Definisi Operasional METODE PENELITIAN 3.1

72 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2000 1500 1000 500 In fr a st ru k tu r L is tr ik K w h P e n d u d u k 74 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 73 72 71 73 72 71 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 73 72 71 73 72 71 73 72 71 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 16 14 12 10 8 6 4 2 In fr a st ru k tu r Ja la n R a y a K m L u a s W il a y a h 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 semua daerah kota yakni Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Tegal, Kota Semarang, Kota Pekalongan serta empat kabupaten yakni Sragen, Kudus, Klaten dan Karanganyar. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rasio panjang jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas wilayah yang relatif lebih tinggi dari daerah lainnya, sehingga mampu menghubungkan dan menjangkau area yang lebih luas. Lima daerah yang memiliki kualitas infrastruktur jalan raya terendah adalah Blora, Grobogan, Cilacap, Demak dan Rembang. Perkembangan kualitas infrastruktur jalan raya selama periode 2004-2010 menunjukkan pola yang reatif stabil dan penyebaran antar daerah masih belum merata. Daerah kota menjadi pencilan dengan kualitas infrastruktur yang jauh lebih baik, sementara kualitas di daerah kabupaten relatif lebih rendah dan indeksnya mengumpul di sekitar rata- rata. Sumber : Diolah dari Daerah Dalam Angka DDA Jawa Tengah 2005-2011 Gambar 18 Boxplot Perkembangan Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut KabupatenKota Jawa Tengah Tahun 2004-2010 Kualitas infrastruktur listrik menurut wilayah juga menunjukkan pola yang hampir serupa dengan kualitas infrastruktur jalan raya. Daerah yang memiliki kualitas infrastruktur listrik terbaik terdiri dari semua daerah berstatus kota dan 73 empat kabupaten yakni Kendal, Karanganyar, Kudus dan Semarang Gambar 17 dan Gambar 18. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata jumlah energi listrik terjual per penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Tingginya konsumsi listrik secara tidak langsung ini menggambarkan jangkauan infrastruktur listrik yang lebih luas. Kawasan industri, perdagangan dan jasa di Jawa Tengah sebagian besar terpusat di sembilan daerah tersebut, sehingga membutuhkan supplai listrik yang memadai. Pola perkembangan infrastruktur listrik selama periode 2004-2010 menunjukkan peningkatan secara rata-rata. Dari sisi persebaran antar daerah menunjukkan pola yang tidak merata dan daerah berstatus kota cenderung memiliki infrastruktur yang lebih baik Gambar 18. Daerah yang memiliki kualitas infrastruktur listrik terendah terdiri dari Kabupaten Magelang, Brebes, Wonosobo, Tegal, Purbalingga dan Blora. Keenam daerah tersebut memiliki wilayah administrasi yang lebih luas dan memiliki tipologi wilayah berupa daerah pegunungan, sehingga jangkauan infrastruktur listrik terkendala oleh kondisi geografis.

4.1.3 Karakteristik Perekonomian

Struktur perekonomian Jawa Tengah sampai tahun 2010 didominasi oleh lapangan usaha pada empat sektor, yakni industri pengolahan; perdagangan, hotel dan restoran; pertanian; dan jasa-jasa. Kontribusi sektor pertanian yang cukup dominan dalam menghasilkan nilai tambah maupun dalam menyerap tenaga kerja di masa awal pembangunan secara berangsur-angsur mengalami penurunan dan peranannya mulai tergantikan oleh sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Pada tahun 2010, kontribusi terbesar dalam perekonomian disumbang oleh nilai tambah sektor industri pengolahan dengan andil sebesar 32,89 persen Gambar 19.a. Meskipun demikian, 12 persen diantaranya merupakan andil industri pengolahan migas yang beroperasi di Kabupaten Cilacap dan 20,82 persen sisanya dihasilkan oleh industri rokok yang beroperasi di Kabupaten Kudus, industri tekstil di Kabupaten Karanganyar, industri barang-barang dari kayu di Kabupaten Jepara dan industri lainnya. Permasalahan dalam struktur industri pengolahan di Jawa tengah adalah meningkatnya kontribusi sektor 74

2.24 4.07

6.73 6.94

11.93 22.11

22.27 23.69

Pertambangan dan LGA Keuangan Transportasi dan Komunikasi Konstruksi Jasa Pertanian Perdagangan Industri Pengolahan

0.86 1.14

4.20 6.62

12.41 35.53

21.43 17.81

2.01 3.58

5.92 6.10

10.49 19.44

19.58 32.89

a Komposisi PDRB dengan Migas b Komposisi PDRB Tanpa Migas c Komposisi Tenaga Kerja industri pengolahan yang lebih didorong oleh peningkatan nilai tambah pada industri migas, padalah jenis industri ini lebih bersifat padat modal atau capital intensive . Di sisi yang lain, kontribusi industri non-migas yang lebih bersifat padat karya atau labor intensive cenderung menurun dalam satu dekade terakhir, dari 25,81 persen di tahun 2000 menjadi 20,82 di tahun 2010. Permasalahan tersebut berpengaruh pada menurunnya kemampuan sektor industri pengolahan dalam menyerap kelebihan tenaga kerja akibat pertumbuhan jumlah angkatan kerja. Pada tahun 2010, jumlah penduduk bekerja yang terserap oleh lapangan usaha di sektor industri pengolahan hanya sebesar 17,81 persen Gambar 19.c. Sumber : Diolah dari PDRB 2011, BPS Provinsi Jawa Tengah Gambar 19 Komposisi PDRB dan Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 Persen Berdasarkan Gambar 19, sektor perdagangan, sektor pertanian dan sektor jasa-jasa masing-masing memiliki kontribusi nilai tambah sebesar 19,58 persen dan 19,44 persen dan 10,49 persen dalam perekonomian. Sektor yang lainnya memiliki kontribusi nilai tambah kurang dari 7 persen. Meskipun kontribusinya cenderung menurun, sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama bagi sebagian besar penduduk untuk melakukan kegiatan usaha dan bekerja. Pada tahun 2010, sektor pertanian mampu menampung tenaga kerja sebanyak 35,53 persen. Sektor perdagangan dan sektor jasa-jasa masing-masing menyerap tenaga kerja sebanyak 21,43 persen dan 12,41 persen. Struktur perekonomian menurut wilayah kabupatenkota menunjukkan pola yang beragam Gambar 20. Mayoritas kabupaten memiliki struktur perekonomian yang dominan pada sektor pertanian, sementara struktur perekonomian daerah kota lebih dominan pada sektor perdagangan dan jasa. 75 Terdapat 18 kabupaten yang memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor pertanian, yakni Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Wonogiri, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Demak, Temanggung, Batang dan Brebes. Besarnya kontribusi sektor pertanian di setiap kabupaten bervariasi antara 21,86 persen sampai 52,79 persen. Peranan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja di kedelapanbelas kabupaten tersebut juga sangat dominan dengan nilai yang bervariasi antara 23 persen sampai 64 persen. Sumber : Diolah PDRB dan Angkatan Kerja 2010, BPS Provinsi Jawa Tengah Gambar 20 Sektor Dominan dan Pangsa Penduduk Bekerja Persen menurut Lapangan Usaha dan KabupatenKota Tahun 2010 Sektor industri pengolahan mendominasi struktur perekonomian di delapan kabupaten, yakni Cilacap, Sukoharjo, Karanganyar, Kudus, Jepara, Semarang, Kendal dan Pekalongan dengan karakteristik dan jenis industri yang bervariasi. Struktur perekonomian Cilacap didominasi oleh industri pengolahan migas, Sukoharjo dan Karanganyar didominasi oleh industri tekstil dan produk tekstil, Kudus didominasi oleh industri pengolahan tembakaurokok, Jepara didominasi industri barang dari kayu mebeler dan Pekalongan didominasi oleh industri batik. Meskipun demikian, tidak semua kabupaten tersebut memiliki pangsa penduduk berkerja yang dominan di sektor industri pengolahan. Kabupaten Cilacap, Semarang dan Batang menjadi tiga kabupaten dengan struktur 76 perekonomian dominan di sektor industri, namun memiliki pangsa tenaga kerja yang dominan di sektor pertanian. Empat daerah yang berstatus kota Surakarta, Semarang, Pekalongan, Tegal dan tiga wilayah kabupaten Klaten, Pemalang dan Tegal memiliki struktur perekonomian yang dominan pada sektor perdagangan. Kota Salatiga dan Kota Magelang memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor jasa, terutama jasa pemerintahan umum. Mayoritas penduduk di tujuh kabupatenkota tersebut juga melakukan kegiatan bekerja pada sektor perdagangan dan jasa-jasa.

4.1.4 Karakteristik Sumber Daya Manusia

Salah satu indikator yang merepresentasikan kemajuan pembangunan manusia di suatu wilayah adalah Indeks Pembangunan Manusia IPM. IPM merupakan sebuah indeks kompositgabungan antara indikator kesehatan yang diukur dari angka harapan hidup pada saat lahir, indikator pengetahuan yang diukur dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf serta standar hidup yang layak yang diukur dari daya beli penduduk konsumsi riil perkapita yang disesuaikan. Nilai IPM berkisar antara 0 hingga 100 dan semakin mendekati 100 mengindikasikan kualitas pembangunan manusia yang semakin baik. United Nations Development Programme UNDP, 1996 mengkategorikan nilai IPM menjadi empat, yakni rendah IPM50; menengah bawah 50 ≤IPM66; menengah atas 66 ≤IPM80; dan tinggi IPM≥80. Tabel 4 IPM Jawa Tengah Beserta Komponennya, 2004-2010 Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Angka Harapan Hidup Tahun 69,70 70,57 70,80 70,90 71,10 71,25 71,40 Rata-rata Lama Sekolah Tahun 6,54 6,64 6,80 6,80 6,86 7,07 7,24 Angka Melek Huruf Persen 86,72 87,35 88,24 88,62 89,24 89,46 89,95 Daya BeliPPPRibu RpBulan 619 621 622 629 634 636 637 Indeks Pembangunan Manusia 68,88 69,78 70,25 70,92 71,60 72,10 72,49 Peringkat IPM Nasional 17 16 15 14 14 14 14 Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan Perkembangan kualitas pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah yang diukur dengan nilai IPM selama periode 2004-2010 menunjukkan pola yang