19
Pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu peserta didik untuk mencapai
prestasi belajar yang sebaik-baiknya. Dari uraian di atas, di antara faktor- faktor yang berpengaruh dalam menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar
peserta didik adalah faktor motivasi belajar yang dimiliki peserta didik dan faktor model pembelajaran.
2. Pembelajaran Matematika
Hakikat pembelajaran adalah pengaturan kondisi eksternal untuk mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Fokus utama setiap
program pendidikan atau pembelajaran adalah untuk mendorong terjadinya proses belajar. Gagne dan Driscoll, 1989: v 1. Oleh karenanya,
menyelenggarakan pembelajaran termasuk pembelajaran matematika harus mendasarkan diri pada paradigma belajar sesuai hakikat pembelajaran serta
maksud dari program pendidikan tersebut yakni mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Program pembelajaran matematika harus mengarah
pada penyelenggaraan pembelajaran yang efektif. Tolok ukur pembelajaran yang efektif adalah keberhasilannya dalam menciptakan suasana belajar pada diri
peserta didik bukan semata-mata telah dilakukannya kegiatan mengajar oleh guru. Hakikat belajar itu sendiri adalah terjadinya perubahan dalam
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap akibat dari terjadinya interaksi aktif dengan lingkungan Winkel, 1996: 53. Oleh karenanya, guru sebagai
penyelenggara proses pembelajaran harus mampu mengatur lingkungan
20
sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pada diri peserta didik sebagai bukti bahwa para peserta didik sudah melakukan proses belajar.
Menurut Nana Sudjana dan Daeng Arifin 1987: 20, agar dalam proses pembelajaran tercipta perubahan perilaku pada diri peserta didik sebagai hasil
belajar, maka peran guru bukan semata-mata sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing belajar, atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar. Dikatakan
sebagai pembimbing belajar karena dalam proses tersebut guru memberikan bantuan kepada peserta didik agar mereka itu sendiri yang melakukan kegiatan
belajar. Dikatakan sebagai pemimpin belajar karena guru menentukan ke mana kegiatan belajar peserta didik akan diarahkan; dan dikatakan sebagai fasilitator
belajar karena guru harus menyediakan fasilitas setidak-tidaknya menciptakan kondisi lingkungan yang dapat menjadi sumber pendorong bagi peserta didik
dalam melakukan kegiatan belajar. Dalam pembelajaran matematika dengan paradigma belajar, guru harus
mampu bertindak sebagai pembimbing, pemimpin, dan fasilitator belajar bagi para peserta didik. Dalam hal ini guru harus melakukan pilihan pendekatan atau model
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif sebagai pelaku utama dalam proses belajar.
Mata pelajaran matematika selama ini dianggap oleh sebagian peserta didik sebagai mata pelajaran yang menakutkan, baik di jenjang pendidikan dasar
maupun pendidikan menengah. Bahkan ada peserta didik yang merasa bosan, tidak tertarik, bahkan tidak suka pada mata pelajaran ini. Hal ini biasanya
21
disebabkan karena matematika diajarkan dengan strategi atau model pembelajaran yang kurang tepat.
Kekurangtepatan pemilihan model atau strategi pembelajaran matematika bersumber dari masih kuatnya pengaruh paradigma lama dalam pembelajaran.
Anita Lie 2002: 2-6 menyatakan bahwa dalam dunia pendidikan, paradigma lama pembelajaran bersumber pada teori tabula rasa John Locke yang
mengatakan bahwa pikiran seorang anak adalah seperti kertas kosong yang bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Berdasarkan teori ini, paradigma
lama pembelajaran adalah paradigma mengajar yang diibaratkan seperti mengisi kertas kosong dengan coretan-coretan. Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah
banyak berubah. Paradigma lama yang tidak mendorong keaktifan peserta didik dalam belajar tidak dapat dipertahankan lagi.
Dalam proses pembelajaran, yang harus aktif adalah peserta didik karena merekalah yang paling bertanggungjawab atas kegiatan pembelajaran dan yang
akan menerima akibat langsung dari proses pembelajaran. Paradigma baru pembelajaran adalah paradigma belajar. Dengan paradigma baru tersebut pendidik
perlu menyusun kegiatan pembelajaran berdasarkan beberapa pokok pikiran, yaitu:
1. Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh peserta didik;
guru harus menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan peserta didik membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar
untuk disimpan dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.
22
2. Peserta didik membangun pengetahuan secara aktif melalui suatu proses
belajar yang mereka lakukan sendiri bukan sesuatu yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik. Peserta didik tidak menerima pengetahuan secara pasif
dari guru. Peserta didik mengaktifkan struktur kognitif mereka dan membangun struktur-struktur baru untuk mengakomodasikan masukan
pengetahuan baru. 3.
Guru perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan peserta didik. Kegiatan pembelajaran harus lebih menekankan pada proses daripada
hasil. Setiap peserta didik memiliki potensi dan kompetensi yang dapat ditingkatkan melalui usaha pembelajaran. Tujuan pendidikan adalah
mengembangkan potensi sampai setinggi yang mampu diraih peserta didik. 4.
Pendidikan merupakan interaksi pribadi di antara para peserta didik dan antara guru dengan peserta didik. Kegiatan pendidikan merupakan proses sosial yang
tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi, mereka membangun pengertian dan pengetahuan bersama.
Frans Susilo 1998: 235 mengemukakan bahwa sesungguhnya matematika dapat diapresiasi secara baik oleh para peserta didik apabila
matematika dipelajari secara manusiawi. Cara yang dimaksudkan adalah dengan membangun sendiri pemahaman mereka akan unsur-unsur matematika.
Pemahaman harus dapat diperoleh bukan dengan cara menghafal rumus-rumus atau langkah-langkah yang diberikan guru, melainkan dibentuk dengan
membangun makna dari apa yang dipelajari, misalnya dengan memberikan interpretasi terhadap apa yang sedang dipelajari dengan mempergunakan
23
informasi baru yang mereka peroleh yang akan mereka gunakan untuk mengubah, melengkapi atau menyempurnakan pemahaman yang telah tertanam sebelumnya.
Hal ini akan dapat terwujud apabila para peserta didik diberi keleluasaan untuk melakukan eksperimen termasuk kemungkinan berbuat salah agar mereka dapat
belajar dari kesalahan tersebut. Proses pembelajaran seperti itu dikenal dengan proses belajar melalui tahap-tahap asimilasi dan akomodasi, dengan proses seperti
itu pemahaman akan terjadi secara mengakar dan para peserta didik akan belajar untuk menghargai dan mencintai matematika karena pada diri mereka akan
tumbuh keyakinan tentang bagaimana caranya merumuskan dan menggunakan matematika manakala diperlukan.
Marpaung 1998: 247 menyatakan bahwa pembelajaran matematika didasarkan pada pendekatan konstruktivisme yang dipelopori oleh Ernst von
Glasserfeld dan strategi pembelajarannya adalah doing. Konstruktivisme menurut Paul Suparno 2002: 14 -15 adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang
berpendapat bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi bentukan dari orang yang sedang belajar.
Pengetahuan bukanlah kumpulan dari fakta-fakta tetapi merupakan kumpulan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun
lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” dan kita tinggal mengambilnya, melainkan merupakan suatu bentukan terus menerus dari
orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru.
24
Menurut Von Glasserfeld tokoh konstruktivisme dari Amerika Serikat seperti dikutip oleh Paul Suparno 2002: 2, dinyatakan bahwa pengetahuan
bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seorang guru ke pikiran seorang peserta didik. Bahkan bila seorang guru bermaksud
memindahkan suatu konsep, ide, dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh peserta didik sendiri.
Tanpa keaktifan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan tidak akan terjadi. Terdapat beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi
pengetahuan manusia, antara lain: 1 konstruksi yang lama, 2 domain pengalaman, dan 3 jaringan struktur kognitif.
Menurut konstruktivisme, pengalaman akan fenomena yang baru akan menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan; dan
kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan itu pula. Misalnya, dalam bidang ilmu sains peranan pengalaman ataupun percobaan-percobaan dalam
pengembangan hukum, teori, maupun konsep-konsep ilmu tersebut sangat besar. Bagi aliran kontruktivisme, belajar adalah lebih merupakan suatu proses
untuk menemukan sesuatu dari pada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, melainkan
pengembangan suatu pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Peserta didik harus memperoleh pengalaman dengan membuat hipotesis, prediksi,
mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban,
menggambarkan, meneliti,
berdialog, mengadakan
refleksi,
25
mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk kontruksi yang baru.
Lebih lanjut, Paul Suparno 2002: 3-4 menjelaskan hal-hal berikut. Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka
kesempatan untuk studi kelompok dapat dikembangkan. Dalam studi kelompok, peserta didik yang mengerjakan bersama suatu persoalan harus mengungkapkan
bagaimana mereka melihat persoalan itu dan apa yang ingin mereka buat dengan persoalan itu. Inilah salah satu jalan menciptakan refleksi, yang menuntut
kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan sedang dibuat. Selanjutnya ini akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk aktif membuat abstraksi.
Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan dapat membantu untuk melihat sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi pandangan mereka
sendiri. Seseorang yang diberi kesempatan untuk menjelaskan bahan pada seluruh kelas, biasanya terpacu untuk belajar lebih bersungguh-sunggguh. Menurut
prinsip konstruktivisme, seorang guru mempunyai peranan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik.
Tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada guru yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam
beberapa tugas antara lain sebagi berikut: 1
Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik ikut bertanggung jawab dalam membuat desain, proses, dan penelitian. Di sini jelas
bahwa memberikan pelajaran dengan model ceramah bukanlah hal yang tepat yang harus dilakukan oleh seorang guru.
26
2 Guru menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang ke-
ingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka, menyediakan sarana yang
merangsang berpikir peserta didik secara produktif, menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar mereka. Guru hendaknya
menyemangati peserta didik dan bukan sebaliknya. Kadang-kadang guru perlu menyediakan pengalaman konflik. Pengalaman konflik ini dapat berwujud
pengalaman anomali yang bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan menantang mereka untuk
berpikir mendalam. 3
Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah
pengetahuan peserta didik itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan
yang dibuat oleh mereka. Kaum konstruktivistik menurut Driscoll 1994: 362-363 menyatakan
bahwa pengetahuan yang diperoleh peserta didik harus didasarkan atas pengembangan sendiri dan hal ini hanya dapat diperoleh dalam konteks kegiatan
yang bermakna. Harus dilakukan pengembangan dan perubahan terus menerus atas pengetahuan melalui kegiatan aktif dari peserta didik. Dengan demikian,
proses belajar bersifat menerus, merupakan proses sepanjang hayat. Sebenarnya hal ini sejalan dengan belajar melalui penemuan. Belajar dengan melalui
mengembangkan sendiri pengetahuan oleh peserta didik harus dimulai dari
27
aktivitas penalaran mereka, termasuk menggunakan cara-cara penalaran matematika. Berdasarkan pendapat kaum konstruktivistik, terdapat tiga tujuan
mendasar dari pendidikan, yakni menyangkut ingatan, pemahaman, dan penggunaan secara aktif pengetahuan dan keterampilan.
Stein, Silbert, dan Carnine 1997: 3 menyatakan bahwa dengan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran matematika mengandung arti
bahwa peserta didik harus belajar secara bermakna dari sebuah lingkungan belajar. Guru dituntut agar mampu mengatur lingkungan belajar sedemikian rupa
sehingga para peserta didik berhasil membangun makna mengenai hal-hal yang disampaikan oleh guru. Pembelajaran matematika yang efektif akan
ditentukan oleh tiga hal yaitu: 1 rancangan pembelajaran, 2 teknik atau model pembelajaran, dan 3 pengorganisasian pembelajaran. Ketiga-tiganya saling
tergantung satu sama lain dan tidak dapat ditinggalkan sebagai faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pembelajaran. Rancangan yang baik dan teknik
pembelajaran dipilih secara tepat tidak akan berhasil baik apabila waktu yang disediakan sangat terbatas. Rancangan baik, waktu yang disediakan cukup juga
tidak menjamin keberhasilan apabila guru tidak mampu memilih model yang tepat. Demikian pula, waktu mencukupi, guru mampu memilih model yang tepat,
namun bila materi pembelajaran tidak dirancang dengan baik juga tidak akan menjamin keberhasilan pembelajaran.
Pembelajaran matematika mempunyai obyek yang abstrak. Herman Hudoyo 1990: 4-5 menyatakan bahwa hakekat matematika berkenaan dengan
ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungan teratur menurut aturan logis
28
sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Suatu kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan alasan logis dengan menggunakan
pembuktian deduktif. Matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan hubungan- hubungannya memerlukan simbul-simbul. Simbol-simbol diperlukan untuk
membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang ditetapkan dan dengan simbul-simbul akan menjamin adanya komunikasi yang mampu
memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru. Konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep sebelumnya karena
matematika memiliki konsep-konsep yang tersusun secara hierarkis. Secara singkat dapat dikatakan bahwa matematika berkenaan dengan konsep-konsep
abstrak yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya menggunakan logika deduktif. Semua ini membawa akibat perlunya menentukan model pembelajaran
yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran matematika.Di samping itu, Gagne 1989: 110 menyatakan bahwa kualitas pembelajaran dalam mata pelajaran
seperti matematika dan bahasa asing harus dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa hal: a peserta didik disediakan isyarat atau arahan, b terdapatnya
partisipasi peserta didik dalam kegiatan, c ada program penguatan bagi peserta didik, dan d terdapat umpan balik yang mencakup pula tindakan korektif.
3. Model Pembelajaran