112
SD 26,79
SLTP 29,25
SLTA 35,87
PT 8,09
SD 23,36
SLTP 27,09
SLTA 41,02
PT 8,53
SD 22,32
SLTP 24,82
SLTA 44,40
PT 8,47
Perkembangan jumlah pencari kerja di Jawa Tengah menurut tingkat pendidikan disajikan dalam Gambar 38. Secara umum, terdapat kecenderungan
proporsi jumlah pencari kerja dengan level pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi pekerja terampil semakin meningkat. Sebaliknya, proporsi jumlah
pekerja berpendidikan rendah SLTP ke bawan jumlahnya semakin menurun.
Sumber : Diolah dari Susenas 2004, 2007, 2010, BPS Jawa Provinsi Tengah
Gambar 38 Proporsi Jumlah Penganggur di Jawa Tengah menurut Pendidikan
Berdasarkan hasil estimasi, variabel upah mínimum kabupatenkota tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan jumlah penganggur.
Meskipun secara nominal upah meningkat, namun secara riil nilainya tidak berubah atau cenderung stabil. Tujuan utama kebijakan penetapan upah mínimum
adalah untuk mempertahankan standar upah riil yang diterima pekerja sebagai akibat dari kenaikan harga atau inflasi. Bagi pekerja terdidik kebijakan upah
mínimum tidak memberi pengaruh besar, karena pada umumnya mereka sudah menikmati tingkat upah di atas upah mínimum. Namun bagi pekerja tidak
terampil atau pekerja berpendidikan rendah, upah mínimum memberikan manfaat yang cukup besar karena meningkatkan upah mereka di atas tingkat upah
keseimbangan. Secara umum, kebijakan upah mínimum di Jawa Tengah hanya berlaku
pada sektor formal seperti industri pengolahan, konstruksi, perdagangan dan jasa karena secara langsung mudah diawasi oleh instansi yang terkait. Pada sektor
informal dan sektor pertanian upah mínimum tidak berlaku, karena pengawasannya sangat sulit dan supply pekerja di sektor tersebut sangat
melimpah. Bagi perusahaan formal, kebijakan penentuan upah mínimum di atas tingkat upah keseimbangan akan menambah beban pengeluaran perusahaan.
Sebagai konsekuensinya maka perusahaan akan melakukan penjatahan pekerjaan kepada pekerja yang benar-benar produktif atau melakukan hal yang lebih ekstrim
2004 2007
2010
113
dengan memberlakukan sistem kerja kontrak. Semakin maraknya pemanfaatan pekerja kontrak oleh perusahaan menjadi penjelas mengapa upah mínimum
menjadi kurang signifikan memengaruhi pertumbuhan jumlah penganggur.
5.3 Model Ketimpangan
Model ketimpangan digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang memengaruhi ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar penduduk di Jawa
Tengah. Hasil estimasi model ketimpangan menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS
atau Panel Two Stage Random Effect secara ringkas disajikan dalam Tabel 10. Secara umum, semua variabel bebas memiliki pengaruh yang
nyata terhadap indeks ketimpangan pendapatan yang diproksi dengan Gini rasio. Pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan pendidikan dan indeks harga
berpengaruh positif dalam meningkatkan ketimpangan pendapatan, sementara pengeluaran belanja pembangunan memiliki pengaruh positif dalam menurunkan
ketimpangan. Nilai statistik F yang dihasilkan model sebesar 10,91 dan signifikan pada taraf 1 persen, sehingga secara keseluruhan model mampu menjelaskan
keragaman variabel tak bebas Gini rasio pendapatan.
Tabel 10 Hasil Estimasi Model Ketimpangan
Variabel Koefisien
Standart Error t-Statistic
Elastisitas Variabel Bebas : iGINI
Const. -0,061
0,085 -0,725
LogKAP 0,048
0,011 4,472
0,175 eGINI
0,118 0,061
1,929 0,135
LogIHK 0,055
0,020 2,713
0,202 LogPUB
-0,013 0,006
-1,946 -0,046
Catatan : Signifikan pada taraf 10, Signifikan pada taraf 5, Signifikan pada taraf 1
Variabel bebas yang memiliki pengaruh terbesar adalah indeks harga yang diproksi dengan deflator PDRB. Besarnya elastisitas ketimpangan terhadap
indeks harga sebesar 0,202, sehingga setiap kenaikan indeks harga atau inflasi sebesar 1 persen akan meningkatkan indeks ketimpangan pendapatan sebesar
0,202 persen ceteris paribus. Dalam bab sebelumnya telah disampaikan bahwa nilai indeks ketimpangan pendapatan Gini rasio income dihitung menggunakan
data pengeluaran rumah tanggaindividu, karena data pendapatan tidak tersedia.
114
Pola konsumsi atau pengeluaran penduduk sangat sensitif dipengaruhi oleh pendapatan yang diterima dan tingkat harga yang berlaku. Ketika terjadi kenaikan
harga barang dan jasa, maka pendapatan riil yang diterima penduduk akan menurun dan sebagai konsekuensinya akan terjadi penurunan daya beli terhadap
barang dan jasa. Penurunan daya beli yang terbesar akan dirasakan oleh penduduk pada golongan pendapatan rendah, sementara penduduk golongan
pendapatan tinggi masih dapat mempertahankan pola konsumsinya. Hal ini menjadi penjelas, ketika terjadi kenaikan harga maka akan berdampak pada
peningkatan indeks ketimpangan atau distribusi pendapatanpengeluaran menjadi semakin tidak merata.
Variabel pendapatan perkapita memiliki pengaruh terbesar kedua dengan elastisitas sebesar 0,175. Nilai ini bermakna setiap pertumbuhan pendapatan
perkapita sebesar 1 persen akan meningkatkan indeks ketimpangan sebesar 0,175 persen ceteris paribus. Hasil ini sejalan dengan temuan yang dihasilkan oleh
penelitian Wodon 1999, Lin 2003, Hidayat dan Patunru 2007 serta Hajiji 2010 yang menyatakan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan ketimpangan
pendapatan antar penduduk.
Sumber : Diolah dari Susenas Kor 2004 dan 2010, BPS
Gambar 39 Pangsa Konsumsi menurut Kelompok Pengeluaran Kuintil di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010
Temuan penelitian ini dapat dijelaskan oleh fenomena distribusi manfaat hasil pertumbuhan di Jawa Tengah lebih banyak dinikmati oleh 20 persen
penduduk pada golongan pendapatan teratas. Secara proporsional, bagian dari pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi oleh penduduk pada golongan
115
pendapatan atas selama periode 2004-2010 meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi penduduk pada golongan pendapatan di
bawahnya Gambar 39. Peningkatan pangsa pengeluarankonsumsi penduduk hanya terjadi di kuintil kesepuluh atau pada golongan pendapatan 10 persen yang
tertinggi. Sementara itu, penduduk pada kuintil pertama sampai kuintil delapan atau 80 persen penduduk golongan pendapatan terbawah justru memiliki pangsa
pengeluarankonsumsi yang semakin menurun selama dua periode dan 10 persen penduduk pada kuintil kesembilan memiliki pangsa pengeluarankonsumsi yang
relatif stabil. Variabel indeks ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan Gini rasio
lama sekolah juga memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan indeks ketimpangan pendapatan. Elastisitas ketimpangan pendapatan terhadap
ketimpangan pendidikan sebesar 0,135, sehingga perubahan ketimpangan pendidikan sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan ketimpangan
pendapatan sebesar 0,135 persen ceteris paribus. Sudah menjadi fenomena umum bahwa pendapatanupah yang diterima oleh pekerjapenduduk pada semua
golongan pendapatan memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat produktivitas yang dihasilkan. Produktivitas ditentukan oleh tingkat keterampilanskill yang
dimiliki pekerja dan tingkat keterampilan dapat didorong melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Secara tidak langsung, tingkat pendidikan penduduk
juga memiliki hubungan positif dengan tingkat pendapatan yang diterimanya.
Sumber : Diolah dari Susenas 2010, BPS Jawa Tengah
Gambar 40 Usia Rata-rata Lama Sekolah Penduduk menurut Kelompok Pengeluaran Kuintil di Jawa Tengah Tahun 2010
116
Fenomena di Jawa Tengah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang diukur dari rata-rata usia lama sekolah antar golongan pendapatan sampai tahun
2010 masih sangat timpang. Secara umum, rata-rata usia lama sekolah penduduk meningkat seiring dengan peningkatan golongan pendapatan penduduk.
Penduduk pada golongan pendapatan terendah memiliki rata-rata usia lama sekolah di bawah rata-rata lama sekolah seluruh penduduk yang mencapai 7,37
tahun. Rata-rata usia lama sekolah penduduk pada 20 persen golongan pendapatan terendah hanya 5,86 tahun, artinya secara rata-rata setara dengan belum tamat
sekolah dasar. Sebaliknya, 10 persen penduduk pada golongan pendapatan tertinggi memiliki rata-rata usia lama sekolah 9,8 tahun atau setara dengan
mengenyam pendidikan di tingkat SLTA kelas 1 Gambar 40.
Rendahnya kualitas pendidikan pada golongan 20 persen penduduk berpendapatan terendah menyebabkan produktivitas dan tingkat pendapatan yang
diterima menjadi rendah, sehingga pola konsumsinya juga rendah. Di sisi lain, kualitas pendidikan penduduk pada golongan pendapatan tinggi yang relatif lebih
baik menyebabkan produktivitas dan pendapatan yang diperoleh lebih tinggi sehingga pola pengeluarannya juga lebih tinggi. Korelasi antara rata-rata usia
lama sekolah penduduk dengan rata-rata pengeluaran perkapita menurut persentil juga cukup kuat, yakni sebesar 0,88. Hal ini menjadi penjelas ketimpangan dalam
pendidikan akan memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan dalam pendapatanpengeluaran.
Satu-satunya variabel yang memiliki pengaruh signifikan dengan arah yang berlawanan adalah pengeluaran pemerintah untuk belanja
modalpembangunan. Elastisitas ketimpangan pendapatan terhadap belanja pembangunan sebesar -0,046, artinya peningkatan belanja pembangunan sebesar 1
persen akan berpengaruh terhadap penurunan indeks ketimpangan pendapatan sebesar 0,01 persen ceteris paribus.
5.4 Model Kemiskinan
Model kemiskinan digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Estimasi model dilakukan
menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS atau PanelTwo Stage Random
117
Effect dan secara ringkas hasilnya disajikan dalam Tabel 11. Variabel yang
signifikan memengaruhi jumlah penduduk miskin adalah pendapatan perkapita, jumlah penganggur dan indeks harga. Sementara, variabel ketimpangan
pendapatan tidak signifikan memengaruhi kemiskinan pada taraf 10 persen. Nilai F statistik yang dihasilkan model sebesar 42,69 dan signifikan pada taraf 1 persen,
sehingga secara keseluruhan model mampu menjelaskan keragaman variabel kemiskinan.
Tabel 11 Hasil Estimasi Model Kemiskinan
Variabel Koefisien
Standart Error t-Statistic
Elastisitas Variabel Bebas : LogHC
Const. 4,730
0,338 13,973
LogKAP -1,585
0,175 -9,061
-1,585 LogUN
0,052 0,035
1,474 0,052
IGINI 0,387
0,763 0,507
0,001 LogIHK
0,403 0,095
4,222 0,403
Catatan : Signifikan pada taraf 10, Signifikan pada taraf 5, Signifikan pada taraf 1
Variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap penurunan jumlah penduduk miskin adalah pertumbuhan pendapatan perkapita. Elastisitas
kemiskinan terhadap pendapatan perkapita sebesar -1,585, artinya pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin
sebesar 1,585 persen ceteris paribus. Hasil ini sejalan dengan temuan dari beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pertumbuhan
pendapatan perkapita menjadi determinan terpenting bagi penurunan kemiskinan Wodon, 1999; Bourguignon, 2004; Meng, et al., 2005; Nayyar, 2005; Hajiji,
2010. Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan level dan pertumbuhan
pendapatan perkapita penduduk secara rata-rata, termasuk peningkatan pendapatan pada kelompok penduduk berpendapatan rendah miskin. Oleh
karena itu, untuk tujuan pengentasan kemiskinan diperlukan pertumbuhan yang positif. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah kebijakan untuk mengejar
akselerasi pertumbuhan yang tinggi akan membawa pengaruh atau memiliki trade off
berupa naiknya indeks harga atau inflasi dan meningkatnya ketidakmerataan
118
dalam distribusi pendapatan. Ketidakmerataan dalam distribusi akan meningkat karena alokasi kepemilikan faktor produksi yang berupa modal, lahan dan skill
yang tidak merata. Kenaikan indeks harga maupun indeks ketimpangan akan mengurangi efektifitas pertumbuhan dalam pengentasan kemiskinan di Jawa
Tengah. Berdasarkan hasil estimasi, besarnya elastisitas kemiskinan te indeks harga
sebesar 0,403. Artinya, setiap kenaikan indeks harga atau inflasi sebesar 1 persen akan menaikkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,403 persen ceteris paribus.
Meskipun pendapatan perkapita penduduk secara rata-rata meningkat, terjadinya inflasi akan menyebabkan daya beli menurun dan status miskin penduduk yang
berada di sekitar garis kemiskinan menjadi sangat rentan dipengaruhi oleh tingkat perubahan harga. Hasil ini sejalan dengan temuan yang dilakukan oleh Nayyar
2005 dan Meng et. al 2005 yang menyatakan kenaikan indeks hargainflasi terutama pada kelompok bahan pangan memiliki pengaruh positif dalam
meningkatkan kemiskinan. Besarnya elastisitas kemiskinan terhadap pengangguran adalah 0,052,
artinya kenaikan jumlah penganggur sebesar 1 persen akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar 0,049 persen ceteris paribus.
Relasi antara pengangguran dengan kemiskinan dapat dijelaskan melalui fenomena ketika banyak orang yang berstatus penganggur maka akan berhadapan
dengan permasalahan keterbatasan keuanganlikuiditas akibat menurunnya pendapatanupah yang diterima. Kondisi ini akan berdampak kepada pemenuhan
kebutuhan dasar diri dan keluarganya, sehingga menjadi sangat rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Anak-anak dari rumah tangga tersebut akan sulit
untuk mendapat pendidikan yang layak dan kondisi ini akan memengaruhi produktivitas dan daya saing dalam pasar tenaga kerja pada masa yang datang,
Variabel indeks ketimpangan yang diukur dengan Gini rasio memiliki elastisitas sebesar 0,001. Artinya, setiap kenaikan indeks ketimpangan
pendapatan sebesar 1 persen akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar 0,001 persen ceteris paribus. Meskipun demikian,
variabel indeks ketimpangan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan jumlah penduduk miskin pada taraf 10 persen.
119
Pada Bab Tinjauan Pustaka telah dijelaskan bahwa terdapat tiga kemungkinan dari perubahan distribusi pendapatan sebagai efek dari pertumbuhan.
Pertama, bagian terbesar pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk yang tidak miskin dan hanya sebagian kecil sisanya dinikmati oleh penduduk yang
miskin. Kemungkinan kedua, bagian terbesar dari pertumbuhan dinikmati oleh penduduk yang miskin, sedangkan sisanya dinikmati oleh penduduk yang tidak
miskin. Ketiga, semua golongan penduduk menerima manfaat yang sama dari hasil pertumbuhan. Ketiga kemungkinan tersebut akan membawa pengaruh yang
berbeda dalam pengentasan kemiskinan. Jika kemungkinan pertama dan ketiga yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi tetap akan mampu mengurangi
kemiskinan, tetapi efektivitasnya menjadi jauh berkurang. Jika yang terjadi adalah kemungkinan kedua, maka secara efektif pertumbuhan yang dihasilkan akan
mampu mengentaskan kemiskinan. Fenomena yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah adalah kemungkinan yang
pertama yakni pertumbuhan meningkat dan bagian terbesar dari hasil pertumbuhan dinikmati oleh penduduk yang tidak miskin. Penduduk miskin hanya menikmati
hasil pertumbuhan di bawah rata-rata. Hal ini terjadi karena pertumbuhan juga membawa pada meningkatnya ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan.
Permasalahan ini tidak lepas dari lapangan usaha yang menjadi sumber pertumbuhan di Jawa Tengah adalah lapangan usahasektor perekonomian yang
bersifat capital intensive terutama industri migas, sektor keuangan serta listrik, gas dan air bersih. Sementara itu, lapangan usahasektor yang bersifat labor intensive
seperti sektor pertanian, perdagangan eceran dan jasa perorangan justru memiliki pertumbuhan yang jauh lebih lambat.
Gambar 40 mengilustrasikan perubahan distribusi pengeluaran perkapita riil penduduk Jawa Tengah selama periode 2004 dan 2010. Sumbu mendatar
menyatakan pengeluaran perkapita riil per bulan dalam satuan rupiah, sementara sumbu vertikal menyatakan fungsi sebaran atau density dari pengeluaran perkapita.
Gambar bagian atas merupakan sebaran pendapatan perkapita pada tahun 2004 dan bagian bawah merupakan sebaran tahun 2010. Secara rata-rata, pengeluaran
perkapita riil per bulan mengalami peningkatan dari Rp 174 ribu pada tahun 2004 menjadi Rp 251 ribu pada tahun 2010. Peningkatan pendapatan riil ini
120
mencerminkan efek pertumbuhan. Efek pertumbuhan mampu mendorong penurunan jumlah penduduk miskin selama dua periode yang diilustrasikan oleh
berkurangnya luas area di sebelah kiri garis kemiskinan dan di bawah kurva density. Meskipun demikian, terdapat pola distribusi pendapatan selama dua periode justru
bergeser ke arah kanan, artinya distribusi menjadi semakin tidak merata atau timpang. Jumlah penduduk miskin tetap mengalami penurunan dari 21,11 persen
di tahun 2004 menjadi 16,56 persen pada tahun 2010, tetapi efektifitas dalam penurunannya menjadi berkurang akibat meningkatnya ketimpangan dalam
distribusi pendapatan.
Sumber : Diolah dari Susenas 2004 dan 2010, BPS Jawa Tengah
Gambar 41 Kurva Distribusi Penduduk menurut Pengeluaran Perkapita di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010
5.5 Simulasi Kebijakan
Simulasi merupakan salah satu tahapan dalam permodelan yang dapat digunakan untuk mengkaji arah hubungan dan besarnya pengaruh dari perubahan
variabel eksogen tertentu dalam model terhadap semua variabel endogen. Simulasi memiliki beberapa tujuan, yakni melakukan pengujian dan evaluasi
terhadap model expost, mengevaluasi kebijakan pada masa lampau backasting dan membuat peramalan pada masa datang ex-ante.
2. 00e-
06 4.
00e- 06
6. 00e-
06 8.
00e- 06
200000 400000
600000 800000
1000000
2. 00e-
06 4.
00e- 06
6. 00e-
06 8.
00e- 06
200000 400000
600000 800000
1000000 Pengeluaran Perkapita
Garis Kemiskinan Rata-rata Pengeluaran Perkapita