Konsep Distribusi Pendapatan Pengukuran Ketimpangan Pendapatan

28 bawah garis kemiskinan. TPG juga dapat diartikan sebagai pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan hingga tepat berada di garis kemiskinan atau di atasnya. Penghitungan TPG diformulasikan sebagai: ��� = ��� � − � � � � �=1 2.17 � � = Garis Kemiskinan; � � = Pendapatan penduduk miskin ke-i. Berdasarkan ukuran TPG dapat diturunkan beberapa indikator kemiskinan yang lain, yakni Average Poverty Gap APG atau jurang kemiskinan rata-rata ��� = ����; Normalized Poverty Gap NPG atau jurang kemiskinan yang telah dinormalisasi ��� = ���� � ; Average Income Shortfall AIS atau jurang kemiskinan total dibagi dengan jumlah penduduk miskin. Indikator AIS menggambarkan besarnya rata-rata transfer atau pendapatan yang diperlukan untuk mengangkat seorang penduduk miskin ke atas garis kemiskinan ��� = �����. Foster, Greer dan Thorbecke dalam Ray 1998 merumuskan suatu ukuran kemiskinan yang memenuhi empat prinsip dalam pengukuran. Keempat prinsip tersebut adalah anonimitas, independensi populasi, monotonisitas dan sensitivitas distribusi. FGT dirumuskan sebagai: � � = 1 � � � � − � � � � � � �=1 2.18 dimana: α = 0, 1, 2 ; z = Garis Kemiskinan ; n = Jumlah Penduduk y i = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan i=1,2,…,H, y i z H = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan Ukuran FGT dapat diturunkan menjadi tiga indikator sebagai berikut: Jika α = 0, diperoleh nilai Head Count Index P yang merepresentasikan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan dirumusnya sebagai � = � � ⁄ . 29 Jika α = 1, diperoleh indeks kedalaman kemiskinan Poverty Gap IndexP 1 yakni ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks P 1 maka semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. P 1 dirumuskan sebagai: � 1 = 1 � � � � − � � � � 2.19 � �=1 Nilai Poverty Gap IndexP 1 sangat berguna untuk mengetahui seberapa besar biaya yang diperlukan atau nilai yang harus ditransfer untuk mengangkat penduduk miskin hingga tepat berada di atas garis kemiskinan. Jika α = 2, diperoleh Indeks keparahan kemiskinan Poverty Severity Index P 2 . Indeks ini memberikan gambaran mengenai intensitas penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, semakin tinggi nilai indeks, maka ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin meningkat. P 2 dirumuskan sebagai: � 2 = 1 � � � � − � � � � 2 2.20 � �=1

2.5 Kerangka Analitis Hubungan antara Pertumbuhan, Pengangguran,

Ketimpangan dan Kemiskinan 2.5.1 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis Model pembangunan dua sektor yang dikemukakan Lewis Lewis two sector model merupakan salah satu model pembangunan yang mengkaji proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga Todaro dan Smith. 2006. Model ini menekankan pada aspek transformasi struktural dari perekonomian tradisional yang berbasis perdesaan atau sektor pertanian menuju perekonomian modern yang berbasis perkotaan atau sektor industri. Asumsi dasar yang digunakan adalah terdapat surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang ditandai oleh produktivitas marginal MP LA sama dengan nol dan produktivitas rata-rata AP LA yang semakin menurun. Semua pekerja di sektor tradisional menghasilkan output yang sama, sehingga tingkat upah ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja rata-rata bukan produktivitas tenaga kerja marjinal Gambar 7. 30 a Sektor Modern Industri b Sektor Tradisional Pertanian To ta l P ro d u k M a n u fa k tu r To ta l P ro d u k P e rt an ia n U p a h R iil = MP L M L 1 L 2 L 3 L 1 L 2 L 3 Q L M Q L M Q L A Q L A AP L A MP L A L A Surplus TK P ro d u k M a rg in a l R a ta -r at a W A W M TP M2 TP M1 TP M3 TP M K M1 TP M K M3 TP M K M2 TP A TP A K A K M3 K M2 K M1 S L D 3 K M3 D 2 K M2 D 1 K M1 Sumber: Todaro dan Smith, 2006 Gambar 7 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis Sektor industri modern diasumsikan memiliki produktivitas rata-rata AP LM dan tingkat upah riil W M yang lebih tinggi produktivitas AP P dan tingkat upah riil W P di sektor pertanian tradisional. Asumsi ini memungkinkan sektor modern untuk menampung surplus tenaga kerja dari sektor tradisional. Model ini fokus pada proses perpindahan tenaga kerja melalui mekanisme pertumbuhan output dan perluasan kesempatan kerja di sektor industri modern. Perluasan kesempatan kerja ditentukan oleh tingkat investasi, akumulasi modal serta reinvestasi sektor modern. 2.5.2 Keterkaitan Pertumbuhan Dengan Ketimpangan Berdasarkan beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam model dua sektor Lewis, Kuznets 1955 mengajukan sebuah hipotesis mengenai pola hubungan atau keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan membentuk kurva U terbalik. Studi empiris ini dilakukan dengan menghitung dan menganalisis sejarah pertumbuhan ekonomi di negara- negara maju dalam jangka panjang serta menekankan pada aspek transformasi 31

0.25 0.5

0.75 1

Gi n iR a ti o G Pendapatan Perkapita Y Ketidakmerataan menurun Ketidakmerataan meningkat atau perubahan struktural dari sektor yang berbasis pertanian tradisional menuju sektor industri modern Gambar 8. Sumber : Todaro dan Smith 2006 Gambar 8 Kurva U-Terbalik Hipotesis Kuznets Pada masa awal pembangunan ekonomi, pendapatan perkapita maupun ketimpangan pendapatan antar penduduk di kedua sektor masih rendah. Selama masa transisi, produktivitas dan upah tenaga kerja di sektor modern menjadi lebih tinggi dibandingkan sektor tradisional, sehingga pendapatan perkapita yang diterima di sektor modern juga menjadi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan ketimpangan pendapatan di kedua sektor tersebut semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan perkapita. Setelah melampaui titik kulminasi atau titik puncak akan terjadi mekanisme trickle down effect yang melalui penciptaan dan perluasan kesempatan kerja di sektor modern. Perluasan kesempatan sektor modern akan menyerap surplus atau kelebihan tenaga kerja di sektor tradisional. Mekanisme Trickle down effect akan meningkatkan pendapatan perkapita di sektor tradisional dan sektor modern serta membawa pada perbaikan distribusi sehingga ketimpangan pendapatan semakin menurun. Kesahihan dari hipotesis Kuznets telah telah menjadi topik perdebatan dan mendatangkan banyak pendapat baik yang pro maupun kontra. Kritik utama terhadap penelitian yang mendukung hipotesis Kuznets adalah mayoritas menggunakan data yang lemah dan metodologi yang masih dipertanyakan. Dalam studi empiris di India, Ravallion dan Datt 1996 menyampaikan bahwa selama 32 periode 1950-an sampai 1990-an pendapatan perkapita meningkat secara rata-rata, namun distribusi pendapatan bergerak semakin tidak merata. Hasil analisis Ravallion 2001 di 47 negara yang sedang berkembang juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan perubahan dalam distribusi pendapatan, artinya pertumbuhan masih bersifat netral. Kakwani, et al. 2000 mempertajam kritik dengan mengungkapkan bahwa hipotesis Kuznets hanya berhasil menjelaskan hubungan ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi pada negara-negara industri maju atau negara dengan pendapatan perkapita tinggi sampai dengan dekade 70-an. Namun demikian, hipotesis ini tidak mampu menjelaskan pola hubungan di negara-negara yang sedang berkembang. Kritik juga dilontarkan Dollar dan Kraay 2002 yang menyatakan bahwa secara rata-rata, pendapatan kelompok termiskin dalam masyarakat akan meningkat secara proporsional dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat serta tidak ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan pendapatan dengan perubahan tingkat ketimpangan. Meskipun pendapatan perkapita secara rata-rata meningkat, distribusi pendapatan tidak mengalami perubahan secara signifikan. Distribusi pendapatan cenderung stabil atau bisa naik dan turun dengan perubahan kecil dan memiliki pola yang berbeda untuk setiap negara.

2.5.3 Keterkaitan Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan

Warr 2006 mengajukan sebuah kerangka kerja konseptual conceptual fremework dalam penelitian mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di Asia Tenggara Gambar 9. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah variabel endogen atau keluaran yang ditentukan oleh kebijakan pemerintah, kekuatan dari luar atau faktor eksternal eksogeneous serta peran pasar dalam merespon keduanya. Warr mengasumsikan bahwa kebijakan ekonomi dan faktor eksogen akan memengaruhi tingkat kemiskinan melalui dua jalur, yakni jalur pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan secara rata-rata dan atau jalur redistribusi pendapatan. Kebijakan pembangunan ekonomi dapat dilakukan melalui strategi untuk memacu pertumbuhan ekonomi atau meredistribusikan