Verifikasi HASIL DAN PEMBAHASAN

204 Tabel 45. Trend pertumbuhan Penduduk JPDDK, Laju Pertambahan Penduduk LPPDK dan jumlah rumah rumah di SP 1 dan SP 2 berdasarkan hasil simulasi Time JPDDK LPDDK Rumah 2.005 2.247,00 14,73 561,75 2.006 2.261,73 14,77 565,43 2.007 2.276,50 14,82 569,13 2.008 2.291,32 14,86 572,83 2.009 2.306,18 14,95 576,54 2.010 2.321,13 15,04 580,28 2.011 2.336,17 15,14 584,04 2.012 2.351,31 15,03 587,83 2.013 2.366,33 14,91 591,58 2.014 2.381,25 14,80 595,31 2.015 2.396,04 14,73 599,01 2.016 2.410,77 14,66 602,69 2.017 2.425,43 14,58 606,36 2.018 2.440,02 14,40 610,00 2.019 2.454,42 14,22 613,60 2.020 2.468,63 14,02 617,16 2.021 2.482,66 13,78 620,66 2.022 2.496,43 13,52 624,11 2.023 2.509,96 13,27 627,49 2.024 2.623,22 12,95 630,81 2.025 2.536,17 12,63 634,04 2.026 2.548,80 12,30 637,20 2.027 2.561,10 12,19 640,27 2.028 2.573,28 12,08 643,32 2.029 2.585,30 11,96 646,34 2.030 2.597,32 12,01 606,36

b. Verifikasi

Pendekatan model dinamik verifikasi model dilakukan melalui simulasi model Eriyatno, 2006. Berdasarkan model yang telah dikembangkan hasil simulasi terhadap pertumbuhan penduduk seperti pada Gambar 58. Dari Gambar 58 di atas terlihat, bahwa pertumbuhan penduduk meskipun melambat namun selama 20 tahun ke depan masih mengikuti trend yang linier. Ini berarti pertambahan penduduk di daerah SP 1 dan SP 2 selama kurun waktu 20 tahun mendatang belum menjadi faktor penekan yang serius bagi ketersediaan lahan. Dengan kata lain selama dua puluh tahun kedepan ketersediaan lahan untuk memenuhi kebutuhan rumah penduduk tidak menjadi masalah. 205 Meskipun pertambahan penduduk sangat lambat, namun aktifitas penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kegiatan aktivitas pengolahan lahan memberikan pengaruh terhadap erosi, sebagimana telah dibuktikan pada analisis statistika. Secara grafis hasil simulasi model dinamik juga menunjukkan hal yang sama. Seiring dengan perubahan waktu, maka aktifitas pengolahan lahan akan meningkatkan laju erosipertahun Gambar 59 Gambar 59. Trend laju erosi di SP 1 1 dan SP 2 2, serta erosi rata- rata 3 akibat aktivitas pengolahan lahan, hasil simulasi Hasil simulasi Gambar 59 menunjukkan bahwa selama 10 tahun 2002- 2012 laju erosi sangat kecil, tetapi mulai tahun 2010 sampai 2025 terjadi peningkatan laju yang cukup nyata, dan setelah itu laju erosi cenderung melambat menuju titik keseimbangan stable equilbrium pada titik tertentu. Beberapa faktor yang menyebabkan laju erosi membentuk curva S S-curve antara lain system pengelolaan lahan dan aktifitas lainnya dari penduduk yang menekan terhadap konservasi. Pada Gambar 59 juga terlihat adanya perbedaan laju erosi antara SP 1 dan SP 2, pada periode 2002-2016 laju erosi SP 1 lebih rendah dari pada SP 2, tetapi setelah 2016 laju erosi SP 1 lebih tinggi dibanding SP 2, hal ini disebabkan karena jumlah penduduk di SP 1 berdasarkan hasil simulasi menunjukkan lebih besar dibanding SP 2. Dengan demikian gambar tersebut memberikan makna bahwa tekanan terhadap erosi akan lebih tinggi pada jumlah penduduk yang lebih tinggi. 206 Kenaikan erosi akibat aktivitas pengelolaan lahan berdampak pada tingkat kerusakan lingkungan dan daya dukung lingkungan secara menyeluruh di kedua tempat SP 1 dan SP 2, seperti pada Gambar 60. Gambar 60. Trend kerusakan lingkungan KERLING dan daya dukung lingkungan DDL akibat aktivitas pengelolaan lahan hasil simulasi Gambar 60 di atas merupakan pola umum baik pada SP 1 maupun SP 2, karena tidak ada perbedaan pola yang nyata antara kedua tempat. Secara umum terlihat bahwa kenaikan tingkat kerusakan lingkungan akibat aktivitas pengelolaan lahan akan menurunkan tingkat daya dukung lingkungan. Bentuk kurva trend kerusakan lingkungan tersebut konsisten dengan meningkatnya erosi Gambar 59. Secara teoritis bentuk ini memiliki robustness Barlas, 1996, artinya secara akademik model yang dikembangkan ini memiliki kestabilan model. Jika dilihat dari bentuk kurva yang mengarah pada S-curve, maka archetype yang menonjol pada model pengelolaan lahan kering ini adalah the tragedy of the common Kim, 1997, artinya jika kondisi dan pola pengelolaan dibiarkan begitu saja sesuai dengan tingkat keterampilan para transmigran, maka dalam jangka panjang akan menyebabkan peningkatan erosi yang berakibat meningkatnya kerusakan lingkungan dan akhirnya daya dukung lingkungan akan menurun. Penurunan daya dukung lingkungan ini akan berdampak pada penurunan produktifitas lahan, sehingga juga akan menurunkan tingkat kesejahteraan para transmigran yang menggantungkan kehidupannya pada lahan kering tersebut. Dari sisi pendapatan, hasil simulasi menujukkan bahwa jika hanya mengandalkan hasil uasaha tani biasa dengan sistem bercocok tanam 207 hortikultura, pendapatan masyarakat transmigran akan cenderung konstan di sekitar angka Rp. 500,000-Rp. 600,000 perbulan. Hal ini sesuai dengan hasil perhitungan aspek sosial ekonomi sebelumnya. Kondisi aksesibilitas dan kondisi geografis akan mempersulit bagi masyarakat yang berada pada aktifitas on farm untuk bisa meningkatkan pendapatannya secara nyata. Tetapi ketika dimasukkan kegiatan perkebunan kelapa sawit, terlihat hasil simulasi menunjukkan perbedaan yang cukup nyata, seperti Gambar 61 berikut : Gambar 61. Perbedaan Pendapatan masyarakat on farm dari hortikultura PEND 1 dan ditambah aktifitas perkebunan kelapa Sawit PEND 2 Hasil siulasi tersebut memberikan arti, bahwa untuk mendukung aspek sosial dan ekonomi masyarakat transmigran dalam mewujudkan keberlanjutannya maka kegiatan usaha tani tidak hanya mengandalkan sistem hortikultura, tetapi juga harus ditambah dengan perkebunan kelapa sawit di Lahan Usaha LU II seluas 1 ha per KK dengan jumlah tegakan rata-rata 140 batang.

5.4. Analisis Kebijakan