Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

tidak punya anak laki-laki, tujuan tersebut diupayakan dengan mengadopsi anak laki-laki. Hal yang menarik untuk dicermati adalah meskipun pengangkatan anak sudah disahkan secara adat, agama dan negara, tetapi kaum kerabat masih tidak mengakui anak tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan waris maka orang yang dianggap tidak memiliki anak itu sangat tidak diuntungkan. Ihromi dalam Irianto, 2005 juga mengungkapkan bahwa meskipun pranata tentang keluarga di kalangan orang Batak Toba mengalami perubahan dalam hal-hal tertentu, tetapi mengenai hal-hal yang mendasar berkaitan dengan tujuan utama dalam hidup itu tidak mengalami perubahan. Dalam suatu kehidupan masyarakat, tidak semua unsur-unsur kebudayaan mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur kebudayaan yang cepat berubah, sebaliknya ada pula unsur kebudayaan yang lambat dan sukar berubah Poerwanto, 2008. Dalam keluarga suku Batak Toba, anak perempuan yang menikah akan pergi dari rumah dan mengikuti keluarga suami sehingga nama keluarganya pun akan ditinggalkan dan memakai nama dari keluarga suami. Anak perempuan tidak mempunyai hak tertentu dalam warisan orang tuanya. Adapun anak perempuan bisa mendapatkan bagian dari warisan jika ia dengan baik-baik meminta bagian dari harta itu dari ahli waris laki-laki Irianto, 2005. Penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan 2005 yang menunjukkan bahwa kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat telah mengalami perkembangan. Perkembangan dalam pembagian warisan yang sama dengan anak laki-laki sehingga hal ini menunjukkan adanya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan memberi pengaruh yang besar dalam bidang hukum adat. Gultom dalam Siahaan, 2009 menyebutkan bahwa keluarga suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki akan merasa hidupnya hampa. Keadaan ini disebut napunu. Napunu artinya generasi seseorang sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Siraja Batak, bahkan namanya tidak akan pernah diingat atau disebut orang lagi. Pada suku Batak Toba yang napunu, akan merasa tidak berarti dalam hidup karena tidak ada lagi yang meneruskan marganya. Selain itu, terdapat perasaan tidak lengkap dalam diri sebagai orang Batak karena suku Batak Toba memegang prinsip keturunan patrilineal, yaitu menarik garis keturunan dari anak laki-laki. Pada wawancara yang dilakukan oleh Siahaan 2009 kepada seorang Raja Adat Batak Toba mengungkapkan bahwa orang Batak Toba khususnya bapak yang napunu akan memiliki perasaan tidak berarti, tidak lengkap sebagai orang Batak, sedih dan perasaan kurang puas dalam diri sehingga akan membentuk penilaian terhadap dirinya sendiri. Penelitian terkait napunu dilakukan oleh Siahaan 2009 yang bertujuan untuk mengetahui harga diri bapak Batak Toba yang napunu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa fenomenologi menggunakan metode wawancara. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa bapak Batak Toba yang napunu memiliki perbedaan harga diri yaitu positif dan negatif. Hal ini berarti bahwa tidak semua bapak Batak Toba yang napunu memiliki harga diri yang positif ataupun negatif. Bapak Batak Toba PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI napunu yang memiliki harga diri positif memiliki aspek-aspek seperti perasaan berharga, mampu dan diterima yang menjadikan harga diri positif sedangkan yang memiliki harga diri negatif tidak merasakan ketiga hal tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa walaupun ada bapak yang tidak memiliki anak laki-laki hanya anak perempuan saja namun tetap memiliki harga diri yang positif. Dalam bukunya, Vergouwen 2004 menjelaskan seorang wanita Batak yang mengawini seorang laki-laki dan melahirkan anak-anak untuknya maka seorang perempuan telah menunaikan tugas alaminya. Dia telah memberikan kepada lelaki apa yang diinginkannya, dia telah membantu suaminya dalam membangun rumah tangga, dan karenanya ia tidak boleh diceraikan begitu saja oleh suaminya. Meski begitu, seorang suami suku Batak Toba yang napunu tidak jarang mendapat desakan untuk memiliki istri lagi bigami. Salah satu alasan mengapa orang mengambil istri dua ialah karena ia tidak memiliki keturunan, terutama kegagalan mendapat anak laki-laki. Cara lainnya untuk mendapatkan anak ialah dengan menceraikan isteri pertama lalu menikah lagi. Vergouwen 2004 mengungkapkan bahwa salah satu alasan perceraian yang tidak mudah dipahami ialah yang disebabkan karena kedua pasangan itu hanya melahirkan anak perempuan. Perceraian karena alasan ini pun sering terjadi. Namun, hal ini bertentangan dengan agama yang dianut oleh mayoritas suku Batak Toba, yaitu Kristen-Katolik. Gilarso 1996 mengungkapkan perkawinan Kristiani bercirikan, yaitu a monogami, b tak terceraikan, c terbuka bagi keturunan dan d merupakan gereja mini. Dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI hukum gereja disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama kedudukannya Tambunan, 2007. Pada penelitian sebelumnya terkait napunu difokuskan pada subjek bapak saja. Namun dalam penelitian ini peneliti ingin melihat dari sisi keduanya yaitu suami dan istri sebagai pasangan. Permasalahan tersebut bukan hanya menyangkut pria tetapi wanita sebagai istri yang juga melahirkan anak harus menerima kenyataan bahwa perkawinan mereka tidak dianugerahi keturunan laki-laki hanya keturunan perempuan saja. Berlatar belakang kondisi kehidupan perkawinan, psikologis dan agama tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai penerimaan diri pada masing-masing individu dan pengaruhnya pada pasangan. Oleh karena itu, penerimaan diri ini penting bagi pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki keturunan laki-laki. Penerimaan diri merupakan salah satu ciri dari kepribadian yang matang Allport, dalam Hjelle Ziegler, 1981. Menurut Supratiknya 1995 menerima diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Maslow dalam Schultz, 1991 mengemukakan bahwa pribadi yang sehat ialah seorang yang mampu menerima diri, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan. Hal terkait penerimaan diri juga ditegaskan oleh Allport dalam Feist Feist, 2008 yang mengungkapkan bahwa individu yang sehat psikologisnya ialah seorang yang tidak begitu jengkel jika terdapat hal-hal yang tidak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berjalan seperti yang direncanakan atau ketika mereka mengalami “hari buruk”. Mereka juga senantiasa tidak merasa terluka karena sadar bahwa rasa frustasi dan tidak nyaman adalah bagian dari hidup itu sendiri. Seseorang yang memiliki penerimaan diri mempunyai keyakinan diri self-confidence dan harga diri self-esteem. Hal tersebut menjadikan seseorang lebih mampu menerima kritik daripada seseorang yang kurang menerima diri Hurlock, 1974. Hurlock 1974 mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menyukai dan menerima keadaan dirinya, yaitu pemahaman diri, harapan yang realistis, tidak adanya hambatan- hambatan dari lingkungan, sikap sosial yang mendukung, tidak adanya stres tekanan emosional, kesuksesan yang pernah dicapai, identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri baik, pola pengasuhan di masa kecil yang baik dan konsep diri yang stabil. Beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan penerimaan diri meneliti subjek yang berbeda-beda. Penelitian penerimaan diri yang dilakukan oleh Kuntari 2008 adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan diri pada pasien pasca mastektomi. Penelitian ini berupa deskriptif dengan menggunakan metode survey. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 60 orang pasien kanker payudara yang telah melaksanakan mastektomi. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yaitu skala penerimaan diri. Hasil penelitian yang diperoleh adalah pasien kanker payudara yang melakukan mastektomi memiliki tingkat penerimaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI diri yang tinggi dengan memiliki pengetahuan tentang fisik diri, pemahaman yang realistis tentang kemampuan diri dan kepuasan terhadap dirinya. Namun, pada penelitian ini terdapat kelemahan yaitu menggunakan skala yang hanya terbatas pada tingkat penerimaan diri. Selain itu, penelitian ini belum menggali faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri dan bagaimana proses penerimaan diri tersebut terjadi pada diri subjek. Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wibowo 2012 terkait dengan penerimaan diri individu yang mengalami prekognisi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi kasus dengan metode wawancara, observasi dan unobstrusive berupa data tertulis subjek. Subjek pada penelitian ini yaitu seorang wanita berusia 23 tahun. Hasil dari penelitian ini adalah subjek memiliki penerimaan diri yang baik, merasa senang dan terbantu dengan kondisinya sehingga tindakannya terarah. Faktor yang berperan dominan dalam penerimaan diri individu yang mengalami prekognisi yaitu ibu yang juga mengalami kondisi serupa dengan subjek. Penelitian ini memiliki kelemahan yaitu jumlah subjek penelitian yang hanya satu dan kurang memaparkan proses penerimaan diri. Selanjutnya, terdapat penelitian terkait penerimaan diri terhadap kondisi fisik pada kaum waria. Penelitian ini dilakukan oleh Adaninggar 2006 dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian ini melibatkan empat orang waria. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak tiga orang waria memiliki penerimaan diri terhadap kondisi fisiknya sedangkan satu subjek lainnya tidak mampu menerima kondisi fisik yang berbeda dengan keinginan jiwanya. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya seperti tingkat penerimaan diri dan gambaran penerimaan diri memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah faktor-faktor dan proses penerimaan diri yang tidak dijelaskan hanya tingkat penerimaan diri saja, jumlah subjek penelitian prekognisi yang hanya satu dan kurang pemaparan mengenai proses penerimaan diri. Perbedaan permasalahan psikologis yang dialami oleh subjek yang mengalami prekognisi dan kaum waria tidak dapat digeneralisasikan pada subjek orang suku Batak Toba yang napunu yaitu perasaan tidak berarti, sedih dan perasaan kurang puas dalam diri. Sedangkan subjek prekognisi dan kaum waria menghadapi permasalahan psikologis seperti dipandang rendah dan dikucilkan oleh lingkungan serta adanya usaha menutup diri. Melihat kondisi psikologis yang dihadapi oleh orang Batak Toba napunu yang telah diungkapkan sebelumnya, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki keturunan laki-laki dan dapat mengetahui gambaran penerimaan diri serta mengungkap hal-hal yang mempengaruhi pasangan tersebut dalam upaya penerimaan diri terkait dengan 3H yang menjadi nilai-nilai tujuan hidup suku Batak Toba. Penerimaan diri diperlukan oleh pasangan suku Batak Toba agar tidak hanya terpaku pada keterbatasan yang dimiliki yaitu tidak memiliki anak laki-laki, tetapi juga mampu menghargai apa yang telah dimiliki yaitu anak perempuan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang sama berharganya dengan anak laki-laki dari segi agama. Penelitian ini perlu dilakukan karena penelitian yang mengungkap penerimaan diri lebih banyak pada kaum transgender dan penderita penyakit tertentu. Penelitian mengenai napunu pada suku Batak Toba masih sangat jarang diteliti. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkap rumusan masalah dalam penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Mengacu dari paparan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah ialah bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki. 2. Mengetahui bagaimana proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing individu terhadap pasangannya. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi kepribadian dan psikologi sosial mengenai penerimaan diri pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki. 2. Manfaat praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki dalam proses menerima diri, pengaruh pasangan terhadap proses penerimaan diri masing-masing individu dan masukan bagi pasangan agar realistis dalam menghadapi kenyataan. b. Hasil penelitian ini diharapkan bagi lingkungan terkhusus keluarga dapat memberikan interaksi yang positif kepada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan salah satu ciri lain dari kepribadian yang matang Allport, dalam Hjelle Ziegler, 1981. Hurlock 1981 mengemukakan penerimaan diri adalah toleransi seseorang terhadap peristiwa frustasi maupun menjengkelkan serta pengakuan terhadap kekuatan yang dimiliki. Hal ini juga ditegaskan oleh Supratiknya 1995 yang mengungkapkan bahwa menerima diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Hal tersebut berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta penerimaan terhadap orang lain. Maslow dalam Schultz, 1991 mengemukakan bahwa pribadi yang sehat ialah seorang yang mampu menerima diri, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan. Hal ini juga dipertegas oleh Jersild Hurlock, 1973 yang menjelaskan bahwa seorang yang dapat menerima diri adalah seorang yang menghormati dirinya sendiri dan hidup dengan seimbang; dapat mengenali keinginan-keinginan, harapan-harapan, ketakutan dan kebencian serta lebih bebas untuk membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Hurlock 1973 mengungkapkan bahwa dengan sikap menerima diri, seseorang “menyukai” dirinya dan merasa bahwa orang lain juga menemukan hal menyenangkan yang berkualitas di dalam dirinya. Penerimaan diri akan meningkatkan penilaian diri, dapat mengkritik dirinya sendiri dan bertanggung jawab terhadap pilihannya, tidak menyalahkan ataupun mencela orang lain karena keadaan dirinya. Adanya penerimaan diri tersebut akan meningkatkan tolerasi terhadap orang lain dan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya Wiley; dalam Josephine dan Srisuini, 1998. Selain itu, individu melihat manusia, dunia dan dirinya seperti apa adanya. Hal terkait penerimaan diri juga ditegaskan oleh Allport dalam Feist Feist, 2008 yang mengungkapkan bahwa individu yang sehat psikologisnya ialah seorang yang tidak begitu jengkel jika terdapat hal-hal yang tidak berjalan seperti yang direncanakan atau ketika mereka mengalami “hari buruk”. Mereka juga senantiasa tidak merasa terluka karena sadar bahwa rasa frustasi dan tidak nyaman adalah bagian dari hidup itu sendiri. Seseorang yang memiliki penerimaan diri mempunyai keyakinan diri self-confidence dan harga diri self-esteem. Hal tersebut menjadikan seseorang lebih mampu menerima kritik daripada seseorang yang kurang menerima diri Hurlock, 1974. Penerimaan diri yang dilakukan seseorang akan mengarahkan pada perilaku yang dianggap penyesuaian diri dan penyesuaian sosial. Menurut Ryff dalam Wibowo, 2012, penerimaan diri merupakan keadaan dimana seseorang memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Ryff juga menjelaskan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang rendah, apabila ia merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa dengan kehidupan yang telah dijalaninya, mengalami kesulitan dengan sejumlah kualitas pribadinya dan ingin menjadi individu yang berbeda dari dirinya sendiri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah persepsi yang dimiliki oleh seseorang terkait kemampuannya dalam menerima dan memahami diri sendiri atas segala kelebihan dan keterbatasan yang dimilikinya serta kesediaan untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya tanpa merasa terganggu.

2. Aspek-aspek Penerimaan Diri

Penerimaan diri memiliki beberapa aspek. Sheerer dalam Cronbach, 1963 mengemukakan beberapa aspek dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut: a. Memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani hidup. b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sama atau sederajat dengan orang lain dan tidak memandang diri sebagai orang yang tidak normal. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI