produksi.  Berawal  dari  bulan  junli,  sehingga  juli-agustus-september  bisa  panen raya. Jika masih ada hari kemarau pada bulan oktober mereka gunakan kembali
tetapi  biasanya  tidak  optimal  karena  sudah  masuk  pada  musim  penghujan. Dengan  90  hari  berproduksi  menghasilkan  rata-rata  produktifitas  62  ton  per
hektar dengan rata-rata luasan lahan 2 hektar.
Jumlah  tenaga  kerja    x
3
.  Petambak  bagi-hasil  dalam  menggunakan
tenaga kerja cenderung intensif dengan melibatkan dirinya sendiri dalam semua proses produksi garam. Sekaligus sebagai pengelola usaha garam. Dengan rata-
rata  tenaga  kerja  luar  2  orang  mereka  gunakan  untuk  membantu  proses  yang cukup  berat  dan  perlu  bantuan  orang  lain  seperti  dalam  persiapan  lahan  dan
pengerasan tanggul  serta  pengerasan meja garam.  Dalam  proses  pasca  panen juga  menggunakan  tenaga  kerja  untuk  pengangkutan.  Keterlibatan  anggota
keluarga  juga  sering  mereka  gunakan.  Keterlibatan  istri  dan  anaknya  dalam proses pemanenan garam dan pergiliran air laut.
Jumlah  air  laut  x
4
. Petambak  bagi-hasil  menggunakan  air  laut
tergantung kondisi dan tempat lahan. Umumnya kondisi lahan yang dekat irigasi mereka  gunakan  pompa  dalam  proses  pengadaan  air  laut.  Tetapi  bagi  lahan
yang  cukup  jauh,  pengadaan  air  laut  tumpahan  dari  lahan  petambak  lain  atau dari bosem yang disediakan oleh juragan lahan. Bagi lahan yang dekat dengan
irigasi terkadang mereka kelebihan air laut dan sebaliknya bagi lahan yang jauh, mereka  memanfaatkan  pemindahan  air  secara  tradisional  dengan  dilakukan
pengangkutan  air  laut.    Jadi  pengadaan  air  luat  ini  sering  dikeluhkan  oleh  para petambak  yang  jauh  lahannya  dari  irigasi.  Harapan  petambak  mereka  inginkan
saluran  irigasi  tersier  bisa  sampai  ke  area mereka.  Saat  penelitian  berlangsung pemerintah hanya baru memperbaharui irigasi teknis di beberapa pintu air utama
di  Kecamatan  Losarang,  alasan  pemerintah  bahwa  area  tersebut  sudah memenuhi  syarat  hamparan  garam  yang  lebih  dari  100  hektar.  sedangkan  jika
dilihat di Kecamatan Kandang Haur area tambak sebetulnya sudah luas menurut pendamping  yang  menangani  PUGAR  sudah  tersedia  sekitar  100  hektar  tapi
masalahnya  masih  dibatasi  oleh  sekatan  lahan  yang  tidak  digunakan  untuk usaha garam dan ada sekitar 20 persen lahan tambak garam menggunakan area
swaka  mangrove  sehingga  pemerintah  sulit  sekali  memperbaiki  area  irigasi kearah  swaka  tersebut.  Alternativenya  petambak  yang  berada  pada  area
tersebut mereka menggunakan pompa dengan pipa yang cukup panjang.
Tabel 17. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Bagi-hasil dengan Metode OLS
Variabel input Parameter
Koefisien st-error
t-rasio
Intersep β
10.433 1.688
6.181 Luas lahan
β
1
1.159 0.069
16.859 Jumlah hari produksi
β
2
0.116 0.389
0.298 Jumlah tenaga kerja
β
3
0.036 0.066
0.544 Jumlah air laut
β
4
0.039 0.035
1.120 Sigma Squared
0.015 Log Likelihood
LR 20.182
R-Square R
2
0.964 Return to-Scale
∑
i
1.350 F-hitung
326.29
Nyata taraf α 10,   Nyata taraf α 5, dan  Nyata taraf α 1
3.
Petambak Pemilik-garap
Unuk nilai parameter produksi petambak pemilik-garap selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 18. Nilai parameter lahan
0.699, jumlah hari produksi 0.179, jumlah tenaga kerja
0.113 dan jumlah air laut 0.161. Jika terjadi
penambahan  pada  lahan sebesar  10  persen  dan  lainnya  cateris  paribus
maka akan terjadi kenaikan produksi 6.99 persen, jika ditingkatkan pada jumlah tenaga  kerja
akan  terjadi  kenaikan  produksi  0.36  persen  dan  jika  terjadi peningkatan  pada  jumlah  hari  produksi
maka  produksi  garam  akan meningkat  sebesar  1.13  persen.  Dari  simulasi  peningkatan  faktor  produksi
tersebut  maka  yang  paling  besar  berpengaruh  terhadap  peningkatan  produksi untuk  petambak  bagi  hasil    adalah  jumlah  lahan  tambak
.  Dari    hasil pengujian  statistik  pada  taraf  nyata
α  0.01,  faktor  lahan ,  signifikan
berpengaruh dimana  t-hitt-tab. Sedangakan jumlah hari produksi , jumlah
tenaga  kerja jumlah  air  laut
yang  digunakan  tidak  signifikan  pada taraf
α  0.01  ataupun  pada  taraf  α  0.05.    Nilai  RTS  produksi  garam  pada petambak    bagi  hasil  senilai  1.350  dimana  nilai  tersebut  menunjukan  berada
dalam  kondisi  increasing  return  to  scale  samal  halnya  dengan  petambak  sewa. Pengujian  statistik  F  menghasilkan  F-hit  F-tabel  sehingga  Ho  ditolak  artinya
bahwa  jumlah  parameter  tersebut  signifikan  mempengaruhi  terhadap  produksi. Begitupun  dengan  nilai  korelasi  R
2
yang  besar  yaitu  0.955  dapat  dikatakan bahwa faktor produksi berkorelasi positif sebesar 95.5 persen.
Dari  hasil  analisis  nilai  parameter  dari  fungsi  produksi  pada  masing- masing  petambak  dapat  dibandingkan  pula  nilai  parameter  antar  kelompo
petambak.  Faktor  yang  sangat  mempengaruhi  produksi  garam  bagi  petambak
bagi-hasil dan pemilik-garap  adalah luas lahan . Keinginan untuk mengolah
lahan  lebih  besar  menjadi  ketertarikan  bagi  petambak  pemilik-garap,  tetapi ketersediaan  lahan  yang  masih  luas  belum  sepenuhnya  bisa  diakses  oleh
petambak  pemilik-garap.  Secara  karakteristik  social  dalam  kepemilikan  lahan. Petambak  ini  bisa  dikatakan  petambak  dengan  lahan  kecil  dengan  hanya  rata-
rata mengolah di bawah 0.5 hektar. Keterbatasan untuk mendapatkan lahan baru disebabkan  ketidakmampuan  membeli  lahan.  Petambak  ini  rata-rata  ditemukan
petambak  yang  sudah  tua,  dimana  ia  memiliki  lahan  dari  warisan  keluarga. Dengan  hanya  menggarap  lahan  garam  kurang  atau  sama  dengan  0.5  hektar
mereka belum mampu mencapai titik produksi maksimum.
Luas  lahan    x
1
.  Petambak  pemilik-garap  rata-rata  mereka  menggarap
dengan  ukuran  lahan  0.5  hektar.  Lahan  yang  didapatkan  dari  hasil  warisan menjadi sumber utama untuk digunakan usaha tambak ikan dan tambak garam.
Penggunaan  lahan  kondisi  lahan  yang  jauh  dari  irigasi  dan  infrastruktur  jalan menyebabkan mereka merasa tidak terlalu optimal baik dalam pengadaan air laut
atau  pengangkutan  garam.  Lahan  yang  tidak  terlalu  baik  posisinya  dan pengelolaan  yang  sekedarnya  menjadi  menjadi  faktor  penentu  produksi.  Rata-
rata dengan hasil garam sekitar 40 ton per hektar jauh dibawah petambak garam sewa dan bagi-hasil.
Jumlah  hari  produksi  x
2
. Petambak pemilik-garap menggunakan  hari
produksi sama dengan petambak lainnya dimana rata-rata pada Tahun 2011 bisa mencapai  90  hari  produksi  tetapi  yang  membedakan  mereka  tidak  terlalu
mengamati  proses  produksi  garam  baik  pengaliran  air  ke  peminihan  atau  ke tempat meja garam. petambak garam pemilik-garap biasanya mereka melakukan
2 atau lebih mata pencaharian pada saat musim garam. Alternatif lain mengolah lahan  pertanian  atau  menjadi  buruh  bangunan  atau  tani  pada  lahan  orang  lain.
Jadi dengan 90 hari yang ada pada tahun 2011 intensif mereka optimal 50 hari. Hal ini berpengaruh terhadap produksi, disisi lain lahan mereka kecil dan jumlah
hari  yang  digunakan  tidak  terlalu  optimal  maka  hasilnya  pun  jauh  dibawah petambak  sewa  dan  petambak  bagi-hasil.  Pengalaman  kegagalan  pada  tahun
2010 yang tidak bisa menghasilkan produksi garam menjadi beban mereka juga usaha  garam.  rasa  ketakutan  gagal  panen  masih  menjadi  alasan  untuk  tidak
terlalu intensive dalam usaha garam.
Jumlah  tenaga  kerja    x
3
.  Petambak  pemilik-garap  intensif
menggunakan  tenaga  kerja  sendiri  dan  anggota  keluarga.  Hanya  pada  tahap awal  jika  diperlukan  mereka  gunakan  tenaga  kerja  luar.  Oleh  karena  itu  jika
dibandingkan  dengan  faktor  produksi  lain  resepon  tenaga  kerja  paling  kecil berpengaruh terhadap peningkatan produksi.
Jumlah  air  laut  x
4
. Pengadaan  air  laut  pada  area  tambak  umumnya
menggunakan  bosem    yang  ada  pada  area  lahan  sewa  atau  bagi-hasil. Bergabungnya  dalam  pemanfaatan  air  menjadi  kemudahan  mereka  dan
rendahnya  kebutuhan  biaya  pengadaan  bahan  bakar.  Air  laut  yang  dialirkan hanya setengah dari kebutuhan petambak sewa dan bagi-hasil sekitar 9 ribu liter
per hari untuk memenuhi kebutuhan 0.5 hektar. Tabel 18. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Pemilik-garap dengan Metode
OLS
Variabel input Parameter
Koefisien st-error
t-rasio
Intersep β
11.384 3.574
3.185 Luas lahan
β
1
0.699 0.117
6.003 Jumlah hari produksi
β
2
0.179 0.869
0.206 Jumlah tenaga kerja
β
3
0.113 0.104
1.091 Jumlah air laut
β
4
0.161 0.148
1.090 Sigma Squared
0.018 Log Likelihood
LR 20.182
R-Square R
2
0.955 Return to-Scale
∑
i
1.153 F-hitung
9.17
Nyata taraf α 10,   Nyata taraf α 5 dan  Nyata taraf α 1
7.2.1.2.  Pendugaan  Fungsi  Produksi  Metode  MLE  antar  Kelompok Petambak
Tabel  19  memperlihatkan  hasil  pendugaan  stochastic  frontier  dengan menggunakan  empat  variabel  penjelas.  Fungsi  produksi  stochastic  frontier  ini
akan  digunakan  sebagai  dasar  untuk  mengukur  efisiensi  alokatif  dan  ekonomis yang diturunkan menjadi fungsi biaya dual. Pendugaan dilakukan dengan metode
Maximum  Likelihood  MLE  sesuai  yang  disarankan  oleh  Coelli,  et  al.,  2005. Tabel  19,  Tabel  20  dan  Tabel  21  di  bawah  memperlihatkan  hasil  pendugaan
stochastic  frontier  dengan  menggunakan  4  variabel  penjelas.  Hasil  pendugaan dapat menggambarkan kinerja terbaik dari petambak dengan teknologi yang ada.
Pemaparan masing-masing dari fungsi produksi petambak dengan penedekatan MLE dipaparkan di berikut ini.
1.
Petambak Sewa
Parameter  dugaan    pada  fungsi  produksi  stochastic  frontier  menunjukan nilai elastisitas produksi frontier dari input-input yang digunakan koefisien dalam
fungsi produksi. Nilai ini juga sebagai pangkat fungsi cobb-douglas dari masing- masing input yang digunakan. Parameter dugaan dari petambak sewa terdiri dari
lahan 0.867,  jumlah  hari  produksi
1.771,  jumlah  tenaga  kerja 0.241 dan jumlah air laut
0.020. Dari 4 variabel faktor produksi ini luas lahan  dan  jumlah  hari  produksi  signifikan  nyata  pada  taraf
α  0.01.    Berbeda dengan  pendekatan  OLS  dimana  3  variabel  produksi  signifikan  secara  statistik
dimana  tenaga  kerja  masih  signifikan  terhadap  produksi.  Jika  salah  satu  input produksi ditingkat 10 persen dan input lain tetap, maka akan terjadi peningkatan
8.67 persen jika lahan ditingkatkan, 17.71 persen jika hari produksi ditingkatkan, meningkat  2.41  persen  jika  tenaga  kerja  ditambahkan,  dan  0.20  persen  jika  air
laut ditambah. Nilai RTS dari pendekatan MLE sebesar 2.899 hal ini nilai RTS MLE lebih
besar  dibandingkan  dengan  OLS  2.670  sebagai  fungsi  rata-rata  artinya petambak  sudah  lebih  dari  batas frontier  rata-rata  produksi  dimana  hal  tersebut
dipengaruhi oleh efek in-efisiensi dan noise gangguan dari luar yang sama-sama memberikan  keuntungan  maksimal  dalam  produksi  garam.  Pada  tahun  2011
menurut  petambak  sewa  mereka  sudah  melakukan  produksi  secara  maksimal. Begitupun  dengan  kondisi  kualitas  musim  kemarau  jumlah  hari  maksimal
sebanyak 4 bulan dengan tingkat curah hujan dan kualitas terik matahari sangat menguntungkan untuk melakukan proses evaporasi produksi garam.
Table 19. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Sewa dengan Metode MLE
Variabel input Parameter
Koefisien st-error
t-rasio
Intersep β
2.884 0.965
2.990 Luas lahan
β
1
0.867 0.188
4.619 Jumlah hari produksi
β
2
1.771 0.221
7.997 Jumlah tenaga kerja
β
3
0.241 0.175
1.377 Jumlah air laut
β
4
0.020 0.028
0.688 Return to-Scale
∑
i
2.899 Log Likelihood
39.862
Nyata taraf α 10,   Nyata taraf α, 5 dan  Nyata taraf α, 1
2.
Petambak Bagi-hasil
Hasil  pendugaan faktor produksi  untuk  petambak  bagi-hasil  dari  variable yang  diduga  relevan,  dari  4  variabel  penduga,  parameter  luas  lahan  yang
signifikan  terhadap  produksi.  Dengan  nilai  parameter  1.116,  paling  besar dibandingkan dengan lainnya dimana jumlah hari produksi sebesar 0.270, jumlah
tenaga kerja 0.035 dan jumlah air laut yang digunakan 0.051. Jika input produksi masing-masing ini ditingkatkan 10 persen dan lainnya tetap maka kontribusi dari
peningkatan  lahan  akan  meningkatkan  produksi  sebesar  11.6  persen,    jika jumlah hari produksi ditingkatkan maka akan menambah produksi 2.7 persen dan
lainnya  berkontribusi  dibawah  1  persen.  Nilai  Return  to  scale  RTS  pada petambak  bagi-hasil  sebesar  1.472    hampir  mendekati  dengan  nilai  RTS  OLS
1.350. Petambak bagi-hasil sudah bisa mencapai produksi frontier-nya dimana hal ini dipengaruhi oleh variable lahan.
Table 20. Pendugaan Fungsi Produksi Bagi-hasil dengan Metode MLE
Variabel input Parameter
Koefisien st-error
t-rasio
Intersep β
10.043 0.960
10.461 Luas lahan
β
1
1.116 0.060
18.593 Jumlah hari produksi
β
2
0.270 0.232
1.162 Jumlah tenaga kerja
β
3
0.035 0.059
0.593 Jumlah air laut
β
4
0.051 0.039
1.286 Return to-Scale
∑E
i
1.472 Log Likelihood
26.440
Nyata taraf α 10,   Nyata taraf α 5 dan  Nyata taraf α 1 Petambak bagi-hasil bisa mengoptimalkan hampir sampai batasa frontier
dipengaruhi oleh faktor in-efisiensi dan faktor luat yang sama-sama memberikan keuntungan  terhadap  produksi.  Dengan  asumsi  kondisi  faktor  luar  yang  sama
berpengaruh  terhadap  produksi  rata-rata,  perbedaan  nilai  RTS  disebabkan  oleh efek  in-efisiensi  yang  sedikit  memberikan  keuntungan  produksi  dibandingkan
dengan petambak sewa.
3.
Petambak Pemilik-garap
Hasil  pendugaan  faktor  produksi  untuk  petambak  pemilik-garap  dari variable  yang diduga relevan, ternyata tidak ada yang signifikan terhadap faktor
produksi  garam.  Berbeda  dengan  pendekatan  OLS  dimana  luasan  lahan signifikan terhadap produksi walapun pada taraf
α 0.05. Dari 4 variabel tersebut, 3 bernilai positif dan 1 negatif yaitu jumlah hari produksi.
Nilai  Return  to  scale  RTS  pada  petambak  pemilik-garap  sebesar  0.928 dibawah nilai RTS OLS sebesar 1.153. Nilai ini berhubungan dengan optimalisasi
penggunaan  input  produksi  yang  dipengaruhi  oleh  efek  in-efisiensi  yang cenderung  tidak  menguntungkan  terhadap  produksi,  sedangkan  tingkat
gangguan  luar  sama-sama  menguntungkan  pada  musim  produksi  tahun  2011 baik  pada  petambak  sewa  dan  bagi-hasil.  Petambak  pemilik-garap  belum  bisa
mencapai produksi frontiernya dimana hal ini dipengaruhi oleh variable lahan dan penggunaan hari produksi yang masih dibawah fungsi frontiernya.
Table 21. Pendugaan Fungsi Produksi Pemilik-garap dengan Metode MLE
Variabel input Parameter
Koefisien st-error
t-rasio
Intersep β
11.425 1.151
9.927 Luas lahan
β
1
0.577 0.461
1.250 Jumlah hari produksi
β
2
-0.138 1.879
-0.073 Jumlah tenaga kerja
β
3
0.149 0.125
1.194 Jumlah air laut
β
4
0.340 1.094
0.311 Return to-Scale
∑E
i
0.928 Log Likelihood
20.182
Nyata taraf α 10,   Nyata taraf α 5 dan  Nyata taraf α 1 Petambak  bagi  hasil  sudah  bisa  mengerahkan  tenaga  kerja  baik  dirinya
sendiri  atau  anggota  keluargnya  tetapi  karena  keterbatasan  lahan  sehingga berdampak  pada  penggunaan  hari  produksi  yang  tidak  sebandingkan  dengan
hasil produksi yang optimal para batas frontiernya. Dengan nilai RTS mendekati satu  yaitu  constant  return  to  scale,  hal  ini  artinya  walaupun  input  produksi
ditingkatkan  tidak  berdampak  pada  peningkatan  produksi  garam.  Fakta  empirik dapat diamati bahwa petambak pemilik-garap tidak terlalu mengejar keoptimalan
dalam  usaha  garam.  Petambak  ini  hanya  memanfaatkan  musim  kemarau dialihkan ke usaha garam dengan memanfaatkan inputan yang seadanya. Ketika
kecenderungan  tidak  menguntungkan,  petambak  tidak  melanjutkan  usahanya dan  beralih  ke  usaha  lain  yang  cenderung  memanfaatkan  lahan  darat.  Dengan
lahan  yang  sedikit    biasanya  mereka  mengalihkan  kepada  petambak  lain  yang statusnya petambak sewa untuk meneruskan usaha garam di lahannya.
7.2.2. Respon antar Faktor Produksi terhadap Produksi Garam 1.  Respon  Ukuran  Lahan  Farm  Size  terhadap  Produksi  Garam  antar
Kelompok Petambak
Gambar  11  menunjukkan  respon  ukuran  lahan  terhadap  output  produksi dimana  variable lain tetap tingkat produksi akan mengalami peningkatan konstan
tetap  ketika  lahan  terus  ditingkatkan.  Sedangkan  nilai  dari  produk  marjinal Marjinal  Production  of  LandMPLn  dan  produk  rata-rata  lahan  Average
procution  of  landAPLn  Gambar  12  dan  Gambar  13  terus  menurun.  Kondisi sekarang  petambak  dalam  tingkat  increasing  return  to  scale,  semua  petambak
masih  bisa  meningkatkan  luasan  lahan  untuk  meningkatkan  produksi  sampai pada  tingkat  produk rata-rata  maksimum  antara 4  sampai  5  hektar.  Perberdaan
ini  salahsatunya  adalah  karakteristik  dan  luasan  dari  lahan  yang  dikelola  oleh petambak terutama serta hasil pengolahan pengerasan lahan pada waktu awal
persiapan  lahan.  Pada  Gambar  11  salah  satu  yang  menjadi  pembeda  adalah nilai  konstanta  atau  intesep  dan  nilai  elastisitas  dari  lahan  pada  masing-masing
fungsi  produksi  petambak.  Nilai  intersep  ini  juga  mencerminkan  kekuatan teknologi yang ada pada masing-masing petambak.
20 15
10 5
350 300
250 200
150 100
50
Luas lahan ha
Ou tp
ut t
on
Sewa Bagi-hasil
Milik -garap
Gambar 11. Respon Respon Lahan Terhadap Produksi Garam
20 15
10 5
50 40
30 20
10
Luas lahan ha
Pr od
uk si
to n
Sewa Bagi-hasil
Milik -garap
Gambar 12. Respon lahan terhadap produksi rata-rata  Average Production of Land
20 15
10 5
60 50
40 30
20 10
Luas lahan ha
Pr od
uk si
to n
Sewa Bagi-hasil
Milik -garap
Gambar 13. Respon lahan terhadap produksi marjinal Marjinal Production of Land
2. Respon Tenaga Kerja Labour terhadap Produksi Garam antar Kelompok Petambak
Hasil        analisis    pada  Gambar  14. menunjukkan            bahwa          variabel tenaga        kerja    mersepon  terhadap  tingkat  produksi  pada  masing-masing
petambak  dimana  semakin  mengarah  kepada  tingkat  produksi  yang  konstan. Gambar  15  dan  Gambar  16  pula  menunjukkan  respon  tenaga  kerja  terhadap
marjinal  produk  tenaga  kerja  dan  rata-rata  produk  tenaga  kerja  dimana  nilai marjinal  produk  dan  rata-rata  terus  menurun.  Perbedaan  tingkat  elastisitas  dari
tenaga  kerja  pada  kelompok  petambak  menjadikan  tingkat  produksi  yang berbeda-beda.  Adanya  kesenjangan  nilai  ini  menunjukkan  bahwa  petani  pada
kelompok  petambak  bagi-hasil  dan  pemilik-garap  tidak  mencapai  tingkat  output optimal. Dengan jumlah alokasi yang sama menghasilkan tingkat produksi yang
16 14
12 10
8 6
4 2
200 150
100 50
Tenaga Kerja
Pr od
uk si
to n
Sewa Bagi Hasil
Milik -Garap
berbeda.    Indikasi  lain  bahwa  teknologi  pada  kelompok  petambak  sewa  paling padat karya. Kondisi kinerja  dicirikan dengan tingkat produksi konstant, MPL dan
APL yang semakin menurun sesuai persepsi dari kajian Ellis 1993 dimana skala produksi pertanian di negara yang belum maju cenderung konstan. Implikasi dari
hasil  ini  adalah  bahwa  petani  akan  kehilangan  efisiensi  produksi  jika  mereka meningkatkan skala produksi.
Gambar 14. Respon Tenaga Kerja terhadap produksi
Gambar 15. Respon Tenaga kerja terhadap produksi rata-rata  Average Production of Labour
16 14
12 10
8 6
4 2
16 14
12 10
8 6
4 2
Tenaga Kerja
Pr od
uk si
to n
Sewa Bagi-hasil
Pemilik -garap
16 14
12 10
8 6
4 2
90 80
70 60
50 40
30 20
10
Tenaga Kerja
Pr od
uk si
to n
Sewa Bagi-hasil
Pemilik -garap
Gambar 16. Respon tenaga kerja terhadap produksi marjinal Marjinal Production of Labour
Peningkatan  skala  produksi  yang  paling  mungkin  dengan  meningkatkan penguasan  lahan  dan  tenaga  kerja.  Tiga  pendekatan  antara  OLS  dan  MLE
menghasilkan hampir sama dalam skala pengembalin RTS. Elastisitas produksi ukuran  lahan  dan  tenaga  kerja  yang  diperoleh  dari  OLS  hampir  sama  dengan
yang  diperoleh  dari  OLS.  Fungsi  Cobb-Douglas  tampaknya  menjadi  konsisten dan  fungsi  yang  sesuai  untuk  menilai  teknologi  produksi  pada  kelompok
petambak  yang  berbeda-beda.  Karakteristik  yang  membedakan  dalam pemakaian  tenaga  harus  dilakukan  optimalisasi  padat  karya  pada  tahap  awal
untuk mengolah lahan yang siap dan sesuai untuk proses percepatan kristalisasi garam.
VIII. ANALISIS EFISIENSI TEKNIS ALOKASI DAN EKONOMI
Jika  fungsi  produksi  ditentukan  oleh  penggunaan  input-inputnya  maka fungsi  in-efisiensi  ditentukan  oleh  faktor  lain  selain  input.  Variable  yang  diduga
mempengaruhi  inefisiensi  sebagai  aspek  managerial  input  dalam  penelitian  ini yaitu  variable  individu  petani  umur  dan  pendidikan,  variable  karakteristik  dan
teknik  usaha  garam  pengalaman  usaha,  penggunaan  pompa,  variable karakteristik  tambahan  input  zat  aditif  dan  pompa,  variable  kinerja  usaha  tani
penerimaan  pendapatan  usaha  garam,  karakteristik  kelembagaan  akses  ke lembaga  keuangan  formal  dan  non-formal,  serta  keaktifan  dalam  kelompok  tani
dibawah  koperasi  atau  program  pemerintah.  Output  fungsi  inefisiensi  ini merupakan hasil simultan yang diolah bersamaan dengan fungsi produksi karena
yang  digunakan  yaitu  fungsi  cob-douglas  dengan  metode  MLE.  Pendugaan dengan  metode  MLE  menghasilkan  fungsi  produksi  yang  dianggap  fit  karena
memenuhi  asumsi  Cobb-douglas  pada  masing-masing  karakteristik  petambak garam.
Seluruh  nilai  log  lielihood  dengan  metode  MLE  lebih  besar  dari  nilai  log likelihood  dengan  metode  OLS,  nilai  sigma-squared  yang  menunjukan  distribusi
dari  error  tern  inefisiensi  u
i
adalah  cukup  kecil,  dan  nilai  gamma  yang mendekati  1  yang  menunjukan  bahwa  error  term  hanya  berasal  dari  akibat
inefisiensi  u
i
dan  bukan  berasal  dari  noise  v
i
.    Adapun  rincian  output stochastic frontier selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
8.1. Analisis Efisiensi Teknis Usaha Garam Rakyat 8.1.2. Sebaran Efisiensi Teknis
Untuk melihat sebaran efisiensi teknis yang disebabkan adanya efek in- efisiensi  pada  petambak  garam  dapat  dilihat  pada  tabel  di  bawah.  Sebagai
perbandingan  benchmark,  hasil  penelitian    Osborne  and  Trueblood  2006; Kusnadi,  et  al.,  2011,  Shing  and  Sharma  2011,    menunjukkan  bahwa  nilai
indeks  efisiensi  hasil  analisis  dikategorikan  cukup  efisien  jika  lebih  besar  dari 0.70.  Hal  sesuai  yang  disarankan  oleh  Coelli  and  Battese  1998  nilai  tersebut
sebagai batas minimal dari efisiensi. Berdasarkan  Tabel  22  sebaran  efisiensi  teknis  rata-rata  dari  kelompok
petambak berbeda. Tingkat efisiensi rata-rata pada petambak sewa 0.91, dengan tingkat  efisiensi  teknis  maksimal  paling  tinggi  0.99  dan  paling  rendah  0.72.  Jika
dilihat  dari  hasil  tersebut  tingkat  produksi  petambak  sewa  sudah  efisien.    Bagi petambak sewa dengan tingkat efisiensi paling rendah masih bisa memiliki ruang
untuk  meningkatkan  produksinya  dari  sisi  efisiensi  sebesar  27  persen. Sedangkan bagi petambak yang paling tinggi hanya 8 persen saja bisa dilakukan
peningkatan. Table 22. Sebaran Efisiensi Teknis Petambak Responden
Efisiensi Teknis Interval
Sewa Bagi hasil
Milik Jumlah
Jumlah Jumlah
0.01-0.10 0.11-0.20
0.21-0.30 0.31-0.40
0.41-0.50 0.51-0.60
1 2.86
0.61-0.70
26 74.29
5 16.67
0.71-0.80
4 11.43
4 11.43
8 26.67
0.81-0.90
8 22.86
3 8.57
8 26.67
0.91-1.00
23 65.71
1 2.86
9 30.00
Jumlah
35 100
35 100
30 100
Rata-rata
0.91 0.69
0.82 Maksimum
0.99 0.99
0.99 Minimum
0.72 0.58
0.62
Pada  kelompok  petambak  bagi  hasil  nilai  rata-rata  efisiensi  teknis mencapai  0.69.  Sebanyak  74  persen  dari  petambak  sampel  masih  dibawah  0.7
tingkat efisiensi teknisnya. Tingkat efisiensi paling tinggi sebesar 0.99 dan paling rendah  0.58.  Petambak  paling  rendah  masih  bisa  berpeluang  meningkatkan
produksi  garam  sebesar  41  persen,  sedangkan  bagi  petambak  dengan  tingkat efisiensi  teknis  maksimal  mereka  sudah  bisa  meningkatkan  efisiensi  produksi
dari rata-rata petambak bagi hasil sebesar 69.9 persen. Pada petambak pemilik- garap  tingkat  efisiensi  teknis  rata-rata  mencapai  0.82  84  persen  diatas  batas
minimal  efisiensi.  Pada  petambak  pemilik-garap  paling  rendah  peluang meningkatkan efisiensi produksi masih tinggi sebesar 24 persen tinggi masih bisa
meningkatkan  efisiensi  produksinya  sebesar  17  persen.    Jika  tingkat  efisiensi dihubungkan  dengan  tingkat  produktifitas  garam  rakyat  terjadi  hubungan  positif
dimana jika efisiensi meningkat, maka tingkat produktifitas garam pun meningkat. Pada  Gambar  17  dapat  dilihat  tingkat  produktifitas  petambak  sewa  terus
meningkat dan rata-rata dalam kisaran 76 ton per hektar.
120 110
100 90
80 70
60 1.00
0.95 0.90
0.85 0.80
0.75 0.70
Produktifitas tonha
Ef is
ie ns
i T ek
ni s
Jika  dibandingkan  antara  Gambar  17,  Gambar  18  dan  Gambar  19 mengenai  hubungan  antara  tingkat  efisiensi  teknis  dan  produktiitas  masing-
masing petambak semuanya berbanding positif. Rata-rata produktifitas petambak sewa mencapai 0.8 dengan rata-rata tingkat efisiensi 93 persen, petambak bagi-
hasil  mencapai  95  tonhektar  dengan  tingkat  efisiensi  mencapai  73  persen sedangkan  petambak  pemilik  garap  produktifitas  mencapai  92  ton  per  hektar
dengan tingkat efisiensi mencapai 85 persen. Jadi kelompok petambak bagi-hasil peluang  untuk  terus  meningkatkan  lahan  akan  bisa  meningkatkan  efisiensi
produksi untuk menghasilkan kuantitas garam yang lebih banyak karena mereka bisa  mencapai  tingkat  produktifitas  lebih  besar  dibandingkan  dengan  yang
lainnya.
Gambar 17. Hubungan antara Produktifitas  dengan Efisiensi Teknis Petambak Sewa
Perbedaan  tingkat  produksi  dan  produktifitas  terhadap  tingkat  efisiensi teknis  pada  petambak  sewa  memiliki  tingkat  slove  berbeda.  Tingkat  produksi
lebih  elastis  dibandingkan  dengan tingkat  produktifitas  terhadap tingkat  efisiensi teknis.  Hal  ini  berhubungan  dengan  tingkat  optimalisasi  lahan  yang  sudah
tercapai  pada  petambak  sewa.  Jadi  ketika  terjadi  penambahan  tingkat  luasan lahan  akan  tidak  terlalu  elastis  terhadap  tingkat  produktifitas.  Dengan  rata-rata
tingkat  produksi  mencapai  80  ton  per  hektar  dari  penggunaan  rata-rata  lahan  4 hektar.  Sedangkan  pada  petambak  bagi-hasil  terlihat  pada  Gambar  20  tingkat
elasitisitas  lebih  besar  dibandingkan  dengan  petambak  sewa.  Petambak  bagi hasil  rata-rata  mengelola  lahan  3  hektar  dengan  tingkat  produktifitas  mencapai
90 80
70 60
50 40
30 20
10 0.725
0.700 0.675
0.650 0.625
0.600
Produktifitas tonha
Ef is
ie ns
i T ek
ni s
250 200
150 100
0.90 0.85
0.80 0.75
0.70 0.65
0.60
Produktifitas tonha
Ef is
ie ns
i T ek
ni s
85  ton  per  hektar.  Jadi  peluang  meningkatkan  efisiensi  dan  produksi  melalui penambahan lahan masih bisa dilakukan pada petambak bagi-hasil.
Gambar 18. Hubungan antara Produktifitas  dengan Efisiensi Teknis Petambak Bagi-hasil
Gambar 19. Hubungan antara Produktifitas  dengan Efisiensi Teknis Petambak Pemilik-garap
Jika  dibandingkan  dengan  petambak  pemilik-garap,  tingkat  produksi  dan produktifitas  petambak  ini  masih  dibawah  petambak  bagi-hasil.  Petambak
pemilik-garap  yang  bisa  dikatakan  asal-asalan  dalam  proses  pembuatan  garam tentunya  akan  menghasilkan  produksi  yang  lebih  rendah.  Dengan  kepemilikan
lahan  0.5  hektar  dengan  tingkat  produktifitas  rata-rata  hanya  mencapai  80  ton per hektar.
Hal  ini  sama  sejalan  dengan  model  produksi  yang  dipaparkan sebelumnya    bahwa  tingkat  elastisitas  input  produksi  lahan  terhadap  pada
petambak bagi-hasil lebih elastis dibandingkan petambak lainnya. Fakta empirik dilapangan  juga  menggambarkan  hal  yang  sama  pada  petambak  bagi-hasil
dimana  mereka  berkeinginan  untuk  menambah  lagi  lahan  jika  ada  lahan  yang berdekatan.  Petambak  yang  ada  di  Kecamatan  Kandang  haur  melakukan
penggarapan lahan yang sangat berdekatan. Hal ini bertujuan untuk kemudahan melakukan pengontrolan proses produksi.
Gambar 20. Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada Petambak Sewa
Gambar  21. Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada Petambak Bagi-hasil
Gambar 22. Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada Petambak Pemilik-garap
Dengan  menggunakan  pendekatan  sebaran  karnel  density  dapat  dilihat pada  Gambar  20,  Gambar  21  dan  Gambar  22  sebaran  tingkat  efisiensi  pada
masing-masing  kelompok  petambak  dimana  petambak  sewa  Gambar  20 kecenderungan sudah mencapai tingkat efisiensi sama halnya dengan petambak
pemilik-garap Gambar 21. Sedangkan pada petambak bagi-hasil Gambar 22, grafik karnel  density  cenderung multi-modial  yang menyebar  dengan kepadatan
berada  pada  kelompok  tingkat  efisiensi    antara  0.6-0.7  dan  mendekati  1.0. Penyebaran  tingkat  efisiensi  relatif  dipengaruhi  sumber  in-efisiensi  yang
berdampak  pada  tingkat  efisiensi  teknis  bagi-hasil  masih  rendah  dibanding dengan  petambak  sewa  dan  pemilik-garap  disebabkan  3  hal  yang  signifikan
dalam  peningkatan  efisiensi  yaitu  :  1  pendapatan  usaha  garam  yang  nantinya akan  dibagihasilkan  dengan  pemilik  lahan  70:30    antara  petambak  dengan
pemilik  lahan.  Jika  ingin  meningkatkan  efisiensi  dari  sisi  pendapatan  salah satunya  adalah  diturunkannya  bagi  hasil  atau  ditingkatkannya  produksi,  2
manajerial  usaha  dari  pengalaman  usaha  garam  yang  selama  ini  dilakukan denagn  tidak  berpengaurhnya  pengalaman  usaha  dan  tidak  berpengaruhnya
keikutsertaan  dalam  kelompok  petambak  garam  menyebabkan  berbeda- bedannya  tingkat  efisiensi  teknis.  3  penggunaan  zat  aditif  ramsol  yang  bisa
meningkatkan  kuantitas  produksi  garam  dipakai  oleh  sebagian  kelompok petambak  sewa.  Hal  ini  untuk  mengimbangi  luasan  lahan  yang  dikelola  yang
cenderung menurunkan efisiensi teknis.
8.1.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis
Faktor-faktor  yang  mempengaruhi  tingkat  efisiensi  teknis  petambak responden  menggunakan  model  efek  inefisiensi  dari  fungsi  produksi  stochastic
frontier. Terjadinya efek in-efisiensi teknis dapat dilihat dari nilai gamma dimana nilai  gamma  petambak  sewa  yaitu  0.801,    petambak  bagi-hasil  0.990  dan
petambak pemilik-garap 0.990. Nilai gamma yang mendekati 1 diinterpretasikan bahwa seluruh error term adalah sebagai akibat dari  efeke in-efisiensi
dan sebaliknya jika gamma mendekati nol diinterpretasikan bahwa error term berasal
dari  noise Kusnadi,  et  al.,  2011,    seperti  cuaca,  tingkat  keceptan  angin,
kualitas  terik  matahari.  Bahkan    hasil  penelitian  Boshrabadi,  et  al.,  2006 menunjukkan bahwa nilai gamma adalah satu. Hal ini tidak menjadi persoalan di
dalam studi efisiensi teknis produksi suatu komoditas pertanian. Menurut Trewin, et  al.,  1995;  Masdjidin  dan  Sumaryanto  2003;  Saptana,    et  al.,  2010;
Guesmi, et al., 2012  nilai gamma yang mendekati 1 ditegaskan interpretasinya sangat  baik  karena  error  term  hanya  berasal  dari  inefisiensi  yang  berhubungan
dengan  manajerial  usaha  serta  faktor  lain  menyangkut  karakteristik  sosial  dan ekonomi.      Sebaran  efek  in-efisiensi  pada  masing-masing  petambak  akan
dipaparkan di bawah ini.
1.  Petambak Sewa
Nilai  log  likelihood  dengan  metode    MLE  masing-masing  kelompok petambak  adalah  lebih  besar  dari  nilai  likelihood  dengan  metode  OLS  yang
berarti  fungsi  produksi  dengan  metode  MLE  ini  adalah  baik  dan  sesuai  dengan kondisi  dilapangan  dimana  nilai  log  likelihood  MLE  petambak  sewa  48.650
sedangkan  OLS  39.862.  Interpretasi  dengan  diagnostic  statistic  ini  adalah menunjukan  bahwa  model  MLE  yang  dibangun  menunjukan  best  fit  keragaan
yang  baik  dan  sesuai  menurut  kondisi  dilapangan  dengan  memasukan  efek  in- efisiensi sebagai gangguan internal dalam produksi.
Uji  hipotesi  lain  untuk  menguji  signifkansi  dari  efek  in-efisiensi  yaitu  uji likelihood ratio yang dibandingkan dengan indeks kodde-Palm, dimana hipotesa
nol  akan  ditolak  jika  likelihood  ratio  lebih  besar  dari  pada  chi-square. Berdasarkan Tabel 22 di bawah dihasilkan nilai  LR Ratio untuk petambak sewa
17.577.  sehingga  hasilnya  menolak  hipotesa  nol  yang  artinya  fungsi  cobb- douglas  yang  dibentuk  dapat  menangkap  kinerja  dan  perilaku  sebagai  efek  in-
efisiensi  dari  usaha  garam  untuk  petambak  sewa  yang  ada  di  Kabupaten
Indramayu.  Sama  halnya  dari  hasil  penelitian  Saptana,  et  al.,  2010  pada komoditas  cabai  dimana  nilai  LR-ratio  lebih  besar  dari  Chi-suare  dengan
memasukan  faktor  risiko  sebagai  sumber  in-efisiensi  mempengaruhi  terhadap efisiensi petambak.
Fungsi inefisiensi dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai rata-rata efieinsi mean technical  efficiency  yang  dicapai  pada  petambak  sewa  mencapai  0.911  atau
91.1  persen  sehingga  masih  terdapat  ruang  untuk  meningkatkan  efisiensi  pada teknologi  yang  sama  sebesar  8.9  persen  untuk  petambak  sewa,    melalui
pembenahan  faktor-faktor  yang  signifikan  mempengaruhi  efisiensi.    Dari  10 variabel  sumber  efek  in-efisiensi  petambak  sewa  ada  yang  signifikan  dan  ada
yang tidak signifikan terhadap efisiensi produksi. Hal  ini karena setiap sumber in- efisiensi berbeda-beda pengaruhnya.
Sumber dari efek in-efisiensi terdiri dari sebagai berikut : Umur Z
1
. Faktor
umur  dimasukkan  ke  dalam  efek  inefisiensi  dengan  dugaan  bertanda  positif  + terhadap  efisiensi  teknis.  Pada  kelompok  petambak  sewa  efek  umur  bertanda
positif +, tetapi hasil uji statistik ternyata faktor tersebut tidak berpengaruh pada taraf  nyata
α  0.01  bahkan  α  0.05.  Tanda  positif  untuk  faktor  umur  ini diinterpretasikan  bahwa  semakin  bertambah  umur  maka  semakin  bertambah
tingkat  in-efisiensi  teknisnya  sehingga  semakin  bertambah  umur  semakin  tidak menguntungkan  terhadap  efisiensi  produksi  garam.  Walaupun  secara  statistik
tidak  signifikan,  umur  merupakan  faktor  utama  dalam  karakteristik  petambak. Semakin bertambah umur seharusnya lebih bisa meningkatkan efisiensi produksi
tetapi  kondisinya  kebalikannya.  Untuk  petambak  yang  berstatus  sewa,  umur yang  masih  rata-rata  sekitar  40  an  banyak  ditemukan  masih  semangat  dalam
proses  usaha  garam.  Semakin  meningkatkan  umurnya  logikanya  semakin meningkat  pengalamannya  tetapi  petambak  sewa  biasanya  mereka  enggan
untuk melakukan usaha garam secara sewa. Hal ini berhubungan dengan risiko yang  ditanggung,  semakin  meningkat  umur  petambak  sewa,  tingkat  risiko  yang
ditanggung  semakin  menurun.  Dampak  umur  juga  dalam  rumah  tangga berhubungan  terhadap  manajerial  dan  pengambilan  keputusan  dalam  usaha.
Rumah  tangga  muda  dan  rumah  tangga  berusia  lebih  efisien  daripada  tengah umur  bertentangan  dengan  apa  yang  diharapkan  rumah  tangga.  Alasan  yang
mungkin  untuk  perilaku  ini  bisa  menjadi  terkait  dengan  proses  reproduksi  dan komposisi  keluarga  rumah  tangga  di  mana  rumah  tangga  paruh  baya  memiliki
tanggungan lebih dari pekerja dan karena itu cenderung menerapkan keputusan