104
Halaman ini sengaja dikosongkan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita
Model pertumbuhan digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang menjadi sumber pertumbuhan pendapatan perkapita di Jawa Tengah serta
mengetahui seberapa besar pengaruhnya. Hasil estimasi model pertumbuhan menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS atau Panel Two Stage Random
Effect secara ringkas disajikan dalam Tabel 8. Penggunaan metode Random
Effect didasarkan hasi Uji Hausman yang tidak signifikan pada taraf 10 persen,
artinya tidak terdapat korelasi antara efek individu dengan variabel bebas sehingga penggunaan Random Effect Model lebih baik dibandingkan dengan
Fixed Effect Model .
Pengujian parameter hasil estimasi secara menyeluruh menggunakan Uji F menghasilkan nilai statistik F sebesar 253,85 dan signifikan pada taraf 1 persen.
Hal ini berarti model layak digunakan karena mampu menjelaskan keragaman variabel tak bebas. Teknik pendugaan dalam model Random Effect dilakukan
dengan metode Generalized Least Square GLS sehingga secara otomatis mampu mengurangi permasalahan autokorelasi dan gejala heteroskedastisitas yang
disebabkan variasi sisaan yang tidak konstan Gujarati, 2004.
Tabel 8 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan
Variabel Koefisien
Standart Error t-Statistic
Elastisitas Variabel Bebas : LogKAP
Const. -2,143
0,205 -10,472
LogKERJA_SLTP -0,001
0,023 -0,029
-0,001 LogKERJA_SLTA
0,056 0,021
2,612 0,056
LogMYS 0,439
0,103 4,244
0,439 INV
0,004 0,008
4,731 0,033
LogLISTRIK 0,333
0,028 11,876
0,333 LogJALAN
0,052 0,016
3,360 0,052
LogPUB 0,020
0,006 3,114
0,020 Catatan : Signifikan pada taraf 10, Signifikan pada taraf 5, Signifikan pada taraf 1
Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang memiliki pengaruh signifikan terdiri dari jumlah pekerja terampil berpendidikan SLTA ke atas, stok
106
kapitalinvestasi, rata-rata usia lama sekolah, kualitas infrastruktur listrik dan jalan raya serta belanja pembangunan. Keenam variabel signifikan pada taraf 1 persen,
sementara variabel jumlah pekerja tidak terampil berpendidikan SLTP ke bawah tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf 10 persen.
Variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan pendapatan perkapita adalah modal manusia yang diproksi dari rata-rata usia lama
sekolah penduduk MYS. Elastisitas pendapatan perkapita terhadap rata-rata usia lama sekolah sebesar 0,439, sehingga kenaikan rata-rata usia lama sekolah sebesar
1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,439 persen ceteris paribus. Temuan ini sejalan dengan hipótesis teori pertumbuhan
endogen yang menyatakan modal manusia sebagai sumber pertumbuhan yang terpenting. Kenaikan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan
akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilanskill yang dimiliki pekerja dan akan memengaruhi produktivitas melalui cara produksi lebih efisien. Beberapa
penelitian sebelumnya juga menghasilkan temuan yang serupa, elastisitas pendapatan perkapita terhadap rata-rata usia lama sekolah memiliki arah positif
dengan besaran yang bervariasi Prasetyo, 2010; Purwanto, 2011. Modal manusia yang diproksi dengan jumlah seluruh pekerja memiliki
pengaruh yang tidak signifikan. Ketika variabel jumlah pekerja dibagi menjadi dua bagian, yakni pekerja terampil dan pekerja tidak terampil maka estimasi
model menunjukkan hasil yang berbeda. Elastisitas pendapatan perkapita terhadap jumlah pekerja terampil sebesar 0,056, sehingga pertumbuhan jumlah
pekerja terampil sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,056 persen ceteris paribus. Di sisi yang lain, variabel jumlah
pekerja yang tidak terampil memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap pendapatan perkapita. Fenomena ini menunjukkan bahwa modal manusia tidak
ditentukan oleh jumlah atau kuantitas penduduk yang pekerja, namun lebih ditentukan oleh kualitas keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja.
Hanya pekerja yang memiliki keterampilanskill yang akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita melalui peningkatan produktivitas.
Pentingnya modal manusia dalam mendorong pertumbuhan di Jawa Tengah dihadapkan pada realita masih rendahnya kualitas sumber daya manusia.
107
Rata-rata lama usia sekolah penduduk berusia kerja pada tahun 2001 hanya mencapai 6,09 tahun dan setara dengan tamat SD, meskipun secara bertahap
meningkat menjadi 7,24 tahun atau setara dengan SLTP kelas VII di tahun 2010. Kebijakan pemerintah melalui pendidikan dasar sembilan tahun masih belum
menghasilkan respon yang menggembirakan, padahal kebijakan ini telah dicanangkan sejak tahun 1994. Rata-rata usia lama sekolah penduduk meningkat,
namun tingkat kemajuannya berjalan secara lambat. Hal ini tidak lepas dari adanya ketimpangan dalam memperoleh akses pendidikan baik dari sisi
partisipasi, kualitas maupun keberlangsungannya. Fakta menunjukkan masih terdapat perbedaan yang sangat mencolok
antara rata-rata usia lama sekolah di daerah perdesaan dan di daerah perkotaan. Pada Tahun 2010, rata-rata lama sekolah penduduk perdesaan mencapai 6,58
tahun, sementara penduduk perkotaan mencapai 8,38 tahun. Permasalahan ini terkait dengan ketersediaan infrastruktur pendidikan di tingkat SLTP dan SLTA
maupun ketersediaan tenaga pendidik yang terpusat di daerah perkotaan. Sementara itu, keberadaan fasilitas pendidikan setingkat SLTP dan SLTA di
daerah perdesaan sangat sulit ditemui. Dampaknya, penduduk usia sekolah di perkotaan lebih mudah mengakses pendidikan, sementara di daerah perdesaan
mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan akibat persoalan jarak maupun sarana transportasi yang belum memadai.
Variabel yang memberikan pengaruh terbesar kedua adalah kualitas infrastruktur listrik. Elastisitas pendapatan perkapita terhadap kualitas
infrastruktur listrik sebesar 0,333, sehingga peningkatan kualitas infrastruktur energi listrik sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan
perkapita sebesar 0,333 persen ceteris paribus. Hasil ini juga sejalan dengan temuan dari beberapa penelitian sebelumnya yang menghasilkan elastisitas positif
dengan besaran yang bervariasi Setiadi, 2006; Yanuar, 2006; Prasetyo, 2010; Purwanto, 2011.
Besarnya elastisitas pendapatan perkapita terhadap infrastruktur listrik menjadi sangat realistis, karena energi listrik memiliki peran yang sangat strategis
dalam menggerakkan aktivitas perekonomian maupun dalam kehidupan sehari- hari. Pasokan listrik yang tersedia secara cukup dan berkesinambungan tidak
108
hanya penting untuk kegiatan konsumsi, namun juga menjadi jaminan bagi kelangsungan proses produksi terutama pada industri yang berbasis mesin dan
teknologi. Pemanfaatan energi listrik di Jawa Tengah sampai tahun 2010 sebagian besar digunakan untuk keperluan rumah tangga dengan porsi 49,81
persen. Porsi penggunaan energi listrik untuk keperluan industri dan usaha sebesar 45,04 persen dan sisanya sebanyak 5,15 persen digunakan untuk kegiatan sosial,
pemerintahan dan penerangan jalan. Berbeda dengan infrastruktur listrik yang memiliki elastisitas cukup besar,
kualitas infrastruktur jalan raya hanya memiliki elastisitas sebesar 0,052. Nilai ini memiliki makna peningkatan rasio jalan yang berstatus mantap terhadap luas
wilayah sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,052 persen ceteris paribus. Beberapa penelitian sebelumnya juga
menghasilkan temuan yang serupa, elastisitas infrastruktur jalan raya relatif lebih rendah dibandingkan dengan elastisitas infrastruktur energi listrik Amrullah,
2006; Sibarani, 2002; Prasetyo, 2010. Kualitas infrastruktur jalan raya memiliki peranan strategis dalam
perekonomian, terutama untuk menjamin kelancaran mobilitas faktor produksi maupun distribusi barang dan jasa hasil produksi. Ketergantungan yang sangat
tinggi terhadap infrastruktur jalan raya dibandingkan dengan infrastruktur transportasi lainnya menuntut peran pemerintah salaku penyedia jasa pelayanan
publik untuk menjamin ketersediaan jalan raya dengan kualitas yang baik. Sampai saat ini, mobilitas barang dan jasa di Jawa Tengah masih sangat
bergantung pada keberadaan Jalur Pantura yang kondisinya semakin memprihatinkan akibat kualitas jalan yang menurun maupun peningkatan volume
kendaraan yang melewatinya. Jalan alternatif melalui jalur selatan dan tengah kondisinya juga lebih memprihatinkan. Permukaan jalan banyak yang rusak dan
terkendala oleh kondisi medan yang menanjak serta berkelok-kelok. Permasalahan rendahnya kualitas infrasrtuktur jalan raya tidak lepas dari adanya
dikotomi dalam pengelolaan infrastruktur jalan antara pemerintah pusat dan daerah. Celah ini membuka peluang penyimpangan dalam tender dalam
pengelolaan jalan, sehingga meskipun sering diperbaiki kondisi jalan secara cepat mengalami kerusakan.