Analisis Fungsi Produksi Usaha Garam Rakyat

produksi. Berawal dari bulan junli, sehingga juli-agustus-september bisa panen raya. Jika masih ada hari kemarau pada bulan oktober mereka gunakan kembali tetapi biasanya tidak optimal karena sudah masuk pada musim penghujan. Dengan 90 hari berproduksi menghasilkan rata-rata produktifitas 62 ton per hektar dengan rata-rata luasan lahan 2 hektar. Jumlah tenaga kerja x 3 . Petambak bagi-hasil dalam menggunakan tenaga kerja cenderung intensif dengan melibatkan dirinya sendiri dalam semua proses produksi garam. Sekaligus sebagai pengelola usaha garam. Dengan rata- rata tenaga kerja luar 2 orang mereka gunakan untuk membantu proses yang cukup berat dan perlu bantuan orang lain seperti dalam persiapan lahan dan pengerasan tanggul serta pengerasan meja garam. Dalam proses pasca panen juga menggunakan tenaga kerja untuk pengangkutan. Keterlibatan anggota keluarga juga sering mereka gunakan. Keterlibatan istri dan anaknya dalam proses pemanenan garam dan pergiliran air laut. Jumlah air laut x 4 . Petambak bagi-hasil menggunakan air laut tergantung kondisi dan tempat lahan. Umumnya kondisi lahan yang dekat irigasi mereka gunakan pompa dalam proses pengadaan air laut. Tetapi bagi lahan yang cukup jauh, pengadaan air laut tumpahan dari lahan petambak lain atau dari bosem yang disediakan oleh juragan lahan. Bagi lahan yang dekat dengan irigasi terkadang mereka kelebihan air laut dan sebaliknya bagi lahan yang jauh, mereka memanfaatkan pemindahan air secara tradisional dengan dilakukan pengangkutan air laut. Jadi pengadaan air luat ini sering dikeluhkan oleh para petambak yang jauh lahannya dari irigasi. Harapan petambak mereka inginkan saluran irigasi tersier bisa sampai ke area mereka. Saat penelitian berlangsung pemerintah hanya baru memperbaharui irigasi teknis di beberapa pintu air utama di Kecamatan Losarang, alasan pemerintah bahwa area tersebut sudah memenuhi syarat hamparan garam yang lebih dari 100 hektar. sedangkan jika dilihat di Kecamatan Kandang Haur area tambak sebetulnya sudah luas menurut pendamping yang menangani PUGAR sudah tersedia sekitar 100 hektar tapi masalahnya masih dibatasi oleh sekatan lahan yang tidak digunakan untuk usaha garam dan ada sekitar 20 persen lahan tambak garam menggunakan area swaka mangrove sehingga pemerintah sulit sekali memperbaiki area irigasi kearah swaka tersebut. Alternativenya petambak yang berada pada area tersebut mereka menggunakan pompa dengan pipa yang cukup panjang. Tabel 17. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Bagi-hasil dengan Metode OLS Variabel input Parameter Koefisien st-error t-rasio Intersep β 10.433 1.688 6.181 Luas lahan β 1 1.159 0.069 16.859 Jumlah hari produksi β 2 0.116 0.389 0.298 Jumlah tenaga kerja β 3 0.036 0.066 0.544 Jumlah air laut β 4 0.039 0.035 1.120 Sigma Squared   0.015 Log Likelihood LR 20.182 R-Square R 2 0.964 Return to-Scale ∑  i 1.350 F-hitung 326.29 Nyata taraf α 10, Nyata taraf α 5, dan Nyata taraf α 1 3. Petambak Pemilik-garap Unuk nilai parameter produksi petambak pemilik-garap selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 18. Nilai parameter lahan 0.699, jumlah hari produksi 0.179, jumlah tenaga kerja 0.113 dan jumlah air laut 0.161. Jika terjadi penambahan pada lahan sebesar 10 persen dan lainnya cateris paribus maka akan terjadi kenaikan produksi 6.99 persen, jika ditingkatkan pada jumlah tenaga kerja akan terjadi kenaikan produksi 0.36 persen dan jika terjadi peningkatan pada jumlah hari produksi maka produksi garam akan meningkat sebesar 1.13 persen. Dari simulasi peningkatan faktor produksi tersebut maka yang paling besar berpengaruh terhadap peningkatan produksi untuk petambak bagi hasil adalah jumlah lahan tambak . Dari hasil pengujian statistik pada taraf nyata α 0.01, faktor lahan , signifikan berpengaruh dimana t-hitt-tab. Sedangakan jumlah hari produksi , jumlah tenaga kerja jumlah air laut yang digunakan tidak signifikan pada taraf α 0.01 ataupun pada taraf α 0.05. Nilai RTS produksi garam pada petambak bagi hasil senilai 1.350 dimana nilai tersebut menunjukan berada dalam kondisi increasing return to scale samal halnya dengan petambak sewa. Pengujian statistik F menghasilkan F-hit F-tabel sehingga Ho ditolak artinya bahwa jumlah parameter tersebut signifikan mempengaruhi terhadap produksi. Begitupun dengan nilai korelasi R 2 yang besar yaitu 0.955 dapat dikatakan bahwa faktor produksi berkorelasi positif sebesar 95.5 persen. Dari hasil analisis nilai parameter dari fungsi produksi pada masing- masing petambak dapat dibandingkan pula nilai parameter antar kelompo petambak. Faktor yang sangat mempengaruhi produksi garam bagi petambak bagi-hasil dan pemilik-garap adalah luas lahan . Keinginan untuk mengolah lahan lebih besar menjadi ketertarikan bagi petambak pemilik-garap, tetapi ketersediaan lahan yang masih luas belum sepenuhnya bisa diakses oleh petambak pemilik-garap. Secara karakteristik social dalam kepemilikan lahan. Petambak ini bisa dikatakan petambak dengan lahan kecil dengan hanya rata- rata mengolah di bawah 0.5 hektar. Keterbatasan untuk mendapatkan lahan baru disebabkan ketidakmampuan membeli lahan. Petambak ini rata-rata ditemukan petambak yang sudah tua, dimana ia memiliki lahan dari warisan keluarga. Dengan hanya menggarap lahan garam kurang atau sama dengan 0.5 hektar mereka belum mampu mencapai titik produksi maksimum. Luas lahan x 1 . Petambak pemilik-garap rata-rata mereka menggarap dengan ukuran lahan 0.5 hektar. Lahan yang didapatkan dari hasil warisan menjadi sumber utama untuk digunakan usaha tambak ikan dan tambak garam. Penggunaan lahan kondisi lahan yang jauh dari irigasi dan infrastruktur jalan menyebabkan mereka merasa tidak terlalu optimal baik dalam pengadaan air laut atau pengangkutan garam. Lahan yang tidak terlalu baik posisinya dan pengelolaan yang sekedarnya menjadi menjadi faktor penentu produksi. Rata- rata dengan hasil garam sekitar 40 ton per hektar jauh dibawah petambak garam sewa dan bagi-hasil. Jumlah hari produksi x 2 . Petambak pemilik-garap menggunakan hari produksi sama dengan petambak lainnya dimana rata-rata pada Tahun 2011 bisa mencapai 90 hari produksi tetapi yang membedakan mereka tidak terlalu mengamati proses produksi garam baik pengaliran air ke peminihan atau ke tempat meja garam. petambak garam pemilik-garap biasanya mereka melakukan 2 atau lebih mata pencaharian pada saat musim garam. Alternatif lain mengolah lahan pertanian atau menjadi buruh bangunan atau tani pada lahan orang lain. Jadi dengan 90 hari yang ada pada tahun 2011 intensif mereka optimal 50 hari. Hal ini berpengaruh terhadap produksi, disisi lain lahan mereka kecil dan jumlah hari yang digunakan tidak terlalu optimal maka hasilnya pun jauh dibawah petambak sewa dan petambak bagi-hasil. Pengalaman kegagalan pada tahun 2010 yang tidak bisa menghasilkan produksi garam menjadi beban mereka juga usaha garam. rasa ketakutan gagal panen masih menjadi alasan untuk tidak terlalu intensive dalam usaha garam. Jumlah tenaga kerja x 3 . Petambak pemilik-garap intensif menggunakan tenaga kerja sendiri dan anggota keluarga. Hanya pada tahap awal jika diperlukan mereka gunakan tenaga kerja luar. Oleh karena itu jika dibandingkan dengan faktor produksi lain resepon tenaga kerja paling kecil berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Jumlah air laut x 4 . Pengadaan air laut pada area tambak umumnya menggunakan bosem yang ada pada area lahan sewa atau bagi-hasil. Bergabungnya dalam pemanfaatan air menjadi kemudahan mereka dan rendahnya kebutuhan biaya pengadaan bahan bakar. Air laut yang dialirkan hanya setengah dari kebutuhan petambak sewa dan bagi-hasil sekitar 9 ribu liter per hari untuk memenuhi kebutuhan 0.5 hektar. Tabel 18. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Pemilik-garap dengan Metode OLS Variabel input Parameter Koefisien st-error t-rasio Intersep β 11.384 3.574 3.185 Luas lahan β 1 0.699 0.117 6.003 Jumlah hari produksi β 2 0.179 0.869 0.206 Jumlah tenaga kerja β 3 0.113 0.104 1.091 Jumlah air laut β 4 0.161 0.148 1.090 Sigma Squared   0.018 Log Likelihood LR 20.182 R-Square R 2 0.955 Return to-Scale ∑  i 1.153 F-hitung 9.17 Nyata taraf α 10, Nyata taraf α 5 dan Nyata taraf α 1

7.2.1.2. Pendugaan Fungsi Produksi Metode MLE antar Kelompok Petambak

Tabel 19 memperlihatkan hasil pendugaan stochastic frontier dengan menggunakan empat variabel penjelas. Fungsi produksi stochastic frontier ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengukur efisiensi alokatif dan ekonomis yang diturunkan menjadi fungsi biaya dual. Pendugaan dilakukan dengan metode Maximum Likelihood MLE sesuai yang disarankan oleh Coelli, et al., 2005. Tabel 19, Tabel 20 dan Tabel 21 di bawah memperlihatkan hasil pendugaan stochastic frontier dengan menggunakan 4 variabel penjelas. Hasil pendugaan dapat menggambarkan kinerja terbaik dari petambak dengan teknologi yang ada. Pemaparan masing-masing dari fungsi produksi petambak dengan penedekatan MLE dipaparkan di berikut ini. 1. Petambak Sewa Parameter dugaan pada fungsi produksi stochastic frontier menunjukan nilai elastisitas produksi frontier dari input-input yang digunakan koefisien dalam fungsi produksi. Nilai ini juga sebagai pangkat fungsi cobb-douglas dari masing- masing input yang digunakan. Parameter dugaan dari petambak sewa terdiri dari lahan 0.867, jumlah hari produksi 1.771, jumlah tenaga kerja 0.241 dan jumlah air laut 0.020. Dari 4 variabel faktor produksi ini luas lahan dan jumlah hari produksi signifikan nyata pada taraf α 0.01. Berbeda dengan pendekatan OLS dimana 3 variabel produksi signifikan secara statistik dimana tenaga kerja masih signifikan terhadap produksi. Jika salah satu input produksi ditingkat 10 persen dan input lain tetap, maka akan terjadi peningkatan 8.67 persen jika lahan ditingkatkan, 17.71 persen jika hari produksi ditingkatkan, meningkat 2.41 persen jika tenaga kerja ditambahkan, dan 0.20 persen jika air laut ditambah. Nilai RTS dari pendekatan MLE sebesar 2.899 hal ini nilai RTS MLE lebih besar dibandingkan dengan OLS 2.670 sebagai fungsi rata-rata artinya petambak sudah lebih dari batas frontier rata-rata produksi dimana hal tersebut dipengaruhi oleh efek in-efisiensi dan noise gangguan dari luar yang sama-sama memberikan keuntungan maksimal dalam produksi garam. Pada tahun 2011 menurut petambak sewa mereka sudah melakukan produksi secara maksimal. Begitupun dengan kondisi kualitas musim kemarau jumlah hari maksimal sebanyak 4 bulan dengan tingkat curah hujan dan kualitas terik matahari sangat menguntungkan untuk melakukan proses evaporasi produksi garam. Table 19. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Sewa dengan Metode MLE Variabel input Parameter Koefisien st-error t-rasio Intersep β 2.884 0.965 2.990 Luas lahan β 1 0.867 0.188 4.619 Jumlah hari produksi β 2 1.771 0.221 7.997 Jumlah tenaga kerja β 3 0.241 0.175 1.377 Jumlah air laut β 4 0.020 0.028 0.688 Return to-Scale ∑  i 2.899 Log Likelihood 39.862 Nyata taraf α 10, Nyata taraf α, 5 dan Nyata taraf α, 1 2. Petambak Bagi-hasil Hasil pendugaan faktor produksi untuk petambak bagi-hasil dari variable yang diduga relevan, dari 4 variabel penduga, parameter luas lahan yang signifikan terhadap produksi. Dengan nilai parameter 1.116, paling besar dibandingkan dengan lainnya dimana jumlah hari produksi sebesar 0.270, jumlah tenaga kerja 0.035 dan jumlah air laut yang digunakan 0.051. Jika input produksi masing-masing ini ditingkatkan 10 persen dan lainnya tetap maka kontribusi dari peningkatan lahan akan meningkatkan produksi sebesar 11.6 persen, jika jumlah hari produksi ditingkatkan maka akan menambah produksi 2.7 persen dan lainnya berkontribusi dibawah 1 persen. Nilai Return to scale RTS pada petambak bagi-hasil sebesar 1.472 hampir mendekati dengan nilai RTS OLS 1.350. Petambak bagi-hasil sudah bisa mencapai produksi frontier-nya dimana hal ini dipengaruhi oleh variable lahan. Table 20. Pendugaan Fungsi Produksi Bagi-hasil dengan Metode MLE Variabel input Parameter Koefisien st-error t-rasio Intersep β 10.043 0.960 10.461 Luas lahan β 1 1.116 0.060 18.593 Jumlah hari produksi β 2 0.270 0.232 1.162 Jumlah tenaga kerja β 3 0.035 0.059 0.593 Jumlah air laut β 4 0.051 0.039 1.286 Return to-Scale ∑E i 1.472 Log Likelihood 26.440 Nyata taraf α 10, Nyata taraf α 5 dan Nyata taraf α 1 Petambak bagi-hasil bisa mengoptimalkan hampir sampai batasa frontier dipengaruhi oleh faktor in-efisiensi dan faktor luat yang sama-sama memberikan keuntungan terhadap produksi. Dengan asumsi kondisi faktor luar yang sama berpengaruh terhadap produksi rata-rata, perbedaan nilai RTS disebabkan oleh efek in-efisiensi yang sedikit memberikan keuntungan produksi dibandingkan dengan petambak sewa. 3. Petambak Pemilik-garap Hasil pendugaan faktor produksi untuk petambak pemilik-garap dari variable yang diduga relevan, ternyata tidak ada yang signifikan terhadap faktor produksi garam. Berbeda dengan pendekatan OLS dimana luasan lahan signifikan terhadap produksi walapun pada taraf α 0.05. Dari 4 variabel tersebut, 3 bernilai positif dan 1 negatif yaitu jumlah hari produksi. Nilai Return to scale RTS pada petambak pemilik-garap sebesar 0.928 dibawah nilai RTS OLS sebesar 1.153. Nilai ini berhubungan dengan optimalisasi penggunaan input produksi yang dipengaruhi oleh efek in-efisiensi yang cenderung tidak menguntungkan terhadap produksi, sedangkan tingkat gangguan luar sama-sama menguntungkan pada musim produksi tahun 2011 baik pada petambak sewa dan bagi-hasil. Petambak pemilik-garap belum bisa mencapai produksi frontiernya dimana hal ini dipengaruhi oleh variable lahan dan penggunaan hari produksi yang masih dibawah fungsi frontiernya. Table 21. Pendugaan Fungsi Produksi Pemilik-garap dengan Metode MLE Variabel input Parameter Koefisien st-error t-rasio Intersep β 11.425 1.151 9.927 Luas lahan β 1 0.577 0.461 1.250 Jumlah hari produksi β 2 -0.138 1.879 -0.073 Jumlah tenaga kerja β 3 0.149 0.125 1.194 Jumlah air laut β 4 0.340 1.094 0.311 Return to-Scale ∑E i 0.928 Log Likelihood 20.182 Nyata taraf α 10, Nyata taraf α 5 dan Nyata taraf α 1 Petambak bagi hasil sudah bisa mengerahkan tenaga kerja baik dirinya sendiri atau anggota keluargnya tetapi karena keterbatasan lahan sehingga berdampak pada penggunaan hari produksi yang tidak sebandingkan dengan hasil produksi yang optimal para batas frontiernya. Dengan nilai RTS mendekati satu yaitu constant return to scale, hal ini artinya walaupun input produksi ditingkatkan tidak berdampak pada peningkatan produksi garam. Fakta empirik dapat diamati bahwa petambak pemilik-garap tidak terlalu mengejar keoptimalan dalam usaha garam. Petambak ini hanya memanfaatkan musim kemarau dialihkan ke usaha garam dengan memanfaatkan inputan yang seadanya. Ketika kecenderungan tidak menguntungkan, petambak tidak melanjutkan usahanya dan beralih ke usaha lain yang cenderung memanfaatkan lahan darat. Dengan lahan yang sedikit biasanya mereka mengalihkan kepada petambak lain yang statusnya petambak sewa untuk meneruskan usaha garam di lahannya. 7.2.2. Respon antar Faktor Produksi terhadap Produksi Garam 1. Respon Ukuran Lahan Farm Size terhadap Produksi Garam antar Kelompok Petambak Gambar 11 menunjukkan respon ukuran lahan terhadap output produksi dimana variable lain tetap tingkat produksi akan mengalami peningkatan konstan tetap ketika lahan terus ditingkatkan. Sedangkan nilai dari produk marjinal Marjinal Production of LandMPLn dan produk rata-rata lahan Average procution of landAPLn Gambar 12 dan Gambar 13 terus menurun. Kondisi sekarang petambak dalam tingkat increasing return to scale, semua petambak masih bisa meningkatkan luasan lahan untuk meningkatkan produksi sampai pada tingkat produk rata-rata maksimum antara 4 sampai 5 hektar. Perberdaan ini salahsatunya adalah karakteristik dan luasan dari lahan yang dikelola oleh petambak terutama serta hasil pengolahan pengerasan lahan pada waktu awal persiapan lahan. Pada Gambar 11 salah satu yang menjadi pembeda adalah nilai konstanta atau intesep dan nilai elastisitas dari lahan pada masing-masing fungsi produksi petambak. Nilai intersep ini juga mencerminkan kekuatan teknologi yang ada pada masing-masing petambak. 20 15 10 5 350 300 250 200 150 100 50 Luas lahan ha Ou tp ut t on Sewa Bagi-hasil Milik -garap Gambar 11. Respon Respon Lahan Terhadap Produksi Garam 20 15 10 5 50 40 30 20 10 Luas lahan ha Pr od uk si to n Sewa Bagi-hasil Milik -garap Gambar 12. Respon lahan terhadap produksi rata-rata Average Production of Land 20 15 10 5 60 50 40 30 20 10 Luas lahan ha Pr od uk si to n Sewa Bagi-hasil Milik -garap Gambar 13. Respon lahan terhadap produksi marjinal Marjinal Production of Land

2. Respon Tenaga Kerja Labour terhadap Produksi Garam antar Kelompok Petambak

Hasil analisis pada Gambar 14. menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja mersepon terhadap tingkat produksi pada masing-masing petambak dimana semakin mengarah kepada tingkat produksi yang konstan. Gambar 15 dan Gambar 16 pula menunjukkan respon tenaga kerja terhadap marjinal produk tenaga kerja dan rata-rata produk tenaga kerja dimana nilai marjinal produk dan rata-rata terus menurun. Perbedaan tingkat elastisitas dari tenaga kerja pada kelompok petambak menjadikan tingkat produksi yang berbeda-beda. Adanya kesenjangan nilai ini menunjukkan bahwa petani pada kelompok petambak bagi-hasil dan pemilik-garap tidak mencapai tingkat output optimal. Dengan jumlah alokasi yang sama menghasilkan tingkat produksi yang 16 14 12 10 8 6 4 2 200 150 100 50 Tenaga Kerja Pr od uk si to n Sewa Bagi Hasil Milik -Garap berbeda. Indikasi lain bahwa teknologi pada kelompok petambak sewa paling padat karya. Kondisi kinerja dicirikan dengan tingkat produksi konstant, MPL dan APL yang semakin menurun sesuai persepsi dari kajian Ellis 1993 dimana skala produksi pertanian di negara yang belum maju cenderung konstan. Implikasi dari hasil ini adalah bahwa petani akan kehilangan efisiensi produksi jika mereka meningkatkan skala produksi. Gambar 14. Respon Tenaga Kerja terhadap produksi Gambar 15. Respon Tenaga kerja terhadap produksi rata-rata Average Production of Labour 16 14 12 10 8 6 4 2 16 14 12 10 8 6 4 2 Tenaga Kerja Pr od uk si to n Sewa Bagi-hasil Pemilik -garap 16 14 12 10 8 6 4 2 90 80 70 60 50 40 30 20 10 Tenaga Kerja Pr od uk si to n Sewa Bagi-hasil Pemilik -garap Gambar 16. Respon tenaga kerja terhadap produksi marjinal Marjinal Production of Labour Peningkatan skala produksi yang paling mungkin dengan meningkatkan penguasan lahan dan tenaga kerja. Tiga pendekatan antara OLS dan MLE menghasilkan hampir sama dalam skala pengembalin RTS. Elastisitas produksi ukuran lahan dan tenaga kerja yang diperoleh dari OLS hampir sama dengan yang diperoleh dari OLS. Fungsi Cobb-Douglas tampaknya menjadi konsisten dan fungsi yang sesuai untuk menilai teknologi produksi pada kelompok petambak yang berbeda-beda. Karakteristik yang membedakan dalam pemakaian tenaga harus dilakukan optimalisasi padat karya pada tahap awal untuk mengolah lahan yang siap dan sesuai untuk proses percepatan kristalisasi garam.

VIII. ANALISIS EFISIENSI TEKNIS ALOKASI DAN EKONOMI

Jika fungsi produksi ditentukan oleh penggunaan input-inputnya maka fungsi in-efisiensi ditentukan oleh faktor lain selain input. Variable yang diduga mempengaruhi inefisiensi sebagai aspek managerial input dalam penelitian ini yaitu variable individu petani umur dan pendidikan, variable karakteristik dan teknik usaha garam pengalaman usaha, penggunaan pompa, variable karakteristik tambahan input zat aditif dan pompa, variable kinerja usaha tani penerimaan pendapatan usaha garam, karakteristik kelembagaan akses ke lembaga keuangan formal dan non-formal, serta keaktifan dalam kelompok tani dibawah koperasi atau program pemerintah. Output fungsi inefisiensi ini merupakan hasil simultan yang diolah bersamaan dengan fungsi produksi karena yang digunakan yaitu fungsi cob-douglas dengan metode MLE. Pendugaan dengan metode MLE menghasilkan fungsi produksi yang dianggap fit karena memenuhi asumsi Cobb-douglas pada masing-masing karakteristik petambak garam. Seluruh nilai log lielihood dengan metode MLE lebih besar dari nilai log likelihood dengan metode OLS, nilai sigma-squared yang menunjukan distribusi dari error tern inefisiensi u i adalah cukup kecil, dan nilai gamma yang mendekati 1 yang menunjukan bahwa error term hanya berasal dari akibat inefisiensi u i dan bukan berasal dari noise v i . Adapun rincian output stochastic frontier selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. 8.1. Analisis Efisiensi Teknis Usaha Garam Rakyat 8.1.2. Sebaran Efisiensi Teknis Untuk melihat sebaran efisiensi teknis yang disebabkan adanya efek in- efisiensi pada petambak garam dapat dilihat pada tabel di bawah. Sebagai perbandingan benchmark, hasil penelitian Osborne and Trueblood 2006; Kusnadi, et al., 2011, Shing and Sharma 2011, menunjukkan bahwa nilai indeks efisiensi hasil analisis dikategorikan cukup efisien jika lebih besar dari 0.70. Hal sesuai yang disarankan oleh Coelli and Battese 1998 nilai tersebut sebagai batas minimal dari efisiensi. Berdasarkan Tabel 22 sebaran efisiensi teknis rata-rata dari kelompok petambak berbeda. Tingkat efisiensi rata-rata pada petambak sewa 0.91, dengan tingkat efisiensi teknis maksimal paling tinggi 0.99 dan paling rendah 0.72. Jika dilihat dari hasil tersebut tingkat produksi petambak sewa sudah efisien. Bagi petambak sewa dengan tingkat efisiensi paling rendah masih bisa memiliki ruang untuk meningkatkan produksinya dari sisi efisiensi sebesar 27 persen. Sedangkan bagi petambak yang paling tinggi hanya 8 persen saja bisa dilakukan peningkatan. Table 22. Sebaran Efisiensi Teknis Petambak Responden Efisiensi Teknis Interval Sewa Bagi hasil Milik Jumlah Jumlah Jumlah 0.01-0.10 0.11-0.20 0.21-0.30 0.31-0.40 0.41-0.50 0.51-0.60 1 2.86 0.61-0.70 26 74.29 5 16.67 0.71-0.80 4 11.43 4 11.43 8 26.67 0.81-0.90 8 22.86 3 8.57 8 26.67 0.91-1.00 23 65.71 1 2.86 9 30.00 Jumlah 35 100 35 100 30 100 Rata-rata 0.91 0.69 0.82 Maksimum 0.99 0.99 0.99 Minimum 0.72 0.58 0.62 Pada kelompok petambak bagi hasil nilai rata-rata efisiensi teknis mencapai 0.69. Sebanyak 74 persen dari petambak sampel masih dibawah 0.7 tingkat efisiensi teknisnya. Tingkat efisiensi paling tinggi sebesar 0.99 dan paling rendah 0.58. Petambak paling rendah masih bisa berpeluang meningkatkan produksi garam sebesar 41 persen, sedangkan bagi petambak dengan tingkat efisiensi teknis maksimal mereka sudah bisa meningkatkan efisiensi produksi dari rata-rata petambak bagi hasil sebesar 69.9 persen. Pada petambak pemilik- garap tingkat efisiensi teknis rata-rata mencapai 0.82 84 persen diatas batas minimal efisiensi. Pada petambak pemilik-garap paling rendah peluang meningkatkan efisiensi produksi masih tinggi sebesar 24 persen tinggi masih bisa meningkatkan efisiensi produksinya sebesar 17 persen. Jika tingkat efisiensi dihubungkan dengan tingkat produktifitas garam rakyat terjadi hubungan positif dimana jika efisiensi meningkat, maka tingkat produktifitas garam pun meningkat. Pada Gambar 17 dapat dilihat tingkat produktifitas petambak sewa terus meningkat dan rata-rata dalam kisaran 76 ton per hektar. 120 110 100 90 80 70 60 1.00 0.95 0.90 0.85 0.80 0.75 0.70 Produktifitas tonha Ef is ie ns i T ek ni s Jika dibandingkan antara Gambar 17, Gambar 18 dan Gambar 19 mengenai hubungan antara tingkat efisiensi teknis dan produktiitas masing- masing petambak semuanya berbanding positif. Rata-rata produktifitas petambak sewa mencapai 0.8 dengan rata-rata tingkat efisiensi 93 persen, petambak bagi- hasil mencapai 95 tonhektar dengan tingkat efisiensi mencapai 73 persen sedangkan petambak pemilik garap produktifitas mencapai 92 ton per hektar dengan tingkat efisiensi mencapai 85 persen. Jadi kelompok petambak bagi-hasil peluang untuk terus meningkatkan lahan akan bisa meningkatkan efisiensi produksi untuk menghasilkan kuantitas garam yang lebih banyak karena mereka bisa mencapai tingkat produktifitas lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Gambar 17. Hubungan antara Produktifitas dengan Efisiensi Teknis Petambak Sewa Perbedaan tingkat produksi dan produktifitas terhadap tingkat efisiensi teknis pada petambak sewa memiliki tingkat slove berbeda. Tingkat produksi lebih elastis dibandingkan dengan tingkat produktifitas terhadap tingkat efisiensi teknis. Hal ini berhubungan dengan tingkat optimalisasi lahan yang sudah tercapai pada petambak sewa. Jadi ketika terjadi penambahan tingkat luasan lahan akan tidak terlalu elastis terhadap tingkat produktifitas. Dengan rata-rata tingkat produksi mencapai 80 ton per hektar dari penggunaan rata-rata lahan 4 hektar. Sedangkan pada petambak bagi-hasil terlihat pada Gambar 20 tingkat elasitisitas lebih besar dibandingkan dengan petambak sewa. Petambak bagi hasil rata-rata mengelola lahan 3 hektar dengan tingkat produktifitas mencapai 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0.725 0.700 0.675 0.650 0.625 0.600 Produktifitas tonha Ef is ie ns i T ek ni s 250 200 150 100 0.90 0.85 0.80 0.75 0.70 0.65 0.60 Produktifitas tonha Ef is ie ns i T ek ni s 85 ton per hektar. Jadi peluang meningkatkan efisiensi dan produksi melalui penambahan lahan masih bisa dilakukan pada petambak bagi-hasil. Gambar 18. Hubungan antara Produktifitas dengan Efisiensi Teknis Petambak Bagi-hasil Gambar 19. Hubungan antara Produktifitas dengan Efisiensi Teknis Petambak Pemilik-garap Jika dibandingkan dengan petambak pemilik-garap, tingkat produksi dan produktifitas petambak ini masih dibawah petambak bagi-hasil. Petambak pemilik-garap yang bisa dikatakan asal-asalan dalam proses pembuatan garam tentunya akan menghasilkan produksi yang lebih rendah. Dengan kepemilikan lahan 0.5 hektar dengan tingkat produktifitas rata-rata hanya mencapai 80 ton per hektar. Hal ini sama sejalan dengan model produksi yang dipaparkan sebelumnya bahwa tingkat elastisitas input produksi lahan terhadap pada petambak bagi-hasil lebih elastis dibandingkan petambak lainnya. Fakta empirik dilapangan juga menggambarkan hal yang sama pada petambak bagi-hasil dimana mereka berkeinginan untuk menambah lagi lahan jika ada lahan yang berdekatan. Petambak yang ada di Kecamatan Kandang haur melakukan penggarapan lahan yang sangat berdekatan. Hal ini bertujuan untuk kemudahan melakukan pengontrolan proses produksi. Gambar 20. Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada Petambak Sewa Gambar 21. Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada Petambak Bagi-hasil Gambar 22. Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada Petambak Pemilik-garap Dengan menggunakan pendekatan sebaran karnel density dapat dilihat pada Gambar 20, Gambar 21 dan Gambar 22 sebaran tingkat efisiensi pada masing-masing kelompok petambak dimana petambak sewa Gambar 20 kecenderungan sudah mencapai tingkat efisiensi sama halnya dengan petambak pemilik-garap Gambar 21. Sedangkan pada petambak bagi-hasil Gambar 22, grafik karnel density cenderung multi-modial yang menyebar dengan kepadatan berada pada kelompok tingkat efisiensi antara 0.6-0.7 dan mendekati 1.0. Penyebaran tingkat efisiensi relatif dipengaruhi sumber in-efisiensi yang berdampak pada tingkat efisiensi teknis bagi-hasil masih rendah dibanding dengan petambak sewa dan pemilik-garap disebabkan 3 hal yang signifikan dalam peningkatan efisiensi yaitu : 1 pendapatan usaha garam yang nantinya akan dibagihasilkan dengan pemilik lahan 70:30 antara petambak dengan pemilik lahan. Jika ingin meningkatkan efisiensi dari sisi pendapatan salah satunya adalah diturunkannya bagi hasil atau ditingkatkannya produksi, 2 manajerial usaha dari pengalaman usaha garam yang selama ini dilakukan denagn tidak berpengaurhnya pengalaman usaha dan tidak berpengaruhnya keikutsertaan dalam kelompok petambak garam menyebabkan berbeda- bedannya tingkat efisiensi teknis. 3 penggunaan zat aditif ramsol yang bisa meningkatkan kuantitas produksi garam dipakai oleh sebagian kelompok petambak sewa. Hal ini untuk mengimbangi luasan lahan yang dikelola yang cenderung menurunkan efisiensi teknis.

8.1.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis petambak responden menggunakan model efek inefisiensi dari fungsi produksi stochastic frontier. Terjadinya efek in-efisiensi teknis dapat dilihat dari nilai gamma dimana nilai gamma petambak sewa yaitu 0.801, petambak bagi-hasil 0.990 dan petambak pemilik-garap 0.990. Nilai gamma yang mendekati 1 diinterpretasikan bahwa seluruh error term adalah sebagai akibat dari efeke in-efisiensi dan sebaliknya jika gamma mendekati nol diinterpretasikan bahwa error term berasal dari noise Kusnadi, et al., 2011, seperti cuaca, tingkat keceptan angin, kualitas terik matahari. Bahkan hasil penelitian Boshrabadi, et al., 2006 menunjukkan bahwa nilai gamma adalah satu. Hal ini tidak menjadi persoalan di dalam studi efisiensi teknis produksi suatu komoditas pertanian. Menurut Trewin, et al., 1995; Masdjidin dan Sumaryanto 2003; Saptana, et al., 2010; Guesmi, et al., 2012 nilai gamma yang mendekati 1 ditegaskan interpretasinya sangat baik karena error term hanya berasal dari inefisiensi yang berhubungan dengan manajerial usaha serta faktor lain menyangkut karakteristik sosial dan ekonomi. Sebaran efek in-efisiensi pada masing-masing petambak akan dipaparkan di bawah ini.

1. Petambak Sewa

Nilai log likelihood dengan metode MLE masing-masing kelompok petambak adalah lebih besar dari nilai likelihood dengan metode OLS yang berarti fungsi produksi dengan metode MLE ini adalah baik dan sesuai dengan kondisi dilapangan dimana nilai log likelihood MLE petambak sewa 48.650 sedangkan OLS 39.862. Interpretasi dengan diagnostic statistic ini adalah menunjukan bahwa model MLE yang dibangun menunjukan best fit keragaan yang baik dan sesuai menurut kondisi dilapangan dengan memasukan efek in- efisiensi sebagai gangguan internal dalam produksi. Uji hipotesi lain untuk menguji signifkansi dari efek in-efisiensi yaitu uji likelihood ratio yang dibandingkan dengan indeks kodde-Palm, dimana hipotesa nol akan ditolak jika likelihood ratio lebih besar dari pada chi-square. Berdasarkan Tabel 22 di bawah dihasilkan nilai LR Ratio untuk petambak sewa 17.577. sehingga hasilnya menolak hipotesa nol yang artinya fungsi cobb- douglas yang dibentuk dapat menangkap kinerja dan perilaku sebagai efek in- efisiensi dari usaha garam untuk petambak sewa yang ada di Kabupaten Indramayu. Sama halnya dari hasil penelitian Saptana, et al., 2010 pada komoditas cabai dimana nilai LR-ratio lebih besar dari Chi-suare dengan memasukan faktor risiko sebagai sumber in-efisiensi mempengaruhi terhadap efisiensi petambak. Fungsi inefisiensi dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai rata-rata efieinsi mean technical efficiency yang dicapai pada petambak sewa mencapai 0.911 atau 91.1 persen sehingga masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi pada teknologi yang sama sebesar 8.9 persen untuk petambak sewa, melalui pembenahan faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi efisiensi. Dari 10 variabel sumber efek in-efisiensi petambak sewa ada yang signifikan dan ada yang tidak signifikan terhadap efisiensi produksi. Hal ini karena setiap sumber in- efisiensi berbeda-beda pengaruhnya. Sumber dari efek in-efisiensi terdiri dari sebagai berikut : Umur Z 1 . Faktor umur dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan bertanda positif + terhadap efisiensi teknis. Pada kelompok petambak sewa efek umur bertanda positif +, tetapi hasil uji statistik ternyata faktor tersebut tidak berpengaruh pada taraf nyata α 0.01 bahkan α 0.05. Tanda positif untuk faktor umur ini diinterpretasikan bahwa semakin bertambah umur maka semakin bertambah tingkat in-efisiensi teknisnya sehingga semakin bertambah umur semakin tidak menguntungkan terhadap efisiensi produksi garam. Walaupun secara statistik tidak signifikan, umur merupakan faktor utama dalam karakteristik petambak. Semakin bertambah umur seharusnya lebih bisa meningkatkan efisiensi produksi tetapi kondisinya kebalikannya. Untuk petambak yang berstatus sewa, umur yang masih rata-rata sekitar 40 an banyak ditemukan masih semangat dalam proses usaha garam. Semakin meningkatkan umurnya logikanya semakin meningkat pengalamannya tetapi petambak sewa biasanya mereka enggan untuk melakukan usaha garam secara sewa. Hal ini berhubungan dengan risiko yang ditanggung, semakin meningkat umur petambak sewa, tingkat risiko yang ditanggung semakin menurun. Dampak umur juga dalam rumah tangga berhubungan terhadap manajerial dan pengambilan keputusan dalam usaha. Rumah tangga muda dan rumah tangga berusia lebih efisien daripada tengah umur bertentangan dengan apa yang diharapkan rumah tangga. Alasan yang mungkin untuk perilaku ini bisa menjadi terkait dengan proses reproduksi dan komposisi keluarga rumah tangga di mana rumah tangga paruh baya memiliki tanggungan lebih dari pekerja dan karena itu cenderung menerapkan keputusan