Pengusahaan Taman Wisata Alam Cimanggu

pengelola Perum Perhutani unit III untuk memenuhi ketentuan tersebut, salah satunya pengelolaan berbasis konservasi sumber daya alam yang dapat memberikan nilai ekonomi tambah bagi pengelola, pemerintah dan masyarakat sekitar. Ketentuan tersebut menjadi tantangan bagi Perum Perhutani untuk mengembangkan model pariwisata berkelanjutan yaitu fungsi konservasi terjaga dan dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi dari kegiatan pariwisata. Strategi Pengusahaan Perum Perhutani unit III dalam melakukan usaha pariwisata alam dikawasan TWA Cimanggu dimaksudkan untuk mencapai pengembangan pariwisata secara optimal, ekonomis, berkelanjutan dan senantiasa mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan. Adapun strategi yang dilakukan adalah Perhutani 2003: 1. Konsentrasi investasi dengan penataan fasilitas fisik sarana prasarana yang dibangun di dalam kawasan diupayakan menjadi fasilitas rekreasi yang sesuai dengan keinginan pengunjung, agar dapat memberikan harapan tinggi dan mudah dicapai, dapat menarik wisatawan lebih banyak dan tercapai hasil yang diinginkan dalam jangka yang tidak lama. 2. Pengembangan alternatifpenganekaragaman kegiatan rekreasi dengan menghidupkan berbagai alternatif kegiatan rekreasi, pendidikan, studi ilmiah dengan standar berbeda-beda agar dapat menarik pasar besar wisatawan. 3. Dalam rangka mendukung program pemerintah untuk berpartisipasi memulihkan citra pariwisata Indonesia, maka akan diupayakan mempertahankan, meningkatkan dan mengembangkan pasar wisata serta membuka pasar baru. 4. Meningkatkan kontribusi dan manfaat ganda kepada stakeholders melalui investasi dan sarana prasarana serta fasilitas pendukung lainnya, peluang berusaha bagi masyarakat sekitar yang ekonomi kecil, kesempatan bekerja bagi masyarakat sekitar, pembayaran pajak-pajak dan pungutan kepada pemerintah daerah, dll. Pada prinsipnya memberikan kontribusi kepada negara sebagai devisa negara non migas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. 5. Mempertahankan fungsi kawasan konservasi dalam pariwisata alam dengan tetap melaksanakan upaya-upaya keseimbangan konservasi lingkungan kawasan pariwisata alam dan pariwisata serta ekonomis, agar kawasan tetap dapat dipertahankan sebagai areal wisata yang tetap memberikan daya tarik kepada wisatawan secara berkelanjutan dan sesuai dengan tujuan pariwisata alam. 6. Mengingat keterbatasan pengetahuan tentang pariwisata alam dan konservasi kawasan, Perum Perhutan unit III menyadari perlu peningkatan kerja sama dengan pihak pengelola kawasan BKSDA, dalam pengelolaanpengembangan areal pengusahaan. Mahalnya biaya penelitian, mendorong adanya kerja sama dengan lembagainstansi yang melakukan penelitian, biro perjalanan wisata baik dalam maupun luar negeri. 7. Optimalisasi peran masyarakat didalam pengembangan produk pariwisata melalui kerja sama dengan LSM yang peduli dengan pariwisata alam melalui kehidupan seni dan budaya maupun pariwisata dapat tumbuh dan berkembang, sehingga manfaat adanya kegiatan pariwisata dapat dirasakan oleh masyarakat. 8. Pengembangan sumber daya manusia dibidang pariwisata guna meningkatkan kualitas dan keprofesionalan sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan objek wisata alam di lingkungan Perum Perhutani melalui pelatihan-pelatihan, studi banding, dan lain-lainnya yang terkait dengan bidang pengembangan pariwisata alam agar mampu bersaing di pasar global maupun pasar regional ataupun nasional sekaligus dapat mengembangkan kesempatan bekerja dan berusaha kepada masyarakat sekitar. 9. Optimalisasi pasar, baik positioning, targeting, segmenting ataupun aturan pemasarannya yang meliputi product, price, place dan promosinya. Hal ini sangat penting menentukan keberhasilan usaha bidang pariwisata alam mengingat usaha ini tergantung kepada bagaimana minat pengunjung. Dengan pengembangan strategi diatas diharapkan tingkat pengunjungwisatawan ke TWA Cimanggu mengalami pertumbuhan yang baik setiap tahunnya. Berdasarkan Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam RKPPA Perum Perhutani di TWA Cimanggu memprediksi tingkat pertumbuhan pengunjung untuk setiap tahunnya mulai tahun 2003 mengalami pertumbuhan 2, akan tetapi kenyataan berdasarkan statistik data Departemen Kehutanan jumlah pengunjung TWA Cimanggu telah melebihi target pertumbuhan tersebut. Perkembangan peningkatan wisatawan yang mengunjungi TWA Cimanggu mengalami pertumbuhan yang baik, hal tersebut dapat memberikan dampak positif bagi ekonomi masyarakat sekitar akan tetapi hal tersebut juga dapat menjadi ancaman terhadap kualitas lingkungan. Fenomena tersebut di jelaskan oleh Butler 1980 bahwa hubungan pariwisata dengan lingkungan dapat dijelaskan seperti pada Gambar 3. Gambar 3. Life Cycle daerah tujuan wisata Sumber: Cater 1997 Lingkungan alam merupakan objek wisata yang menarik karena keindahan dan kealamiahnya. Wisatawan berkunjung ke daerah wisata tersebut dalam jumlah yang sedikit, tidak ada dampak terhadap lingkungan yang berarti tahap eksplorasi. Akibat daya tarik objek wisata alam yang alami maka tujuan wisata itu menjadi popular dan menjadi tujuan wisata utama. Pada tahapan ini terjadi pembangunan fasilitas penunjang wisata seperti transportasi dan hotel. Hal tersebut mendorong pertumbuhan jumlah wisatawan yang mengunjungi objek wisata meningkat dan mengakibatkan terjadinya peningkatan stress bagi lingkungan tahap pertumbuhan. Karena pengelolaan pengunjung yang kurang baik maka terjadi degradasi lingkungan yang menyebabkan turunnya kualitas daya tarik wisata dan menjadikan objek wisata menjadi menurun daya tariknya bagi wisatawan. Hal itu kemudian menyebabkan pertumbuhan jumlah wisatawan menurun tahap konsolidasi. Pertumbuhan tersebut kemudian menjadi stagnan tahap stagnasi pada tahapan ini jumlah wisatawan mencapai titik daya dukung kawasan. Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan alam dipandang hanya sebagai elemen inisial untuk menarik wisatawan dan menyebabkan pengelolaan lingkungan tidak optimum sehingga cenderung eksploitasi dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Apabila hal tersebut terjadi maka akan terjadi penurunan jumlah wisatawan yang diakibatkan oleh menurunnya daya tarik wisata didaerah tersebut tahap penurunan, sebelum hal tersebut terjadi perlu adanya upaya pengelola untuk melakukan revitalisasi daerah wisata tersebut, revitalisasi berupa remediasi kondisi lingkungan dan biasanya dilakukan pengembangan produk wisata yang baru yang dapat memberikan pandangan baru atau daya tarik baru bagi daerah wisata tersebut. Tabel 2. Dampak utama kegiatan pariwisata terhadap lingkungan No Dampak positif Dampak negatif 1 Konservasi alam dan kehidupan liar Dampak musiman dari kepadatan populasi yang menyebabkan perubahan struktur, landscape, dan kehilangan keindahan. 2 Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan Keperluan energi untuk transportasi, bising, polusi udara, polusi air dan timbulnya limbah 3 Rehabilitasi dan transformasi bangunan tua menjadi fasilitas baru Deforestasi, dampak terhadap vegetasi dan keanekaragaman hayati 4 Memperkenalkan kepada perencanaan dan pengelolaan Rusaknya pantai dan daerah kehidupan liar Menganggu siklus perkembangbiakan hewan Sumber: Cater 1997 Untuk menghindari skenario terburuk menurut Butler, maka perlu dilakukan upaya untuk mengestimasi daya dukung pariwisata sebagai dasar perencanaan dan pengelolaan TWA Cimanggu. Daya dukung pariwisata tersebut juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi eksisting pengelolaan TWA Cimanggu. Konsep daya dukung pariwisata dikembangkan dari konsep daya dukung yang telah berkembang lama pada bidang ekologi yang banyak digunakan untuk mengestimasi jumlah maksimal populasi hewan yang dapat ditopang oleh lingkungannya. Aplikasi konsep ini pada bidang pengelolaan pariwisata masih mengalami kendala pada tahun 1960an. Akan tetapi dengan perkembangan ilmu pengetahuan konsep ini dapat diterapkan untuk bidang pariwisata.

2.4. Konsep daya dukung

Carrying Capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan. Konsep daya dukung lingkungan berasal dari konsep pengelolaan hewan ternak dan satwa liar Soemarwoto, 1997. Daya dukung itu menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan luas lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung kehidupannya itu tergantung pada biomas bahan organik tumbuhan yang tersedia untuk makanan hewan. Daya dukung dapat dibedakan dalam beberapa tingkat, yaitu daya dukung maksimum, daya dukung subsisten, daya dukung optimum, dan daya dukung suboptimum. Daya dukung maksimum menunjukkan jumlah maksimum mahluk hidup yang dapat didukung per satuan luas lahan. Dengan jumlah mahluk hidup yang maksimum, makanan sebenarnya tidak cukup. Walaupun mahluk hidup itu masih hidup, tetapi tidak sehat, kurus, dan lemah serta mudah terserang oleh penyakit dan hewan pemangsa. Daya dukung subsisten dimana jumlah mahluk hidup agak kurang. Persediaan makanan lebih banyak. Mahluk hidup masih kurus dan ada dalam ambang batas antara sehat dan lemah. Mereka masih mudah terserang oleh penyakit dan hewan pemangsa. Lingkungan juga masih mengalami kerusakan. Daya dukung optimum, jumlah hewan lebih rendah dan terdapat keseimbangan yang baik antara jumlah hewan dan persediaan makanan. Kecepatan dimakannya rumput atau tumbuhan lain seimbang dengan kecepatan regenerasi tumbuhan itu. Kondisi tubuh hewan baik: gemuk, kuat dan sehat. Hewan itu tidak mudah terserang oleh penyakit dan hewan pemangsa. Lingkungan tidak mengalami kerusakan. Daya dukung suboptimum jumlah hewan lebih rendah lagi. Persediaan makanan melebihi yang diperlukan. Karena itu kecepatan dimakannya rumput atau tumbuhan lain lebih kecil daripada kecepatan pertumbuhan. Akibatnya batang rumput dan tumbuhan lain mengayu dan menjadi keras. Mutu padang penggembalaan menurun. Jadi sebenarnya terjadi pula kerusakan. Pada umumnya kerusakan itu bersifat reversible. Pengelolaan lingkungan mengusahakan untuk mendapatkan populasi hewan pada atau dekat pada daya dukung optimum. Dilampauinya batas daya dukung akan menyebabkan keambrukan kehidupan, karena tidak tersedianya sumber daya, hilangnya kemampuan degradasi limbah, meningkatnya pencemaran dan timbulnya gejolak sosial yang merusak struktur dan fungsi tatanan masyarakat.

2.4.1. Resiliensi Lingkungan

Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan lingkungan untuk menerima gangguan tanpa terjadi perubahan kondisi atau fungsi lingkungan tersebut Holling 2000. Kontek kemampuan ini tidak hanya bersifat biofisik atau ekologi akan tetapi merupakan kombinasi antara aspek ekologi dan sosial. Untuk mengestimasi daya dukung, konsep resiliensi dapat diterapkan dengan cara mengestimasi besaran gangguan yang menyebabkan terjadinya perubahan kondisi atau fungsi lingkungan. Menurut Holling 2000, ada 4 empat aspek untuk menentukan tingkat resiliensi yaitu: 1. Latitude yaitu jumlah perubahan pada sistem yang terjadi yang mengakibatkan tidak dapat kembali kepada kondisi semula. 2. Resitance yaitu banyaknya gangguan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sistem. 3. Precariuosness yaitu seberapa dekat nilai ambang batas dari sistem 4. Penarchy yaitu dampak pada sistem yang diukur pada skala yang berbeda. Pengelola resiliensi lingkungan bertujuan untuk mencegah terjadinya pergeseran lingkungan kepada kondisi yang tidak diinginkan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi cara mengintervensi untuk meningkatkan resiliensi pada kondisi yang baik untuk mengatasi perubahan yang akan datang.