7,739,610 9,757,160 13,184,855 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 Pendapatan 0 0 0 0 3,069,966 3,800,071 3,807,866 4,447,866 5,567,866 Present Value 0 0 0 0 1,906,208 2,145,041 1,954,037 2,074,962 2,361,319

Tahun Ke Total

Keterangan

10 11 12 13 14 15 16 Total Investasi 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 16,118,290 Pendapatan 6,207,866 5,412,866 5,557,866 5,557,866 9,899,462 11,680,116 10,712,866

Present Value 2,393,401 1,897,177 1,770,907 1,609,916 2,606,838 2,796,127 2,331,432 25,847,364 Net Present Value = 9,729,074


(3)

Tabel 16. Analisa Investasi Internal Rate of Return

Asumsi : Bunga Bank = 10% Investasi Awal -16,118,290

tahun 1 0

tahun 2 0

tahun 3 0

tahun 4 0

tahun 5 3,069,966 tahun 6 3,800,071 tahun 7 3,807,866 tahun 8 4,447,866 tahun 9 5,567,866 tahun 10 6,207,866 tahun 11 5,412,866 tahun 12 5,557,866 tahun 13 5,557,866 tahun 14 9,899,462 tahun 15 11,680,116 tahun 16 10,712,866 IRR 15%


(4)

Tabel 17. Biaya Investasi Pembangunan Kebun Kelapa Sawit 1.150 Hektar (Alternatif 1)

Tahun ke No Uraian Ha

1 2 3 4 5 6 7 Jumlah

A INVESTASI KEBUN KELAPA SAWIT 1 7,739,610 2,017,550 3,427,695 2,933,435 0 0 0 16,118,291

Kumulatif 7,739,610 9,757,160 13,184,855 16,118,290 0 0 0 46,799,915

Bunga Masa Pembangunan (BMP) 12% 928,753 1,170,859 1,582,183 1,934,195 0 0 0 5,615,990 Investasi dan BMP 8,668,363 3,188,409 5,009,878 4,867,630 0 0 0 21,734,280

B TAHAPAN PEMBANGUNAN KEBUN

1 Tahap I 305 2,360,581,050 615,352,750 1,045,446,975 894,697,675 0 0 0 4,916,078,755 Bunga Masa Pembangunan (BMP) 12% 283,269,726 357,112,056 482,565,693 589,929,414 0 0 0 1,712,876,889

Investasi dan BMP 2,643,850,776 972,464,806 1,528,012,668 1,484,627,089 0 0 0 6,628,955,339 1 Tahap II 305 0 2,360,581,050 615,352,750 1,045,446,975 894,697,675 0 0 4,916,078,755 Bunga Masa Pembangunan (BMP) 12% 0 283,269,726 357,112,056 482,565,693 589,929,414 0 0 1,712,876,889 Investasi dan BMP 0 2,643,850,776 972,464,806 1,528,012,668 1,484,627,089 0 6,628,955,339

1 Tahap III 270 0 0 2,089,694,700 544,738,500 925,477,650 792,027,450 0 4,351,938,570 Bunga Masa Pembangunan (BMP) 12% 0 0 250,763,364 65,368,620 111,057,318 95,043,294 0 522,232,596

Investasi dan BMP 0 0 2,340,458,064 610,107,120 1,036,534,968 887,070,744 0 4,874,170,896

1 Tahap IV 270 0 0 0 2,089,694,700 544,738,500 925,477,650 792,027,450 4,351,938,570 Bunga Masa Pembangunan (BMP) 12% 0 0 0 250,763,364 65,368,620 111,057,318 95,043,294 522,232,596

Investasi dan BMP 0 0 0 2,340,458,064 610,107,120 1,036,534,968 887,070,744 4,874,170,896 JUMLAH TAHAP 1150 5,287,701,552 7,232,631,164 9,681,871,076 11,926,409,882 6,262,538,354 3,847,211,424 1,774,141,488 18,536,034,650 Bunga Masa Pembangunan (BMP) 283,269,726 640,381,782 1,090,441,113 1,388,627,091 766,355,352 206,100,612 95,043,294 4,470,218,970 Investasi dan BMP 2,643,850,776 3,616,315,582 4,840,935,538 5,963,204,941 3,131,269,177 1,923,605,712 887,070,744 23,006,252,470


(5)

Tabel 18. Biaya Investasi Pembangunan Kebun Kelapa Sawit 575 Hektar (Alternatif 2) Tahun ke No Uraian Ha

1 2 3 4 5 Jumlah

A INVESTASI KEBUN KELAPA SAWIT 1 7,739,610 2,017,550 3,427,695 2,933,435 0 16,118,291 Kumulatif 7,739,610 9,757,160 13,184,855 16,118,290 0 46,799,915 Bunga Masa Pembangunan (BMP) 12% 928,753 1,170,859 1,582,183 1,934,195 0 5,615,990 Investasi dan BMP 8,668,363 3,188,409 5,009,878 4,867,630 0 21,734,280

B TAHAPAN PEMBANGUNAN KEBUN

1 Tahap I 305 2,360,581,050 615,352,750 1,045,446,975 894,697,675 0 4,916,078,755

Bunga Masa Pembangunan (BMP) 12% 283,269,726 357,112,056 482,565,693 589,929,414 0 1,712,876,889 Investasi dan BMP 2,643,850,776 972,464,806 1,528,012,668 1,484,627,089 0 6,628,955,339

1 Tahap II 270 0 2,360,581,050 615,352,750 1,045,446,975 894,697,675 4,916,078,720 Bunga Masa Pembangunan (BMP) 12% 0 283,269,726 357,112,056 482,565,693 589,929,414 1,712,876,889 Investasi dan BMP 0 2,643,850,776 972,464,806 1,528,012,668 1,484,627,089 6,628,955,339 JUMLAH TAHAP 575 5,287,701,552 7,232,631,164 5,000,954,948 6,025,279,514 2,969,254,178 9,832,157,475 Bunga Masa Pembangunan (BMP) 283,269,726 640,381,782 839,677,749 1,072,495,107 589,929,414 3,425,753,778 Investasi dan BMP 2,643,850,776 3,616,315,582 2,500,477,474 3,012,639,757 1,484,627,089 13,257,910,678 Kumulatif 2,643,850,776 6,260,166,358 8,760,643,832 11,773,283,589 13,257,910,678


(6)

Tabel 19. Biaya Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Dan Kebutuhan Tenaga Kerja

Tenaga Kerja Biaya Tenaga Kerja Biaya Total

No Uraian

Klp Kerja THL Klp Kerja THL Jumlah Bahan/Alat Biaya Keterangan

I PENYIAPAN LAHAN

1 Pembukaan Lahan 2.3 28.2 84,640 861,120 945,760 339,570 1,285,330 2 Tanam LCC 2 26 73,600 765,440 839,040 382,900 1,221,940 Jumlah I 4.3 54.2 158240 1626560 1784800 722470 2,507,270

II PENANAMAN DAN TBM

1 Bibit Kelapa Sawit : 140 btg 0 0 0 0 0 2,240,000 2,240,000 2 Penanaman Bibit Sawit 3 33 110,400 971,520 1,081,920 1,585,250 2,667,170 3 Pemeliharaan TBM 1 3 33 110,400 971,520 1,081,920 965,630 2,047,550 4 Pemeliharaan TBM 2 3 36 110,400 1,059,840 1,170,240 1,290,695 2,460,935 5 Pemeliharaan TBM 3 4 41 147,200 1,207,040 1,354,240 1,609,195 2,963,435 Jumlah II 13 143 478,400 4,209,920 4,688,320 7,690,770 12,379,090 Jumlah (I +II) 17.3 197.2 636640 5836480 6473120 8413240 14886360

III PRASARANA JALAN

1 Buat Jalan Dan Jembatan 1 2 36,800 58,880 95,680 412,500 508,180 2 Pengerasan Jalan 1 9 36,800 264,960 301,760 695,000 996,760 Jumlah III 2 11 73,600 323,840 397,440 1,107,500 1,504,940

IV Registrasi, Notaris & Konsultan

1 Registrasi 30,000 30,000

2 Notaris 20,000 20,000

3 Sertifikat Tanah 80,000 80,000

4 Pra Survei 29,440 29,440

5 Jasa Konsultan, dll 120,000 120,000

Jumlah IV 0 0 0 0 0 279,440 279,440

Jumlah (I+II+III+IV) 19 208 710,240 6,160,320 6,870,560 9,800,180 16,670,740

VI Manajemen Fee 71,024 616,032 687,056 980,018 1,667,074