Adat Budaya Suku Batak Toba 1. Pemahaman Mengenai Nilai 3H Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon

yang membedakan kelaminnya. Kalo anak nungnga jelas bawa anak itu berarti laki-laki kalo boru sudah jelas perempuan. Jadi dalam arti yang sesungguhnya sama” 85-87, TS. Arti dan peranan anak laki-laki menurut pasangan TS dan ST yakni sebagai penerus keturunan. TS menambahkan bahwa anak laki-laki juga berperan sebagai pewaris harta kekayaan dan memberikan hak tertentu bagi orang tua dalam adat suku Batak Toba. ST juga mengungkapkan bahwa adanya anak laki-laki dalam suatu keluarga akan membuat keluarga tersebut menjadi gabe atau lengkap, selain ada anak perempuan. Di sisi lain, menurut TS dan ST kehadiran anak perempuan kurang dianggap dalam keluarga menurut adat dibanding anak laki-laki. “Eem kalo di adat Batak, anak laki-laki itu hanya sebagai penerus keturunan kalo saya tangkap tapi karena sudah seperti itu ee dari nenek moyang kita dulu jadi kayak gitu sampai sekarang lah. Kayaknya sih anak perempuan itu kurang aktif, kurang ada harganya” 24-26, 31-32, ST. “Anak laki-laki itu mewariskan, mendapatkan harta orang tua tapi kalo anak perempuan enggak” 72, TS. Pasangan TS dan ST sama-sama tidak setuju atas cara pandang orang suku Batak Toba terhadap keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. “Jadi kembali lagi kalo kita orang Batak itu saya menganggap orang Batak itu keliru caranya berpikir, kan kalo enggak ada anak anak laki-laki seakan-akan kalo enggak ada garis keturunan seakan-akan tidak dianggap sebagai manusia nah itu itu fatalnya” 180-182, TS. “Jadi opung nenek merasa oh nenek moyang kami dulu itu ini apa namanya ee apa boleh dikatakan kejam gitu kejam, cuma anak laki-laki itu yang dianggap manusia kalo anak perempuan itu tidak dianggap ada gitu, tidak berperan begitu. Dengan warisan kan nenek moyang kita tidak tidak dibagi-bagi ke anak perempuan cuma anak laki-laki yang dapat” 323-325, ST. Dampak negatif terhadap sebuah keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki ialah garis keturunan akan terhenti. Selain itu, orang tua tidak akan menerima ulos pansamot saat menikahkan anak, seperti yang diungkapkan pasangan TS dan ST berikut: “Jadi kalo keluarga itu tidak memiliki anak laki-laki pertama ee apa namanya tidak ada penerus keturunan. Kita enggak bisa mengawinkan anak laki-laki, di anak laki-laki ada yang namanya ulos pansamot itu [Ulos Pansamot di berikan oleh orang tua pengantin perempuan hulahula kepada kedua orang tua pengantin dari pihak laki-laki pangoli sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat]” 27-28, 148-151, ST. “Ya orang kita pesta, seperti ulos pansamot [Ulos Pansamot di berikan oleh orang tua pengantin perempuan hulahula kepada kedua orang tua pengantin dari pihak laki-laki pangoli sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat], itu kan bakal enggak dapat, enggak ada alasannya saya dapat itu karena itu didapatkan pada pernikahan adat pada putera macam bapak dari Peri. Dianggapnya yang tidak punya anak laki- laki tidak masuk ke dalam garis keturunan, berhenti sampai disitulah, enggak punya tahta lah kita katanya” 20-23, 66-67, TS. Perbedaan lain diantara anak laki-laki dan perempuan menurut TS ialah hak dalam pembagian harta yang tidak rata terhadap anak perempuan, “cuma jeleknya yang saya lihat itu soal pembagian harta warisan, dianggap perempuan itu jangan dak bai enggak dapat gitu loh, harus anak laki-laki” 76-78, TS. Pasangan TS dan ST secara tegas tidak setuju terhadap perbedaan yang ada diantara anak laki-laki dan perempuan. Pasangan ini menganggap bahwa anak perempuan kurang berharga di dalam keluarga. Hal lain yang dikritisi oleh ST ialah anak laki-laki sangat dominan dalam keluarga. “Nah inilah yang saya kritisi dalam budaya kita bahwa saya tidak setuju dengan pola pandang orang Batak yang seperti itu yang membedakan kalo saya tapi mungkin kebetulan karena saya punya anak perempuan semua seperti itu ya tapi terlepas masalah itu. Jadi bagi saya emangnya anak perempuan itu enggak manusia? Enggak dianggap, nilainya rendah pun kalo tidak punya anak laki, siapa yang bilang kan gitu. Orang Batak kan ngomong itu apalagi dalam tindakan itu pada jaman-jaman dulu kan. Dianggapnya yang tidak punya anak laki-laki tidak masuk ke dalam garis keturunan, berhenti sampai disitulah, enggak punya tahta lah kita katanya” 62-67, TS. “Aku tuh enggak setuju dengan prinsip nenek moyang kita, laki-laki yang bener sekalipun anak laki-laki itu menyusahkan atau bahkan e membuat orang tua itu mati mendadak atau gimana gitu. Jadi itu salah satu adat kita orang Batak ini kenapa perempuan tidak masuk dalam silsilah? Kayak bukan anaknya kan, sedihkan kita” 29-30, 50-51, ST. ii. Proses Penerimaan Diri Pasangan TS dan ST Proses menuju penerimaan diri pada pasangan TS dan ST sedikit berbeda dari proses penerimaan diri pada umumnya. Lima tahapan proses seperti yang diungkapkan oleh Kubler-Ross yaitu tahap denial and isolation, tahap anger, tahap bargaining, tahap depression dan tahap acceptance. Pasangan TS dan ST tidak melalui PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tahapan tersebut secara berurutan dan belum sampai pada tahap kelima yaitu tahap acceptance. Proses menuju penerimaan diri pada pasangan TS dan ST akan disajikan dalam tiga bagian besar berdasarkan peristiwa yakni keadaan sebelum kelahiran anak bungsu, saat kelahiran anak bungsu dan setelah kelahiran anak bungsu. ii.1. Sebelum Kelahiran Anak Bungsu Pasangan TS dan ST sama-sama ingin memiliki anak laki- laki dalam keluarganya. TS sendiri mulai berharap saat ST hamil anak kedua. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapan karena anak yang lahir tetap berjenis kelamin perempuan. TS pun berharap anaknya yang ketiga akan berjenis kelamin laki-laki. Namun, lagi-lagi sama yang lahir tetap anak berjenis kelamin perempuan. Keinginan TS untuk memiliki anak laki-laki tidak berhenti pada anak ketiganya tetapi hingga anak keenam. Dalam prosesnya, dalam diri TS timbul kemarahan anger. TS selalu memiliki harapan bahwa anak yang ada dalam kandungan istrinya yaitu ST berjenis kelamin laki-laki. Namun, harapan TS selalu tidak menjadi kenyataan karena yang lahir selalu perempuan. Ada tuntutan dan keluhan dalam diri TS terlihat dari TS terus berusaha mendapat anak laki-laki dan pertanyaan atas kemampuan istrinya ST untuk melahirkan anak