Pendekatan Between Estimator BE Spesifikasi Model

63 yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari penduganya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson DW. Prosedur yang dilakukan dengan membandingkan nilai DW-hitung dan DW-tabel. Kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola error acak dari hasil regresi. Tabel 3 Kriteria Identifikasi Autokorelasi Nilai DW Hasil 4 – dl DW 4 Terdapat korelasi serial negatif 4 – du DW 4- dl Hasil tidak dapat ditentukan 2 DW 4 – du Tidak ada korelasi serial Du DW 2 Tidak ada korelasi serial dl DW du Hasil tidak dapat ditentukan 0 DW dl Terdapat korelasi serial positif Sumber: Gujarati, 2004

3.3 Spesifikasi Model

Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian terdiri dari empat persamaan, yakni: 1 Model Pertumbuhan Model pertumbuhan mengacu pada model pertumbuhan endogen digunakan Barro 1997 yang telah dimodifikasi. Pertumbuhan pendapatan perkapita merupakan fungsi dari perubahan jumlah pekerja dibagi menjadi pekerja terampil dan tidak terampil, modal manusia rata-rata usia lama sekolah, perubahan stok kapitalinvestasi, kualitas infrastruktur jalan raya dan listrik serta pengeluaran pemerintah daerah untuk belanja modalpembangunan. Spesifikasinya adalah: ln ��� �� = � + � 1 ln ���������− �� + � 2 ���������+ �� + � 3 ln ��� �� + � 4 ��� �� + � 5 ln ���� �� + � 6 ln ��� �� + � 7 ln ��� �� + � �� 3.40 2 Model Pengangguran Dalam model ini, pertumbuhan jumlah pencari kerjapengangguran merupakan fungsi pertumbuhan jumlah angkatan kerja menurut pendidikan, tingkat upah 64 minimum kabupatenkota, pertumbuhan pendapatan perkapita dan investasi. Spesifikasi modelnya adalah: ln �� �� = � + � 1 ln ������ − �� + � 2 ln ������ + �� + � 3 ln ���� �� + � 4 ln ��� �� + � 5 ln ��� �� + � �� 3.41 3 Model Ketimpangan Pendapatan Dalam model ini, indeks ketimpangan Gini rasio income merupakan fungsi dari pertumbuhan pendapatan perkapita, indeks ketimpangan pendidikan Gini rasio pendidikan, indeks harga dan pengeluaran pemerintah untuk belanja pembangunan. Spesifikasi adalah: ����� = � + � 1 ln ��� �� + � 2 ����� �� + � 3 ln ��� �� + � 4 ln ��� �� + � �� 3.42 4 Model Kemiskinan: Model kemiskinan yang digunakan mengacu pada model Wodon 1999 dengan menambahkan variabel jumlah penganggur dan indeks harga. Jumlah penduduk miskin merupakan fungsi dari pertumbuhan pendapatan perkapita, jumlah penganggur, indeks ketimpangan pendapatan serta indeks harga. Spesifikasinya adalah: ln �� �� = � + � 1 �� ��� �� + � 2 ����� �� + � 3 ln �� �� + � 4 ln ��� �� + � �� 3.43 Keterangan : ��� �� = Pendapatan perkapita penduduk kabupaten ke-i tahun ke-t �� �� = Jumlah penduduk miskin kabupaten ke-i tahun ke-t ����� �� = Indeks ketimpangan pendapatan kabupaten ke-i tahun ke-t �� �� = Jumlah pencari kerjapengangguran kabupaten ke-i tahun ke-t ��� �� = Nilai Investasi kabupaten ke-i tahun ke-t ��� �� = Belanja pembangunanAPBD kabupaten ke-i tahun ke-t ��� �� = Rasio panjang jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas wilayah kabupaten ke-i tahun ke-t ���� �� = Rasio energi Kwh energi listrik yang terjualjumlah penduduk kabupaten ke-i tahun ke-t. ��� �� = Rata-rata usia lama sekolah penduduk kabupaten ke-i tahun ke-t �� �� = Jumlah angkatan kerja kabupaten ke-i tahun ke-t ����� �� = Jumlah penduduk bekerja di kabupaten ke-i tahun ke-t ���� �� = Upah minimum kabupaten ke-i tahun ke-t 65 ��� �� = Indeks Harga Konsumen, diproksi dengan deflator PDRB kabupaten ke-i tahun ke-t ����� �� = Indeks ketimpangan pendidikan kabupaten ke-i tahun ke-t �, �, �, � = Parameter yang diestimasi menunjukkan nilai elastisitas � , � 0, � , � = Konstantaintersep � �� = Error term, � �� = � � + � �� untuk one way error component model dan � �� = � � + � � + � �� untuk two way error component model Model pertumbuhan dan pengangguran dapat diestimasi secara langsung menggunakan pendekatan FEM maupun REM. Namun, model ketimpangan dan kemiskinan mengandung permasalahan bias simultan karena mamasukkan variabel endogen pendapatan perkapita ke sisi kanan dari kedua persamaan. Permasalahan bias simultan endogenity terjadi karena ada korelasi antara variabel endogen di ruas sebelah kanan persamaan dengan sisaan dari model. Jika terjadi endogenity akan menyebabkan pendugaan dengan OLS menjadi tidak konsisten Baltagi, 2005. Keempat persamaan dapat diestimasi menggunakan metode Panel Two Stage Least Square 2SLS. Langkah yang dilakukan adalah memasukkan sejumlah variabel sebagai instrumen dari variabel endogen di ruas kanan persamaan. Pemilihan model estimasi dilakukan dengan menggunakan software Eviews 6 dan STATA 10.

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional dari peubah yang digunakan dalam model adalah sebagai berikut:

1. Tingkat kemiskinan merupakan indikator kemiskinan yang diukur dengan

jumlah populasi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

2. Pendapatan perkapita, diproksi dengan pendekatan nilai PDRB riil per

jumlah penduduk pada tahun yang sama dalam satuan juta rupiah.

3. Gini rasio income merupakan ukuran indeks ketimpangan dalam distribusi

pendapatan yang diterima penduduk diproksi dengan pendekatan pengeluaran perkapita per bulan, karena data pendapatan individu tidak tersedia.

4. Angkatan kerja didefinisikan sebagai jumlah penduduk berusia produktif

14 tahun yang sedang bekerja dan mencari pekerjaan. Indikator ini menggambarkan secara kasar bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat 66 aktif dalam kegiatan perekonomian. Angkatan kerja dibagi menjadi dua bagian, berpendidikan SLTP ke bawah sebagai proksi dari angkatan kerja tidak terampil dan SLTA ke atas sebagai proksi angkatan kerja terampil.

5. Pengangguran merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja dan

sedang mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha.

6. Rata-rata usia lama sekolah didefinisikan sebagai rata-rata jumlah tahun

bersekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas, dimulai dari tingkat sekolah dasar sampai kelas terakhir yang pernah diduduki. Indikator ini mencerminkan kualitas sumber daya manusia.

7. Indeks Harga Konsumen merepresentasikan perkembangan harga barang

dan jasa antar periode. Tidak semua kabupatenkota melakukan penghitungan IHK, sehingga diproksi dengan pendekatan deflator PDRB atau rasio antara PDRB nominal terhadap PDRB riil.

8. Belanja pembangunan, merupakan bagian dari Anggaran Pembangunan dan

Belanja Daerah APBD pemerintah kabupatenkota yang digunakan untuk belanja modal atau belanja pembangunan Rp milyar.

9. Investasi, merupakan variabel proksi dari perubahan stok kapital yang diukur

dengan nilai pembentukan modal tetap bruto dalam PDRB pengeluaran kabupatenkota.

10. Ketimpangan pendidikan, merupakan indikator yang merepresentasikan

distribusi atau pangsaproporsi pendidikan penduduk yang diukur dengan Gini rasio lama sekolah. Nilai Gini rasio pendidikan berkisar antara 0 sampai 1, semakin mendekati nilai satu menunjukkan tingkat pendidikan antar penduduk yang semakin timpang. Pengukuran Gini rasio pendidikan serupa dengan pengukuran Gini rasio pendapatan, variabel pokok yang digunakan adalah usia lama sekolah penduduk. Tekniknya adalah menghitung tahun lama sekolah setiap penduduk berdasarkan data Susenas, kemudian diurutkan dari yang terendah sampai tertinggi dan menghitung proporsi populasi penduduk berdasarkan tingkatan tahun lama pendidikan.

11. Upah minimum, merupakan nilai upah terendah yang ditetapkan oleh

pemerintah kabupatenkota.

12. Rasio panjang jalan, merepresentasikan kualitas infrastruktur transportasi

67 yang diukur dari panjang jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas wilayah administrasi.

13. Rasio jumlah listrik terjual, merepresentasikan kualitas infrastruktur listrik

yang diukur dari jumlah Kwh energi listrik terjual dibagi dengan jumlah penduduk. 68 Halaman ini sengaja dikosongkan

IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN

4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 4.1.1 Karakteristik Wilayah Administrasi Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa dan secara administrasi diapit oleh dua provinsi besar Jawa Barat dan Jawa Timur. Wilayah bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa, sementara di bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Gambar 16. Wilayah administrasi Jawa Tengah tepat berada di sentral Pulau Jawa yang cukup dekat dengan pusat pemerintahan maupun pusat perekonomian serta menjadi jalur penghubung perdagangan darat antara wilayah bagian barat dan timur Pulau Jawa, sehingga menjadi sangat strategis bagi perkembangan perekonomian. Sumber : Sensus Penduduk Tahun 2010, BPS Gambar 16 Kepadatan Penduduk Provinsi Jawa Tengah Menurut Kabupaten Kota Tahun 2010 JiwaKm 2 Luas wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah sebesar 32.544 km 2 dan terbagi menjadi 29 kabupaten dan 5 kota dengan tipologi wilayah dan karakteristik sosial ekonomi yang beragam Gambar 16. Wilayah bagian utara 70 merupakan daerah pesisir yang terdiri dari 12 kabupatenkota dan memanjang dari Kabupaten Brebes sampai Rembang. Wilayah ini menjadi bagian dari Jalur transportasi Pantai Utara Pulau Jawa Pantura. Wilayah pesisir selatan terdiri dari 4 kabupaten, yakni Cilacap, Kebumen, Purworejo dan Wonogiri. Tipologi wilayah pesisir selatan sedikit berbeda dengan pesisir utara, karena memiliki kombinasi antara wilayah pegunungan dan pantai yang memiliki ombak besar. Bagian tengah terdiri dari 17 kabupatenkota dengan tipologi wilayah berupa dataran dengan kombinasi pegunungan. Beberapa daerah di bagian tengah dan selatan menjadi bagian dari lintas transportasi Jalur Selatan Pulau Jawa. Jumlah penduduk berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 sebanyak 32,38 juta, sehingga setiap satu km 2 dihuni oleh 995 jiwa. Persebaran penduduk menurut wilayah kabupatenkota menunjukkan pola yang tidak merata Gambar 16. Populasi penduduk terkonsentrasi di wilayah yang menjadi pusat- pusat perekonomian, terutama di wilayah perkotaan, jalur pantura dan kawasan perekonomian yang dikenal dengan segitiga Joglosemar Jogja-Solo-Semarang. Wilayah yang menjadi konsentrasi penduduk dan ditandai oleh kepadatan penduduk yang sangat tinggi, yakni lebih dari 3.000 jiwa per km 2 . Beberapa wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi adalah adalah Kota Surakarta, Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kota Magelang, Kota Salatiga dan Kota Semarang. Wilayah dengan kepadatan penduduk rendah dihuni kurang dari 768 jiwa per km 2 dan terdiri dari Kabupaten Cilacap, Wonosobo, Purworejo, Wonogiri, Grobogan, Blora, Rembang serta Pati.

4.1.2 Infrastruktur Wilayah

Salah satu aspek penting yang memengaruhi kinerja perekonomian suatu wilayah adalah kondisi infrastruktur fisik. Dua komponen dari infrastruktur yang memiliki peran sentral dalam menjamin kelangsungan proses produksi maupun memperlancar alur distribusi barang dan jasa adalah infrastruktur transportasi dan listrik. Kuantitas infrastruktur transportasi dapat diukur dengan data panjang jalan yang berstatus baik dan sedang atau disebut dengan jalan berstatus mantap. Kuantitas infrastruktur listrik dapat diukur dengan jumlah daya energi listrik KWh yang terjual kepada pelanggan. Namun demikian, data panjang jalan dan 71 jumlah energi terjual belum mencerminkan kualitas infrastruktur yang tersedia. Kualitas infrastruktur lebih berkaitan dengan aspek kemudahan untuk mengaksesnya, sehingga untuk membandingkan kualitas infrastruktur antar wilayah dapat dilakukan dengan pendekatan rasio panjang jalan berstatus mantap terhadap luas wilayah administrasi dan rata-rata jumlah energi listrik terjual per penduduk. Sumber : Diolah dari Daerah Dalam Angka DDA Tahun 2011, BPS Provinsi Jawa Tengah Gambar 17 Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut KabupatenKota Jawa Tengah Tahun 2010 Gambar 17 menyajikan perbandingan kualitas infrastruktur transportasi dan listrik menurut wilayah kabupatenkota di Jawa Tengah pada tahun 2010. Sepuluh daerah yang memiliki kualitas infrastruktur transportasi terbaik terdiri 72 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2000 1500 1000 500 In fr a st ru k tu r L is tr ik K w h P e n d u d u k 74 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 73 72 71 73 72 71 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 74 73 72 71 73 72 71 73 72 71 73 72 71 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 16 14 12 10 8 6 4 2 In fr a st ru k tu r Ja la n R a y a K m L u a s W il a y a h 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 76 75 74 73 72 71 semua daerah kota yakni Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Tegal, Kota Semarang, Kota Pekalongan serta empat kabupaten yakni Sragen, Kudus, Klaten dan Karanganyar. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rasio panjang jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas wilayah yang relatif lebih tinggi dari daerah lainnya, sehingga mampu menghubungkan dan menjangkau area yang lebih luas. Lima daerah yang memiliki kualitas infrastruktur jalan raya terendah adalah Blora, Grobogan, Cilacap, Demak dan Rembang. Perkembangan kualitas infrastruktur jalan raya selama periode 2004-2010 menunjukkan pola yang reatif stabil dan penyebaran antar daerah masih belum merata. Daerah kota menjadi pencilan dengan kualitas infrastruktur yang jauh lebih baik, sementara kualitas di daerah kabupaten relatif lebih rendah dan indeksnya mengumpul di sekitar rata- rata. Sumber : Diolah dari Daerah Dalam Angka DDA Jawa Tengah 2005-2011 Gambar 18 Boxplot Perkembangan Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut KabupatenKota Jawa Tengah Tahun 2004-2010 Kualitas infrastruktur listrik menurut wilayah juga menunjukkan pola yang hampir serupa dengan kualitas infrastruktur jalan raya. Daerah yang memiliki kualitas infrastruktur listrik terbaik terdiri dari semua daerah berstatus kota dan