Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita

86 meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk usia kerja. Selama periode 1997-2010, pertumbuhan jumlah angkatan kerja memiliki tren positif sebesar 0,93 persen, artinya jumlah angkatan kerja rata-rata meningkat sebesar 0,93 persen per tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK selama periode 2004-2010 berada pada level 68 sampai 71 persen dari jumlah penduduk berusia kerja. Sisanya merupakan penduduk yang berstatus bukan angkatan kerja yakni tidak melakukan aktivitas kerja atau mencari kerja karena alasan bersekolah, mengurus rumah tangga atau yang lainnya Tabel 5. Tabel 5 Penduduk Usia Kerja di Jawa Tengah menurut Status Ketenagakerjaan, 2004-2010 Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Angkatan Kerja 000 Jiwa 16.827 17.210 16.924 17.664 16.691 17.088 16.856 Bekerja 000 Jiwa 15.528 15.568 15.567 16.304 15.464 15.835 15.809 Pengangguran 000 Jiwa 1.299 1.642 1.357 1.360 1.227 1.252 1.047 Bukan Angkatan Kerja 000 Jiwa 6.861 7.073 7.745 7.514 7.721 7.582 7.018 Penduduk Usia Kerja 000 Jiwa 23.689 24.283 24.669 25.178 24.412 24.670 23.875 TPAK Persen 71,04 70,87 68,60 70,16 68,37 69,27 70,60 TPT Persen 7,72 9,54 8,02 7,70 7,35 7,33 6,21 Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan Komposisi angkatan kerja terdiri dari penduduk bekerja dan penduduk yang sedang mencari pekerjaan atau menganggur. Komposisi jumlah penduduk yang bekerja selama periode 2004-2010 berada pada kisaran 90 sampai 94 persen dari jumlah angkatan kerja. Di sisi lain, komposisi penduduk yang berstatus sedang mencari kerja atau termasuk dalam tingkat pengangguran terbuka TPT jumlahnya berkisar antara 6 sampai 10 persen dari angkatan kerja dan cenderung meningkat dalam 15 tahun terakhir. Selama periode 1997-2010, setiap tahun jumlah pencari kerja rata-rata meningkat 1,24 persen sehingga TPT juga memiliki tren positif 4,85 persen per tahun selama periode 1997-2010. Meskipun demikian, dalam enam tahun terakhir ada kecenderungan TPT semakin menurun. Level TPT sangat tergantung pada situasi perekonomian secara makro dan sensitivitas konsep pengukuran yang digunakan. Selama satu dasa warsa terakhir, level TPT yang tertinggi terjadi di tahun 2005-2006 sebagai dampak dari 87 -0,04 -0,58 -0,11 -0,11 0,05 -0,05 0,17 -0,05 -0,31 -0,01 0,52 -0,36 -0,29 0,30 0,23 0,16 -0,06 -0,02 0,36 -0,04 -0,16 0,10 -0,22 0,35 -0,66 0,21 0,04 -0,14 -0,04 -0,08 -0,14 -0,10 0,25 -0,13 0,20 -1 -0,5 0,5 1 Trend Perubahan 2004-2010 persen 2,68 2,76 3,06 3,26 3,87 3,95 3,98 4,14 4,52 4,57 4,70 4,93 4,96 4,98 5,03 5,04 5,06 5,16 5,16 5,17 5,20 5,25 5,30 5,38 5,46 5,67 6,05 6,29 6,47 6,91 6,92 7,06 7,25 8,39 8,60 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 Blora Banyumas Banjarnegara Jepara Pekalongan Wonosobo Temanggung Karanganyar Wonogiri Klaten Demak Pemalang Rembang Boyolali Batang Magelang Purworejo Kota Surakarta Sukoharjo Purbalingga Kebumen Grobogan Semarang Kudus Brebes Kota Semarang Kendal Tegal Sragen Kota Pekalongan Pati Kota Magelang Kota Salatiga Kota Tegal Cilacap TPT 2010 Persen kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga BBM. Kebijakan tersebut memicu kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga yang lainnya. Tingginya TPT mempunyai implikasi sosial yang luas dan potensi kerawanan sosial yang akan ditimbulkan menjadi semakin besar. Gambaran umum mengenai dinamika pencari kerja di level kabupaten kota pada tahun 2010 beserta tren perubahan selama 2004-2010 disajikan dalam Gambar 28. Level TPT pada level kabupatenkota di tahun 2010 sangat bervariasi dengan nilai antara 2,97 persen sampai 14,22 persen. Kabupaten Magelang, Banjarnegara dan Purworejo menjadi tiga kabupaten yang memiliki level TPT terendah dan ketiganya merupakan daerah yang memiliki struktur perekonomian berbasis pertanian. Semua daerah yang berstatus kota memiliki level TPT di atas rata-rata provinsi dan Kota Tegal serta Kota Magelang menjadi dua daerah yang memiliki level TPT tertinggi. Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah Gambar 28 Tren TPT 2004-2010 dan Level TPT 2010 menurut Kabupaten Kota di Jawa Tengah Fenomena tingginya pengangguran di perkotaan lebih banyak berkaitan dengan pengangguran alamiah sebagai dampak dari pertumbuhan angkatan kerja 88 dan pengaruh pengangguran friksional. Pengangguran friksional terjadi karena sebagian dari penduduk yang baru masuk dalam angkatan kerja terutama yang berpendidikan tinggi cenderung lebih selektif dalam memilih pekerjaan. Faktor lain yang turut berpengaruh adalah tingkat upah di daerah perkotaan yang lebih bervariasi menurut jenis pekerjaan. Tingkat upah yang bervariasi akan mendorong frekuensi keluar dan masuk pekerja ke perusahaan menjadi semakin besar. Faktor migrasi juga turut mendorong peningkatan jumlah pencari kerja di perkotaan. Angkatan kerja terutama yang berpendidikan tinggi memiliki kecenderungan untuk mencari kesempatan kerja formal yang tersedia di daerah perkotaan. Terbatasnya kesempatan kerja formal yang tersedia menyebabkan sebagian dari mereka rela menunggu untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sesuai. Selama periode 2004-2010, sebanyak 13 kabupatenkota memiliki tren pertumbuhan pencari kerjapenganggur positif atau mengalami peningkatan TPT dari waktu ke waktu. Kabupaten Demak dan Kudus menjadi kabupaten yang memiliki tren peningkatan yang tertinggi. Tren perubahan TPT di 22 kabupatenkota yang lainnya memiliki arah negatif, atau secara rata-rata TPT mengalami penurunan setiap tahun. Nilai tren penurunan yang terendah terjadi di Kabupaten Brebes dan Banyumas yakni sebesar -0,66 dan -0,58.

4.2.3 Dinamika Ketimpangan Pendapatan

Distribusi pendapatan merepresentasikan besarnya porsi pendapatan yang diterima oleh individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Salah satu indikator untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan adalah Gini rasio. Gini rasio dihitung menggunakan data pendapatan individu atau rumah tangga berdasarkan hasi survei rumah tangga, di Indonesia dikenal dengan Susenas. Pengumpulan data pendapatan rumah tangga yang valid sulit diperoleh karena rumah tangga lebih tertutup ketika melaporkan data pendapatan yang diterima. Alternatifnya, untuk menghitung indeks ketimpangan digunakan pendekatan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Dalam realita, pengeluaran setiap individu menurut kelompok umur akan sangat berbeda-beda sehingga pendekatan ini akan memberikan hasil yang bias atau underestimate. Nilai indeks 89 ketimpangan yang diperoleh akan lebih rendah dari kenyataan, karena pendekatan pengeluaran perkapita hanya sensitif untuk mengambarkan pendapatan kelompok penduduk yang berpenghasilan rendah. Indeks ketimpangan pendapatan antar penduduk di Jawa Tengah selama periode 2004-2010 memiliki pola yang cukup berfluktuasi Tabel 6. Secara umum, ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan sehingga distribusi pendapatan di daerah perdesaan cenderung lebih merata. Hal ini tercermin dari nilai Gini rasio di daerah perkotaan yang selalu lebih tinggi dari daerah perdesaan. Fenomena ini berkaitan dengan distribusi kepemilikan aset dan skill penduduk perkotaan yang cenderung lebih timpang. Karakteristik daerah perkotaan yang menjadi pusat perekonomian dengan struktur perekonomian yang lebih heterogen menyebabkan tingkat pendapatan yang diterima penduduk menjadi lebih bervariasi. Kecenderungan penduduk yang berpendapatan tinggi untuk tinggal di daerah perkotaan yang memiliki fasilitas lebih lengkap juga menjadi salah satu penyebab tingginya ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan. Sebaliknya, struktur perekonomian di daerah perdesaan cenderung lebih homogen dan terkonsentrasi di sektor pertanian dengan tingkat upah maupun pendapatan yang lebih homogen sehingga ketimpangan pendapatan antar penduduk menjadi lebih rendah. Tabel 6 Indeks Ketimpangan Pendapatan Gini Rasio Provinsi Jawa Tengah menurut Wilayah, 2004-2010 Wilayah 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Perkotaan Gini Rasio 0,2738 0,3120 0,2956 0,2823 0,3258 0,3164 0,3306 Standar Deviasi 0,0015 0,0020 0,0018 0,0018 0,0021 0,0023 0,0027 Perdesaan Gini Rasio 0,2344 0,2587 0,2345 0,2295 0,2751 0,2511 0,2536 Standar Deviasi 0,0014 0,0014 0,0012 0,0015 0,0017 0,0014 0,0014 Perkotaan + Perdesaan Gini Rasio 0,2691 0,3007 0,2816 0,2678 0,3153 0,2996 0,3087 Standar Deviasi 0,0010 0,0013 0,0012 0,0012 0,0015 0,0015 0,0017 Sumber : Dihitung dari raw data Susenas 2004-2010, BPS Nilai Gini rasio Jawa Tengah pada tahun 2004 tercatat sebesar 0,2691, sehingga berdasarkan kriteria dari Oshima 1970 distribusi berada dalam 90 ketimpangan yang rendah. Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM pada tahun 2005 memicu kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga yang lainnya, sehingga pendapatan perkapita secara riil menurun dan daya beli penduduk terutama pada golongan berpendapatan rendah menurun secara drastis. Hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya ketimpanganketidakmerataan dalam distribusi pendapatan hingga menjadi 0,3007 atau meningkat 0,0306 poin di tahun 2005. Implementasi program kompensasi kenaikan harga BBM melalui transfer langsung berupa Bantuan Langsung Tunai BLT yang mulai digulirkan pada triwulan keempat tahun 2006 memiliki dampak sementara dalam meningkatkan daya beli penduduk miskin maupun memperbaiki distribusi pendapatan penduduk. Berdasarkan Tabel 6, nilai Gini rasio mengalami penurunan hingga mencapai 0,2678 di tahun 2007 yang berarti distribusi pendapatan bergerak semakin merata. Dampak yang hanya bersifat sementara terlihat ketika program transfer langsung dihentikan, ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan kembali meningkat menjadi 0,3087 di tahun 2010. Sebaran pendapatanpengeluaran antar penduduk selama periode 2004- 2010 menunjukkan pola yang semakin melebar atau divergen, artinya jarak antara pendapatan yang terendah dan tertinggi semakin lebar. Hal ini terlihat dari deviasi dalam distribusi pendapatan Gini rasio yang cenderung meningkat dari 0,001 di tahun 2004 menjadi 0,0017 di tahun 2010 Tabel 6. Deviasi di daerah perdesaan relatif stabil pada kisaran 0,0014, sementara di daerah perkotaan meningkat secara nyata dari 0,0015 di tahun 2004 menjadi 0,0027 di tahun 2010. Pola perkembangan indeks ketimpangan menurut kabupatenkota di Jawa Tengah selama periode 2004-2010 disajikan dalam Gambar 29. Nilai Gini rasio di semua kabupatenkota bervariasi dengan besaran kurang dari 0,4. Berdasarkan kriteria dari Oshima maka distribusi pendapatan berada dalam kondisi ketimpangan rendah sampai sedang. Secara umum, ketimpangan pendapatan di daerah yang berstatus kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten dan terdapat kecenderungan ketidakmerataan dalam distribusi justru semakin meningkat di beberapa kabupatenkota. 91

0.00 0.20

0.40 Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal

0.00 0.20

0.40 20

04 20 06 20 08 20 10 Brebes 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Kota Magelang 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Kota Surakarta 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Kota Salatiga 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Kota Semarang 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Kota Pekalongan 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Kota Tegal

0.00 0.20

0.40 Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak

0.00 0.20

0.40 Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen

0.00 0.20

0.40 Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Pada kondisi awal di tahun 2004, dari sepuluh daerah yang memiliki peringkat indeks ketimpangan tertinggi lima diantaranya merupakan wilayah kota yang terdiri dari Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Tegal. Lima kabupaten yang memiliki peringkat indeks ketimpangan tertinggi adalah Banyumas, Temanggung, Tegal, Klaten dan Purbalingga. Satu- satunya kota yang memiliki indeks ketimpangan terendah adalah Kota Pekalongan, sedangkan kabupaten yang memiliki peringkat indeks ketimpangan terendah adalah Kudus, Pati, Kebumen dan Rembang. Sumber : Dihitung dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS Gambar 29 Indeks Ketimpangan Pendapatan Gini Rasio Income menurut KabupatenKota di Jawa Tengah Tahun 2004-2010 Kondisi pada tahun 2010 terjadi sedikit pergeseran, Kota Tegal yang semula termasuk dalam sepuluh daerah yang memiliki peringkat indeks ketimpangan tertinggi berubah statusnya menjadi daerah yang memiliki indeks ketimpangan terendah. Hal ini terjadi karena indeks ketimpangan di Kota Tegal selama dua periode cenderung stabil, sementara wilayah yang lainnya justru bergeser semakin tidak merata. Beberapa kabupaten yang peringkatnya berubah menjadi wilayah dengan indeks ketimpangan tertinggi adalah Sukoharjo, Purworejo, Wonogiri dan Karanganyar. Lima Kabupaten yang memiliki 92 peringkat terendah adalah Brebes, Kebumen, Pemalang, Jepara dan Rembang, sehingga distribusi pendapatan di kelima daerah tersebut lebih merata. Perubahan distribusi pendapatan penduduk selama periode 2004-2010 dapat dikaji menggunakan komponen tren. Jika tren bernilai positif maka distribusi pendapatan bergeser semakin tidak merata atau ketimpangannya semakin meningkat, sebaliknya jika tren bernilai negatif maka distribusi pendapatan bergeser semakin merata. Nilai tren perubahan indeks ketimpangan di level provinsi selama 2004-2010 sebesar 0,0054. Artinya, setiap tahun indeks ketimpangan meningkat sebesar 0,0054 poin dan distribusi pendapatan penduduk bergeser semakin tidak meratatimpang, meskipun perubahannya berjalan sangat lambat Gambar 30. Sumber : Dihitung dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS Gambar 30 Tren Ketimpangan Distribusi Pendapatan menurut KabupatenKota, 2004-2010 Berdasarkan Gambar 30, mayoritas kabupatenkota memiliki tren perubahan indeks ketimpangan yang bernilai positif, artinya distribusi pendapatan bergerak semakin tidak merata atau timpang. Semua daerah yang berstatus kota memiliki tren perubahan yang meningkat dan yang terbesar terjadi di Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Di sisi yang lain, terdapat 7 kabupaten yang memiliki nilai tren perubahan bertanda negatif atau distribusinya semakin merata. Ketujuh daerah tersebut adalah Kabupaten Grobogan, Tegal, Wonogiri, Purworejo, Sragen, Banjarnegara dan Kendal. Korelasi antara level indeks ketimpangan kondisi awal dengan tren perubahannya memiliki arah negatif sebesar 0,299, sehingga hubungannya sangat lemah. -0,0100 -0,0050 0,0000 0,0050 0,0100 0,0150 0,0200 G ro b o g a n T eg a l W o n o g ir i P ur w o rej o S ra g e n B a n ja rn e g ar a K en da l P a ti W o n o so bo B lor a R e m b a n g D e m ak S u ko h a rj o S ema ra ng K eb ume n K o ta M ag e lan g B o y o la li P u rb a li n g g a P ek a lo ng a n K la te n B reb es B a ta n g C ila ca p K ar an g an y ar K o ta S al at ig a K u d u s M ag e lan g P e m al an g T e m a n g g u n g B an y u m as Je pa ra K o ta S e m a ra n g K o ta S u ra k a rt a K o ta Te g a l K o ta P ek a lo n g a n Trend Ketimpangan Trend Perubahan Indeks Ketimpangan Jawa Tengah