Analisis DINAMIKA PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN

108 hanya penting untuk kegiatan konsumsi, namun juga menjadi jaminan bagi kelangsungan proses produksi terutama pada industri yang berbasis mesin dan teknologi. Pemanfaatan energi listrik di Jawa Tengah sampai tahun 2010 sebagian besar digunakan untuk keperluan rumah tangga dengan porsi 49,81 persen. Porsi penggunaan energi listrik untuk keperluan industri dan usaha sebesar 45,04 persen dan sisanya sebanyak 5,15 persen digunakan untuk kegiatan sosial, pemerintahan dan penerangan jalan. Berbeda dengan infrastruktur listrik yang memiliki elastisitas cukup besar, kualitas infrastruktur jalan raya hanya memiliki elastisitas sebesar 0,052. Nilai ini memiliki makna peningkatan rasio jalan yang berstatus mantap terhadap luas wilayah sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,052 persen ceteris paribus. Beberapa penelitian sebelumnya juga menghasilkan temuan yang serupa, elastisitas infrastruktur jalan raya relatif lebih rendah dibandingkan dengan elastisitas infrastruktur energi listrik Amrullah, 2006; Sibarani, 2002; Prasetyo, 2010. Kualitas infrastruktur jalan raya memiliki peranan strategis dalam perekonomian, terutama untuk menjamin kelancaran mobilitas faktor produksi maupun distribusi barang dan jasa hasil produksi. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap infrastruktur jalan raya dibandingkan dengan infrastruktur transportasi lainnya menuntut peran pemerintah salaku penyedia jasa pelayanan publik untuk menjamin ketersediaan jalan raya dengan kualitas yang baik. Sampai saat ini, mobilitas barang dan jasa di Jawa Tengah masih sangat bergantung pada keberadaan Jalur Pantura yang kondisinya semakin memprihatinkan akibat kualitas jalan yang menurun maupun peningkatan volume kendaraan yang melewatinya. Jalan alternatif melalui jalur selatan dan tengah kondisinya juga lebih memprihatinkan. Permukaan jalan banyak yang rusak dan terkendala oleh kondisi medan yang menanjak serta berkelok-kelok. Permasalahan rendahnya kualitas infrasrtuktur jalan raya tidak lepas dari adanya dikotomi dalam pengelolaan infrastruktur jalan antara pemerintah pusat dan daerah. Celah ini membuka peluang penyimpangan dalam tender dalam pengelolaan jalan, sehingga meskipun sering diperbaiki kondisi jalan secara cepat mengalami kerusakan. 109 Perubahan stok kapital atau investasi fisik yang diproksi dengan pembentukan modal tetap bruto juga memiliki pengaruh yang signifikan dengan elastisitas sebesar 0,033. Hal ini bermakna perubahan stok kapital sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,033 persen ceteris paribus . Pengeluaran pemerintah untuk belanja pembangunan memiliki elastisitas sebesar 0,02, sehingga kenaikan pengeluaran pembangunan sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,02 persen. Relatif rendahnya pengaruh perubahan stok kapitalinvestasi dan belanja pembangunan terhadap pertumbuhan menunjukkan pemanfaatan investasi untuk penambahan modal fisik belum berjalan secara optimal. Investasi fisik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta masih terkonsentrasi untuk penambahan modal di sektor konstruksi terutama properti, sementara untuk penambahan modal mesin dan sarana transportasi produktif masih relatif rendah. Porsi investasi fisik untuk kegiatan konstruksi masih di atas 70 persen, padahal tingkat pengembaliannya jauh lebih lambat dibandingkan dengan investasi mesin dan sarana transportasi produktif. Rendahnya pengaruh variabel belanja pembangunan terhadap pertumbuhan juga disebabkan oleh rendahnya rasio belanja pembangunan terhadap APBD. Rata-rata rasio di semua kabupatenkota pada tahun 2010 hanya sebesar 14,5 persen. Nilai ini masih jauh dari kondisi ideal maupun rata-rata nasional yang mencapai 22,9 persen Kemenkeu, 2011. 5.2 Model Pencari KerjaPengangguran Model pengangguran digunakan untuk mengidentifikasi determinan yang memengaruhi perubahan jumlah pencari kerjapenganggur. Hasil estimasi model pengangguran menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS atau Panel Two Stage Random Effect secara ringkas disajikan dalam Tabel 9. Secara umum, model menghasilkan nilai F statistik sebesar 64,87 dan signifikan pada taraf 1 persen, sehingga mampu menjelaskan keragaman variabel tak bebas. Variabel yang memiliki pengaruh signifikan adalah jumlah angkatan kerja tidak terampil SLTP ke bawah, angkatan kerja terampil SLTA ke atas, pendapatan perkapita dan investasi. Variabel upah mínimum riil tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penganggur pada taraf 10 persen. 110 Tabel 9 Hasil Estimasi Model Pengangguran Variabel Koefisien Standart Error t-Statistic Elastisitas Variabel Bebas : LogUN Const. 1,267 0,158 1,673 LogAK_SLTP 0,265 0,173 3,205 0,265 LogAK_SLTA 0,553 0,202 -0,046 0,553 LogUPAH -0,009 0,333 -4,363 -0,009 LogKAP -1,453 0,003 -2,644 -1,453 INV -0,009 0,158 1,673 -0,069 Catatan : Signifikan pada taraf 10, Signifikan pada taraf 5, Signifikan pada taraf 1 Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap perubahan jumlah penganggur adalah pendapatan perkapita dengan elastisitas sebesar -1,453. Setiap pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 1 persen akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah pencari kerjapenganggur sebesar 1,453 persen ceteris paribus. Variabel perubahan stok kapitalinvestasi juga memiliki pengaruh negatif dengan elastisitas sebesar -0,069 ceteris paribus, sehingga peningkatan stok kapital sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan jumlah penganggur sebesar -0,069 persen. Investasi memiliki pengaruh langsung terhadap penurunan jumlah penganggur melalui penciptaan kesempatan kerja baru, sehingga semakin tinggi investasi maka peluang terciptanya kesempatan kerja akan semakin besar. Peningkatan jumlah pencari kerjapenganggur di Jawa Tengah juga sangat berkaitan dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja atau sering disebut pengangguran alamiah. Hal ini terlihat dari besarnya pengaruh peningkatan jumlah angkatan kerja baik yang terampil maupun yang tidak terampil terhadap peningkatan jumlah pencari kerja. Kedua variabel memiliki pengaruh yang nyata dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,553 dan 0,265. Nilai tersebut bermakna pertumbuhan jumlah angkatan kerja terampil sebesar 1 persen akan mendorong peningkatan jumlah penganggur sebesar 0,553 persen dan pertumbuhan jumlah angkatan kerja tidak terampil sebesar 1 persen akan memengaruhi pertumbuhan jumlah penganggur sebesar 0,265 persen ceteris paribus . 111 Fenomena tersebut dapat dijelaskan oleh fakta bahwa penduduk yang baru masuk ke dalam angkatan kerja terutama yang berpendidikan tinggi akan lebih rasional untuk mencari dan memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Mereka akan cenderung memilih kesempatan kerja di sektor formal dengan pertimbangan tingkat upah yang lebih tinggi. Di sisi yang lain, jumlah kesempatan kerja yang tersedia di sektor formal lebih terbatas dibandingkan dengan jumlah peminatnya sehingga berpengaruh pada lamanya waktu bagi angkatan kerja baru untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sesuai. Lamanya waktu untuk mencocokkan jenis pekerjaan yang sesuai juga mendorong peningkatan pengangguran friksional terutama pada angkatan kerja baru yang berpendidikan tinggi. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Suparno 2010 yang menyatakan bahwa rasio jumlah pekerja berpendidikan SLTA ke atas berpengaruh positif terhadap pengangguran di Indonesia. Todaro dan Smith 2006 mengemukakan kebanyakan angkatan kerja cenderung menolak apa yang mereka anggap sebagai penurunan persyaratan atas pekerjaan mereka. Banyak pencari kerja dengan pendidikan tinggi yang memiliki harapan tinggi dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di pasar tenaga kerja. Mereka akan memilih untuk tetap tidak bekerja selama beberapa waktu daripada menerima pekerjaan yang menurut mereka kurang sesuai, apalagi jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Semakin lamanya waktu menganggur maka harapan-harapan itu akan terus melemah, sehingga pada akhirnya mereka terpaksa menerima jenis-jenis pekerjaan yang sebenarnya hanya memerlukan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Berbeda dengan angkatan kerja terampil, angkatan kerja yang idak terampil akan lebih realistis untuk menempati kesempatan kerja yang tersedia dan membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk menunggu jenis pekerjaan yang sesuai. Kesempatan kerja di sektor informal sekalipun akan dimasuki, meskipun statusnya sebagai buruh lepas bahkan sebagai pekerja tidak dibayar. Maraknya perkembangan di sektor informal menjadi penjelas mengapa pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang tidak terampil memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam meningkatkan jumlah penganggur dibandingkan dengan angkatan kerja terampil. 112 SD 26,79 SLTP 29,25 SLTA 35,87 PT 8,09 SD 23,36 SLTP 27,09 SLTA 41,02 PT 8,53 SD 22,32 SLTP 24,82 SLTA 44,40 PT 8,47 Perkembangan jumlah pencari kerja di Jawa Tengah menurut tingkat pendidikan disajikan dalam Gambar 38. Secara umum, terdapat kecenderungan proporsi jumlah pencari kerja dengan level pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi pekerja terampil semakin meningkat. Sebaliknya, proporsi jumlah pekerja berpendidikan rendah SLTP ke bawan jumlahnya semakin menurun. Sumber : Diolah dari Susenas 2004, 2007, 2010, BPS Jawa Provinsi Tengah Gambar 38 Proporsi Jumlah Penganggur di Jawa Tengah menurut Pendidikan Berdasarkan hasil estimasi, variabel upah mínimum kabupatenkota tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan jumlah penganggur. Meskipun secara nominal upah meningkat, namun secara riil nilainya tidak berubah atau cenderung stabil. Tujuan utama kebijakan penetapan upah mínimum adalah untuk mempertahankan standar upah riil yang diterima pekerja sebagai akibat dari kenaikan harga atau inflasi. Bagi pekerja terdidik kebijakan upah mínimum tidak memberi pengaruh besar, karena pada umumnya mereka sudah menikmati tingkat upah di atas upah mínimum. Namun bagi pekerja tidak terampil atau pekerja berpendidikan rendah, upah mínimum memberikan manfaat yang cukup besar karena meningkatkan upah mereka di atas tingkat upah keseimbangan. Secara umum, kebijakan upah mínimum di Jawa Tengah hanya berlaku pada sektor formal seperti industri pengolahan, konstruksi, perdagangan dan jasa karena secara langsung mudah diawasi oleh instansi yang terkait. Pada sektor informal dan sektor pertanian upah mínimum tidak berlaku, karena pengawasannya sangat sulit dan supply pekerja di sektor tersebut sangat melimpah. Bagi perusahaan formal, kebijakan penentuan upah mínimum di atas tingkat upah keseimbangan akan menambah beban pengeluaran perusahaan. Sebagai konsekuensinya maka perusahaan akan melakukan penjatahan pekerjaan kepada pekerja yang benar-benar produktif atau melakukan hal yang lebih ekstrim 2004 2007 2010