14
2. Karakteristik Analisis Wacana Kritis AWK
Ada lima karakteristik dari AWK, yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideology Van Djik, Fairclough, Wodak, dan Eriyanto.
b. Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai suatu tindakan action. Seseorang berbicara, menulis, dengan menggunakan bahasa untuk berinteraksi
dan berhubungan dengan orang lain. Dengan pemakaian rencana ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana dilihat. Pertama, wacana dipandang sebagai
sesuatu yang bertujuan, membujuk, mengganggu, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang membaca atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik maksud
besar maupun maksud kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kehendak atau
diekspresikan di luar kesadaran. c.
Konteks AWK mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi,
peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini diproduksi, dimengerti, dan dianalisis dalam konteks tertentu. AWK juga memeriksa konteks dari komunikasi; dalam
jenis khalayak dan dalam situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkambangan komunikasi; dan bagaimana hubungan antara setiap pihak.
Bahasa dalam hal ini dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Ada tiga sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk
bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak, tapi semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks,
memasukan semua situasi dan hal yang berada di luar, dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut
diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian analisis wacana adalah
menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Dalam hal ini dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti
umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi dalam
15
AWK, memasukkan konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi dan sebagainya.
Ada beberapa konteks penting karena terpengaruh terhadap produksi wacana; pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana gender, umur,
pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal gugat dalam menggambarkan wacana. Misalnya seseorang berbicara dalam pandangan
tertentu, karena ia laki-laki, atau karena ia berpendidikan. Kedua, setting sosial tetentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara, dan pandangan atau lingkungan
fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Misalnya pembicaraan di ruang kuliah berbeda dengan pembicaraan di jalan, pembicaraan
di kantor berbeda dengan pembicaraan di kantin, di tempat yang telah disetting, seperti tempat itu privasi atau publik, dalam suasana formal atau informal, atau
pada ruang tertentu, sehingga memberikan wacana tertentu pula. Berbicara di ruang pengadilan berbeda dengan di pasar, karena sitausi sosial dan aturan yang
melingkupinya berbeda, menyebabkan partisipan komunikasi harus menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan
ditafsirkan dari kondisi lingkungan sosial yang mendasarinya.
17
d. Historis
Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tentu, misalnya, kita melakukan
analisis wacana teks selebaran mengenai pertentangan terhadap Soeharto. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa
memberikan konteks historis, tempat teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik dan suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis
perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa dipakai seperti itu, dan seterusnya.
e. Kekuasaan
AWK mempertimangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya di sini, setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak
dipandang sebagai sesuatu yang alamiah wajar, dan netral, tetapi merupakan
17
Ibid, h. 61-62
16
bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat, seperti kekuasaan laki-laki. Wacana
seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam, dan wacana mengenai rasisme, kekuasaan perusahaan berbentuk dominasi pengusaha kelas atas
bawahan, dan sebagainya. Pemakai bahasa bukuan hanya pembicara, penulis, pengarang, atau pembaca ia juga bagian dari anggota kategori sosial tertentu,
bagian dari kelompok profesional, agama, komunitas atau masyarakat tertentu, misalnya antara dokter dan pasien, antara buruh dan majikan, antara laki-laki dan
perempuan, antara kulit putih dengan kulit hitam. Hal ini mengimplikasikan AWK tidak membatasi diri dari detil teks atau struktur wacana saja, tetapi juga
menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya tertentu. Percakapan antara buruh dan majikan bukan percakapan yang
alamiah, karena adanya dominasi kekuasaan majikan terhadap buruh tersebut. Aspek kekuasaan perlu dikritisi untuk melihat, misalnya jangan-jangan apa yang
dikatakan oleh buruh hanya untuk menyenangkan atasannya saja. Kekuatan dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut sebagai
kontrol seseorang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut bisa bermacam-macam. Bisa
berupa kontrol atau konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan harus berbicara, sementara siapa pula yang hanya mendengar dan
mengiyakan. Seorang sekretaris dalam rapat, karena tidak mempunyai kekuatan tugasnya hanya mendengarkan dan menulis, tidak punya wewenang untuk
berbicara. Selin konteks, kontrol tersebut juga diwujudkan dalam bentuk mengontak struktur wacana. Seseorang yang mempunyai kekuasaan bukan hanya
menentukan bagian mana yang perlu ditampilkan. Hal ini bisa dilihat dari penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu.
f. Ideologi
Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk memproduksi dan
melegetimasi dominasi itu diterima secara take for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium melalui mana kelompok