EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN TIPE JIGSAW PADA KOMPETENSI DASAR PERSAMAAN KUADRAT DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS X SMA NEGERI DI

(1)

KUADRAT DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS X SMA NEGERI DI SURAKARTA

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun Oleh: UNTARI SETYAWATI

S 850907123

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

ii

EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN TIPE JIGSAW PADA KOMPETENSI DASAR PERSAMAAN

KUADRAT DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS X SMA NEGERI DI SURAKARTA

DISUSUN OLEH : UNTARI SETYAWATI

S 850907123

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing Pada Tanggal :

PEMBIMBING I

PEMBIMBING II

Dr. Mardiyana, M.Si NIP : 132 046 017

Drs. Imam Sujadi, M. Si NIP : 132320663

MENGETAHUI

KETUA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

Dr. Mardiyana , M.Si

NIP: 132 046 017


(3)

iii

KUADRAT DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS X SMA NEGERI DI SURAKARTA

DISUSUN OLEH : UNTARI SETYAWATI

S 850907123

Telah Disetujui dan Disyahkan oleh Tim Penguji Pada Tanggal :

Jabatan Nama Tanda tangan

Ketua Prof. Dr. Budiyono, M.Sc. ………..

Sekretaris Drs. Tri Atmojo, M.Sc., Ph.D. ……….. Anggota

Penguji 1. Dr. Mardiyana .M.Si 2. Drs. Imam Sujadi, M. Si

……… ………

Surakarta, November 2008

Mengetahui

Direktur PPs UNS Ketua Progdi. Pendidikan Matematika

Prof. Drs Suranto, M.Sc. Ph.D NIP: 131 472 192

Dr. Mardiyana .M.Si NIP: 132 046 017.


(4)

iv

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya

Nama : Untari Setyawati

N I M : S 850907123

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN TIPE JIGSAW PADA KOMPETENSI STANDAR PERSAMAAN KUADRAT DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS X SMA NEGERI DI SURAKARTA. adalah betul-betul karya saya sendiri . Hal – hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Oktober 2008 Yang membuat pernyataan


(5)

v

Dengan segala keikhlasan dan ketulusan hati tesis ini saya persembahkan kepada: 1. Ibu H. Sri Oetami yang selalu memberiku restu.

2. Suamiku Deddy Yose Rizal yang tercinta

3. Anak-anakku Atta, Ikke dan Ichal yang aku banggakan 4. Rekan-rekan pengajar


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan, atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul:

EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN

MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN TIPE JIGSAW PADA KOMPETENSI STANDAR PERSAMAAN KUADRAT DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS X SMA NEGERI DI SURAKARTA.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Prof. Drs Suranto, M.Sc. Ph.D, sebagai Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret yang telah berkenan memberi kesempatan untuk mengikuti studi di PPs Program Studi Pendidikan Matematika.

2. Dr. Mardiyana, M,Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan pembimbing pertama dimana beliau dengan tidak henti-hentinya memberi dorongan moral untuk segera menyelesaikan tesis ini.

3. Drs. Imam Sujadi, M.Si., selaku pembimbing kedua yang telah dengan sabar, tekun dan tulus hati membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis.

4. Prof. Dr. Budiyono, M.Sc. dan Drs. Tri Atmojo, M.Sc., Ph.D., selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan dalam kesempurnaan tesis.


(7)

vii penelitian.

6. Peserta didik yang telah menjawab setiap instrumen penelitian yang penulis butuhkan dengan kesungguhan hati.

7. Teman mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bantuan dan dorongan pada penulis dalam menyelesaikan studi.

8. Suami dan anak-anakku tercinta, yang telah memberikan dorongan moral dalam menyelesaikan studi di Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

9. Ibuku serta adik-adikku yang telah memberikan dorongan moral dalam menyelesaikan studi di Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan yang tidak tersebutkan satu persatu.

Atas segala jasa dari semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan, kiranya Tuhan YME akan memberikan limpahan pahala kepadanya. Amin.

Surakarta, Oktober 2008 Penulis


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TESIS ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Perumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 11


(9)

ix

b.Prestasi Belajar ... 15

c.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar .... 16

2. Pembelajaran Matematika ... 19

3. Model Pembelajaran ... 28

a. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan Jigsaw... 33

b. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD ... 39

c. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 42

3. Motivasi Belajar Peserta Didik ... 44

a. Pengertian Motivasi ... 44

b. Macam-macam Motivasi ... 45

c. Motivasi Belajar ... 45

d. Peranan Motivasi Belajar Dalam Pencapaian Prestasi Belajar ... 49

B. Penelitian Yang Relevan ... 50

C. Kerangka Berpikir ... 51

D. Hipotesis ... 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 55

A. Tempat Dan Waktu Penelitian ... 55

B. Model Penelitian ... 56


(10)

x

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 59

E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian... 60

F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 62

G. Uji Keseimbangan……… 70

H. Teknik Analisis Data ... 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 82

A. Hasil Uji Coba Instrumen ... 82

B. Diskripsi Data ... 83

C. Uji Keseimbangan ... 85

D. Uji Persyaratan Analisis ... 86

E. Pengujian Hipotesis ... 89

F. Pembahasan Hasil Penelitian ... 92

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Implikasi ... 97

C. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100


(11)

xi

Tabel 2.1 Perbedaan Belajar Kelompok Kooperatif dengan Belajar

Kelompok Tradisional... 36

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian ... 57

Tabel 3.2 Data Amatan, Rataan, dan Jumlah Kuadrat Deviasi ... 75

Tabel 3.3 Rataan dan Jumlah Rataan ... 75

Tabel 4.1 Diskripsi Data Prestasi Belajar Matematika dan Skor Nilai Motivasi Belajar Peserta didik ... 81

Tabel 4.2 Diskripsi Data Prestasi Belajar Matematika Berdasarkan Model Pembelajaran ... 83

Tabel 4.3 Diskripsi Data Prestasi Belajar Matematika Berdasarkan Motivasi Belajar Peserta didik ... 83

Tabel 4.4 Diskripsi Data Prestasi Belajar Matematika Berdasarkan Gabungan antara Model Pembelajaran dan Motivasi Belajar Peserta Didik ... 84

Tabel 4.5 Rangkuman Uji ... 85

Tabel 4.6 Rangkuman Uji Homogenitas ... 86

Tabel 4.7 Rangkuman Analisis Variansi ... 87


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR


(13)

xiii

Lampiran 1. Rencana Pembelajaran ... 103

Lampiran 2. Kisi-kisi Motivasi Belajar dan Angket Motivasi Belajar . 138 Lampiran 3. Kisi-kisi Tes Prestasi Belajar dan Instrumen Tes Prestasi Belajar... 142

Lampiran 4. Uji Validitas dan Reliabilitas Tes Motivasi Belajar dan Tes Prestasi Belajar Matematika ... 149

Lampiran 5. Uji Keseimbangan ... 154

Lampiran 6. Data Penelitian dan Diskripsi Data ... 158

Lampiran 7. Uji Normalitas ... 172

Lampiran 8. Uji Homogenitas ... 210

Lampiran 9. Uji Anava dan Komparasi Ganda ... 213

Lampiran 10. Tabel Nilai Uji Lilliefors ... 223

Lampiran 11. Tabel Tabel Distribusi χ2 ... 224

Lampiran 12. Tabel Distribusi F ... 225


(14)

xiv ABSTRAK

UNTARI SETYAWATI, S 850907123. 2008: Eksperimentasi Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan Tipe JIGSAW Pada Kompetensi Standar Persamaan Kuadrat Ditinjau Dari Motivasi Belajar Peserta didik Kelas X SMA Negeri di Surakarta. Tesis, Surakarta: Program Studi Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1). Apakah pembelajaran matematika pada kompetensi standar Persamaan Kuadrat dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dari tipe STAD. (2). Apakah peserta didik yang mempunyai motivasi tinggi akan mempunyai prestasi belajar lebih baik dibanding dengan peserta didik yang mempunyai motivasi sedang dan peserta didik yang mempunyai motivasi sedang akan mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari peserta didik yamg bermotivasi rendah. (3). Apakah perbedaan prestasi belajar dari masing-masing model pembelajaran konsisten terhadap masing-masing tingkat motivasi dan apakah perbedaan antara masing-masing tingkat motivasi belajar konsisten pada setiap model pembelajaran.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain faktorial 2 x 3. Populasi penelitian adalah peserta didik SMA Negeri Kota Surakarta kelas X semester I tahun pelajaran 2008/2009. Teknik pengambilan sampel penelitian adalah Cluster Random Sampling dengan sampel adalah peserta didik SMA Negeri 3, SMA Negeri 4 dan SMA Negeri 7 Surakarta semester I kelas X tahun pelajaran 2008/2009 pada bulan Juli sampai dengan Oktoberr 2008 yang diambil dua kelas dari masing-masing sekolah tersebut secara random. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah angket motivasi belajar dan tes prestasi belajar matematika dengan pokok bahasan Persamaan Kuadrat dalam bentuk pilihan ganda. Sebelum angket motivasi belajar dan tes prestasi digunakan terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen. Pada uji coba tes prestasi belajar matematika pada kompetensi standart Persamaan Kuadrat diuji tentang konsistensi, reliabilitas, indeks kesukaran dan daya beda. Sedangkan uji coba instrumen angket motivasi belajar peserta didik diuji tentang konsistensi dan reliabilitas. Hasil uji coba instrumen diperoleh nilai uji reliabilitas dengan metode KR-20 pada tes prestasi belajar adalah 0,785 dan nilai uji reliabilitas dengan metode Alpha pada angket motivasi belajar adalah 0,858. Pengujian hipotesis menggunakan Anava dua jalan dengan frekuensi sel tak sama, dengan taraf signifikan 5%. Sebelumnya dilakukan uji prasyarat yaitu: uji keseimbangan menggunakan uji rerata t, uji normalitas menggunakan uji Liliefors dan uji homogenitas menggunakan uji Bartlett. Hasil uji prasyarat adalah antara peserta didik pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan Jigsaw adalah seimbang, sampel berasal dari populasi berdistribusi normal, rataan kemampuan awal dan populasi homogen.

Hasil analisis pada Anava dua jalan dengan frekuensi sel tak sama menunjukkan: (1) Peserta didik yang menggunakan model pembelajaran


(15)

xv

Berdasarkan uji komparasi ganda perbedaan tersebut adalah prestasi belajar matematika antara peserta didik yang bermotivasi belajar tinggi lebih baik dengan peserta didik yang bermotivasi belajar sedang dan rendah (.2 = 163,052 dan F.1-.3 = 174,194 dengan Fkritik 6,000), serta prestasi belajar matematika antara peserta didik yang bermotivasi belajar sedang lebih baik dengan peserta didik yang bermotivasi rendah (F.2-.3 = 26,743 dengan Fkritik 6,000); (3) Prestasi belajar matematika antara peserta didik pada setiap tingkat motivasi belajar untuk masing-masing model pembelajaran atau prestasi belajar matematika antara peserta didik pada masing-masing model pembelajaran untuk setiap tingkat motivasi belajar adalah berbeda (Fab = 7,840 dengan nilai Ftabel = 3,00). Berdasarkan uji komparasi ganda perbedaan tersebut adalah pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw hanya peserta didik yang bermotivasi belajar tinggi yang mempunyai perbedaan prestasi belajar matematika dengan peserta didik bermotivasi sedang dan rendah (F11-12 = 65,325; F11-13 = 77,670 dan F12-13 = 5,855 dengan Fkritik = 11,05), sedangkan pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD peserta didik yang bermotivasi belajar tinggi, sedang dan rendah masing-masing mempunyai prestasi belajar matematika yang berbeda (F21-22 = 99,710; F21-23 = 105,107 dan F22-23 = 28,944 dengan Fkritik = 11,05)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) Peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif antara tipe STAD dan Jigsaw mempunyai prestasi belajar matematika yang tidak berbeda secara signifikan (

X

A

= 79,38; XB = 80,07); (2) Peserta didik dengan motivasi belajar tinggi mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada peserta didik dengan motivasi belajar sedang dan rendah, begitu juga peserta didik dengan motivasi belajar sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada peserta didik dengan motivasi belajar rendah (XM1 = 87,97; XM2 = 72,90; XM3 = 62,73); (3). Peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan motivasi tinggi mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada peserta didik dengan motivasi sedang dan rendah begitu juga peserta didik dengan motivasi sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada juga peserta didik dengan motivasi rendah, sedangkan pada tipe Jigsaw peserta didik dengan motivasi tinggi mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada peserta didik dengan motivasi sedang dan rendah tetapi peserta didik dengan motivasi sedang dan rendah mempunyai prestasi belajar matematika yang tidak berbeda. Tetapi untuk masing-masing kelompok motivasi belajar antara peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan Jigsaw mempunyai prestasi belajar matematika yang sama (XA1=89,47; XA2= 73,21;

3 A


(16)

xvi

ABSTRACT

Untari Setyawati. S850907123. The Experimentation of Mathematics Learning with the Competency-Standard of Quadrate Equation by Using Cooperative Learning Models of STAD and Jigsaw Viewed from the Learning Motivation of Students in Class X of State Senior Secondary School in Surakarta. Thesis, Surakarta: The Graduate Program in Mathematics Education, Postgraduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta, 2008.

This research is aimed at finding out: (1) whether or not the learning achievement in Mathematics in the Competency-Standard of Quadrate Equation using the learning model of Jigsaw type is better than that of STAD type; (2) whether or not the students with a high learning motivation have a better learning achievement in Mathematics than those with a moderate learning motivation, and whether or not the students with a moderate learning motivation have a better learning achievement in Mathematics than those with a low learning motivation; and (3) whether or not the differences in the learning achievements of each learning model are consistent to each level of the learning motivations, and whether or not the differences in each level of the learning motivations are consistent to each learning model.

This research is an experimental one with the factorial design of 2 x 3. Its population was the students of State Senior Secondary Schools in Surakarta, in Grade X, Semester I, in the Academic Year of 2008/2009. Its samples were taken by using a Cluster Random Sampling technique. The samples included the students of State Senior Secondary School 3, State Senior Secondary School 4, and State Senior Secondary School 7 in Surakarta in Grade X, Semester I, in the Academic Year of 2008/2009, from July to October 2008 by taking two classes from each school randomly. The instruments used to gather its data were the questionnaire of learning motivation and the test of Mathematics learning achievement in the topic of Quadrate Equation in the multiple choice form. Prior to their implementation, both the instruments were tested. The former was tested in terms of consistency and reliability, and the latter was tested in terms of consistency, reliability, difficulty index, and difference index. Based on the test, which used the method of KR-20, the reliability test on the test of Mathematics learning achievement was 0,785. Meanwhile based on the test which used the method of Alpha, the reliability test on the questionnaire of learning motivation was 0,858. Hypotheses of the research were tested by using a two-way Analysis of Variants with unequal cell frequency at the significance of 5%. Beforehand, pre-requisite tests were done. The tests included balance test by using t average test, normality test by using Liliefors test, and homogeneity test by using Bartlett test. The results of the pre-requisite test were as follows: the learning achievement in Mathematics of the students who used the cooperative learning models of STAD and Jigsaw were balanced; the samples had a normal distribution; and the average of the students’ preliminary ability was homogenous.


(17)

xvii

of Ftable = 3.84). (2) The students with low, moderate, and high learning motivations

have a different learning achievement in Mathematics (Fb = 112.981 with the value

of Ftable = 3. 00). Based on the multiple comparative test, the difference indicate that

the students with high a learning motivation have a better learning achievement Mathematics than those with a moderate learning motivation and a low learning motivation. (F.1-.2 = 163.052 and F.1-.3 = 174.194 with Fk = 6.000), and the students

with a moderate learning motivation have a better learning achievement in Mathematics than those with a low learning motivation (F.2-.3 = 26..743 with Fk =

6.000). (3) The Mathematics learning achievements of the students in every level of the learning motivations in each cooperative learning model are different (Fab =

7.840 with the value of Ftable = 3.00). Based on the multiple comparative test, the

difference indicates that in the cooperative learning model of Jigsaw, only the students with a high learning motivation have a different learning achievement in Mathematics compared to those with a moderate learning motivation and a low motivation (F11-12 = 65.325; F11 – 13 = 77.670, and F12-13 = 5.855 with Fk = 11.05).

Meanwhile, in the cooperative learning model of STAD, the students with high, moderate, and low learning motivations each have a different learning achievement in Mathematics (F21-22 = 99.710; F21-23 = 105.107 and F22-23 = 28.944 with Fk =

11.05).

Based on the results above, conclusions are drawn: (1) There is not any significant difference of learning achievement in Mathematics between the students with the cooperative learning model of STAD and those with the cooperative learning model of Jigsaw (

X

A = 79.38; XB = 80.07) (2) The students with high a learning motivation has a better learning achievement in Mathematics than those with moderate and low learning motivations, and the students with a moderate learning motivation have a better learning achievement in Mathematics than those with a low learning motivation. (XM1 = 87.97; XM2 = 72.90; and XM3 = 62.73). (3) In the cooperative learning of STAD, the students with a high learning motivation have a better learning achievement in Mathematics than those with moderate and low learning motivation, and the students with a moderate learning motivation have a better learning achievement in Mathematics than those with a low learning motivation. Meanwhile, in the cooperative learning model of Jigsaw, the students with a high learning motivation have a better learning achievement in Mathematics than those with moderate and low learning motivation, and the students with a moderate learning motivation have a better learning achievement in Mathematics than those with a low learning motivation. However, for each level of the learning motivations, the students with the cooperative learning model of STAD have similar learning achievement in Mathematics to those with the cooperative learning model of Jigsaw XA1 89.47; XA2 73.21; XA3= 55.43; XB1= 86.91; XB2= 72.39; XB3= 66.13).


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu masalah dalam sistem pendidikan nasional adalah masih rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah (Depdiknas,2001). Sementara dari pengamatan penulis dilapangan, banyak dijumpai masih redahnya mutu pendidikan nasional kita, diantaranya: kurikulum yang tumpang tindih dan sangat berlebihan muatannya, banyak guru dan peserta didik tidak pernah memanfaatkan sarana pembelajaran sekolah, banyak buku-buku penunjang pelajaran hanya ditumpuk di almari perpustakaan, dan mungkin masih banyak lagi jenisnya. Dalam hal ini, perlu adanya perubahan-perubahan yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan.

Mengingat hal tersebut, pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan sistem pendidikan. Diantara upaya tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menetapkan kebijakan untuk menyempurnakan Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum 2004, belum lama kurikulum ini diperlakukan kemudian muncul lagi yang namanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diberlakukan mulai awal tahun pelajaran 2006/2007. Kurikulum ini diharapkan dapat membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan (competency) yang sesuai dengan tuntutan jaman dan tuntutan reformasi. Sasaran utama pemberlakuakn KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan


(19)

Pendidikan) adalah membangun ketrampilan individual peserta didik.Untuk itu tidak semudah membalik tangan, guru harus memikirkan atau memilih strategi yang tepat untuk kondisi yang berbeda beda.

Hasil pendidikan dianggap tinggi mutunya apabila kemampuan dan sikap para lulusannya berguna bagi perkembangan selanjutnya baik di lembaga pendidikan yang lebih tinggi maupun di masyarakat. Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Segera setelah anak dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak dan hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pemenuhan kebutuhannya. Pendidikan membantu agar proses itu berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Membicarakan pendidikan tidak bisa terlepas dengan masalah pengajaran atau proses belajar mengajar, karena keduanya tidak bisa terlepas dari satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan akhir dari pada pendidikan.

Mutu pendidikan yang baik baru akan tercapai apabila proses belajar mengajar di kelas diselenggarakan benar-benar efisien dan efektif untuk mencapai tujuan pendidikan. Salah satu usaha pencapaian dari tujuan pendidikan adalah melalui program pengajaran. Pendidikan dan pengajaran bukanlah dua hal yang sama kedudukannya, pendidikan mempunyai arti yang lebih luas, yaitu pengaruh, bantuan atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang betanggung jawab kepada anak didik. Pengajaran mempunyai pengertian yang lebih sempit daripada pendidikan.


(20)

3

Proses belajar mengajar mempunyai banyak faktor penunjang yang satu sama lain saling berkaitan. Seperti dikemukakan oleh M. Shalahudin (1990:23) sebagai berikut: Prestasi belajar dalam hal ini output dicapai melalui proses belajar mengajar dimana proses tersebut akan bisa berjalan apabila mendapat dukungan atau sumbangan dari berbagai faktor diantaranya peserta didik, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana pendidikan serta faktor-faktor lingkungan.

Seorang peserta didik dikatakan telah mengikuti kegiatan belajar mengajar apabila telah terjadi perubahan tertentu yang berupa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mampu berbuat sesuatu menjadi mampu berbuat sesuatu. Perubahan ini harus terjadi disebabkan adanya usaha yang disengaja, dan perubahan ini berlaku dalam proses belajar mengajar. Pada kenyataannya tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar belum dapat tercapai dengan memuaskan, khususnya untuk mata pelajaran matematika.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memegang peranan dalam dunia modern yang berhubungan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Matematika selalu berhubungan dengan mata pelajaran yang lain. Dilain pihak, matematika dianggap sebagai salah satu pelajaran yang sulit oleh peserta didik SD, SMP, maupun SMA, bahkan ada peserta didik yang merasa takut, bosan dan tidak tertarik.Ini terlihat dari rendahnya prestasi belajar peserta didik pada mata pelajaran matematika.

Matematika diajarkan di sekolah melalui matematika sekolah. Matematika sekolah dimaksudkan sebagai bagian matematika yang diberikan untuk dipelajari oleh peserta didik (formal), yaitu peserta didik SD, SMP dan SMA. Pada


(21)

matematika sekolah, peserta didik mempelajari matematika yang sifat materinya masih elementer tetapi merupakan konsep esensial sebagai dasar untuk prasyarat konsep yang lebih tinggi dan banyak aplikasinya dalam kehidupan di masyarakat. Tujuan pendidikan matematika di sekolah:1) untuk mempersiapkan anak didik agar sanggup menghadapi perubahan-perubahan keadaan di dalam kehidupan dunia yang senantiasa berubah, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis dan rasional, kritis dan cermat, objektif, kreaktif, efektif dan diperhitungkan secara analitis-sintetis, 2) untuk mempersiapkan anak didik agar menggunakan matematika secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam menghadapi ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu sebagai guru matematika perlu memahami dan mengembangkan berbagai tipe pembelajaran dalam pengajaran matematika. Dalam hal ini hendaknya guru dapat menyusun program pengajaran yang dapat membangkitkan motivasi peserta didik dalam belajar sehingga membuat peserta didik merasa terlibat langsung dan merasa memiliki pembelajaran tersebut dalam proses belajar mengajar. Sebagaimana diungkapkan oleh Soedjadi (1995:12), betapapun tepat dan baiknya bahan ajar matematika yang ditetapkan belum menjamin akan tercapainya tujuan pendidikan, dan salah satu faktor penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah proses mengajar yang lebih menekankan pada keterlibatan peserta didik secara optimal. Dengan demikian penghayatan terhadap matematika akan lebih mantap dan terhindar dari anggapan peserta didik yang memandang sulit terhadap matematika.


(22)

5

Selama ini, masih ada guru yang terpaku pada satu atau dua model mengajar yang digunakan terus menerus tanpa pernah memodifikasinya atau menggantikannya dengan model lain walaupun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai berbeda. Akibatnya, pencapaian tujuan pembelajaran oleh para peserta didik tidak optimal. Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran tersebut, dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, guru hendaknya memilih dan menggunakan model pembelajaran yang melibatkan peserta didik aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik maupun sosial. Pada pengajaran matematika hendaknya disesuaikan dengan kekhasan standar kompetensi/kompetensi dasar dan perkembangan berpikir peserta didik

Masih banyak guru yang menggunakan model pembelajaran konvensional dalam kegiatan belajar mengajar. Model konvensional adalah model pembelajaran yang bersifat klasikal yaitu hanya berpusat pada guru dimana guru dalam menularkan pengetahuan pada peserta didik secara lisan atau ceramah, diselingi dengan tanya jawab dan pemberian tugas atau pekerjaan rumah. Dalam metode ini guru mendominasi kegiatan belajar mengajar, guru langsung membuktikan dalil dan menurunkan rumus kemudian memberikan contoh soal dan dikerjakan sendiri oleh guru. Sementara itu peserta didik hanya duduk dengan rapi, mengikuti guru dengan teliti dan mencatat sehingga peserta didik cenderung pasif, kurang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas dan inisiatif.

Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika di sekolah misalnya model pembelajaran kooperatif tipe


(23)

didik untuk bekerjasama dalam kelompok-kelompok belajar selama satu pokok bahasan. Proses Belajar mengajar menggunakan model pembelajaran kooperatif, menghasilkan peserta didik dalam satu kelas mampu menguasai materi pelajaran dalam waktu yang sama.

Pemilihan model pembelajaran yang tepat dapat membuat peserta didik lebih termotivasi untuk belajar. Dengan demikian akan tercipta pembelajaran yang lebih menekankan pada pemberdayaan peserta didik secara aktif. Pembelajaran tidak hanya sekedar menekankan pada penguasaan pengetahuan (logos), tetapi terlebih pada penekanan internalisasi tentang apa yang dipelajari, sehingga terbentuk dan terfungsikan sebagai milik nurani peserta didik yang berguna dalam kehidupannya (etos). Motivasi seperti ini akan tercipta jika guru mengkondisikan situasi pembelajaran yang tidak membosankan. Melalui kreativitasnya, guru dan siswa mengkondisikan pembelajaran di kelas menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan.

Motivasi yang merupakan variabel yang sangat penting untuk menentukan keberhasilan dalam belajar. Seorang peserta didik atau peserta didik yang gagal dalam tugas akademisnya disebabkan tidak termotivasi dengan memadai. Begitu pula S. Nasution (1986: 79) mengatakan bahwa untuk belajar diperlukan motivasi. Hasil belajar pun banyak ditentukan oleh motivasi. Semakin tepat motivasi yang diberikan kepada peserta didik, akan dapat semakin berhasil dalam pelajaran itu. Demikian juga Sardiman (1992: 75) mengatakan bahwa seorang peserta didik yang memiliki inteligensi cukup tinggi, bisa jadi gagal karena kekurangan motivasi. Hasil belajar akan optimal bila ada motivasi yang tepat.


(24)

7

Selanjutnya Wayan Ardhana (1990: 5) mengatakan bahwa dalam dunia pendidikan motivasi dapat dipandang baik sebagai variabel bebas maupun sebagai variabel tak bebas. Sebagai variabel bebas, motivasi seringkali dianggap mempengaruhi atau sekurang-kurangnya ikut mempengaruhi prestasi belajar. Rendahnya prestasi belajar peserta didik seperti banyak diungkapkan oleh berbagai media massa akhir-akhir ini sebagian besar terjadi akibat motivasi belajarnya yang rendah.

Berdasarkan latar belakang seperti yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa perlu dilakukan penelitian mengenai keefektifan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw dalam pembelajaran matematika ditinjau dari motivasi belajar peserta didik.

B. Identifikasi Masalah

1. Masih rendahnya pemahaman peserta didik terhadap konsep-konsep yang terdapat pada pelajaran matematika sehingga peserta didik kesulitan dalam belajar matematika dan berakibat prestasi matematika peserta didik menjadi rendah.

2. Masih banyak peserta didik yang kurang aktif dalam proses belajar mengajar matematika sehingga diperlukan metode pembelajaran yang dapat mendorong peserta didik berpikir dan terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan pemahaman matematika. Penggunaan model pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara langsung dengan cara bekerjasama dalam kelompok belajar selama proses


(25)

belajar mengajar suatu pokok bahasan dapat menghasilkan peserta didik dalam satu kelas mampu menguasai materi pelajaran dalam waktu yang sama. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.

3. Masih rendahnya prestasi belajar matematika peserta didik mungkin disebabkan oleh kurangnya motivasi belajar matematika peserta didik.

4. Pada penerapan metode pembelajaran matematika yang sesuai dengan pokok bahasan yang diajarkan diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik sehingga prestasi belajar matematika peserta didik juga akan meningkat.

C. Pembatasan Masalah

1. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.

2. Motivasi belajar peserta didik adalah petunjuk pada tingkah laku belajar yang menggerakkan aktivitas belajar pada peserta didik. Motivasi belajar peserta didik dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah.

3. Prestasi belajar matematika peserta didik yang dimaksud adalah hasil belajar matematika peserta didik pada standar kompetensi Persamaan Kuadrat yang telah dicapai pada akhir penelitian ini.


(26)

9

D. Perumusan Masalah

1. Apakah pembelajaran matematika pada standar kompetensi Persamaan Kuadrat dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dari tipe STAD?

2. Apakah peserta didik yang mempunyai motivasi tinggi akan mempunyai presatasi belajar lebih baik dibanding dengan peserta didik yang mempunyai motivasi sedang dan peserta didik yang mempunyai motivasi sedang akan mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari peserta didik yamg bermotivasi rendah?

3. Apakah perbedaan prestasi belajar dari masing-masing model pembelajaran konsisten terhadap masing-masing tingkat motivasi dan apakah perbedaan antara masing-masing tingkat motivasi belajar konsisten pada setiap model pembelajaran?

E. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perbedaan prestasi matematika bagi peserta didik yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif antara tipe

STAD dengan Jigsaw.

2. Mengetahui perbedaan prestasi matematika bagi peserta didik yang mempunyai tingkat motivasi belajar yang berbeda.

3. Mengetahui perbedaan prestasi matematika pada penerapan model pembelajaran kooperatif antara tipe STAD dengan Jigsaw bagi peserta didik yang mempunyai tingkat motivasi belajar yang berbeda.


(27)

F. Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan kepada tenaga pengajar dalam penggunaan model pembelajaran yang sesuai dengan materi ajar.

2. Memberikan masukan kepada tenaga pengajar pada saat menerapkan model pembelajaran dapat memotivasi peserta didik dalam belajar matematika. 3. Sebagai bahan pertimbangan dan bahan masukan serta tambahan referensi


(28)

11 BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Prestasi Belajar Peserta didik

a. Teori Belajar

Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan (Jujun S. Suriasumantri, 1985 : 143). Secara khusus, teori memberikan dua kelebihan daripada sumber-sumber pengetahuan yang lain. Yang pertama bahwa teori dapat diuji. Eksperimen dapat dilakukan untuk menentukan apakah teori itu cocok pada kenyataannya. Yang kedua ialah, bahwa teori mengandung generalisasi tentang gejala-gejala dan dengan demikian dapat diterapkan pada beberapa keadaan (Margaret. E. Bell. Gredler 1994 : 5).

Belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan ketrampilan dengan cara mengolah bahan belajar. (Dimyati : 1999 : 295). Dalam belajar, individu menggunakan ranah-ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Akibat belajar tersebut, maka kemampuan individu dalam ketiga ranah itu makin bertambah baik. Menurut konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), belajar merupakan perubahan dari tidak bisa menjadi bisa melakukan (E. Mulyasa, 2003 : 53). Tujuan, sasaran dan penilaian semuanya terfokus pada kompetensi yang dimiliki peserta didik atau pekerjaan yang mampu dilakukannya setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Jadi belajar


(29)

merupakan perilaku yang kompleks. Kompleksnya perilaku belajar tersebut menimbulkan berbagai teori belajar.

Teori-teori belajar yang dikembangkan selama abad 20

dikelompokkan menjadi dua keluarga, yaitu keluarga perilaku (behavioristics) yang meliputi teori-teori stimulus – respons (S – R) conditioning, dan keluarga Gestalt – field yang meliputi teori-teori kognitif (Ratna Wilis Dahar, 1989 : 19). Para penganut teori-teori perilaku berpendapat, bahwa sudah cukup bagi peserta didik untuk mengasosiasikan stimulus-stimulus dan respons-respons yang benar. Tidak perlu dipersoalkan apakah yang terjadi dalam pikiran peserta didik sebelum dan sesudah respons terbentuk. Penganut teori-teori kognitif berkeyakinan, bahwa perilaku yang tidak tampak atau yang tidak dapat diamati adalah sangat memungkinkan untuk dipelajari secara ilmiah, misalnya pikiran-pikiran (thoughts) dari peserta didik.

Seorang guru yang menganut teori perilaku berkeinginan untuk mengubah perilaku-perilaku peserta didiknya yang tampak secara signifikan. Sedangkan guru yang berorientasikan teori kognitif berkeinginan untuk menolong para peserta didiknya mengubah pemahaman mereka tentang masalah-masalah dan situasi-situasi secara signifikan (Ratna Wilis Dahar, 1989 : 21).

Ornstein (1984) menyatakan bahwa pandangan yang paling menyeluruh tentang perkembangan kognitif adalah yang dikemukakan oleh Jean Piaget, berupa teori tentang perkembangan pengetahuan. Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman pengetahuan akan


(30)

13

berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget (1977), manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui tiga cara, yaitu asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi (Margaret E. Bell Gredler, 1994 : 311). Asimilasi maksudnya, struktur kognitif baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi maksudnya, struktur pengetahuan yang sudah ada di modifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman dan situasi baru. Ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi. Penerapan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari, yaitu ketika kita sebagai guru membuat rancangan pembelajaran (RP) dalam bentuk peserta didik melakukan kegiatan, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih, mendemonstrasikan, menciptakan ide baru dan sebagainya.

Pengembangan dari teori perkembangan kognitif Piaget adalah model konstruksivisme. Model konstruksivisme telah mendapatkan perhatian yang besar dikalangan peneliti pendidikan sains pada masa akhir-akhir ini, walaupun sebenarnya model konstruksivisme tidak hanya cocok untuk pendidikan sains, tapi juga dapat berdaya guna dalam pendidikan ilmu sosial. (Mulyasa, 2003 : 237).

Fokus pendekatan konstruksivisme bukan pada rasionalitas, tapi pada pemahaman. Konstruksivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey pada awal abad 20 yang lalu. Dalam pandangan


(31)

konstruktivis “strategi memperoleh“ lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak peserta didik memperoleh dan mengingat pengetahuan. Landasan filosofi konstruktivisme, menurut Depdiknas (2002), adalah filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal, peserta didik harus mengonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Pengetahuan dikonstruksi (dibangun dalam pikiran) dari hasil interpretasi atas suatu peristiwa, sehingga pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pola pikir orang tersebut (Mulyasa, 2003 : 238). Jadi esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Peserta didik perlu untuk dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Peserta didik harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka karena interpretasi mereka sendiri.

Strategi pokok dari model pembelajaran konstruktivisme adalah meaningful learning (pembelajaran bermakna). Hanya meaningful learning – lah yang sesungguhnya pembelajaran, kata Ausubel (Mulyasa, 2003 : 237). Dalam meaningful learning, peserta didik digalakkan untuk aktif. Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal (make senses) bagi diri peserta didik. Dengan pendekatan pembalajaran yang seperti ini, pengetahuan dapat diterima dan tersimpan lebih baik , karena pengetahuan tersebut masuk otak setelah melalui proses masuk akal. Strategi seperti ini memerlukan pertukaran pikiran, diskusi dan


(32)

15

perdebatan dalam rangka mencapai pengertian yang sama atas materi pelajaran.

Dalam pendekatan konstruktivisme, pembelajaran melibatkan negosiasi (pertukaran pikiran) dan interpretasi (proses berpikir yang singkat dan cepat yang terjadi dalam otak kita). Wacana penyesuaian pikiran ini dapat dilakukan antara peserta didik dengan guru, atau antara sesama peserta didik. Oleh karena itu strategi pembelajaran kooperatif (kerjasama) adalah sangat ideal (Mulyasa, 2003 : 239). Dalam pendekatan konstruktivisme harus tercipta hubungan kerjasama antara guru dengan peserta didik, dan antara sesama peserta didik. Untuk itu guru perlu menciptakan strategi yang tepat guna, sedemikian sehingga peserta didik mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. Motivasi ini akan tercipta jika guru dapat meyakinkan peserta didik akan kegunaan materi pelajaran bagi kehidupan peserta didik. Dengan demikian guru harus dapat menciptakan situasi sehingga materi pelajaran tidak membosankan peserta didik.

b. Prestasi Belajar

Winkel mengartikan prestasi adalah bukti keberhasilan usaha yang dapat dicapai (Winkel, 1993). Prestasi dikatakan juga merupakan hasil yang telah dicapai oleh peserta didik dalam belajar (Muhibbin Syah, 1995).

Dari beberapa teori belajar dan pengertian prestasi, dapat disimpulkan tentang pengertian prestasi belajar, yaitu merupakan hasil pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik


(33)

setelah mengikuti proses belajar mengajar. Diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen lain yang relevan.

Prestasi belajar ini selalu berkaitan dengan pengukuran dan penilaian. Keduanya bertujuan untuk mengetahui hasil dari pendidikan yang telah diberikan. Dengan pengukuran dan penilaian didapatkan suatu hasil, dan hasil ini dapat menjadi landasan bagi usaha-usaha yang lebih lanjut. Bila seseorang mengadakan penilaian pasti melakukan pengukuran. Pengukuran merupakan proses yang kuantitatif dan mendapatkan hasil yang kuantitatif pula, sehingga diperlukan sustu standart ukuran tertentu. Hasil pengukuran akan menjadi lebih berarti kalau dapat dibandingkan dengan kelompok yang ukurannya sejenis.

Bila pengukuran menghasilkan hal yang bersifat kuantitatif, maka untuk penilaian akan mendapatkan hasil yang bersifat kualitatif. Usaha penilian terhadap hasil pendidikan adalah sejalan dengan usaha mendidik anak itu sendiri. Pendidik pada sutu saat ingin mengetahui sampai sejauh mana tujuan yang ingin dicapai itu dimiliki atau berada pada anak didik, dengan kata lain ingin mengetahui kemajuan anak didik.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Tinggi rendahnya prestasi belajar peserta didik merupakan cerminan kualitas pembelajaran yang telah mereka ikuti. Makin tinggi prestasi belajar peserta didik menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran makin baik pula. Dalam pembelajaran yang berkualitas terjadi proses belajar yang efektif pada


(34)

17

diri peserta didik. Seorang peserta didik yang belajar secara efektif akan memiliki prestasi belajar yang baik. Jadi prestasi belajar seseorang sangat tergantung pada tingkat keefektifan proses belajar yang telah berlangsung pada dirinya.

Newell (1989 : 126) mengutip Ausabel menyatakan bahwa faktor penting yang mempengaruhi belajar seseorang adalah apa yang telah ia ketahui. Hasil-hasil belajar yang telah dikuasai akan sangat berguna dalam membantu keberhasilan proses belajar berikutnya. Dick & Carey ( 1990: 85) menyatakan bahwa pengetahuan yang telah dikuasai seseorang sebelum proses pembelajaran berlangsung disebut kemampuan awal atau entry behavior.

Banyak faktor yang mempengaruhi peserta didik dalam mencapai prestasi belajar, antara lain faktor dari dalam diri peserta didik (faktor internal) dan faktor dari luar (faktor eksternal). Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (1991:130-131) menjelaskan tentang faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar peserta didik, sebagai berikut:

1) Faktor dari dalam diri peserta didik (faktor internal)

a. Faktor jasmani (fisiologis) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya.

b. Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Faktor ini terdiri dari :


(35)

1). Faktor intelektif yang meliputi faktor potensial dan faktor kecakapan. 2). Faktor non intelektif, yaitu unsur - unsur kepribadian tertentu seperti

sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, dan penyesuaian diri.

c. Faktor kematangan fisik maupun psikis.

2) Faktor dari luar diri peserta didik (faktor internal) a. Faktor sosial, terdiri dari :

1). Lingkungan keluarga. 2). Lingkungan sekolah. 3). Lingkungan masyarakat. 4). Lingkungan kelompok.

b. Faktor budaya, seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.

c. Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar. d. Faktor lingkungan spiritual atau keamanan.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap prestasi belajar adalah faktor keefektifan pembelajaran (Aiken, 1997: 109). Keefektifan pembelajaran akan ditentukan oleh model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Apabila model pembelajaran yang dipilih tepat sesuai dengan tujuan pembelajaran, maka pembelajaran akan menjadi efektif sehingga prestasi belajar peserta didik diharapkan optimal.


(36)

19

Pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu peserta didik untuk mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya. Dari uraian di atas, di antara faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar peserta didik adalah faktor motivasi belajar yang dimiliki peserta didik dan faktor model pembelajaran.

2. Pembelajaran Matematika

Hakikat pembelajaran adalah pengaturan kondisi eksternal untuk mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Fokus utama setiap program pendidikan atau pembelajaran adalah untuk mendorong terjadinya proses belajar. (Gagne dan Driscoll, 1989: v & 1). Oleh karenanya, menyelenggarakan pembelajaran termasuk pembelajaran matematika harus mendasarkan diri pada paradigma belajar sesuai hakikat pembelajaran serta maksud dari program pendidikan tersebut yakni mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Program pembelajaran matematika harus mengarah pada penyelenggaraan pembelajaran yang efektif. Tolok ukur pembelajaran yang efektif adalah keberhasilannya dalam menciptakan suasana belajar pada diri peserta didik bukan semata-mata telah dilakukannya kegiatan mengajar oleh guru.

Hakikat belajar itu sendiri adalah terjadinya perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap akibat dari terjadinya interaksi aktif dengan lingkungan (Winkel, 1996: 53). Oleh karenanya, guru sebagai penyelenggara proses pembelajaran harus mampu mengatur lingkungan


(37)

sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pada diri peserta didik sebagai bukti bahwa para peserta didik sudah melakukan proses belajar.

Menurut Nana Sudjana dan Daeng Arifin (1987: 20), agar dalam proses pembelajaran tercipta perubahan perilaku pada diri peserta didik sebagai hasil belajar, maka peran guru bukan semata-mata sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing belajar, atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar. Dikatakan sebagai pembimbing belajar karena dalam proses tersebut guru memberikan bantuan kepada peserta didik agar mereka itu sendiri yang melakukan kegiatan belajar. Dikatakan sebagai pemimpin belajar karena guru menentukan ke mana kegiatan belajar peserta didik akan diarahkan; dan dikatakan sebagai fasilitator belajar karena guru harus menyediakan fasilitas setidak-tidaknya menciptakan kondisi lingkungan yang dapat menjadi sumber pendorong bagi peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar.

Dalam pembelajaran matematika dengan paradigma belajar, guru harus mampu bertindak sebagai pembimbing, pemimpin, dan fasilitator belajar bagi para peserta didik. Dalam hal ini guru harus melakukan pilihan pendekatan atau model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif sebagai pelaku utama dalam proses belajar.

Mata pelajaran matematika selama ini dianggap oleh sebagian peserta didik sebagai mata pelajaran yang menakutkan, baik di jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Bahkan ada peserta didik yang merasa bosan, tidak tertarik, bahkan tidak suka pada mata pelajaran ini. Hal ini biasanya


(38)

21

disebabkan karena matematika diajarkan dengan strategi atau model pembelajaran yang kurang tepat.

Kekurangtepatan pemilihan model atau strategi pembelajaran matematika bersumber dari masih kuatnya pengaruh paradigma lama dalam pembelajaran. Anita Lie (2002: 2-6) menyatakan bahwa dalam dunia pendidikan, paradigma lama pembelajaran bersumber pada teori tabula rasa John Locke yang mengatakan bahwa pikiran seorang anak adalah seperti kertas kosong yang bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Berdasarkan teori ini, paradigma lama pembelajaran adalah paradigma mengajar yang diibaratkan seperti mengisi kertas kosong dengan coretan-coretan. Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah. Paradigma lama yang tidak mendorong keaktifan peserta didik dalam belajar tidak dapat dipertahankan lagi.

Dalam proses pembelajaran, yang harus aktif adalah peserta didik karena merekalah yang paling bertanggungjawab atas kegiatan pembelajaran dan yang akan menerima akibat langsung dari proses pembelajaran. Paradigma baru pembelajaran adalah paradigma belajar. Dengan paradigma baru tersebut pendidik perlu menyusun kegiatan pembelajaran berdasarkan beberapa pokok pikiran, yaitu:

1). Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh peserta didik; guru harus menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan peserta didik membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar untuk disimpan dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.


(39)

2). Peserta didik membangun pengetahuan secara aktif melalui suatu proses belajar yang mereka lakukan sendiri bukan sesuatu yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik. Peserta didik tidak menerima pengetahuan secara pasif dari guru. Peserta didik mengaktifkan struktur kognitif mereka dan membangun struktur-struktur baru untuk mengakomodasikan masukan pengetahuan baru.

3). Guru perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan peserta didik. Kegiatan pembelajaran harus lebih menekankan pada proses daripada hasil. Setiap peserta didik memiliki potensi dan kompetensi yang dapat ditingkatkan melalui usaha pembelajaran. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi sampai setinggi yang mampu diraih peserta didik. 4). Pendidikan merupakan interaksi pribadi di antara para peserta didik dan antara

guru dengan peserta didik. Kegiatan pendidikan merupakan proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi, mereka membangun pengertian dan pengetahuan bersama.

Frans Susilo (1998: 235) mengemukakan bahwa sesungguhnya matematika dapat diapresiasi secara baik oleh para peserta didik apabila matematika dipelajari secara manusiawi. Cara yang dimaksudkan adalah dengan membangun sendiri pemahaman mereka akan unsur-unsur matematika. Pemahaman harus dapat diperoleh bukan dengan cara menghafal rumus-rumus atau langkah-langkah yang diberikan guru, melainkan dibentuk dengan membangun makna dari apa yang dipelajari, misalnya dengan memberikan interpretasi terhadap apa yang sedang dipelajari dengan mempergunakan


(40)

23

informasi baru yang mereka peroleh yang akan mereka gunakan untuk mengubah, melengkapi atau menyempurnakan pemahaman yang telah tertanam sebelumnya. Hal ini akan dapat terwujud apabila para peserta didik diberi keleluasaan untuk melakukan eksperimen termasuk kemungkinan berbuat salah agar mereka dapat belajar dari kesalahan tersebut. Proses pembelajaran seperti itu dikenal dengan proses belajar melalui tahap-tahap asimilasi dan akomodasi, dengan proses seperti itu pemahaman akan terjadi secara mengakar dan para peserta didik akan belajar untuk menghargai dan mencintai matematika karena pada diri mereka akan tumbuh keyakinan tentang bagaimana caranya merumuskan dan menggunakan matematika manakala diperlukan.

Marpaung (1998: 247) menyatakan bahwa pembelajaran matematika didasarkan pada pendekatan konstruktivisme yang dipelopori oleh Ernst von Glasserfeld dan strategi pembelajarannya adalah doing. Konstruktivisme menurut Paul Suparno (2002: 14 -15) adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar.

Pengetahuan bukanlah kumpulan dari fakta-fakta tetapi merupakan kumpulan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” dan kita tinggal mengambilnya, melainkan merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru.


(41)

Menurut Von Glasserfeld tokoh konstruktivisme dari Amerika Serikat seperti dikutip oleh Paul Suparno (2002: 2), dinyatakan bahwa pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seorang guru ke pikiran seorang peserta didik. Bahkan bila seorang guru bermaksud memindahkan suatu konsep, ide, dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh peserta didik sendiri. Tanpa keaktifan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan tidak akan terjadi. Terdapat beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia, antara lain: (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman, dan (3) jaringan struktur kognitif.

Menurut konstruktivisme, pengalaman akan fenomena yang baru akan menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan; dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan itu pula. Misalnya, dalam bidang ilmu sains peranan pengalaman ataupun percobaan-percobaan dalam pengembangan hukum, teori, maupun konsep-konsep ilmu tersebut sangat besar.

Bagi aliran kontruktivisme, belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu dari pada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, melainkan pengembangan suatu pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Peserta didik harus memperoleh pengalaman dengan membuat hipotesis, prediksi, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi,


(42)

25

mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk kontruksi yang baru.

Lebih lanjut, Paul Suparno (2002: 3-4) menjelaskan hal-hal berikut. Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka kesempatan untuk studi kelompok dapat dikembangkan. Dalam studi kelompok, peserta didik yang mengerjakan bersama suatu persoalan harus mengungkapkan bagaimana mereka melihat persoalan itu dan apa yang ingin mereka buat dengan persoalan itu. Inilah salah satu jalan menciptakan refleksi, yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan sedang dibuat. Selanjutnya ini akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk aktif membuat abstraksi. Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan dapat membantu untuk melihat sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi pandangan mereka sendiri. Seseorang yang diberi kesempatan untuk menjelaskan bahan pada seluruh kelas, biasanya terpacu untuk belajar lebih bersungguh-sunggguh. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang guru mempunyai peranan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada guru yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagi berikut:

1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik ikut bertanggung jawab dalam membuat desain, proses, dan penelitian. Di sini jelas bahwa memberikan pelajaran dengan model ceramah bukanlah hal yang tepat yang harus dilakukan oleh seorang guru.


(43)

2) Guru menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang ke-ingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka, menyediakan sarana yang merangsang berpikir peserta didik secara produktif, menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar mereka. Guru hendaknya menyemangati peserta didik dan bukan sebaliknya. Kadang-kadang guru perlu menyediakan pengalaman konflik. Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan menantang mereka untuk berpikir mendalam.

3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan yang dibuat oleh mereka.

Kaum konstruktivistik menurut Driscoll (1994: 362-363) menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh peserta didik harus didasarkan atas pengembangan sendiri dan hal ini hanya dapat diperoleh dalam konteks kegiatan yang bermakna. Harus dilakukan pengembangan dan perubahan terus menerus atas pengetahuan melalui kegiatan aktif dari peserta didik. Dengan demikian, proses belajar bersifat menerus, merupakan proses sepanjang hayat. Sebenarnya hal ini sejalan dengan belajar melalui penemuan. Belajar dengan melalui mengembangkan sendiri pengetahuan oleh peserta didik harus dimulai dari


(44)

27

aktivitas penalaran mereka, termasuk menggunakan cara-cara penalaran matematika. Berdasarkan pendapat kaum konstruktivistik, terdapat tiga tujuan mendasar dari pendidikan, yakni menyangkut ingatan, pemahaman, dan penggunaan secara aktif pengetahuan dan keterampilan.

Stein, Silbert, dan Carnine (1997: 3) menyatakan bahwa dengan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran matematika mengandung arti bahwa peserta didik harus belajar secara bermakna dari sebuah lingkungan belajar. Guru dituntut agar mampu mengatur lingkungan belajar sedemikian rupa sehingga para peserta didik berhasil membangun makna mengenai hal-hal yang disampaikan oleh guru. Pembelajaran matematika yang efektif akan ditentukan oleh tiga hal yaitu: (1) rancangan pembelajaran, (2) teknik atau model pembelajaran, dan (3) pengorganisasian pembelajaran. Ketiga-tiganya saling tergantung satu sama lain dan tidak dapat ditinggalkan sebagai faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pembelajaran. Rancangan yang baik dan teknik pembelajaran dipilih secara tepat tidak akan berhasil baik apabila waktu yang disediakan sangat terbatas. Rancangan baik, waktu yang disediakan cukup juga tidak menjamin keberhasilan apabila guru tidak mampu memilih model yang tepat. Demikian pula, waktu mencukupi, guru mampu memilih model yang tepat, namun bila materi pembelajaran tidak dirancang dengan baik juga tidak akan menjamin keberhasilan pembelajaran.

Pembelajaran matematika mempunyai obyek yang abstrak. Herman Hudoyo (1990: 4-5) menyatakan bahwa hakekat matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungan teratur menurut aturan logis


(45)

sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Suatu kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan alasan logis dengan menggunakan pembuktian deduktif. Matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan hubungan-hubungannya memerlukan simbul-simbul. Simbol-simbol diperlukan untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang ditetapkan dan dengan simbul-simbul akan menjamin adanya komunikasi yang mampu memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru. Konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep sebelumnya karena matematika memiliki konsep-konsep yang tersusun secara hierarkis. Secara singkat dapat dikatakan bahwa matematika berkenaan dengan konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya menggunakan logika deduktif. Semua ini membawa akibat perlunya menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran matematika.Di samping itu, Gagne (1989: 110) menyatakan bahwa kualitas pembelajaran dalam mata pelajaran seperti matematika dan bahasa asing harus dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa hal: (a) peserta didik disediakan isyarat atau arahan, (b) terdapatnya partisipasi peserta didik dalam kegiatan, (c) ada program penguatan bagi peserta didik, dan (d) terdapat umpan balik yang mencakup pula tindakan korektif.

3. Model Pembelajaran

Terdapat kaitan yang erat antara belajar dan pembelajaran. Tujuan utama pembelajaran adalah mendorong peserta didik belajar. Pembelajaran adalah


(46)

29

upaya pengaturan informasi dan lingkungan sedemikian rupa untuk memfasilitasi terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Lingkungan pembelajaran meliputi model, media, dan peralatan yang diperlukan dalam penyampaian informasi dalam proses pembelajaran. Pengaturan atau pemilihan model, media, dan peralatan serta informasi dalam proses pembelajaran menjadi tanggung jawab dari guru untuk merancang atau mendesainnya.

Dengan demikian, model pembelajaran adalah bagian dari proses pembelajaran yang merupakan langkah-langkah taktis bagi guru dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan. Menururt Joyce, Weil dan Calhoun (2000: 10) model pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu cara atau pola yang digunakan untuk membantu peserta didik mengembangkan potensi dirinya sebagai pembelajar. Peserta didik tidak hanya menguasai materi perihal pengetahuan dan keterampilan melainkan juga harus memperoleh peningkatan kemampuan untuk menghadapi tugas-tugas di masa depan dan untuk keperluan belajar mandiri. Dick dan Carey (1990 :1) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu pendekatan dalam mengelola secara sistematis kegiatan pembelajaran sehingga peserta didik dapat menguasai isi pelajaran atau mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Terdapat lima tahapan dalam proses pembelajaran yaitu: (1) kegiatan pra instruksional, (2) penyajian informasi, (3) mendorong partisipasi peserta didik, (4) menyelenggarakan tes, dan (5) tindak lanjut. Agak sedikit berbeda, Nana Sudjana (1996: 53) mendefinisikan pembelajaran adalah tindakan guru melaksanakan rencana pembelajaran. Dalam melaksanakan rencana pembelajaran guru mengoptimalkan pengkombinasian


(47)

beberapa variabel pengajaran (tujuan, bahan, model dan alat, serta evaluasi) agar dapat membantu peserta didik mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, model pembelajaran pada dasarnya adalah tindakan nyata dari guru dalam melaksanakan pengajaran dengan cara tertentu yang dianggap paling efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran adalah taktik atau strategi yang digunakan guru dalam pembelajaran di kelas. Model tersebut hendaknya mencerminkan langkah-langkah secara sistemik dan sistematik. Sistemik mengandung pengertian bahwa setiap komponen pembelajaran saling berkaitan satu sama lain sehingga terorganisasi secara terpadu dalam mencapai tujuan. Sistematik mengandung pengertian, bahwa langkah-langkah yang dilakukan guru pada waktu pembelajaran berurutan secara rapi dan logis sehingga mendukung tercapainya tujuan. Menurut Borich dan Houston dalam Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winataputra (1997: 151) istilah model digunakan dalam pengertian yang sama untuk menggambarkan keseluruhan prosedur yang sistematis kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Menurut Atwi Suparman (1996: 157), model pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan dan cara pengorganisasian berbagai unsur yang meliputi: materi pelajaran, peserta didik, peralatan, bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Salah satu keterampilan dalam pembelajaran yang harus dimiliki seorang guru adalah dapat memilih berbagai model pembelajaran dan


(48)

31

menggunakan model tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Tujuan dan materi yang baik belum tentu memberikan hasil yang baik tanpa memilih dan menggunakan model yang sesuai dengan tujuan dan materi tersebut. Model pembelajaran mengandung kegiatan-kegiatan peserta didik dalam proses belajar dan kegiatan guru yang mengelola pembelajaran.

Pendapat lain dikemukakan oleh Gerlach dan Ely seperti dikutip Sri Anitah dan Noorhadi (1989:1) yang menyatakan bahwa model pembelajaran merupakan cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan materi pelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu. Model pembelajaran meliputi: sifat, lingkup, dan urutan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar peserta didik. Model yang dipilih guru dalam proses pembelajaran harus dapat memberikan kemudahan atau fasilitas kepada peserta didik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Gagne (2000: 114-115) peristiwa pembelajaran mencakup sembilan tahapan, yaitu: (1) Membangkitkan perhatian; (2) Menyampaikan tujuan pembelajaran kepada peserta didik; (3) Membangkitkan ingatan dari pemahaman awal (hasil belajar terdahulu); (4) Menyajikan rangsangan; (5) Menyediakan arahan belajar; (6) Memancing tampilan peserta didik; (7) Memberikan balikan; (8) Menilai hasil belajar peserta didik; (9) Meningkatkan perolehan hasil belajar (retensi) dan transfer. Sembilan tahapan peristiwa belajar tersebut dapat menunjang/mendukung proses internal dari belajar (proses internal sendiri tidak dapat diamati); keberadaan setiap tahapan peristiwa belajar tersebut menambah kemungkinan keberhasilan capaian belajar.


(49)

Pertimbangan tentang memudahkan peserta didik dalam belajar haruslah diperhatikan oleh guru dalam mengambil keputusan mengenai model tertentu yang hendak dipakai. Tidak ada model pembelajaran yang paling baik untuk semua materi pembelajaran. Semua model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kelemahan, sehingga yang paling penting adalah perlunya guru mampu memilih model dengan tepat disesuaikan dengan materi, tujuan, sumber, kemampuan, pengetahuan sebelumnya, umur peserta didik dan alat pelajaran yang tersedia.

Untuk menentukan atau memilih model, hendaknya berangkat dari perumusan tujuan yang jelas. Setelah tujuan pembelajaran ditetapkan, kemudian model pembelajaran yang dipandang efisien dan efektif dipilih. Jadi, pemilihan model pembelajaran ini harus memenuhi kriteria efisiensi dan keefektifan. Kriteria yang lain dalam memilih model pembelajaran adalah tingkat keterlibatan peserta didik; dalam kegiatan pembelajaran peserta didik dituntut tingkat keterlibatan yang optimal.

Jocye, Weil dan Calhoun (2000: 16-18) mengemukakan bahwa tiap model pembelajaran yang dipilih haruslah mengungkapkan berbagai realita yang sesuai dengan situasi kelas dan tujuan yang ingin dicapai melalui kerjasama guru dengan peserta didik. Sangat sulit untuk menentukan suatu model pembelajaran yang sempurna, yang dapat memecahkan semua masalah pembelajaran sehingga dapat membantu peserta didik dalam mempelajari materi pelajaran. Gaya mengajar yang dimiliki guru banyak dipengaruhi oleh situasi, kondisi, kebutuhan


(50)

33

peserta didik, dan tujuan yang hendak dicapai. Penerapan model pembelajaran didasari kepada asumsi bahwa model pembelajaran sebagai sarana membimbing peserta didik dalam mempelajari materi pembelajaran agar lebih produktif. Agar peserta didik lebih produktif dalam belajar, guru hendaknya memberikan kesempatan kepada mereka untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan gaya sendiri sehingga pemilihan model mengajar juga harus mengikuti kebutuhan atau kondisi peserta didik.

Model pembelajaran yang dipilih oleh guru harus mengarahkan pembelajaran menjadi efektif. Pembelajaran yang efektif menurut Dunne dan Wragg (1996: 12-14) mempunyai dua karakteristik. Pertama, pembelajaran efektif memudahkan peserta didik belajar sesuatu yang bermanfaat meliputi fakta, keterampilan, nilai-nilai, konsep atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan. Kedua, pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang diakui keandalannya oleh mereka yang berkompeten memberikan penilaian seperti guru-guru, pengawas, tutor, dan juga peserta didik. Keterandalan itu sendiri antara lain adalah dapat diterapkannya keterampilan penggunaan model pembelajaran secara konsisten pada tempat dan waktu yang berbeda.

a. Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil peserta didik untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai


(51)

tujuan belajar. Pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang asah, asih dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (Learning community). Peserta didik tidak hanya belajar dari guru tetapi juga dari sesama peserta didik. Menurut Lie (2004) dalam Sugiyanto (2007:11), pembelajaran kooperatif memuat elemen-elemen yang saling berkaitan, yaitu:

1). Saling ketergantungan positif

Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar peserta didik merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan positif dapat dicapai melalui: (a) saling ketergantungan mencapai tujuan, (b) saling ketergantungan menyelesaiakn tugas, (c) saling ketergantungan bahan atau sumber, (d) saling ketergantungan peran, dan (e) saling ketergantungan hadiah.

2). Interaksi tatap muka

Interaksi tatap muka akan memaksa peserta didik saling tatap muka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog. Dialog tidak hanya dilakukan dengan guru tetapi juga dengan sesama peserta didik. Interaksi semacam ini sangat penting karena siswa merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.


(52)

35

Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditunjukkan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajarn secara individual. Hasil penilaian secara individual selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota kelompok mengethui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua anggotanya, karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan sumbangan demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok yang didasarkan atas rata-rata penguasaan semua anggota kelompok secara individual ini yang dimaksud dengan akuntabilitas individual.

4). Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi

Keterampilan sosial seperti tenggang rasa. sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) tidak hanya diaumsikan tetapi secara sengaja diajarkan.

Dalam pembelajaran tradisional juga dikenal adanya belajar kelompok, tetapi ada perbedaan antara belajar kelompok kooperatif dengan belajar kelompok tradisional.


(53)

Tabel 2.1 Perbedaan Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dengan Jigsaw

No STAD Jigsaw

1. Guru menyajikan materi Guru membagi satuan Informasi

2. Peserta didik tidak bertanggung jawab terhadap kelompok

Setiap peserta didik bertanggung jawab terhadap materi yang ditugaskan oleh guru

3. Pemahaman materi secara

berkelompok

Setiap peserta didik harus mampu menerangkan kepada peserta didik lainnya.

4. Membedakan peserta didik

dalam hal kemampuan.

Tidak membedakan dalam hal kemampuan peserta didik.

5. Keberhasilan tidak tergantung pada peserta didik yang lain.

Keberhasilan tergantung dengan peserta didik lainnya.

Keunggulan model pembelajaran kooperatif menurut Martinis Yamin dan Bansu I Ansari (2008:79) adalah:

1). Mengajarkan peserta didik menjadi percaya pada guru dan lebih percaya lagi pada kemampuan sendiri untuk berpikir, mencari informasi dari sumber lain dan belajar dari peserta didik lain.

2). Mendorong peserta didik untuk mengungkapkan idenya secara verbal dan membandingkan dengan ide temannya.

3). Membantu peserta didik menghormati peserta didik yang lebih pintar dan peserta didik yang lebih lemah mau menerima perbedaan ini.


(54)

37

4). Merupakan strategi efektif bagi peserta didik untuk mencapai hasil akademik dan sosial termasuk meningkatkan prestasi, percaya diri dan hubungan anterpersonal positif antar peserta didik, meningkatkan keterampilan manajemen waktu dan sikap positif terhadap sekolah.

5). Banyak menyediakan kesempatan kepada peserta didik untuk

membandingkan jawabannya dan menilai ketepatan jawaban tersebut.

6). Merupakan strategi yang dapat digunakan secara bersama dengan orang lain seperti pemecahan masalah.

7). Mendorong peserta didik yang lemah untuk tetap berbuat dan membantu peserta didik yang pintar mengidentifikasikan celah-celah dalam pemahamannya.

8). Membantu memotivasi peserta didik dan mendorong pemikirannya.

9). Dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar ketrampilan bertanya dan mengomentari suatu masalah.

10).Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan

ketrampilan diskusi.

11).Memudahkan peserta didik melakukan interaksi sosial.

12).Menghargai ide orang lain yang dirasa lebih baik.


(55)

Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa model pembelajaran yang telah dikembangkan, antara lain STAD (Student Team Achievement Division) dan Jigsaw.

Hakekat belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division) yaitu: menitik beratkan pada pencapaian kemampuan penguasaan materi pelajaran secara bersama, sedangkan Jigsaw selain menitik beratkan pada kebersamaan juga pada keterampilan antarpersonal dalam pelaksanaan pembelajaran.

Pengembangan tipe pembelajaran kooperatif STAD, menekankan pada struktur tutorial teman sebaya. Semua peserta didik dalam kelompok saling membantu. Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memberikan penekanan pada peran masing-masing peserta didik dalam kelompoknya (kelompok asal) dan saling bertukar pengetahuan. Pada tipe pembelajaran kooperatif Jigsaw antar peserta didik dalam kelompok memiliki ketergantungan yang sangat besar, karena masing-masing peserta didik dalam kelompok mendapatkan bagian tugas yang berlainan antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain.

b. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

STAD (Student Team Achievement Division), merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Robert E, Slavin


(56)

39

(2008.) di Universitas John Hopkins, AS. STAD terbentuk dari empat fase, yaitu:

1) Presentasi kelas

Pada komponen ini, guru memberikan materi dengan

mengemukakan konsep-konsep, keterampilan-keterampilan dengan

menggunakan buku siswa, buku guru, bahan untuk audio visual dan sebagainya. Guru harus mampu mendesain materi pembelajaran untuk model pembelajaran kooperatif STAD yang berbeda ketika guru mengajar dengan menggunakan pembelajaran tradisional yaitu dengan membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk masing-masing sub kompetensi dasar..

2) Kelompok belajar

Peserta didik dalam satu kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok heterogen dengan jumlah anggota 4 – 5 orang peserta didik. Pada pembentukan kelompok guru harus memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosial, etnik, serta tingkat kemampuan akademik peserta didik dalam keanggotaan kelompok. Dalam hal kemampuan akademik, tiap kelompok terdiri dari satu peserta didik berkemampuan tinggi, dua orang berkemampuan sedang dan satu atau dua orang berkemampuan rendah. Fungsi utama kelompok belajar ini adalah peserta didik belajar dalam kelompoknya serta mempersiapkan anggotanya untuk belajar dengan baiak dalam menghadapi tes individu.


(1)

Tabel 3. Rerata Sel

Tinggi Sedang Rendah Motivasi

Model Pembelajaran b1 b2 b3

Total

Jigsaw a1 86,909 73,032 66,933 226,875 A1

STAD a2 89,469 73,283 56,000 218,752 A2

176,378 146,315 122,933 445,627 G Total

B1 B2 B3

Tabel 4. Perhitungan Komponen Jumlah Kuadrat Komponen Perhitungan Hasil

(1) G′2/pq 33097,250

(2)

j i,

ij SS

14350,314

(3) A /q

i 2 i

33108,246

(4) B /p

j 2 j

33815,066

(5) 2

ij j iB ) A (

33878,144 Tabel 5. Perhitungan Jumlah Kuadrat

Jumlah kuadrat Perhitungan Hasil

JKa n [(3h ′) – (1′)] 222,719

JKb n [(4h ′) – (1′)] 14540,031

JKab n [(5h ′) − (4′) – (3′) + (1′)] 1054,983

JKg

ij ij SS

14350,314

JKt 30168,047

=

ij ij h

n

1

pq


(2)

Tabel 6. Perhitungan Derajat Bebas Derajat bebas Perhitungan Hasil

dba p - 1 1

dbb q - 1 2

dbab (p – 1) (q – 1) 2

dbg N - pq 215

dbt N - 1 220

Tabel 7. Perhitungan Rerata Kuadrat Rerata Kuadrat Perhitungan Hasil

RKa JKa / dba 222,719

RKb JKb / dbb 7270,015

RKab JKab / dbab 527,492

RKg JKg / dbg 66,746

Tabel 8. Statistik Uji

Statistik Uji Perhitungan Hasil

Fa RKa / RKg 3,337

Fb RKb / RKg 108,921

Fab RKab / RKg 7,903

Tabel 9. Rangkuman Analisis Variansi

Sumber Variansi JK db RK F hitung F tabel Keputusan Uji

Model Pembelajaran 222,719 1 222,719 3,337 3,84 H0 tidak ditolak

Motivasi Belajar 14540,031 2 7270,015 108,921 3,00 H0 ditolak

Interaksi antara Model Pembelajaran dengan Motivasi Belajar

1054,983 2 527,492 7,903 3,00 H0 ditolak

Galat 14350,314 215 66,746 Total 30168,047 220


(3)

b. Komparasi ganda

Karena ada H0 yang ditolak, yaitu H0b dan H0ab maka untuk melacak perbedaan rerata setiap pasangan kolom dan antar sel dilakukan komparasi ganda pada kolom dan antar sel dengan menggunakan metode Scheffe′, sebagai berikut:

1. Komparasi

Komparasi pada kolom: µ.1 vs µ.2 µ.1 vs µ.3 µ.2 vs µ.3 Komparasi antar sel: µ11 vs µ12 µ11 vs µ13 µ12 vs µ13 µ21 vs µ22 µ21 vs µ23 µ22 vs µ23 µ11 vs µ21 µ12 vs µ22 µ13 vs µ23 2. Hipotesis

Tabel 10. Komparasi dan Hipotesis

Komparasi H0 H1

µ.1 vs µ.2 µ.1 = µ.2 µ.1 µ.2 µ.1 vs µ.3 µ.1 = µ.3 µ.1 µ.3 µ.2 vs µ.3 µ.2 = µ.3 µ.2 µ.3 µ11 vs µ12 µ11 = µ12 µ11 µ12 µ11 vs µ13 µ11 = µ13 µ11 µ13 µ12 vs µ13 µ12 = µ13 µ12 µ13 µ21 vs µ22 µ21 = µ22 µ21 µ22 µ21 vs µ23 µ21 = µ23 µ21 µ23 µ22 vs µ23 µ22 = µ23 µ22 µ23 µ11 vs µ21 µ11 = µ21 µ11 µ21 µ12 vs µ22 µ12 = µ22 µ12 µ22 µ13 vs µ23 µ13 = µ23 µ13 µ23


(4)

3. Taraf signifikan α = 0,05 4. Statistik uji

Berdasarkan tabel 1 dan tabel 2 diperoleh data sebagai berikut: Rerata Nilai rerata n

.1

x 88,000 115

.2

x 73,190 84 .3

x 63,455 22

11

x 86,909 66

12

x 73,032 31 13

x 66,933 15 21

x 89,469 49

22

x 73,283 53

32

x 56,000 7

Dengan RKg = 66,746

Berdasarkan data di atas maka dilakukan perhitungan nilai F untuk komparasi kolom serta antar sel dan hasilnya disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 11. Perhitungan Nilai F untuk Komparasi pada Baris dan Kolom Jenis komparasi Nilai F

Kolom (F.1 – . 2) 159,508

Kolom (F.1 – . 3) 166,694

Kolom (F.2 – . 3) 24,759

Antar sel (F11 – F12) 60,854

Antar sel (F11 – F13) 73,069

Antar sel (F12 – F13) 5,634

Antar sel (F21 – F22) 99,942

Antar sel (F21 – F23) 102,797

Antar sel (F22 – F23) 27,672

Antar sel (F11 – F21) 2,762

Antar sel (F12 – F22) 0,018


(5)

Nilai F pada komparasi kolom = ) n / 1 n / 1 ( RK x x .j .i g .j .i + −

Nilai F pada komparai antar sel pada baris yang sama =

)

n

/

1

n

/

1

(

RK

x

x

ik ij g ik ij

+

Nilai F pada komparai antar sel pada kolom yang sama = ) n / 1 n / 1 ( RK x x ki ji g ki ji + −

5. Daerah kritik

DK.i – .j = (q-1) F(α; q-1; N-pq) = 2.F(0,05; 2; 215) = 6,00 DKij – ik = (pq-1) F(α; pq-1; N-pq) = 5.F(0,05; 5; 215) = 11,05 DKji – ki = (pq-1) F(α; pq-1; N-pq) = 5.F(0,05; 5; 215) = 11,05

6. Keputusan uji

H0 ditolak jika F hitung pada komparasi kolom > DKi. – j. dan F hitung pada komparasi antar sel > DKij – ik dan > DKji – ki. Hasil selengkapnya disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 55. Hasil Keputusan Uji terhadap H0

Komparasi F hitung F kritik Keputusan uji µ.1 vs µ.2 159,508 6,00 H0 ditolak µ.1 vs µ.3 166,694 6,00 H0 ditolak µ.2 vs µ.3 24,759 6,00 H0 ditolak µ11 vs µ12 60,854 11,05 H0 ditolak µ11 vs µ13 73,069 11,05 H0 ditolak µ12 vs µ13 5,634 11,05 H0 tidak ditolak µ21 vs µ22 99,942 11,05 H0 ditolak µ21 vs µ23 102,797 11,05 H0 ditolak µ22 vs µ23 27,672 11,05 H0 ditolak µ11 vs µ21 2,762 11,05 H0 tidak ditolak µ12 vs µ22 0,018 11,05 H0 tidak ditolak µ13 vs µ23 8,548 11,05 H0 tidak ditolak


(6)

Semua H0 ditolak pada kolom, sehingga terdapat perbedaan mean pada nilai prestasi belajar matematika untuk komparasi kolom. Sedangkan pada komparasi antar sel pada baris yang sama hanya pada sel a1b2 dengan a1b3 H0 tidak di tolak, sehingga mean pada sel a1b2 dengan a1b3 tidak berbeda. Untuk komparasi antar sel pada kolom yang sama semua H0 tidak ditolak, sehingga tidak terdapat perbedaan mean pada nilai prestasi belajar matematika antar sel kolom yang sama.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe (Student Team Achievement Divisions) STAD Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SD

1 6 165

EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) DAN TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI) PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR PESERTA

0 6 154

EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN TIPE JIGSAW BERBANTU MEDIA POWERPOINT PADA POKOK BAHASAN TEOREMA PYTHAGORAS KELAS VIII

0 2 135

PENELITIAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DENGAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN STAD Pengaruh Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dan STAD Terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Belajar Siswa.

0 2 17

PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN STAD TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA Pengaruh Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dan STAD Terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Belajar Siswa.

0 4 16

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION(STAD) YANG DIMODIFIKASI PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA

0 5 109

EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT DAN TIPE JIGSAW PADA POKOK BAHASAN TRIGONOMETRI KELAS XI-IPA SMA SE-KABUPATEN KUDUS DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK TAHUN PELAJARAN 2013 2014 | K

0 0 11

PERBEDAAN PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA

1 2 13

PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN STAD DITINJAU DARI KEAKTIFAN SISWA DI KELAS

0 0 100

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DENGAN PETA KONSEP PADA MATERI PERSAMAAN KUADRAT DITINJAU DARI SIKAP ILMIAH PESERTA DIDIK KELAS X SMA DI KABUPATEN KUDUS

0 0 11