Pendapatan income usaha garam Z
7
. Pendapatan usaha dimasukan
dalam efek in-efisiensi karena faktor tersebut berhubungan dengan manajemen pengelolaan keuangan termasuk pengelolaan input produksi. Pendapatan dalam
usaha garam ini berhubungan dengan faktor harga yang berfluktuasi, sehingga berdampak pada pendapatan yang berbeda-beda dalam tiap bulan atau bahkan
tiap kali penjualan. Faktor pendapatan yang bertanda negatif dan signifikan taraf nyata α 0.05, mengartikan bahwa semakin meningkat pendapatan maka
meningkat pula efisiensinya. Pada Gambar 24 dapat dilihat bahwa semakin
meningkat pendapatannya maka semakin meningkat pula tingkat efisiensi teknisnya. Pada petambak sewa pendapatan usaha garam ini mereka sekitar Rp
39 juta dengan terendah Rp 12 juta dan tertinggi Rp 61 juta. Perbedaan pendapatan ini karena perbedaan ukuran pengolahan lahan dan harga jual yang
diterima oleh masing-masing petambak data pendapatan dihasilkan dari pencatatan petambak selama musim Tahun 2011 dengan berbagai tingkat harga
jual. Walaupun informasi harga yang diterima oleh petambak tidak bisa didapatkan informasinya tetapi beberapa petambak mencatat pendapatan
penjualan garam.
Gambar 24. Hubungan antara Pendapatan dengan Efisiensi Teknis Petambak Sewa
Akses Kredit Z
8
. Faktor akses kredit sebagai faktor yang dimasukan
pada model efek in-efisiensi hal ini karena diduga dengan adanya akses pinjaman modal akan meningkatkan efisiensi karena peluang untuk mengolah
inputan sesuai yang dibutuhkan tercapai. Fakta ini tidak signifikan pada petambak sewa, sedangkan hubungannya antara peningkatan ketersediaan
70 60
50 40
30 20
10 1.0
0.9 0.8
0.7 0.6
Pendapatan dalam juta
Ef is
ie ns
i T ek
ni s
modal atau bisa akses terhadap pembiayaan bisa meningkatkan terhadap efisiensi produksi. Petambak sewa rata-rata yang ditemukan banyak yang tidak
melakukan akses pembiayaan kepada kelembagaan keuangan atau perbankkan. Mereka hanya mengandalkan modal pribadi saja.
Secara karakteristik sosial, petambak sewa unumnya termasuk petambak yang memiliki kekayaan yang besar. Banyak petambak sewa yang hanya
memegang satu orang untuk mengatur mengelola garapan lahan garam sedangkan dirinya sendiri hanya mengontrol kondisi produksi. Seperti yang
dilakukan oleh pengurus-pengurus Koperasi Soromadu Desa Santing Kecamatan Losarang, rata-rata mereka mengelola lahan sawa 5 hektar dan bahkan ada
yang mencapai 10 hektar dengan menunjuk 2 orang pengolah lahan dengan tetap yang mengelola keuangan dirinya sendiri.
Pemakaian zat Aditif Z
9
. Faktor penggunaan zat aditif yang digunakan
untuk usaha garam, disertakan ke dalam model efek inefisiensi teknis dengan dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Pendugaan tersebut tidak sesuai dengan
harapan yang terjadi pada seluruh kelompok petambak dimana penggunaan zat aditif berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis dan dengan nilai parameter
mendekati nol. Petambak sewa sebetulnya adaptif terhadap tambahan-tambahan
teknologi dalam produksi. Tetapi karena zat aditif yang selama ini baru saja diperkenalkan dan rata-rata petambak lain mendapatkannya secara gratis karena
pemberian program PUGAR, maka pada petambak sewa masih jarang menggunakan zat aditif secara besar-besaran. Uji coba yang sudah mereka
lakukan pada tahun 2010 tidak terlalu signifikan mereka rasakan terhadap produksi dan keuntungan, sehingga pada tahun 2011 mereka tidak
menggunakan kembali zat aditif ramsol. Alasannya akan menambah lagi biaya produksi dimana setiap hari mereka harus mengeluarkan 1 bungkus ramsol yang
rata-rata mencapai Rp. 1500 per bungkus. Secara politis mereka berpikir juga dengan menggunakan ramsol yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah dan
oleh satu orang yang ditunjuk langsung oleh dinas untuk mempromosikan ramsol dirasa akan menjadi ketergantungan bagi petambak. Program pengadaan ramsol
hanya menjadi sumber keuntungan bagi segelintir pihak dinas terkait dari hasil mempromosikan ramsol.
Tabel 23. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Petambak Sewa Cash rent
Efek In-efisiensi Parameter
Koefisien St-error
t-ratio
Intersep 0.194
0.203 0.957
Umur
1
0.003 0.003
0.975 Pendidikan
2
-0.011 0.016
-0.687 Pengalaman
3
-0.003 0.006
-0.446 Jumlah anggota keluarga
4
-0.022 0.025
-0.863 Ukuran lahan
5
0.254 0.127
2.008 Lama keanggotaan kelompok
6
0.011 0.025
0.448 Pendapatan
7
-0.006 0.003
-2.032 Akses kredit
8
-0.012 0.001
-1.324 Pemakaian aditif dummy
9
0.000 1.000
0.000 Penggunaan mesin pompa air
dummy
10
-0.069 0.060
-1.159 Sigma squared
0.005
0.003 1.699
Gamma
0.801 0.144
5.570 Log Likelihood
17.577 LR Test one sided error
48.650 Rata-rata efisiensi
0.911
Nyata taraf α 10, Nyata taraf α 5 dan Nyata taraf α 1
Penggunaan mesin pompa air Z
8
. Faktor penggunaan mesin yang
digunakan untuk mengalirkan air laut untuk mengisi saluran irigasi petakan di area pinggiran peminihan usaha garam disertakan ke dalam model efek
inefisiensi teknis dengan dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Seluruh tanda untuk faktor penggunaan pompa dalam efek in-efisiensi ini bertanda negarif
artinya dengan menggunakan pompa bisa meningkat tingkat efisiensinya karena hal mereka tidak perlu mengeluarkan waktu untuk kontrol terhadap saluran irigasi
dan mengalih-alihkan kincir angina, dan tidak perlu menambah tenaga kerja baik dari keluarga atau dari luar untuk melakukan ngobyok. Ngobyok artinya
mengambil air secara manual. Uji signfikansi dari faktor ini semuanya tidak berpengaruh nyata pada α 0.01 dan α 0.05. Petambak yang memiliki pompa
mesin sendiri untuk mengalirkan air lebih efisien karena tingkat aliran air laut bisa
diukur dengan kondisi lahan peminihan. Penggunaan pompa ini sama halnya dengan ketersediaan irigasi jauh dekatnya irigasi yang sering digunakan oleh
petambak padi. Banyak pompa digunakan oleh petambak yang cukup jauh kawasan lahannya dari irigasi skunder atau jauh dari penampungan air yang
disediakan oleh juragan. Pada penelitian usaha pertanian, faktor irigasi sangat penting dalam penyediaan air. Terlebih dalam usaha garam. Dengan adanya
infrastruktur irigasi petambak dapat tercukupi kebutuhan air untuk kualitas produksi pertanian Narala dan Zala, 2010; Khai dan Yabe, 2011.
2. Petambak Bagi-hasil
Nilai untuk petambak bagi-hasil MLE 45.801 sedangkan OLS 26.440. Interpretasi dengan diagnostic statistic ini adalah menunjukan bahwa model MLE
yang dibangun menunjukan best fit keragaan yang baik dan sesuai menurut kondisi dilapangan dengan memasukan efek in-efisiensi sebagai gangguan
internal dalam produksi. Dengan nilai gamma 0.999 dipastikan 99 persen error term dalam fungsi produksi berasal dari efek in-efisiensi.
Fungsi inefisiensi petambak bagi-hasil dapat dilihat pada Tabel 23 di bawah. Nilai rata-rata efieinsi mean technical efficiency yang dicapai pada
petambak bagi-hasil 0.697 atau 69.7 persen sehingga masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi bagi petambak ini dari strategi meningkatkan
efisiensi pada teknologi yang sama. Dari 10 variabel sumber efek in-efisiensi tingkat hubungan terhadap efek in-efisiensi berbeda-beda. Hal ini dipaparkan
berikut ini.
Sumber dari efek in-efisiensi terdiri dari sebagai berikut : Umur Z
1
. Faktor
umur dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan bertanda positif + terhadap efisiensi teknis. Pada kelompok petambak bagi-hasil bertanda negative
-. Hasil uji statistik ternyata faktor tersebut tidak berpengaruh pada taraf nyata α
0.01 ba hkan α 0.05. Bertanda negatif yang artinya pada kelompok petambak ini
semakin bertambah umur petambak akan meningkatkan efisiensi teknisnya. Hal ini dapat dijelaskan petambak bagi-hasil rata-rata sudah berumur hal ini karena
adanya turun-temurun usaha garam yang terikat dengan juragan tanah, dimana seiring dengan peningkatan usia petambak, kemampuan bekerja yang dimiliki,
daya juang dalam berusaha, keinginan dalam menanggung resiko dan keinginan menerapkan inovasi-inovasi baru juga semakin bertambah. Petambak bagi-hasil
yang berumur dewasa haus akan teknologi dan inovasi garam. Beberapa responden petambak yang sudah berumur tua selalu melakukan inovasi
terhadap keragaan tambahan. Seperti keragaan untuk membuat teknik ulir atau petakan ulir sebagai teknologi mempercepat evaporasi. Inovasi terhadap proses
pencucian atau inovasi bagaimana mendapatkan Kristal garam yang besar-besar sehingga dapat meningkat bobot garam krosoknya dengan cara menambahkan
zat impuritif ke dalam air tuah meja garam.
Pendidikan Z
2
. Faktor pendidikan adalah jumlah waktu tahun yang
dihabiskan petambak untuk menjalani masa pendidikan formalnya. Variabel ini
dianggap sebagai pendekatan dari kemampuan manajerial petambak. Semakin lama pendidikan petambak diduga semakin mendorong petambak untuk efisien
dalam proses produksi dan penggunaan input-input produksi. Tabel 23 di bawah menunjukkan bahwa lama pendidikan berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat
inefisiensi pada taraf nyata α 0.05. sedangkan pendidikan ini bertanda negatif. Tanda tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Fenomena ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditempuh petambak maka semakin tinggi kemampuan petambak untuk mengadopsi teknologi dan dapat menggunakan
input secara proporsional sehingga akan meningkatkan kinerja dalam berusahatani garam. Hal ini sama dengan penelitian Mynt dan Kyi 2005, dan
Kebede 2001. Menurut Kebede 2001, pendidikan meningkatkan kemampuan petambak untuk mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang
berguna tentang input-input produksi. Hal ini sejalan dengan Johansson 2007 dan Latruffe, et al., 2009 yang berpendapat bahwa efisiensi manajerial
meningkat dengan tingkat pendidikan, dan pengalaman sehingga menghasilkan tingkat yang lebih tinggi level produksinya. Petambak muda memiliki pendidikan
tinggi, lebih mampu mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi tentang praktek-praktek pertanian baru. Di sisi lain, rumah tangga tua memiliki akses ke
lebih banyak sumber daya lahan dan tenaga kerja dapat menerapkan usaha tambak yang direkomendasikan dipraktekkan dengan waktu yang tersedia.
Variabel pendidikan memberikan hasil yang beragam seperti yang diharapkan. Dampak pendidikan pada TE adalah negatif, yang konsisten dengan hipotesis
bahwa pendidikan rumah tangga kurang efisien jika pendidikan meningkat kembali petambak dari kegiatan non-pertanian, sehingga realokasi perhatian
atau manajemen usaha garam ke aktivitas non-pertanian.
Pengalaman Z
3
. Pada beberapa penelitian sebelumnya yang
menggunakan faktor umur sebagai sumber efek in-efisiensi di berbagai komoditas pertanian Alam, et al., 2012; Shanta, et al., 2012; Barkhsh dan
Hasan, 2012 bahwa pengalaman dianggap sebagai pendekatan dari umur dimana semakin bertambah umur maka pengalaman dalam usaha tersebut
meingkat dan hal ini mempengaruhi terhadap kinerja dan manajemen usaha. Begitu pun pada petambak ditemukan bahwa petambak yang berumur relatif tua
tidak selalu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari petambak yang lebih muda. Tabel 23 di bawah terlihat bahwa pengalaman petambak sewa bertanda
negatif. Bagi petambak bagi-hasil semakin lama berpengalam semakin
meningkat tingkat efisiensinya. Hasil uji statistik menyatakan faktor ini signifikan pada petambak bagi-hasil pada taraf nyata
α 0.05, dengan nilainya mendekati nol dengan interpretasi bahwa peningkatannya tidak terlalu cepat mengalami
perubahan terhadap kualitas pengalaman dan begitupun terhadap efek in- efisiensi. Perlu proses dan waktu untuk meningkatkan kualitas pengalaman.
Jumlah anggota keluarga Z
4
. Jumlah anggota keluarga menyangkut
kepada ukuran keluarga Household size yang berhubungan dengan keterlibatan anggota keluarga dalam usaha garam. Hal ini akan berpengaruh
karena dilihat dari fungsi produksinya hubungan tenaga kerja dengan produksi pada OLS dan MLE berhubungan positif. Tambahan tenaga kerja baik dari dalam
anggota keluaraga dan luar keluaraga berpengaruh positif. Sedangkan jika dihubungkan dengan efek in-efisiensi, faktor ini berpengaruh meningkatkan in-
efisiensi terhadap produksi pada petambak sewa akan menurunkan efek in- efisiensi. Dengan nilai parameter mendekati nol dan uji statistik tidak signifikan
baik pada taraf nyata α 0.01 atau α 0.05. Anggota keluarga yang dilibatkan dalam usaha umumnya masih berusia remaja dan masih usia sekolah,
sedangkan jika yang terlibat adalah anak yang sudah dewasa, mereka tidak terlalu termotivasi dalam keikutsertaan usaha garam, dengan anggapan
pekerjaan ini hanya sebatas membantu kepala keluarga untuk memanfaatkan waktu. Variabel ukuran keluarga negatif dan positif sama-sama berhubungan
dengan efisiensi teknis. Rumah tangga dengan keluarga besar lebih efisien, kemungkinan besar karena mereka berusaha untuk mencapai output yang lebih
tinggi untuk memenuhi persyaratan usaha garam. Rasio tanggungan dalam keluarga menyiratkan bahwa ada sedikit tenaga kerja tersedia untuk pekerjaan
anggota keluarga dalam kegiatan pertanian. Anak-anak di rumah tangga berusia cukup tua untuk kontribusi yang signifikan terhadap kegiatan pertanian rumah
tangga Bagamba, 2007.
Ukuran lahan farm size Z
5
. Ukuran lahan adalah salah satu yang
harus dimasukan pada efek in-efisiensi dengan alasan ukuran sebagai satuan untuk mengukur produktifitas dari curahan waktu pemakaian input dan
menajemen pengelolaan usaha Umoh, 2006; Obwona, 2006; Shehu, et al., 2010; Zulkuwi, 2010. Pada usaha garam rakyat di Kabupaten Indramayu untuk
kelompok petambak bagi-hasil signifikan terhadap in-efisiensi, dimana ketika kelompok petambak ini meningkatkan lahan dampaknya akan meningkatkan
efek in-efisiensinya atau sebaliknya dengan meningkatkan lahan akan
5 4
3 2
1 1.0
0.9 0.8
0.7 0.6
Luas lahan ha
Ef is
ie ns
i T ek
ni s
menurunkan efisiensi. Dengan rata-rata kelola lahan sekitar 1.9 hektar hampir mencapai 2 hektar sudah mencapai batas optimal untuk skala usaha garam
rakyat dengan pola bagi-hasil. Hal ini dapat dilihat juga pada Gambar 25 pengelolaan lahan paling besar sektiar 5 hektar sudah mencapai tingkat efisiensi
teknis, sedangkan petambak bagi-hasil yang mengelola di bawah 1.5 hektar tingkat efisiensi masih dibawah 0.7 atau 70 persen.
Gambar 25. Hubungan antara Luas lahan dengan Efisiensi Teknis Petambak Bagi-hasil
Lama keanggotaan dalam Kelompok Z
6
. Faktor keanggotaan dalam
kelompok petambak garam baik dibawah koperasi dan kegiatan program pemerintah bertanda negative terhadap inefisiensi pada petambak sewa dan
nyata pada taraf α 0,01. Dari sisi jumlah petambak garam, yang banyak menjadi kelompok petambak adalah kelompok petambak bagi-hasil, dan kelompok ini
banyak terlibat dalam kegiatan program PUGAR yang sedang dijalankan oleh pemerintah daerah. Dengan cukup sering bertemunya dengan pendamping atau
penyuluh pugar walaupun hanya sebatas pencatatan produksi dan pembagian bantuan langsung masyarakat berupa peralatan produksi seperti pompa, kincir
angin dan ramsol memberikan dampak pada peningkatan efisiensi teknis. Penyuluh dapat meningkatkan efisiensi melalui perubahan teknik produksi
garam, mekanisasi dan penggunaan tambahan teknologi serta peningkatan pengetahuan melalui training. Petambak sebetulnya banyak berharap dengan
adanya kelompok yaitu adanya kemudahan akses kredit pembiayaan modal dalam usaha garam. Beberapa tahun kebelakang digulirkan seperti PUGAR yang
memberlakukan pembentukan kelompok, tetapi hal ini belum berpengaruh terhadap efisiensi teknis petambak.
Pendapatan income usaha garam Z
7
. Pendapatan usaha dimasukan
dalam efek in-efisiensi karena faktor tersebut berhubungan dengan manajemen pengelolaan keuangan termasuk pengelolaan input produksi. Pendapatan dalam
usaha garam ini berhubungan dengan faktor harga yang berfluktuasi, sehingga berdampak pada pendapatan yang berbeda-beda dalam tiap bulan atau bahkan
tiap kali penjualan. Faktor pendapatan yang bertanda negatif pada seluruh kelompok petambak dan signifikan di taraf nyata α 0,01 mengartikan bahwa
semakin meningkat pendapatan maka meningkat pula efisiensinya. Data empirik
mencatat pendapatan petambak bagi-hasil rata-rata Rp. 42 juta dengan harga jual tentunya yang berbeda-beda juga tiap bulan. Pada 2 bulan awal panen
mereka mendapatkan harga yang lebih rendah dibandingkan menjelang akhir musim panen sedangkan produksi melimpah. Sebaliknya menjelang akhir
musim, harga jual meningkat sedangkan produksi makin menurun.
Gambar 26. Hubungan antara Pendapatan dengan Efisiensi Teknis Petambak Bagi-hasil
Bagi petambak bagi-hasil yang juragannya memiliki gudang, mereka bisa menyelamatkan hasil panen pada waktu puncak panen dengan disimpan
digundang. Dengan mengeluarkan biaya per satu kali penyimpanan per ton Rp 8 ribu rupiah mereka lebih memilih mengamankan dulu garam krosok dan akan
mereka jual ketika akhir musim garam atau ketika musim hujan. Manajemen
50 40
30 20
10 1.00
0.95 0.90
0.85 0.80
0.75 0.70
Pendapatan dalam juta
Ef is
ie ns
i T ek
ni s
stock sebagai strategi mendapatkan pendapatan lebih besar juga pernah disosialisasikan oleh koperasi dari bentukan program PUGAR. Pada tahun 2011
koperasi bisa mendapatkan stock garam mencapai 30 ton.
Akses Kredit Z
8
. Pada petambak bagi-hasil modal mereka disediakan
oleh para juragannya dan dalam hal ini mereka walaupun terikat tetapi tidak ada beban tanggung jawab terhadap pengembalian. Hal ini sama halnya yang
ditemukan oleh Idiong 2010 pada komunitas petambak padi di Nigeria, petambak kecil small farmer sering terikat dengan rentenir yang berpola
lembaga keuangan mikro micro finance institution. Tujuan awalnya adalah meningkatkan efisiensi mengolah inputan dengan optimal tetapi petambak dikejar
untuk mengembalikan pinjaman dengan tingkat bunga yang tinggi. Begitu pun penelitian Islam, et al., 2011 bahwa akses kredit pada petambak kecil
dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan rumah tangga petambak dan tidak terlalu signifikan terhadap pembiayaan yang dialokasikan untuk usaha.
Hal tersebut sesuai dengan empirik lapangan. Bagi petambak bagi-hasil ketergantungan terhadap pemilik modal sangat tinggi. Mereka sebetulnya sangat
berharap sekali dengan adanya program PUGAR bisa memberikan permodalan dalam produksi garam. Permodalan yang bisa mengurangi biaya produksi atau
juga BLM yang bisa meningkatkan produksi garam. Tetapi PUGAR tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.
Pemakaian zat Aditif Z
9
. Faktor penggunaan zat aditif yang digunakan
untuk usaha garam, disertakan ke dalam model efek inefisiensi teknis dengan dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Pendugaan tersebut tidak sesuai dengan
harapan yang terjadi pada petambak sewa dimana faktor tersebut tidak berpengaruh dengan nilai parameter mendekati nol.
Sama dengan petambak sewa yang berpengaruh positif terhadap inefisiensi. Dengan memakai ramsol bisa dikatakan tidak berpengaruh terhadap
efisiensi produksi. Alasan yang rasional pada petambak bagi-hasil mereka dengan menggunakan ramsol akan menambah pekerjaan dan menambah biaya
tentunya. Jika dihubungkan dengan kualitas mereka rasakan memang ada perbedaan sedikit tetapi ketika garam ramsol dijual, harga jual garam ramsol
sama saja dengan harga jual garam non-ramsol. Mereka berharap jika harga garam ramsol dihargakan lebih tinggi dan bisa menutupi biaya produksi,
petambak akan menggunakan ramsol sesuai dengan anjuran dari pemerintah dinas setempat..
Penggunaan mesin pompa air Z
10
. Faktor penggunaan mesin yang
digunakan untuk mengalirkan air laut untuk mengsisi saluran irigasi petakan di area pinggiran peminihan usaha garam disertakan ke dalam model efek
inefisiensi teknis dengan dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Uji signifikansi dari faktor ini ti
dak berpengaruh nyata pada α 0.01 dan α 0.05. Petambak yang memiliki pompa mesin sendiri untuk mengalirkan air lebih efisien karena tingkat
aliran air laut bisa diukur dengan kondisi lahan peminihan. Tabel 24. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Petambak Bagi-hasil Share rent
Efek In-efisiensi Parameter
Koefisien St-error
t-ratio
Intersep 0.372
0.217 1.714
Umur
1
-0.001 0.003
-0.359 Pendidikan
2
-0.003 0.011
-0.228 Pengalaman
3
-0.006 0.005
-1.782 Jumlah anggota keluarga
4
0.012 0.021
0.594 Ukuran lahan
5
0.128 0.034
3.810 Lama keanggotaan kelompok
6
-0.010 0.018
-0.564 Pendapatan
7
-0.002 0.000
-4.985 Akses kredit
8
0.000 0.000
0.336 Pemakaian aditif dummy
9
-0.002 0.001
-2.720 Penggunaan mesin pompa air
dummy
10
-0.015 0.083
-0.185 Sigma squared
0.006
0.003 2.014
Gamma
0.990 0.000
4.913 LR Test one sided error
38.722 Log Likelihood
45.801 Rata-rata efisiensi
0.697
Nyata taraf α 10, Nyata taraf α 5 dan Nyata taraf α 1
3. Petambak Pemilik-garap
Nilai untuk petambak bagi-hasil MLE 45.801 sedangkan OLS 26.440, dan untuk petambak pemilik-garap 27.142 sedangkan OLS 20.182.
Interpretasi dengan diagnostic statistic ini adalah menunjukan bahwa model MLE yang dibangun menunjukan best fit keragaan yang baik dan sesuai menurut
kondisi dilapangan dengan memasukan efek in-efisiensi sebagai gangguan internal dalam produksi.
Uji hipotesi lain untuk menguji signifkansi dari efek in-efisiensi yaitu uji likelihood ratio yang dibandingkan dengan indeks kodde-Palm, dimana hipotesa
nol akan ditolak jika likelihood ratio lebih besar dari pada chi-square. Berdasarkan Tabel 24 di bawah dihasilkan nilai LR Ratio untuk petambak sewa
17.577, petambak bagi-hasil 38.722 dan petambak pemilik-garap 13.920. Nilai LR Ratio tersebut lebih besar dibanding dengan nilai chi-square pada taraf nyata
α 0.01 sebesar 14.95 sehingga hasilnya menolak hipotesa nol yang artinya fungsi cobb-douglas yang dibentuk dapat menangkap kinerja dan perilaku
sebagai efek in-efisiensi dari usaha garam yang ada di Kabupaten Indramayu. Sama halnya dari hasil penelitian Saptana, et al., 2010 pada komoditas cabai
dimana nilai LR-ratio lebih besar dari Chi-suare dengan memasukan faktor risiko sebagai sumber in-efisiensi mempengaruhi terhadap efisiensi petambak.
Fungsi inefisiensi dapat dilihat pada Tabel 24. Nilai rata-rata efieinsi mean technical efficiency yang dicapai pada petambak sewa mencapai 0.823 atau
82.3 persen, petambak pemilik-garap bisa meningkatkan 17.7 persen untuk peningkatan produksi, melalui pembenahan faktor-faktor yang signifikan
mempengaruhi efisiensi. Dari 10 variabel sumber efek in-efisiensi masing- masing kelompok petambak berbeda dalam nilai signifikansinya.
Sumber dari efek in-efisiensi terdiri dari sebagai berikut : Umur Z
1
. Faktor
umur dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan bertanda positif + terhadap efisiensi teknis. Pada pemilik-garap efek umur bertanda positif +. Hasil
uji statistik ternyata faktor tersebut tidak berpengaruh pada taraf nyata α 0.01
bahkan α 0.05. Tanda positif untuk faktor umur ini diinterpretasikan bahwa semakin bertambah umur maka semakin bertambah tingkat in-efisiensi
teknisnya.
Pendidikan Z
2
. Faktor pendidikan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa
lama pendidikan berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat inefisiensi petambak pada taraf nyata α 0.01 dan α 0.05. Efek pendidikan yang bertanda positif dan
nilainya mendekati nol jika diartikan bahwa permasalahan pendidikan mempengaruhi terhadap peningkatan efisiensi. Hal ini sebetulnya tidak sesuai
dengan harapan yang dinginkan karena beberapa temuan hubungan pendidikan terhadap efisiensi produksi akan meningkatkan efisiensi karena berhubungan
dengan tingkat kecerdasan dalam pengelolaan usaha. Rata-rata petambak pemilik-garap berpendidikan rendah hanya lulusan sekolah dasar umumnya.
Pengalaman Z
3
. Faktor pengalaman pada petambak pemilik-garap
bertanda positif. Hal ini menunjukkan pada petambak pemilik-garap semakin berpengalaman, petambak semakin tidak efisien dalam berproduksi dan dalam
menggunakan input-input produksi. Hasil uji statistik menyatakan faktor ini tidak signifikan pada taraf nyata
α 0.05, dengan nilainya mendekati nol dengan
interpretasi bahwa peningkatannya tidak terlalu cepat mengalami perubahan terhadap kualitas pengalaman dan begitupun terhadap efek in-efisiensi. Pada
petambak pemilik-garap hasilnya ditemukan adanya faktor teknologi garam yang sudah lama tidak mengalami perubahan sehingga menjadi jenuh pada petambak
garam. Jadi walaupun petambak sudah pengalaman malah tidak berpengaruh terhadap teknis produksi atau dengan kebiasaan yang sudah dilakukan oleh
petambak garam pemilik-garap malah cenderung tidak efisien. Karena keterbatasan informasi dan sikap yang tidak terlalu membuka diri terhadap
inovasi teknologi garam menjadi mereka terbiasa dengan proses produksi yang sama.
Jika dihubungkan dengan pendidikan dan pengalaman semuanya yang bertanda positif hal ini memberikan gambaran bahwa sebetulnya dilapangan
usaha garam tidak dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman. Usaha yang dikatakan tidak terlalu menguras kecerdasan berpikir menjadikan usahanya
merupakan usaha yang berorientasi tidak terlalu menjamin mendapatkan keuntungan. Hanya mengandalkan tenaga dan keterampilan mengelola
evaporasi air menjadikan usaha ini menurut petambak tidak perlu pendidikan tinggi dan pengalaman. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian Kurniawan,
et al., 2008, Mariyah 2008, Jasila 2008 dan Babalola, et al., 2009 bahwa pengalaman berpengaruh positif terhadap inefisiensi. Alasan yang diungkapkan
petambak berpengalaman cenderung tidak efisien dalam menggunakan input atau perbaikan teknis lain karena kebiasaan atau tidak punya kekuatan lain untuk
perbaikan. Selain itu semakin lama mereka bertambak garam semakin mereka tidak terlalu memperbaiki proses produksi dan mereka melakukan produksi
hanya asal-asalan saja. Ketika mereka tidak memiliki modal pada awal musim kemarau, mereka membiarkan lahan yang sebelumnya dipakai budidaya ikan
menjadi lahan yang dikosongkan. Beberapa petambak pemilik-garap di Kandang Haur melakukan hal pembiaran terhadap lahan.
Jumlah anggota keluarga Z
4
. Jumlah anggota keluarga menyangkut
kepada ukuran keluarga Household size yang berhubungan dengan keterlibatan anggota keluarga dalam usaha garam. Pada petambak pemilik-
garap efek ini bertanda negative artinya bahwa semakin banyak keterlibatan anggota keluarga ikut dalam usaha garam maka tingkat efisiensi meningkat. Hal
ini berhubungan positif dengan jumlah tenaga kerja yang berdampak pada peningkatan produksi garam.
Seringnya anggota keluarga baik istrinya dan anaknya yang terlibat dalam usaha garam memiliki tujuan salahsatunya meningkatkan orang yang membantu
dalam proses teknis sehingga diprediksikan bisa mempercepat proses aliran pembuatan garam, sedangkan dilihat dari biaya akan mengurangi beban tenaga
kerja yang bisa dialokasikan untuk biaya lainnya, begitu pun anggota keluarga tidakhanya ikut dalam proses pembuatan garam tetapi terkadang membantu
dalam proses pengangkutan garam ke gudang. Tabel 25. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Pemilik-Garap Owner
Efek In-efisiensi Parameter
Koefisien St-error
t-ratio
Intersep -0.045
0.981 -0.045
Umur
1
0.010 0.015
0.688 Pendidikan
2
0.003 0.063
0.044 Pengalaman
3
0.011 0.019
0.604 Jumlah anggota keluarga
4
-0.104 0.533
-0.196 Ukuran lahan
5
-0.032 0.980
-0.032 Lama keanggotaan kelompok
6
0.022 0.098
2.222 Pendapatan
7
-0.012 0.020
-0.622 Akses kredit
8
0.002 0.020
1.848 Pemakaian aditif dummy
9
0.000 1.000
0.000 Penggunaan mesin pompa air
dummy
10
-0.224 0.515
-0.434 Sigma squared
0.035
0.025 1.719
Gamma
0.990 0.112
8.890 LR Test one sided error
13.920 Log Likelihood
27.142 Rata-rata efisiensi
0.823
Nyata taraf α 10, Nyata taraf α 5 dan Nyata taraf α 1
Ukuran lahan farm size Z
5
. Ukuran lahan adalah salah satu yang
harus dimasukan pada efek in-efisiensi dengan alasan ukuran sebagai satuan untuk mengukur produktifitas dari curahan waktu pemakaian input dan
menajemen pengelolaan usaha Umoh, 2006; Obwona, 2006; Shehu, et al., 2010; Zulkuwi, 2010. Bagi petambak bagi-hasil dan pemilik-garap masih ada
ruang penambahan untuk produksi jika lahan ditingkatkan. Alternatif penambahan lahan untuk petambak bagi-hasil adalah menambah luasan lahan
dengan cara bagi-hasil, sedangkan untuk petambak pemilik-garap dengan alternatif mengkombinasikan status lahan usaha antara milik dan sewa. Jika
dilihat dari Gambar 27, hubungan antara tingkat penguasaan lahan dan tingkat pencapaian efisiensi teknis berbanding positif. Semakin besar luasan lahan akan
1.1 1.0
0.9 0.8
0.7 0.6
0.5 0.4
0.3 0.2
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
Luas lahan ha
Ef is
ie n
si T
e kn
is
semakin tinggi tingkat efisiensinya. Jika dilihat dari sebarannya dengan rata-rata luasan lahan 0.5 hektar tingkat efisiensi sudah bisa mencapai 90 persen.
Gambar 27. Hubungan antara Luas lahan dengan Efisiensi Teknis Petambak Pemilik-garap
Lama keanggotaan dalam Kelompok Z
6
. Faktor keanggotaan dalam
kelompok petambak garam baik dibawah koperasi dan kegiatan program pemerintah bertanda positif terhadap inefisiensi dan tidak signifikan nyata pada
taraf α 0,01. Pada petambak pemilik-garap dirasakan belum adanya manfaat dari keanggotaan petambak tersebut menyebabkan petambak garam di daerah
penelitian yang menjadi anggota kelompok petambak cenderung belum bisa menilai eksistensi kelompok itu seperti apa kemanfaatanya. Petambak
sebetulnya banyak berharap dengan adanya kelompok yaitu adanya kemudahan akses kredit pembiayaan modal dalam usaha garam. Beberapa tahun
kebelakang digulirkan seperti PUGAR yang memberlakukan pembentukan kelompok, tetapi hal ini belum berpengaruh terhadap efisiensi teknis petambak.
Pada saat ini kelompok hanya sebagai wadah untuk penerima bantuan saja dan rawan terhadap kepentingan elit tokoh lokal termasuk elit kepemimpinan
koperasi. Sama halnya yang temuan hasil penelitian Kurniawan, et al., 2008
bahwa kanggotaan dalam kelompok tani tidak dirasakan bermanfaat bagi kelompok karena cenderung adanya konflik antara pengurus dalam koperasi dan
internal kelompok sendiri, begitu pun dengan temuan Kurniawan, et al., 2010.
Sedangkan temuan Fauziyah 2010b keanggotan dalam kelompok petambak dan koperasi mempengaruhi terhadap peningkatan efisiensi tetapi tidak
signifikan. Dengan masuknya sebagai kelompok mereka merasa membuang- buang waktu dan lebih baik menghemat waktu untuk dapat lebih fokus pada
produksi garam dan usaha lainnya. Kehadiran petambak dalam acara kelompok terkadang dengan terpaksa atau segan terhadap penyuluh dan aparat
pemerintah, terlebih kalau sudah terjadi konflik sebelumnya antara kelompok dengan penyuluh atau dengan pendamping PUGAR. Seperti terjadi di
Kecamatan Kandang Haur pernah terjadi konflik antara kelompok petambak dengan pendamping sehingga hal ini menjadi catatan buruk bagi petambak
lainnya dengan menambah ketidakmauannya untuk aktif dalam kegiatan keiompok.
Pendapatan income usaha garam Z
7
. Pendapatan usaha dimasukan
dalam efek in-efisiensi karena faktor tersebut berhubungan dengan manajemen pengelolaan keuangan termasuk pengelolaan input produksi. Pendapatan dalam
usaha garam ini berhubungan dengan faktor harga yang berfluktuasi, sehingga berdampak pada pendapatan yang berbeda-beda dalam tiap bulan atau bahkan
tiap kali penjualan. Faktor pendapatan yang bertanda negatif pada seluruh kelompok petambak dan signifikan di taraf nyata α 0,05 mengartikan bahwa
semakin meningkat pendapatan maka meningkat pula efisiensinya.
Gambar 28. Hubungan antara Pendapatan dengan Efisiensi Teknis Petambak Pemilik-garap
35 30
25 20
15 10
5 1.0
0.9 0.8
0.7 0.6
Pendapatan dalam juta
Ef is
ie ns
i T ek
ni s
Akses Kredit Z
8
. Faktor akses kredit sebagai faktor yang dimasukan
pada model efek in-efisiensi hal ini karena diduga dengan adanya akses pinjaman modal akan meningkatkan efisiensi karena peluang untuk mengolah
inputan sesuai yang dibutuhkan tercapai. Fakta ini signifikan pada petambak pemilik-garap dengan bertanda positif. Hal ini dapat diinterpretasikan kelompok
petambak pemlik-garap pernah pengalaman akses pembiayan scera non-formal kepada keluarga atau lembaga kredit mikro lainnya Kosipa dan bank keliling
yang mudah diakses tetapi hal ini malah meningkatkan in-efisiensi. Walaupun penggunaanya tidak hanya untuk usaha garam tetapi hal ini berhubungan
dengan pengelolaan manajerial keuangan di tingkat keluarga. Hal ini sama halnya yang ditemukan oleh Idiong 2010 pada komunitas petambak padi di
Nigeria, petambak kecil small farmer sering terikat dengan rentenir yang berpola lembaga keuangan mikro micro finance institution. Tujuan awalnya
adalah meningkatkan efisiensi mengolah inputan dengan optimal tetapi petambak dikejar untuk mengembalikan pinjaman dengan tingkat bunga yang
tinggi. Begitu pun penelitian Islam, et al., 2011 bahwa akses kredit pada petambak kecil dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan rumah tangga petambak dan
tidak terlalu signifikan terhadap pembiayaan yang dialokasikan untuk usaha.
Pemakaian zat Aditif Z
9
. Faktor penggunaan zat aditif yang digunakan
untuk usaha garam, disertakan ke dalam model efek inefisiensi teknis dengan dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Pendugaan tersebut tidak sesuai dengan
harapan yang terjadi pada seluruh kelompok petambak dimana penggunaan zat aditif berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis pada petambak pemilik-garap.
Zat aditif belum mampu bisa menjadi trend inovasi tambahan teknologi dalam produksi garam di wilayah Kabupaten Indramayu. Alas an utama adalah lebih
kearah dikeluarkannya biaya kembali untuk pengadaan zat aditif ini. Padahal sebetulnya menurut Hasan Santing sebagai penemu zat aditif ramsol ini, bahwa
ramsol sebetulnya bisa dibuat sendiri oleh petambak karena ramsol sendiri adalah bahan organic sama halnya membuat pupuk organic untuk pertanian.
Penggunaan mesin pompa air Z
10
. Faktor penggunaan mesin yang
digunakan untuk mengalirkan air laut untuk mengsisi saluran irigasi petakan di area pinggiran peminihan usaha garam disertakan ke dalam model efek
inefisiensi teknis dengan dugaan mengurangi inefisiensi teknis. Tanda untuk faktor penggunaan pompa dalam efek in-efisiensi ini bertanda negarif artinya
dengan menggunakan pompa bisa meningkat tingkat efisiensinya karena hal
mereka tidak perlu mengeluarkan waktu untuk kontrol terhadap saluran irigasi dan mengalih-alihkan kincir angina, dan tidak perlua menambah tenaga kerja
baik dari keluarga atau dari luar untuk melakukan ngobyok. Ngobyok artinya mengambil air secara manual. Uji signfikansi dari faktor ini semuanya tidak
berpengaruh nyata pada α 0.01 dan α 0.05. Petambak yang memiliki pompa mesin sendiri untuk mengalirkan air lebih efisien karena tingkat aliran air laut bisa
diukur dengan kondisi lahan peminihan.
Variable penggunaan zat aditif Z
9
.dan penggunaan mesin pompa air Z
10
merupakan variabel dari inputan program PUGAR yang dikembangkan oleh
Kementrian Kelautan dan Perikanan mulai tahun 2010. Respon dua variabel ini terhadap efek efisiensi produksi hampir semuanya tidak berpengaruh. Banyak
petambak mengatakan PUGAR dengan salahsatunya memberikan saran pompa dan ramsol tidak berdampak pada peningkatan produksi. Beban yang paling
berat petambak yang mereka rasakan sebetulnya beban perbaikan area lahan garam mulai dari infrastruktur tanggul, area peminihan dan meja garam. Ketika
mereka tidak melakukan perbaikan tanggul, kekhawatiran tanggul akan jebol ketika terjading air pasang. Air akan mengairi penuh di area peminihan. Adapun
pompa kecenderungan akan berfungsi bagi petambak yang lahannya jauh dari irigasi primer. Mereka hanya mengandalkan aliran air bekas pakai dari lahan
orang lain yang lebih dekat dengan irigasi. Penggunaan zat aditif pun tidak banyak berpengaruh terhadap
peningkatan produksi. Petambak mengharapkan dengan adanya zat aditif dapat dilihat perbedaan hasilnya, tetapi terkadang hal ini tidak berhasil. Ketika
ditanyakan tentanhg bagaimana penggunaan ramsol, mereka semuanya belum paham padahal rasmosl sudah diberikan dalam program PUGAR. Teknik
penggunaanya pun belum tahu. Peneliti melihat petambak masih lemah dalam pengetahuan teknis dari penggunaan ramsol. Mereka hanya mendapatkan
informasi penggunaan ramsol dari pendamping PUGAR. Ketika diselenggarakan pelatihan peningkatan produksi garam tidak dilakukan demonstrasi penggunaan
ramsol. Mereka hanya diberikan teori dan tata cara secara gambar dari penggunaan ramsol. Saat pelatihan berlangsung peneliti hadir dan menanyakan
kepada penemu ramsol bahwa peneliti menemukan tidak adanya pengaruh terhadap hasil produksi. Hal ini dikuatkan dengan jawabannya bahwa
penggunaan ramsol di tingkat petambak masih lemah dalam keterampilan teknis.
Menurut ketua asosiasi petambak garam bahwa sasaran program PUGAR bukan pada hal yang menjadi faktor penentu produktifitas. PUGAR
hanya memberikan hanya untuk pembelian pompa dan ada beberapa kelompok yang mendapatkan kincir ingin. Tentu saja hal ini kurang menyentuh faktor
produktifitas. Apabila kondisi tanggul, komposisi peminihan, struktur penataan lahan tidak begitu diperhatikan. Kelompok terkadang dipaksakan untuk menerima
peralatan-peralatan lewat program PUGAR. Pengalaman tahun 2010 dengan adanya BLM pompa, kincir angina dan peralatan penyimpanan garam, petambak
rasakan bukan meningkatkan efisiensi dalam tahun berikutnya tapi malah menambah jumlah biaya perbaikan.
Hubungan variabel antara pendapatan income usaha garam Z
7
dan akses kredit Z
8
berhubungan dalam penyediaan modal awal dan penggunaan
modal yang digunakan dalam pertengahan. Pendapatan berhubungan dengan tingkat harga jual yang diterima petambak. Hasil diskusi dengan petambak, pada
tahun 2011 mereka mendapatkan harga yang lebih baik. Petambak merasakan perbedaan-perbedaan harga yang mereka rasakan. Pada tahun 1997 harga jual
garam yang didapatkan petambak Rp. 50 per kg. Pada tahun 1998 harga jual garam terjadi peningkatan mencapai Rp. 750 per kg. Pada tahun 2003 harga
garam jatuh terpuruk mencapai Rp. 50 per kg. Pada tahun 2003 petambak bisa mengukur HPP garam mencapai Rp. 60 per kg, tetapi pada tahun 2011 HPP
dengan nilai tersebut sudah tidak bisa dijadikan standar dimana sudah terjadinya peningkatan inflasi untuk beberapa input produksi seperti harga tenaga kerja dan
harga bahan bakar. Dengan mengacu kepada analisis finansial, HPP mencapai Rp 450 per kg. Jika harga di bawah nilai tersebut, petambak akan bangkrut.
Untuk menyediakan modal dalam proses produksi akhirnya mereka berketergantungan terhadap pemilik modal juragan tanah. Sedangkan akses
kredit Z
8
terhadap kelembagaan keuangan belum tersentuh. Ada koperasi
sebagai kepanjangan dari pemerintah koperasi yang dibentuk oleh pemerintah atas adanya program PUGAR belum bisa memberikan layanan pembiayaan
untuk penyediaan modal produksi garam. Dengan mendapatkan modal dari pemilik lahan setidaknya mereka punya harapan pegangan untuk meneruskan
produksi garam walaupun nantinya akan dilakukan bagi-hasil 30 persen dari keuntungan atau dari garam hasil panen yang harus mereka berikan kepada
pemodal. Bagi petambak bagi-hasil mereka mendapatkan 2 pengurangan keuntungan, pertama dari bagi hasik yang harus diberikan kepada pemodal
sebesar 30 persen, ke-dua pengurangan harga jual dari harga jual yang berlaku dipasaran.
Berhubungan dengan program PUGAR, menurut petambak yang ada di wilayah penelitian mereka mengharapkan PUGAR harus bisa melayani
permodalan langsung kepada petambak. Mereka menilai tentang program tersebut tidak semuanya yang mereka dapatkan sesuai dengan aturan yang
sudah ditetapkan pemerintah pusat. Di Kabupaten Indramayu yang seharusnya kelompok mendapatkan sekitar Rp 50-100 juta dengan jumlah anggota 10 orang,
realisasinya petambak mendapatkan sekitar Rp 3-Rp 5 juta per individu.
8.2. Analisis Efisiensi Alokasi Usaha Garam Rakyat 8.2.1. Pendugaan Fungsi Dual Cost Frontier
Penggunaan input yang efisien akan berdampak pada produksi garam yang maksimal. Pada kenyataanya banyak petambak yang menggunakan input
berdasarkan kebiasaan, kurang memperhatikan harga dan produk marjinal. Jika petambak menggunakan input secara optimal dengan memperhatikan harga
yang berlaku maka akan dicapai efisiensi alokasi karena biaya yang dikeluarkan adalah minimal. Efsieinsi alokasi dan ekonomi dihasilkan dari sisi input dengan
menggunakan harga yang berlaku pada daerah penelitian di masing-masing kecamatan. Sebagai dasar menghitung efisiensi alokasi dan ekonomi, dalam
penelitian ini fungsi produksi yang digunakan yaitu stochastic frontier cobb- douglas. Dari fungsi tersebut diturunkan fungsi biaya dual frontier isocost
frontier=C seperti pada persamaan 4.18. Dengan menggunakan parameter estimasi fungsi produksi stochastic
frontier cobb-douglas yang telah diperoleh dan harga rata-rata yang berlaku maka diperoleh nilai C yaitu biaya pada kondisi optimal biaya minimum dan C
aktual. Adapun harga rata-rata yang berlaku pada setiap petambak dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Harga Rata-rata Input yang Berlaku pada Masing-masing Petambak
Sewa Bagi-hasil
Pemilik-garap Sewa lahan
3,250,000 2,992,857
1,228,333 Tenaga kerja
36,900 36,543 25,300
Perbaikan peralatan 2,025,714
1,649,371 916,667 Bahan Bakar
5,000 5,000 5,000
Efisiensi alokatif dan ekonomis diperoleh melalui analisis dari sisi input produksi yang menggunakan harga input berlaku di tingkat petambak. Fungsi
produksi yang digunakan sebagai dasar analisis adalah fungsi produksi stochastic frontier diturunkan dengan menggunakan persamaan primal sehingga
didapatkan model dual cost, yang merupakan fungsi biaya iso cost frontier-nya. Fungsi tersebut menduga parameter dari coefisient biaya input yang dikeluarkan
dalam usaha tambak garam. Parameter tersebut terdiri dari biaya sewa lahan p
x1
dengan harga per sewa aktual Rp. 3.000.000 per hektar. Varebal biaya perbaikan peralatan p
x2
merupakan approximate dari inputan hari produksi yang digunakan dalam produksi dengan nilai ekonomi yang dirupiahkan proxy
penggunaan peralatan. Variable biaya tenaga kerja p
x3
merupakan biaya yang dikeluarkan dalam membaya tenaga kerja per HOK Rp. 50.000 per hari. Variabel
Jumlah BBM p
x4
merupakan approximate dari inputan penggunaan air laut yang dialirkan oleh mesin pompa dengan harga BBM Rp. 5.000 per liter.
Tabel 27. Pendugaan Fungsi Dual Cost Frontier
Variable Parameter
Coef St-E rror
t-ratio Petambak sewa
Intersep 0.344
Biaya sewa lahan p
x1
0.257 0.013
12.064 Biaya perbaikan peralatan
p
x2
0.077 0.010
7.200 Biaya tenage kerja
p
x3
0.726 0.010
68.501 Biaya BBM
p
x4
0.065 0.006
10.380 R-squared
0.997
Petambak bagi-hasil
Intersep 0.679
Biaya sewa lahan p
x1
0.225 0.036
6.231 Biaya perbaikan peralatan
p
x2
0.047 0.007
6.085 Biaya tenage kerja
p
x3
0.826 0.024
33.972 Biaya BBM
p
x4
0.003 0.003
0.947 R-squared
0.998
Petanbak pemilik-garap
Intersep 0.867
Biaya sewa lahan p
x1
0.133 0.016
7.945 Biaya perbaikan peralatan
p
x2
0.169 0.026
6.480 Biaya tenage kerja
p
x3
0.583 0.009
60.824 Biaya BBM
p
x4
0.168 0.019
8.429 R-squared
0.971
Nyata taraf α 10, Nyata taraf α 5 dan Nyata taraf α 1
1.
Biaya sewa lahan p
x1
.
Berdasarkan Tabel 23 di atas, parameter biaya pada fungsi biaya pada masing-masing petambak keofisien elastisitasnya bertanda positif dimana nilai
elastisitas yang paling tinggi pada petambak sewa 0.257, sedangkan petambak bagi-hasil 0.225 dan petambak pemilik-garap 0.133. Biaya produksi akan
meningkat 25 persen jika petambak sewa menambah lahan 100 persen, dan akan meningkat 22 persen pada petambak bagi-hasil jika lahan meningkatkan
100 persen. Pada petambak sewa biaya sewa nyata dikeluarkan karena status lahan merupakan lahan sewaan dari pemilik tanah yang biasanya tidak
melakukan usaha garam pada musim kemarau dimana sebelumnya dipakai budidaya ikan. Sedangkan pada petambak pemilik-garap dan bagi-hasil biaya
sewa merupakan biaya bayangan yang harus semestinya dikeluarkan untuk membiayai usaha garam. Pada Tabel 14 Tabel analisis usaha garam dapat
dilihat kembali jumlah biaya sewa yang dikeluarkan rata-rata oleh petambak Rp. 2.000.000hektar dengan berbagai tipe lahan.
2.
Biaya perbaikan peralatan p
x2
Elastisitas biaya perbaikan pada masing-masing petambak, 0.077 petambak sewa, 0.047 petambak bagi-hasil dan 0.169 petambak pemilik-garap.
Petambak yang responsif terhadap adanya peningkatan biaya peralatan yaitu pemilik-garap. Rata-rata petambak ini memiliki peralatan yang jumlahnya hampir
sama dengan petambak lainnya sedangkan dalam penggunaannya tidak sebanding dengan tingkat manfaatnya. Tetapi biaya yang harus dikeluarkan
untuk perbaikan hampir sama dengan petambak bagi-hasil dan sewa Rp 20.000 per hari atau sekitar Rp. 1.500.000 yang harus disediakan untuk perbaikan
peralatan pada awal musim garam. Biaya perbaikan terdiri dari perbaikan kincor angina, pompa, slinder dan guludan untuk pengerikan garam. Ada juga peralatan
yang tidak terlalu harus dimiliki seperti timbangan untuk mengukur tingkat kekentalan air laut bettimeter.
3.
Biaya tenaga kerja p
x3
Elastisitas biaya tenaga kerja pada masing-masing petambak paling besar diantara variable biaya produksi lainnya. Untuk petambak sewa 0.726,
petambak bagi-hasil 0.826 dan petambak pemilik-garap 0.583. Petambak bagi-
hasil yang sangat besar nilai elastisitasnya karena sangat sensitif mengeluarkan biaya dimana biaya tersebut sebetulnya hasil pinjaman dari juragan. Data empirik
dapat dipaparkan bahwa tingginya harga tenaga kerja pada bagi-hasil dikarenakan adanya penetapan harga yang diterapkan oleh penggarap pada
dirinya sendiri atau tenaga kerja yang masih ada hubungan kerabat yang dibayar oleh juragannya. Ada semacam pembengkakan harga tenaga kerja yang
ditetapkan penggarap terhadap juragan. Hal ini beralasan sebagai strategi untuk meningkatan pendapatan non-garam bagi petambak sendiri karena merasa hal
ini sebagai strategi untuk mendapatkan pendapatan lain selain dari pendapatan garam yang hasilnya di bagi-hasilkan.
4.
Biaya BBM p
x4
Nilai elastisitas biaya bahan bakar paling kecil dibadningkan dengan input biaya lainnya dimana petambak sewa 0.065, petambak bagi-hasil 0.003 dan
petambak pemilik-garap 0.168. Petambak pemilik-garap yang intensif sering mengeluarkan biaya bahan bakar karena umumnya memiliki pompa air sendiri.
Sedangkan petambak sewa dan bagi-hasil dari beberapa petambak melakukan kumpulan untuk membuat tampungan air yang akan disalurkan sedangkan biaya
dikumpulkan secara iuran untuk pengadaan benisn atau bayaran kepada pemilik pompa atau juragan embung. Jika terjadi penambahan bakar 100 persen,
petambak pemilik-garap akan menambah sebesar 16.8 persen total biaya produksi.
8.2.2. Sumber Efisiensi Alokatif
Sumber in-efisiensi alokatif dapat dilihat dari analisis nilai produk marjinal NPM dan Biaya korbanan marjinal BKM sebagai anlisis penggunaan input
dalam optimalisasi pendapatan atau minimalisasi biaya. Dari hasil analisis efisiensi Penggunaan input pada usaha garam NPMPxi ternyata ada yang
menunjukkan nilai NPMPxi lebih dari 1 yaitu lahan dan tenaga kerja yang artinya bahwa secara ekonomi alokasi faktor produksi belum efsien berada pada
tingkat optimum. Jika penggunaan faktor produksi lahan atau tenaga kerja ditambah, maka penambahan output total yang dihasilkan akan lebih besar dari
penambahan faktor produksi itu sendiri, sehingga upaya untuk optimasi pendapatan usaha garam masih dapat dilakukan dengan penggunaan faktor
produksi input yang efisien. Menurut Bagamba 2007 rasio NPMPxi yang lebih
besar dari satu juga karena tingginya harga input produksi dan rendahnya tingkat harga output atau farm gate price yang terjadi pada petani pisang di Uganda.
Pada kasus usaha garam ini pun sama, ketidakefisienan secara alokatif karena tidak tercapainya rasio optimalisasi antara nilai marjinal produk dan biaya
korbanan marjinal yang terjadi pada petambak garam. Jika dilihat variable hari produksi dan dan jumlah air laut sudah melebihi capaian optimal dimana nilai
NPMPxi-nya kurang dari satu. Tabel 28. Rasio Nilai Produk Marjinal-Biaya Korbanan Marjinal harga garam
Rp. 450 per kg
Sewa Bagi hasil
Pemilik-garap NPMPx
i
t-rasio NPM Px
i
t-rasio NPM Px
i
t-rasio
Ukuran lahan
3.249 3.381
12.170 15.417
15.608 5.615
Tenaga kerja 64.984
4.809 146.034
17.440 138.402
6.673 Hari
produksi 23.070
2.745 1.758
0.168 2.954
0.575 Jumlah
bahan bakar 0.000
0.269 0.473 0.039
2.125 0.076
Nyata taraf α 10, Nyata taraf α 5 dan Nyata taraf α 1
Berdasarkan Tabel 28 dihasilkan rasio antara NPM- Px
i
lahan mencapai 3.249 pada petambak sewa, 12.170 petambak bagi-hasil, dan 15.608 petambak
pemilik-garap. Jika ini dhubungkan dengan biaya korbanan yang harus dikeluarkan artinya ketika petambak meningkatkan lahan sebesar 1 hektar maka
ia akan mengeluarkan biaya Rp 2.500.000 dan akan mendapatkan pendapatan Rp. 8.122.950 atau 3.249 lipat dari biaya per 1 hektar lahan sewa dengan harga
jual garam Rp. 450 per kilogram. Penambahan tingkat nilai marjinal produk lahan paling tinggi pada petambak pemilik-garap, sehingga implikasi dari hal ini adalah
strategi untuk meningkatkan pendapatan petambak pemilik-garap yang signifikan melalui peningkatan ukuran lahan farm size. Hal ini sejalan pada sumber in-
efisiensi teknis yang bertanda negative untuk variabel ukuran lahan Tabel 20 dimana semakin meningkat lahannya akan menurunkan in-efisiensi atau
meningkatkan efisiensi teknisnya. Dengan rata-rata lahan sekitar 0.5 hektar sekarang belum bisa mencapai skala efisiensi optimal untuk petambak pemilik-
garap. Sedangkan untuk variabel hari produksi dan penggunaan bahan bakar
pada petambak bagi-hasil dan pemilik-garap sudah melebihi batas efisiensi penggunaan inputnya dimana rasio nilai produk marjinal kurang dari satu. Harga
bahan bakar yang didapatkan oleh petambak relatif sama sekitar Rp. 5.000 per
liter. Harga tersebut merupakan harga subsidi BBM. Bagi petambak yang lahannya jauh dari irigasi, petambak intensif menarik pipa dari tempat
penampung air yang disediakan secara berkolompok dibawah satu juragan. Dengan biaya yang petambak keluarkan adalah membayar nilai biaya BBM yang
dikeluarkan oleh juragan. Motivasi untuk mengalirkan jumlah air laut sangat tinggi sehingga mereka sekuat tenaga menggunakan alat dan cara manual untuk
mengalirkan air. Petambak tiap hari terus menjaga kondisi aliran air laut dengan melihat debit aliran air. Jika angin kencang mereka melakukan pemasangan
kincir air, dan jika ada tenaga kerja keluarga tambahan membantu mengalirkan air laut secara manual. Pandangan mereka semakin banyak mengalirkan air
kedalam aliran peminihan maka peluang menghasilkan garam semakin besar. Tabel 29. Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal harga garam Rp.
450 per kg
Sewa Bagi hasil
Pemilik-garap NPM
BKM NPM
BKM NPM
BKM Lahan
8,122,950 2,500,000 30,423,750 2,500,000 41,520,600
2,500,000 Tenaga kerja
3,249,180 50,000
7,301,700 50,000
6,920,100 50,000
Hari produksi 461,400
20,000 35,155
20,000 59,070
20,000 Jumlah bahan
bakar 2,400
25,000 11,819
25,000 53,130
25,000
Untuk rasio nilai produk marjinal tenaga kerja dengan biaya korbanan paling besar petambak bagi-hasil mencapai 146 sedangkan pemilik-garap 138.
Sewa hanya mencapai 63. Jika ada penambahan tenaga kerja petambak bagi- hasil mendapatkan penerimaan Rp. 7.301.700, petambak pemilik-garap Rp.
6.920.100 dan sewa Rp. 3.249.000 den gan asumsi farm gate price Rp. 450 per kg. Dari dua input produksi ini yang paling responsif meningkatkan pendapatan
petambak adalah peningkatan luas lahan farm size dibandingkan dengan peningkatan jumlah tenaga kerja.
Strartegi petambak sewa untuk mendapatkan luasan lahan yang lebih besar sangat memperhatikan aspek harga. Harga pasar lahan sewa saat
penelitian berlangsung berada pada Rp. 2.500.000 per hektar, jika tidak bisa diturunkan petambak bisa mendapatkan lahan bengkok desa dengan harga sewa
Rp. 1.500.000 per musim tetapi kualitas lahan menurut petambak tidak terlalu baik dibandingkan dengan lahan sewa yang dekat dengan irigasi atau lahan
produktif sebelumnya dipakai dalam usaha budidaya ikan. Seperti petambak sewa yang ada di Kecamatan Losarang, karena sedikitnya lahan bengkok maka
petambak menyewa lahan yang dekat dengan irigasi. Jika petambak tidak meemiliki modal untuk melakukan sewa lahan, alternatif akhirnya adalah bagi
hasil. Walapun secara perhitungan usaha tani setelah bagi hasil petambak selalu mendapatkan pendapatan di bawah dari kelompok petambak lainnya.
8.2.3. Sebaran Efisiensi Alokatif
Inefisiensi usahatani pada umumnya diasumsikan akan meningkat dengan kenaikan biaya produksi. Berdasarkan fungsi biaya dual frontier diatas
maka dapat dihitung indeks efisiensi alokasi AE dari setiap responden. Sebaran efisiensi alokatif petambak responden seperti yang terdapat pada Tabel
26, berada pada kisaran yang beragam. Hanya 5 persen dari total responden berada pada tingkat efisiensi alokatif diatas 0.7 yang didominasi petambak
pemilik-garap, sedangkan 95 persen dibawah 0.7 sehingga bisa dikatakan secara alokatif usaha garam belum tercapai. Efisiensi alokatif petambak sewa
rata-rata mencapai 0.337, dengan tingkat efisiensi alokatif tertinggi 0.430 dan terendah 0.289. Pada petambak yang paling rendah tingkat efisiensinya,
petambak ini bisa mendapatkan harga input yang rendah sehingga bisa melakukan penghematan sebesar 14 persen dari hasil perhitungan 1-
0.2890.337. sedangkan petambak sewa dengan efisiensi alokatif tertinggi mereka tidak bisa mendapatkan harga input lebih murah sehingga mengeluarkan
21.6 persen dari pehitungan 1-0.3370.430. Table 30. Sebaran Efisiensi Alokatif Petambak Responden
Efisiensi Alokatif Interval
Sewa Bagi hasil
Milik Jumlah
Jumlah Jumlah
0.01-0.10 0.11-0.20
1 2.86
0.21-0.30
4 11.43
25 71.43
0.31-0.40
30 85.71
5 14.29
1 3.33
0.41-0.50
1 2.86
1 2.86
5 16.67
0.51-0.60
3 8.57
11 36.67
0.61-0.70 8
26.67 0.71-0.80
4 13.33
0.81-0.90 1
3.33 0.91-1.00
Jumlah
35 100
35 100
30 100
Rata-rata
0.337 0.302
0.592
Maksimum
0.430 0.584
0.832
Minimum
0.289 0.173
0.354
8.3. Analisis Efisiensi Ekonomis Economic Efficiency
Efisiensi ekonomis merupakan hasil akhir dari kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efek gabungan tersebut memberikan tiga pilihan
yaitu : 1 efisiensi ekonomis akan tecapai jika efisiensi teknis dan efisiensi alokatif tercapai, 2 jika efisiensi teknis tidak tercapai, dan efisiensi alokatif tidak tercapai
maka efisiensi ekonomis tidak tercapai, dan 3 jika efisiensi alokatif tercapai dan efisiensi teknis tercapai maka efisiensi ekonomis tetap tidak tercapai.
Berdasarkan tabel dibawah sebaran efisiensi teknis semuanya dibawah 0.7, jadi tidak ada petambak yang tercapai secara efisiensi ekonomis. Ketidak tercapaian
efisiensi ekonomis kontribusi dari efisiensi alokatif yang sangat tinggi, sedangkan dari aspek efisiensi teknis sebetulnya sudah tercapai pada petambak sewa dan
pemili-garap dan serta sebagian petambak bagi-hasil. Dengan tidak tercapainya efisiensi ekonomi, maka keuntungan maksimal yang didapatkan petambak tidak
tercapai. Hal ini karena banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh petambak yang tidak seimbang dengan kinerja input yang bisa mencapai optimal. Untuk
meningkatkan efisiensi ekonomis salah satu cara yang harus dilakukan petambak adalah menurunkan jumlah input produksi terutama jumlah tenaga
kerja. Perbedaan tinggi rendah nya tingkat efisiensi ekonomis hanya tingkat relatif antara petambak satu dengan yang lainnya yang seluruhnya dalam kondisi
tidak efisien secara ekonomis. Table 31. Sebaran Efisiensi Ekonomis Petambak Responden
Efisiensi Ekonomis Interval
Sewa Bagi hasil
Milik Jumlah
Jumlah Jumlah
0.01-0.10 0.00
0.11-0.20 25
71.43 0.00
0.21-0.30 5
14.29 31
88.57 0.31-0.40
5 14.29
4 11.43
4 13.33
0.41-0.50 0.00
14 46.67
0.51-0.60 9
30.00 0.61-0.70
3 10.00
0.71-0.80 0.81-0.90
0.91-1.00 Jumlah
35 100
35 100
30 100
Rata-rata 0.208
0.208 0.482
Maksimum 0.353
0.353 0.636
Minimum 0.159
0.159 0.317
Pada petambak sewa rata-rata efisiensi ekonomi 0.208 dengan tingkat efisiensi ekonomis tertinggi 0.353 dan terendah 0.159. Bagi petambak efsiensi