dan pedagang pengumpul lokal, selanjutnya gabah dijual kembali ke pedagang PPTD. Pada level pemasaran ini, gabah GKG mengalami pengolahan menjadi
beras yang akan dijual kembali ke pedagang non lokal. Hal yang sama terjadi pada pola pemasaran II. Pedagang PPTD menjual langsung berasnya ke pedagang
grosir, namun PPTD menerima harga yang lebih rendah dibandingkan bila menjualnya ke pedagang pengecer. Keuntungan yang diperoleh Pedagang PPTD
bila menjual ke pedagang grosir yaitu dapat langsung menerima hasil penjualannya secara tunai. Kegiatan pemasaran beras ramah lingkungan
dilanjutkan oleh pedagang grosir dengan menjualnya kembali ke pedagang pengecer. Tanpa memberikan perlakuan khusus, pedagang pengecer menjual
beras langsung ke pedagang pengecer lain atau konsumen akhir. Saluran pemasaran pada saluran II tidak berbeda dengan saluran I terutama
saat pemasaran gabah. Namun pada saluran ini pedagang PPTD memilih menjual berasnya ke pedagang pengecer tanpa melalui grosir. Pedagang PPTD menerima
harga jual yang lebih tinggi namun dengan resiko tidak memperoleh pembayaran tunai. Saluran pemasaran pada pola III tidak berbeda dengan pola II, hanya saja
petani tidak menjual gabahnya kepada pedagang pengumpul tetapi langsung ke pedagang PPTD. Hal ini dilakukan karena lokasi petani dengan tempat
penggilingan PPTD dekat, sehingga tidak memerlukan biaya transportasi yang berarti. Selain itu, petani menerima harga jual yang relatif lebih tinggi
dibandingkan menjual ke pedagang pengumpul.
7.3 Margin Pemasaran dan Farmer’s share
Margin digunakan dalam analisis saluran pemasaran sebagai indikator dari efisiensi operasional yang mengukur produktivitas kegiatan pemasaran atau fungsi
pemasaran yang dijalankan masing-masing lembaga. Lebih lanjut margin merupakan penerimaan kotor dari setiap aktivitas pemasaran dimana didalamnya
masih terdapat komponen biaya-biaya pemasaran margin biaya total dan keuntungan pemasaran margin keuntungan. Dengan demikian, nilai margin yang
besar pada saluran pemasaran belum dapat menggambarkan keuntungan yang besar bagi masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat. Sementara
farmer’s share menggambarkan bagian yang diterima petani atas harga jual ditingkat
pengecer. Semakin panjang rantai tataniaga menyebabkan bagian yang diterima petani akan semakin kecil, karena biaya-biaya operasional yang digunakan dalam
menjalankan fungsi pemasaran akan semakin besar. Artinya saluran pemasaran tidak efisien.
Biaya operasional atau biaya tataniaga menunjukkan semua biaya yang digunakan oleh lembaga pemasaran dalam menjalankan fungsi pemasarannya,
sehingga mencakup biaya pengolahan hingga biaya pemasaran seperti pengemasan, transportasi dan lain sebagainya. Tabel 22 memperlihatkan bahwa
terdapata tiga saluran pemasaran yang menjadi alternatif bagi lembaga pemasaran dalam tataniaga padi ramah lingkungan metode SRI di Desa Ponggang. Lebih
lanjut lembaga pemasaran yang paling banyak terlibat dalam rantai tataniaga padi ramah lingkungan terdapat pada saluran pemasaran I dan paling sedikit terdapat
pada saluran III. Banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran I menyebabkan biaya operasional lebih tinggi dibanding pada saluran lainnya, yaitu
sebesar Rp 17.798,64kg. Hal ini menunjukkan bahwa saluran pemasaran I memiliki aktivitas pemasaran yang lebih banyak sehingga biaya yang dibutuhkan
untuk menjalankan fungsi-fungsi pemasaran tidak sedikit jumlahnya. Kemudian dilanjutkan oleh saluran pemasaran II dan saluran pemasaran III.
Tabel 22 Margin dan Farmer’s share yang diterima Masing-Masing Lembaga Pemasaran Padi Ramah Lingkungan di Desa Ponggang
Bulan Februari Tahun 2008 RpKilogram
Pola saluran pasar I
II III
No Lembaga
Rpkg Rpkg
Rpkg
1 Petani
Biaya produksi GKG 1.542,55
1.542,55 1.542,55
Harga jual
2.468,28 2.468,28 2.600,00
3
Margin keuntungan
925,73 100,00 925,73 100,00 1.057,45 100,00
Margin biaya total 0,00
0,00 0,00
2 Pedagang
pengumpul • Harga beli
2.468,28 2.468,28 • Muat -bongkar
20 20
Harga jual
2.600,00 2.600,00 Margin
keuntungan 111,72
85,00 111,72 85,00
Margin biaya total 20
20 3
PPTD • Harga beli
1
3.822,00 3.822,00 3.822,00 • Ongkos angkut
20,00 20,00
0,00 • Penggilingan
150,00 150,00
150,00 • Tenaga kerja
45,00 45,00
45,00 • Pengadaan karung
44,00 44,00
44,00 • Muat beras
6,00 6,00
6,00 • Transportasi
57,14 57,14
57,14 • Bongkar beras
15,00 15,00
15,00 Harga
jual 4.700,00 4.800,00 4.800,00
Margin keuntungan
540,86 82,00 640,86 84,00
660,86 84,00 Margin biaya total
122,14 122,14
122,14 4
Grosir • Harga beli
4.700,00 • Pengemasan
10,00 • Pengadaan karung
42,00 Harga
jual 4.800,00
Margin keuntungan
48,00 48,00 Margin biaya total
52,00 5
Pengecer • Harga beli
4.800,00 4.800,00 4.800,00 • Kemasan
30,00 30,00
30,00 • Tenaga kerja
11,67 11,67
11,67 • Angkut beras
15,00 0,00
0,00 Harga
jual 5.200,00 5.200,00 5.200,00
Margin keuntungan
343,33 86,00 358,33 90,00
358,33 90,00 Margin biaya total
56,67 41,67
41,67 4
Konsumen Harga
beli 5.200,00 5.200,00 5.200,00
Total biaya operasional 17.798,64
13.031,64 10.523,36
Total margin keuntungan 1.969,64
89,00 2.036,64
92,00 2.076,64
93,00 Margin biaya total
250,81 183,81
163,81 Konversi harga beras-gabah 1,47
2
3.903,37 3.903,37 4.097,00
Farmer’s share 75,06
75,06 78,79
persentase terhadap margin pemasaran
1
harga konversi 1,47 kg gabah-1 kg beras
2
harga 1 kg gabah setara 1 kg beras di tingkat konsumen akhir 3 harga beli GKG ditingkat PPTD
Petani sebagai produsen pada saluran I sama sekali tidak mengeluarkan biaya pemasaran, karena biaya kemasan dan penjemuran sudah termasuk kedalam
biaya produksi GKG. Hal ini terlihat pada margin keuntungan yang diperolehnya mencapai 100 persen atau sebesar Rp 925,73kg, sehingga petani merupakan
lembaga pemasaran yang menerima keuntungan paling besar pada semua saluran pemasaran padi ramah lingkungan. Besarnya margin yang diperoleh petani
dikarenakan biaya produksi gabah padi ramah lingkungan per kilogramnya relatif kecil bila dibandingkan dengan biaya produksi padi konvensional yang mencapai
Rp 2.535,48kg. Kebutuhan biaya pemasaran paling rendah terdapat pada pedagang pengumpul lokal karena hanya melakukan penimbangan dan
pengumpulan. Biaya pemasaran paling besar ditemukan pada pedagang PPTD yaitu sebesar Rp 122,14kg beras. Hal ini dikarenakan gabah pada pedagang
PPTD mengalami proses pengolahan susut gabah-beras sekitar 38 persen, pengemasan, bongkar-muat dan transportasi.
Margin biaya total pada pedagang grosir dan pengecer non lokal relatif sama yaitu sebesar Rp 52,00kg dan Rp 56,67kg beras. Beras pada pedagang non
lokal hanya mengalami beberapa perlakuan seperti bongkar-muat dan pengemasan, sehingga memiliki margin biaya total yang rendah. Margin
keuntungan paling tinggi pada saluran I berturut-turut diterima oleh petani Rp 925,73kg GKG, pedagang pengecer Rp 343,33kg beras, grosir Rp 48,00kg
beras, pedagang pengumpul Rp 111,72kg GKG dan PPTD Rp 540,86kg beras. Pedagang pengecer menerima margin keuntungan mencapai 86 persen
terbesar kedua setelah margin keuntungan petani 100 karena menghadapi konsumen akhir dimana
mark-up yang terjadi sebesar 8 persen, sementara
kegiatan pemasarannya relatif sedikit. Pedagang pengecer mengeluarkan biaya untuk kemasan, upah tenaga kerja dan biaya angkut karena membeli dari grosir.
Rantai tataniaga pada saluran pemasaran II tidak jauh berbeda dengan saluran pemasaran I, hanya saja lembaga pemasaran yang terlibat lebih sedikit karena
pedagang PPTD menjual berasnya ke pedagang pengecer non lokal tidak melibatkan pedagang grosir.
Saluran pemasaran II cenderung lebih banyak dilakukan oleh PPTD karena dianggap lebih menguntungkan dengan menerima harga jual beras yang
lebih tinggi. Selain itu, lebih banyak pilihan alternatif bagi PPTD dalam menetapkan calon pembeli pedagang pengecer dengan harga yang maksimal.
Namun resiko yang dihadapi yaitu sistem pembayaran tidak tunai. Hal ini tidak menjadi masalah karena skala penjualan PPTD ke pedagang pengecer relatif tidak
besar 1-3 ton beras. Margin keuntungan PPTD pada saluran ini lebih tinggi dibandingkan pada saluran I yaitu sebesar Rp 640,86kg beras atau sekitar 84
persen. Hal yang sama terjadi pada pedagang pengecer yang memperoleh margin keuntungan Rp 358,33kg beras 90. Pedagang pengecer memperoleh
keringanan biaya pemasaran terutama biaya angkut yang ditanggung oleh PPTD. Keterlibatan lembaga pemasaran yang paling sedikit terdapat pada saluran
pemasaran III. Pada saluran ini petani langsung menjual ke pedagang PPTD tanpa melalui pedagang pengumpul lokal karena alasan teknis yaitu dekat
dengan penggilingan PPTD. Pedagang PPTD memperoleh keuntungan dari kegiatan pemasaran ini karena biaya angkut gabah ditanggung oleh petani. Petani
menerima harga jual yang lebih tinggi dari saluran I dan II yaitu Rp 2.600,00kg GKG sehingga memperoleh margin keuntungan yang lebih besar dibandingkan
pada saluran pemasaran lainnya saluran I dan II. Margin keuntungan yang diterima petani dan PPTD lebih tinggi dari dua saluran lainnya yang masing-
masing menerima sebesar Rp 1057,45kg GKG dan Rp 660,86kg beras. Lebih lanjut dapat diketahui bahwa margin biaya total pada saluran pemasaran III paling
rendah diantara dua saluran pemasaran lainnya, terutama saluran pamasaran I. Bila melihat total dari margin biaya yang dihasilkan masing-masing
saluran pemasaran, terlihat saluran pemasaran III memiliki margin biaya total yang paling rendah diantara dua saluran lainnya. Artinya penggunaan biaya
pemasaran dalam rantai tataniaga padi ramah lingkungan paling kecil, dengan demikian secara operasional dapat dikatakan paling efisien. Hal ini didukung
dengan bagian petani farmer’s share yang dihasilkan pada saluran III paling
besar yaitu 78,79 persen. Artinya harga yang diterima konsumen akhir ditingkat pengecer tidak berbeda jauh dengan bagian harga yang diterima petani.
Saluran pemasaran IV pada Lampiran 9 dapat dijadikan sebagai skenario alternatif pemasaran langsung yang dilakukan oleh petani sendiri ke pedagang
pengecer. Secara aktual saluran pemasaran ini tidak banyak digunakan di Desa Ponggang namun dapat digunakan untuk mengkaji saluran pemasaran yang
pendek dan paling sedikit melibatkan lembaga pemasaran. Teori menyebutkan bahwa efisiensi tidak ditentukan oleh panjang-pendeknya saluran pemasaran.
Kegiatan pemasaran pada saluran IV memerlukan total biaya pemasaran paling besar yaitu Rp 256,67kg beras. Volume pemasaran yang kecil
menyebabkan biaya pemasaran menjadi besar, terutama pada biaya transportasi sewa
pick up dengan kapasitas 1 ton beras. Biaya sewa kendaraan mencapai Rp 150,00kg beras, sementara biaya transportasi yang dikeluarkan pedagang PPTD
hanya sebesar Rp 57,14kg beras menggunakan mobil engkel kapasitas 3,5 ton. Lebih lanjut bagian margin keuntungan yang diperoleh petani lebih kecil yaitu
hanya 90,64 persen dan total margin keuntungan yang dihasilkan saluran IV sebesar 90,48 persen. Kelebihan dari saluran ini terdapat pada
farmer’s share yang diterima petani paling besar diantara
farmer’s share pada tiga saluran lainnya yaitu 92,31 persen. Hal ini dikarenakan jumlah lembaga pemasaran yang
sedikit. Berdasarkan uraian tersebut, maka saluran pemasaran III tetap menjadi saluran pemasaran yang paling efisien secara operasional dalam tataniaga padi
ramah lingkungan metode SRI di Desa Ponggang. Secara lengkap tabel margin pemasaran padi ramah lingkungan metode SRI dapat dilihat pada Lampiran 9.
VIII HUBUNGAN KARAKTERISTIK RESPONDEN TERHADAP MANFAAT USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN
METODE SRI
Teknik budidaya padi ramah lingkungan dengan metode SRI Sistem Rice
Intensification relatif baru dikenal oleh petani khususnya di Desa Ponggang. Usahatani padi ramah lingkungan metode SRI mulai dikenalkan oleh Kelompok
Tani Ponggang Jaya di awal tahun 2005. Selama kurang lebih tiga tahun sejak awal dikenalkan kepada petani, usahatani padi ramah lingkungan metode SRI
masih tetap dilakukan dan bahkan memberikan kontribusi langsung terhadap kesadaran masyarakat khususnya petani untuk lebih arif terhadap penggunan
pupuk dan obat-obatan kimia. Sebagian besar petani merasakan manfaat dari usahatani padi ramah
lingkungan karena mampu meningkatkan pendapatannya serta membuat struktur tanah sawah semakin subur 21,25 . Manfaat lainnya yaitu rasa nasi yang lebih
enak dari nasi padi konvensional 12,50 dan beras yang bebas residu kimia 11,25 , usahatani yang hemat penggunaan air dan benih, tidak tergantung pada
input anorganik dan lain-lain. Disisi lain, usahatani padi ramah lingkungan menghadapi beberapa kendala sebagai kekurangan yang dirasakan petani,
diantaranya yaitu ketersediaan kotoran hewan 22,64, kebutuhan modal yang lebih besar 11,32 dan tingginya serangan hama 9,43 . Usahatani akan
bermanfaat bila kelebihan yang dirasakan petani lebih banyak dibandingkan kekurangan yang dimilikinya. Sementara persepsi petani terhadap kelebihan dan
kekurangan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI diduga memiliki hubungan dengan karakteristik petani responden.
Tabel 23 memperlihatkan bahwa petani responden pada umumnya merasakan manfaat dari usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Hal ini
diketahui dari banyaknya jumlah petani responden yang merasakan kelebihan padi SRI dibanding kekurangannya. Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa sebanyak
63,16 persen petani dari golongan umur produktif merasakan manfaat dari usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Sementara sekitar 16 persen
jawaban yang sama diperoleh dari petani berumur 51 tahun hingga 70 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa umur produktif kemungkinan besar lebih mampu
mengidentifikasi kelebihan usahatani padi SRI, sehingga jawabannya lebih rasional dibandingkan jawaban responden dari golongan umur diatas 50 tahun.
Tabel 23
Pendapat Petani Responden Terhadap Kelebihan dan Kekurangan Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI
Berdasarkan Kategori dari Karakteristik Responden
Usahatani Padi Metode SRI Kategori Karakteristik
Kelebihan Kekurangan
Total Umur th
31 – 50 12
63,16 3
15,79 15
51 – 70 3
15,79 1
5,26 4
15 4
19
Pendidikan Formal th 6
9 47,37
3 15,79
12
9 – 12 5
26,32 2
10,53 7
14 5
19
Pendapatan Rp 1,700,000.00
8 42,11
3 15,79
11
1,750,000.00 7
36,84 1
5,26 8
15 4
19
Luas lahan ha 0,07 – 0,4
12 63,16
4 21,05
16
0,41 – 0,75 3
15,79
3 15
4 19
Pengalaman Bertani th 9 – 28
10 52,63
3 15,79
13
29 – 48 5
26,32 1
5,26 6
15 4
19
Penggolongan umur petani ke dalam dua kategori untuk melihat apakah jawaban responden dalam menilai manfaat usahatani padi ramah lingkungan
dipengaruhi oleh golongan umur tersebut atau tidak ada hubungannya. Berdasarkan hasil uji
X
2
test, nilai hitung chi-square yang diperoleh sebesar 0,05, sementara nilai
X
2
test X
2 0.05,
df = 1 pada tabel distribusi chi-kuadrat sebesar 3,811. Dengan demikian
X
2
test X
2 0.05
, hipotesis yang menyatakan tidak ada hubungan antara kategori umur dengan manfaat yang dirasakan responden
diterima terima H .
Hal ini menunjukkan ternyata pembagian umur responden kedalam dua
kategori tidak ada pengaruhnya terhadap persepsi mereka tentang manfaat usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Artinya, tidak ada hubungan antara
umur produktif dan umur yang tidak produktif dengan manfaat yang dirasakan responden. Hasil yang sama ditemukan pada karakteristik responden lainnya
bahwa tingkat pendidikan 0,03, pendapatan 0,61, luas lahan usahatani 0,95 dan pengalaman bertani 0,10 tidak ada hubungan dengan kategori karakteristik
yang dibuat. Responden yang menempuh pendidikan formal diatas enam tahun 9-12
tahun memiliki persepsi yang berbeda terhadap kelebihan dan kekurangan padi ramah lingkungan. Petani yang berpendidikan diatas enam tahun diduga memiliki
persepsi yang lebih rasional dalam menilai manfaat usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Dugaan tersebut ternyata tidak terbukti setelah hasil
pengujian chi-square menerima H
. Hal ini membuktikan bahwa semua responden dengan berbagai tingkat pendidikannya memiliki persepsi yang sama terhadap
padi ramah lingkungan metode SRI. Petani responden yang memiliki pendapatan
usahatani dibawah Rp 1.700.000,00 per bulan diduga memiliki persepsi yang positif terhadap manfaat yang dirasakan dari usahatani padi ramah lingkungan.
Penggunaan pupuk organik sebagai substitusi input produksi anorganik memberikan keringanan biaya usahatani bagi petani yang tidak memiliki modal
usahatani yang cukup, namun, hasil uji chi-square menerima H
. Artinya petani responden yang memiliki pendapatan rendah hingga pendapatan relatif tinggi
merasakan manfaat dari usahatani padi ramah lingkungan. Petani yang memiliki lahan luas diduga lebih rasional dalam menilai
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki usahatani padi ramah lingkungan. Pengusahaan lahan yang luas tentunya memiliki konsekuensi terhadap
penggunaan biaya yang besar, sehingga diduga petani akan cenderung menggunakan pertanian ramah lingkungan selaama memberikan menfaat yang
besar pula terhadap penggunaan lahan mereka. Semntara petani yang memiliki lahan sempit tidak terlalu merasakan manfaat dari pertanian ramah lingkungan
karena modal biaya usahataninya relatif kecil. Dugaan tersebut tidak terbukti berdasarkan hasil uji
chi-square yang menyimpulkan manfaat padi ramah lingkungan metode SRI dirasakan oleh petani yang memiliki lahan sempit hingga
memiliki lahan luas. Petani yang telah berpengalaman dalam usahatani diduga memiliki
persepsi yang berbeda terhadap kelebihan dan kekurangan padi amah lingkungan dibandingkan petani yang relatif baru di usahatani. Berbekal dari pengalamannya,
petani dapat menilai lebih kritis kelebihan dan kekurangan padi ramah lingkungan metode SRI sebagai format pertanian yang relatif baru. Namun, seperti halnya
dengan karrakteristik petani responden yang lain, dugaan tersebut tidak terbukti,
sehingga terima H
0.
Artinya pertanian ramah lingkungan memiliki manfaat yang relatif baru dirasakan oleh semua responden baik yang sudah berpengalaman
maupun baru berusahatani. Hasil perhitungan uji X
2
test berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 10, Lampiran 11, Lampiran 12, Lampiran 13, dan
Lampiran 14.
IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan