2. Arti Dan Peranan Anak Dalam Adat Budaya Suku Batak Toba

tahapan tersebut secara berurutan dan belum sampai pada tahap kelima yaitu tahap acceptance. Proses menuju penerimaan diri pada pasangan TS dan ST akan disajikan dalam tiga bagian besar berdasarkan peristiwa yakni keadaan sebelum kelahiran anak bungsu, saat kelahiran anak bungsu dan setelah kelahiran anak bungsu. ii.1. Sebelum Kelahiran Anak Bungsu Pasangan TS dan ST sama-sama ingin memiliki anak laki- laki dalam keluarganya. TS sendiri mulai berharap saat ST hamil anak kedua. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapan karena anak yang lahir tetap berjenis kelamin perempuan. TS pun berharap anaknya yang ketiga akan berjenis kelamin laki-laki. Namun, lagi-lagi sama yang lahir tetap anak berjenis kelamin perempuan. Keinginan TS untuk memiliki anak laki-laki tidak berhenti pada anak ketiganya tetapi hingga anak keenam. Dalam prosesnya, dalam diri TS timbul kemarahan anger. TS selalu memiliki harapan bahwa anak yang ada dalam kandungan istrinya yaitu ST berjenis kelamin laki-laki. Namun, harapan TS selalu tidak menjadi kenyataan karena yang lahir selalu perempuan. Ada tuntutan dan keluhan dalam diri TS terlihat dari TS terus berusaha mendapat anak laki-laki dan pertanyaan atas kemampuan istrinya ST untuk melahirkan anak laki-laki. Hal tersebut didasari oleh harapan TS untuk memiliki anak laki-laki belum terwujud. Beberapa ciri yang ada ini dapat dikatakan TS mengarah pada tahap anger namun tetap memiliki harapan. Seiring dengan berjalan waktu, dalam diri TS timbul perasaan bersalah karena keluhan dan tuntutannya kepada istrinya ST. Namun, hal ini tidak diungkapkan oleh TS kepada ST hanya disimpan repress dalam hatinya saja untuk menghindari konflik. “Sebetulnya langsung anak kedua gitu ternyata tidak kan, langsung mengharapkan ketiga tapi tidak juga mengharap keempat tidak juga sampai seterusnya. Sebetulnya kalo mau jujur, tuntuan kita itu kenapa kao tidak bisa melahirkan anak laki-laki kan. Enggak ada tuntutan lain. Jadi tuntutan itu kan spontan, kita kenapa enggak bisa ada laki-laki, memberikan anak laki-laki dalam keluarga ini, seperti itu” 327-328, 339-341. “Ya jelaslah. Sama Opung Boru nenek karena saya yang menuntut padahalkan seharusnya tidak ada tuntutan. Coba kita kembali pada waktu pernikahan, dalam untung dan maut dalam suka dan duka dalam segala apapun yang terjadi saya siap menerimamu sebagai pendamping saya, tidak ada kata-kata note catatan dengan catatan harus lengkap, enggak ada kan. Kok dituntut seperti itu? Emangnya dia gudangnya anak? Dia itu perempuan” 328-331, 342. Mengetahui kondisi keluarga TS dan ST yang belum memiliki anak laki-laki, secara tidak langsung pihak keluarga TS menyarankan TS untuk menikah lagi agar mendapat anak laki-laki. Saat itu pasangan TS dan ST sudah memiliki tiga atau empat anak perempuan. Namun, saran ini ditolak dengan tegas PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI oleh TS. Alasan TS adalah tidak ada jaminan bahwa setelah menikah lagi ia pasti akan mendapat anak laki-laki yang diinginkannya. Selain itu, ada ketakutan lain yakni memiliki istri lebih dari satu akan membuat rumahtangganya bisa menjadi kacau. Semenjak saat itu, TS menghindari topik pembicaraan terkait saran untuk menikah lagi. “Jadi saya bilang, emang ada jaminan? Kalo enggak dapat juga gimana? Siapa yang berani jamin? Diam orang itu semua. Enggak usahlah dipikirin aku aja enggak kepikir ke situ kok kalian jadi ribet sama masalah itu. Enggak ada itu. Jadi saya langsung keep bahwa hal itu enggak perlu dimunculkan opini-opini seperti itu endak perlu dimunculkan ya karena akan dibuat saya sengsara. Kita lihat ada yang kawin 2 istrinya hanya karena gara- gara itu iya kalo dapat, kalo enggak dapat? Makin bumerang ya kan, makin kacau. Mau 3 lagi? Mau ke berapa lagi?” 136-141. Saran agar menikah ini tidak pernah TS ceritakan kepada istrinya ST. Menurutnya tidak semua hal harus diceritakan. Selain itu, tindakan ini dilakukan oleh TS demi mencegah timbul permasalahan baru. Berikut pernyataan TS, “enggak enggak, enggak pernah saya cerita. Kenapa pung? saya kira enggak perlu kan, enggak semua harus diceritakan bisa saja menjadi tanggapan yang negatif kan. Nah bisa saja begitu, kenapa kita pancing harimau mengaum, kan? kira-kira apa yang ditangkap itu nanti membuat sedikit jadi bahan pikiran untuk apa kan” 151-152, 153-154. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Saran untuk menikah lagi ternyata tidak hanya berasal dari pihak keluarga TS saja tetapi dari istrinya ST. TS pernah disarankan oleh ST untuk menikah lagi agar mendapat anak laki-laki. Namun, saran ini ditolak oleh TS. Alasan TS ialah ia memegang teguh janji pernikahan yang pernah diucapkan saat menikah. Selain itu, ada ketakutan dalam dirinya bahwa ia akan merusak masa depan dan mendapat label buruk dari anak- anaknya. TS juga berpikir saran yang diberikan oleh ST hanya untuk menguji kesetiannya saja. Ada bentuk tanggungjawab yang ditunjukkan oleh TS terhadap ST terkait janji pernikahan mereka dan anak-anak perempuannya. “Mungkin guyon aja menguji iman. Ya dak tidak mungkinlah opung nenek itu mau kayak gitu kan, siapa sih perempuan yagn mau di madu kan enggak adalah saya kira kecuali orang gila. Ya diomong kan itu mungkin menguji kita juga itu mungkin apakah ada sambutan reaksi kita kan. Kalo saya menikah lagi, saya akan merusak masa depan anak-anak itu karena mereka akan menyaksikan bahwa bapaknya adalah bapak yang tidak bertanggungjawab. Kok bapak sekarang begini? Jadi kitapun sudah malu sama mereka” 319-321, 334-336. Di sisi lain, alasan ST menyarankan TS menikah lagi ialah ST merasa kurang dihargai oleh mertua. Hal lain yang dirasakan oleh ST ialah pemberian kasih sayang yang tidak sama diantara para menantu oleh mertua. ST berpikir hal itu terjadi karena keadaannya yang belum memiliki anak laki-laki. Saat itu, ST dan TS sudah memiliki empat orang anak perempuan. Keluhan ini berasal dari kecemburuaniri yang terlihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh ST: “Karena tidak punya anak laki-laki kami kan. Karena itu tadi saya merasa kami itu kurang dihargai, tidak sama kasih sayangnya sama menantunya yang punya anak laki- laki menurut saya sih. Jadi kalo kamu disuruh kawin ya silahkan kawin lagi mau cari anak laki-laki boleh, ya enggak apa-apa mungkin sudah nasib saya seperti ini nah gitu saya bilang sama Opung kakek” 36-39. Walaupun sama-sama ingin memiliki anak laki-laki namun TS dan ST tidak berniat mengadopsi anak laki-laki dengan alasan yang berbeda. Alasan TS adalah ia hanya mau mengasuh anak kandung yang berasal dari darah dagingnya sendiri. Ada kekhawatiran dalam diri TS terhadap anak adopsi yaitu anak adopsi berpeluang menguasai seluruh harta TS dan berkelakuan tidak baik terhadap anak-anak perempuannya. Biaya adopsi yang tergolong tidak murah juga jadi alasan lainnya. Alasan-alasan TS ini merupakan koping atau suatu usaha menghibur diri yang digunakan oleh TS untuk mengatasi kendala yang dialaminya. “Enggak, saya enggak pernah berpikir seperti itu. Saya hanya berpikir bahwa saya hanya mau mengurus darah daging saya sendiri, apapun itu saya terima. Mengadopsi juga kan termasuk biayanya mahal. Adopsi itu sendirikan sebenarnya anak orang lain. Coba kalo adopsi, nanti dia lah yang menguasai semuanya, diusirnya nanti saudara- saudaranya” 156-158. Sedangkan, alasan ST tidak mau mengadopsi anak laki- laki adalah takut akan berdosa dan Tuhan marah kepadanya. ST merasa ia tidak akan bisa memberi perhatian dan kasih sayang yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki adopsi. ST mendapat saran adopsi secara tidak langsung dari ibu mertuanya saat sedang hamil anak keenam. Saat itu, ibu mertuanya langsung membawa seorang anak laki-laki dari kampung halaman yang merupakan anak dari adik suaminya. ST mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh ibu mertuanya agar anak laki-laki tersebut yang sudah tidak mempunyai ibu, dirawat dan ST anggap sebagai anak laki- lakinya sendiri, berikut pernyataan ST: “Bukan hanya masukan, orang tua dari Opung Doli kakek pernah membawa anaknya adek Opung Doli kakek ini. Jadi waktu itu mamaknya ini udah meninggal, dibawa ke Bangka ini maksudnya supaya aku yang ngasuh supaya saya anggap itu sebagai anak saya sendiri. Saya tidak mau nanti kalo kasih sayang saya tidak sama ku buat dengan dia nanti si Nando ini dengan anak saya yang perempuan, nanti Tuhan marah sama saya lebih kali saya berdosa tidak sama kasih sayang saya nanti” 291-293, 294-296. Pada suatu malam sebelum kelahiran anak keenam yang merupakan anak bungsu, ST bermimpi telah melahirkan anak keenamnya. Anak keenamnya berjenis kelamin sama seperti anak-anak sebelumnya yaitu perempuan. Saat itu ST merasa terkejut atas mimpinya. Ada rasa marah, gusar, dan ada keluhan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dalam diri ST. Hal-hal tersebut muncul karena ST menyadari bahwa harapan yang dibangun dengan usaha dan berdoa meminta kepada Tuhan agar diberi anak laki-laki tidak akan terwujud. Beberapa ciri diatas memperlihatkan bahwa dalam situasi tersebut, ST mengalami tahap anger. Terlihat dari pernyataan ST berikut ini: “Sebetulnya sebelum lahir Opung nenek sudah pernah mimpi e masih dalam kandungan ya yang bungsu ini. Lahir, dia lahir tapi perempuan sampai Opung terbangun pada malam itu, Opung nenek bilang sama Opung Doli kakek anak kita lahir, anak kita yang saya kandung ini perempuan Pak, Opung nenek bilang seperti itu. Nanti kalo ini perempuan gimana? Saya bilang begitu. Kalo ini nanti perempuan berarti Tuhan itu tidak adil sama kita Saya bilang gitu sama Opung kakek itu. Kita kan sudah berdoa terus meminta anak laki-laki tapi ini nanti perempuan bagaimana?” 79-81, 84-86. Hal utama yang menyebabkan ciri-ciri tersebut muncul dalam diri ST adalah ada ketakutan tidak akan ada penerus keturunanmarga suaminya. Selain itu, ST berpikir bahwa kasih sayang TS terhadap anak-anak perempuan mereka akan kurang dan kasih sayang dari mertuanya juga akan kurang terhadap ST dan anak-anak perempuannya. Berikut kutipan wawancara ST: “Ya yang pertama tidak ada penerus keturunan, yang kedua mungkin kalo anak saya semua perempuan kurang kasih sayang dari bapaknya kurang yang tadinya mungkin ee sepenuhnya sayang dengan kita cinta dengan kita tapi karena kita tidak memiliki anak laki-laki mungkin perasaan saya pada waktu itu nanti mungkin jadi berkurang kasih sayang yang jatahnya bahkan mungkin orang tuanya Opung kakek ee dari orang tuanya Opung kakek mungkin kurang nanti perhatian atau kurang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sayang dengan menantunya saya sendiri begitu pikiran saya pada saat lahiran itu. Gusarlah kan jadinya” 89-93. Saat seperti ini, ST merasakan dukungan yang berasal dari suaminya yaitu TS. Dukungan TS yaitu mengajak ST menerima apapun jenis kelamin anak bahkan jika lahir dalam kondisi cacat. Berikut kutipan wawancara ST: “Ya kita terimalah apa yang dikasih Tuhan, gitu dibilang Opungnya kakek, tiba waktunya lahirlah perempuan. Akhirnya ya mau tidak mau kita harus terima itu perempuan, jangankan perempuan kalopun itu cacat yang keluar harus kita terima, kalo ini perempuan tidak kita kasih ke orang atau tidak tidak dianggap anak tidak tapi tetap harus diterima” 86-89. ii.2. Saat Kelahiran Anak Bungsu Jadwal kelahiran anak keenam yang merupakan anak bungsu pasangan TS dan ST ternyata tidak sesuai dengan prediksi yang telah diperkirakan oleh dokter kandungan. Jadwal melahirkan ST menjadi maju dari yang seharusnya. Awalnya pasangan TS dan ST hanya berniat melakukan pemeriksaan kandungan namun saat itu ST sudah siap untuk melahirkan anak keenam bungsu mereka. Berikut kutipan wawancara TS: “Jadi waktu itu kan waktu itu saya bawa kesana opung nenek langsung dokter bilang sudah waktunya enggak bisa pulang lagi langsung e saya opung kakek nunggulah disitu menyiapkan persalinan kan” 100-101. TS dan ST belum mengetahui jenis kelamin anak keenam mereka hingga saat kelahiran. Anak keenam TS dan ST lagi-lagi berjenis kelamin perempuan sama seperti kelima anak sebelumnya yaitu perempuan. Kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan ini membuat TS gelisah dan tidak mau mengakui kondisi yang dialaminya yaitu lahir anak perempuan lagi. TS juga mengalami kebingungan. Hal ini karena TS tidak siap menerima anak keenamnya berjenis kelamin perempuan karena yang diharapkan lahir adalah seorang anak laki-laki. “Jadi sebetulnya opung doli kakek mengharap dia laki, jadi enggak ada harapan saya itu lebih besar lagi. Ada sedikit batin kami enggak cocok karena kehadirannya saya kurang terima karena dia perempuan” 96-97, 109. Kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan membuat TS tidak mau mengakui kondisi yang dialami bahwa anak keenamnya berjenis kelamin perempuan, sama seperti kelima anak sebelumnya. Keengganan TS untuk mengakui bahwa anaknya perempuan membuat TS ingin menghindari kondisi dengan niat menukar anak perempuannya dengan anak laki-laki orang lain. Saat itu, TS mengetahui bahwa salah seorang suami yang juga turut menunggui persalinan istrinya mengharapkan seorang anak perempuan. Sehingga, TS berpikir harapan mereka berdua dapat tercapai. Adanya niatan menukar ini berarti menunjukkan bahwa TS berada pada tahap denial. “Jadi saya ingat pada saat itu saya hitung suara bayi lahir waktu itu saya hitung sampai 14 suara bayi lahir semalam itu dan semuanya laki cuma satu yang perempuan. Jadi saya terbayang begini, pikiran jeleknya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI itu coba ya kalo suster ini merekayasa ada pula temanku yang disitu mengharapkan anak perempuan jadi pas lah kiranya kan tapi jangan sampai diketahui suster ini misal kan. Kawanku puas aku pun puas kan” 113-115, 203. Namun, di saat yang bersamaan timbul rasa bersalah dalam diri TS. Rasa bersalah TS ini muncul atas niat buruknya tadi yang ingin menukar anaknya dengan orang lain. Rasa bersalah TS ini berasal dari ketakutan anaknya akan terlantar dan tidak diasuh dengan baik oleh orang lain jika niat buruknya tadi terjadi. Selain itu merasa dirinya kejam atas niat tersebut dan berdosa kepada Tuhan. Sehingga, TS mau menerima anak perempuannya itu dengan rasa bersalah. “Tapi aku sadar untuk apa diganti, inikan darahku kok harus diganti? iya kalo diasuh dengan baik, kalo nanti ditelantarkan? Alangkah besarnya dosaku. Maaf Tuhan, ampuni aku bahwa pikiranku keliru kok bisa sampai kepikiran begitu. Jadi bersyukur, tidak jadi tapi sepintas ya itu kan karena duniawi tapi enggak, jadi saya bersyukur enggak jadi, coba kalo jadi, kepikiran gimana diasuh sama orang dia. Kalo jadi mungkin saat itu bahagia karena dia butuh perempuan dan aku butuh laki- laki mungkin lengkaplah sudah. Tapi saya berpikir kok saya masuk ke yang enggak benar. Baru disitu saya sadar, kok saya harus mengasuh yang bukan darah saya sendiri? Alangkah kejamnya tidak menerima pemberian Yang Maha Kuasa baru itu langsung dia ku peluk” 116-121. Pasangan TS sendiri yaitu ST merasa kurang bahagia saat mengetahui jenis kelamin anak keenamnya karena ia mengharapkan anak laki-laki. Meskipun begitu, ST tetap mau PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bersyukur karena di usia yang sudah cukup tua yaitu 38 tahun, ST melahirkan dengan selamat dan sehat. “Ya ya pasti ada rasa e kurang e tidak sebahagia kalo diberikan Tuhan apa yang kita kehendaki. Ya tidak sebahagia itu kurang kurang lah. Mungkin kalo dikasih Tuhan apa yang kita inginkan mungkin bagian itu 100 tapi karena tidak e tidak diberikan Tuhan apa yang kita kehendaki ya tidak mencapai 100 begitu. Nah bersyukur, 38 tahun opung nenek melahirkan bou mu. Bersyukur sebetulnya, selamat, sehat” 106-108, 355-356. ii.3. Setelah Kelahiran Anak Bungsu Apa yang menjadi ketakutan ST saat ia bermimpi sebelum kelahiran anak keenam yang juga merupakan anak bungsu menjadi kenyataan. Dari pernyataan ST, terlihat bahwa ST memiliki rasa cemburu terhadap menantu lain sehingga timbul keluhan dalam dirinya. ST merasa ada perbedaan kasih sayang dengan menantu lain dari mertuanya. ST juga merasa bahwa ibu mertuanya kurang dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anak perempuannya. ST menyadari bahwa hal tersebut terjadi karena keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki atau dengan kata lain ST tidak bisa memberikan cucu laki-laki seperti menantu lain. “Jelas ada, jelas ada karena saya bandingkan dengan Opung-opung menantu dari mertuanya yang lain yang ada anak laki-laki saya merasa entah itu salah tapi perasaan saya sendiri itu saya rasakan entah ngeles itu lah yang saya rasakan ya tapi memang ada kurang begitu karena saya tidak memiliki anak laki-laki itu ya dengan cucu-cucunya ada kurang gitu dari pihak Opung Doli kakek, kurang gitu perhatiannya” 94-97. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Di sisi lain, semenjak kelahiran anak keenam atau bungsu, pasangannya TS mengalami masa depression. Keadaan tersebut ditandai dari TS yang menjadi tidak bersemangat dalam menjalani keseharian karena kenyataan tidak sesuai dengan harapannya yakni memiliki anak laki-laki. Hal ini pun akhirnya membuat TS menjadi pasrah yang menunjukkan keputusasaan atas keadaannya. Meskipun mengalami putus asa, tetapi TS berusaha menghibur dirinya dengan berpikir bahwa jika ia memiliki anak laki-laki maka ia tidak akan sanggup mengasuh dengan baik anak tersebut. “Jadi awal-awalnya sih agak malas ya, mungkin karena cita-citanya udah enggak terkabul gitu. Agak lesu keseharian itu ya tapi sudah itu ya kembali biasa aja. Mungkin Tuhan tidak akan memberi lagi saya anak laki- laki kan, mungkin saya enggak sanggup merawat anak laki-laki, cuman anak perempuan yang mampu untuk saya e untuk ngurusnya saya pikir begitu. Jadi timbul kepasrahan jadi tidak lagi ada pikiran-pikiran negatif begitu” 195-198. TS tidak menyangkal bahwa keadaannya yang tidak memiliki anak laki-laki membuat ia jadi tertekan dan putus asa karena merasa terbebani. Selain itu, muncul perasaan rendah diri, merasa cemas, merasa hidupnya tidak berarti lagi. Beberapa ciri menunjukkan bahwa TS berada dalam tahap depression. Tetapi, TS tidak membiarkan dirinya terus menerus berada dalam keadaan tertekan dan putus asa. TS semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dengan rajin ke gereja. TS menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi ialah kehendak Tuhan. Pemikiran ini muncul setelah TS mendengar sebuah kalimat dari kitab suci agama yang didengar TS saat di gereja. Hal ini merupakan suatu usaha menghibur diri yang dilakukan oleh TS untuk mengatasi emosi-emosi negatif yang ada karena keinginan memiliki anak laki-laki tidak terwujud. “Kalo dulu waktu muda, beban juga. Beban seperti apa itu Pung? Ya bebannya karena kita merasa rendah perasaan kita itu ya karena kita enggak punya itu. Kita merasa rendah, seakan-akan kita itu dikejar bayangan yang negatif, selalu kita ber-negative thinking berpikir negatif. Kalo orang itu tertawa terbahak-bahak kita mesti mentang-mentang ku dak punya anak laki karena saya tidak punya anak laki-laki kalian enak aja ketawa sepuasnya. Tapi awal-awalnya tadi benar apa yang kamu katakan, seakan-akan kita ini enggak ada artinya hidup” 217-220. “Mengatasinya ya cara saya ya saya rajin ke gereja, ternyata saya dengar firman Tuhan yang mengatakan bukan rencanamu bukan kehendakmu tapi kehendakKu lah. Jadi seperti itu ya kan ada di alkitab itu ya jadi manusia itu kan hanya bercita-cita, berangan-angan, berandai-andai atau berharap-harap tapi semua keputusan kan ada di tangan Tuhan kan gitu. Jadi harapan itu kan saya kira manusiawi semua punya harapan, selera dan kemauan lah ya tapi kan tidak semuanya kita dapatkan apa yang kita idam-idamkan itu kan” 242-246. Ada saat dimana muncul rasa marah dan menyalahkan diri sendiri dalam diri TS anger. Hal yang melatarbelakangi ini karena TS merasa bahwa salah satu penyebab tidak bisa memiliki anak laki-laki ialah dirinya secara seksologi. Namun, pikiran TS ini tidak pernah diutarakan kepada ST demi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menghindari konflik. “Sebetulnya marah pada ke dirilah bukan marah ke Opung Boru nenek bukan. Secara seksologi mungkin e di bidang Opung yang salah, kalo kita kembalikan ke situ” 171-172. Dalam diri TS masih ada rasa cemburuiri terhadap keluarga lain yang memiliki anak laki-laki. Kecemburuaniri ini menimbulkan keluhan dan rasa gusar dalam dirinya karena tidak memiliki anak laki-laki seperti orang lain anger. “Orang lain dapat kita enggak dapat, seakan-akan ada kecemasan kita, itu benar” 222-223. Meskipun ada anger dalam diri tetapi TS berusaha mengatasinya dengan menghibur diri. Usaha menghibur diri ini dilakukan oleh TS dengan cara berpikir bahwa keadaannya ini merupakan terbaik dari Tuhan baginya. Jika TS memaksa maka hidupnya akan mengalami kesusahan karena anak laki-laki tersebut bisa bersikap kasar dan terjerumus menggunakan obat- obatan terlarang. “Syukurilah apa yang sudah menjadi miliki kita. Kita mungkin cuma ditentukan begini begitu, inilah yang terbaik. Mungkin kalo dikasih itu, mungkin nanti dia kena narkoba ato obat-obatan kan. Jadi kuanggap sekarang ini, Tuhan itu sungguh baik. Jadi kalo mungkin aku dikasih susah aku. Saya lihat ada orang anaknya anak laki-laki satu, ya ampun kadang-kadang setengah memaksa ke orang tuanya. Ada yang ku ketahui dia kayak ngancam lah kalo enggak dikasih toh dicampakkanlah. Pokoknya yang bertindak kasar lah terhadap orang tua. Jadi daripada hancur terima kasih Tuhan enggak Engkau kasih. Kalo seperti itu aku mati, enggak hidup lagi, udah mati aku PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menghadapi anakku yang narkoba segala macam itu” 225-229, 231-232. Pasangan TS dan ST sama-sama tetap merasa bangga walaupun mereka tidak memiliki anak laki-laki. TS merasa tidak ada perbedaan dengan orang lain yang memiliki anak laki-laki karena yang terpenting baginya ia tidak mengemis dan berkonflik dengan orang lain. TS juga memiliki pemikiran bahwa setiap orang menerima bagiannya masing-masing dalam hidup dari Tuhan. Sedangkan, ST tetap merasa bangga karena sejauh ini ia bisa melalui segala kendala dan tetap bisa mempertahankan keutuhan rumahtangganya meskipun tidak memiliki anak laki-laki. “Kalo saya sih bangga enggak ada perbedaan, kenapa? Yang penting saya enggak mengemis sama kalian, yang penting aku dengan kalian tidak membuat sesuatu masalah. Bagian aku ya bagian aku, bagian kamu ya itulah bagian kamu, kenapa kita harus permasalahkan” 469-471, TS. “Bangga, puji Tuhan bangga. Apa yang tetap membuat merasa bangganya? Saya masih bisa bertahan, bisa kami lalui, keluarga ini sudah 31 tahun kami menikah. Dalam keluarga kan tidak ada yang tidak ada masalah, kami bisa lalui tidak sampai di dengar tetangga berkelahi gitu kan” 271-273, ST. Ada kendala yang dialami oleh TS saat menyesuaikan diri di lingkungan suku Batak Toba. Kendala yang dialami berasal dari dalam diri TS sendiri bukan dari lingkungannya. Dalam diri TS ada perasaan sedih dan kemarahan pada tahap anger. Hal ini terjadi saat TS mengikuti acara pernikahan adat suku Batak Toba dimana orang tua menikahkan anak laki-lakinya. TS sering meneteskan air mata terutama saat penyerahan ulos pansamot. Ulos pansamot diberikan oleh orang tua pengantin perempuan hulahula kepada kedua orang tua pengantin dari pihak laki- laki pangoli sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat. Namun, disaat yang sama TS melakukan koping yang merupakan usahanya dalam menghibur diri untuk mengatasi emosi-emosi negatif yang muncul dengan berpikir bahwa semua pemberian Tuhan tidak ada yang kurang. Berikut ini pernyataan TS: “Ya orang kita pesta, seperti ulos pansamot [Ulos Pansamot di berikan oleh orang tua pengantin perempuan hulahula kepada kedua orang tua pengantin dari pihak laki-laki pangoli sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat], itu kan bakal enggak dapat, enggak ada alasannya saya dapat itu karena itu didapatkan pada pernikahan adat pada putera macam bapak dari Peri. Jadi Opung kakek tidak mendapatkan itu jadi sedihnya disitu. Kalo sekilas itu pastilah ada rasa ya kadang-kadang sedih, nangis batin lah. Kenapa Tuhan dak beri cem tuh kek ku kenapa Tuhan tidak memberikan hal seperti itu kepada saya. Kadang-kadang Opung kakek kalo pesta sedikit meneteskan air mata tanpa saya sadari ya, aduh enaknya yang punya anak anak laki-laki, saya enggak punya weih sebentar saya berusaha untuk memulihkan. Kalo memang kita sadari bahwa semuanya adalah pemberian Yang Maha Kuasa enggak ada yang kekurangan” 20-25, 33-35, 37-38. Selain dalam acara pernikahan adat suku Batak Toba, dalam diri TS juga ada rasa cemburuiri dan sedih saat melihat sebuah keluarga yaitu seorang ayah sedang bersama dengan anak laki-lakinya. TS sadar bahwa ia tidak memiliki kesempatan yang sama seperti seorang ayah suku Batak Toba lainnya yaitu memiliki anak laki-laki. Pernyataan TS ada dalam kutipan wawancara berikut ini: “Memang kita harus akui bahwa kadang-kadang seorang keluarga itu sama-sama dengan anaknya macam bapaklah ayah peneliti, berjalan dengan Peri saudara laki-laki peneliti berjalan dengan Vivid ada rasa kadang-kadang air mata itu netes ya netes air mata itu karena saya tidak akan mendapatkan hal ini. Kadang-kadang kita meneteskan air mata karena tidak bakal dapat lagi kita seperti itu” 17-20. Sama seperti pasangannya TS, ST memiliki reaksi yang menunjukkan ada kesedihan dalam dirinya saat menyaksikan sepasang orang tua menikahkan anak laki-lakinya. Penyebabnya ialah ST sadar bahwa ia tidak akan pernah menerima ulos pansamot. Pernyataan ST ini seringkali terungkap saat ST sedang mengobrol dengan sesama orang suku Batak Toba dalam acara pernikahan. “Kami hanya ngasih, kami nanti ngasih ulos pansamot itu sampai 6 loh. Tapi kami enggak nerima apa-apa” 151-152. Dalam diri ST masih ada kecemburuan dan rasa sedih yang merupakan bagian dari tahap anger khususnya terhadap saudaranya yang lain yang memiliki anak laki-laki. Hal ini karena ST mengetahui bahwa keluarganya tidak akan bisa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berperan aktif dalam upacara adat pemakaman saat mertuanya meninggal dunia. Keluarga pasangan ST dan TS tidak bisa berperan aktif karena tidak memiliki anak laki-laki sebagai identitas keluarganya. Hal ini merupakan dampak negatif dari keadaan keluarga ST dan TS yang tidak memiliki anak laki-laki. Hal ini juga yang membuat ST menjadi sedih menyadari bahwa anak perempuan tidak tidak dianggap atau memiliki peran layaknya anak laki-laki. Berikut pernyataan ST: “Bercerita-cerita dengan orang tua yang misalnya ninggal orang tua meninggal katanya kalo orang tua opung kakek ini nanti meninggal yang laki-laki kata orang-orang kita bercerita begitu kan cucunya laki-laki yang megang apa namanya katanya warisan dari opungnya gitu karena bou ini ee karena anak opung kakek ini tidak ada laki-laki nah akhirnya nanti yang pegang tongkat orang tuanya opung kakek nanti meninggal jadi dari yang adek opung kakek yang laki- laki gitu. Disitu juga opung nenek berarti ya jadinya sedih jugalah, oh berarti anak perempuan tidak masuk, tidak dianggap itu nanti ya tidak termasuk cucunyalah kan walaupun anak dari anaknya yang tua kan karena bukan laki-laki jadi bounya yang Fero ini mamaknya jojo bukan dia yang pegang tongkat itu” 317-322. Setelah kelahiran anak keenam atau bungsu, ST tampak masih mengeluhkan keadaannya yang tidak punya anak laki- laki. Hal ini terlihat dari ST yang masih membayangkan ada anak laki-laki di dalam keluarganya. Pemikiran ini muncul saat ST mengetahui ada keluarga lain yang baru memiliki bayi laki- laki. Berikut kutipan hasil wawancara: “Ada sih tapi tidak begitu melekat gitu tapi tetap ada suatu, ada saat-saat tertentu itu tidak setiap hari ada perasaan seperti itu. Terbayang bahwa oh gimana kalo diantara orang ini ada anak laki-laki, nah seperti itu tapi tidak tidak setiap hari, ada saat-saat tertentu gitu. Apalagi kalo ada seseorang melahirkan anak laki misalnya gitu” 123-126. Keadaannya yang tidak memiliki anak laki-laki membuat ST merasa sedih dan terbebani. Dengan kata lain, keadaan tidak memiliki anak laki-laki ini merupakan suatu tekanan bagi ST. Ciri-ciri yang ada pada diri ST ini menunjukkan bahwa ST mengalami tahap depression. Namun, ada koping yang dilakukan oleh ST untuk mengatasi kendala yang dirasakan yaitu emosi negatif akibat keadaannya ini. Koping yang dilakukan oleh ST yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan dan berpikir positif bahwa keadaannya ini merupakan pemberian terbaik baginya dari Tuhan. “Ya mendekatkan diri pada Tuhan, menerima apa yang dikasih Tuhan itu harus kita syukuri bahwa itu yang terbaik dikasih Tuhan. Ya melalui berdoa, iman, iyalah ditingkatkan iman, ditingkatkan ibadah ke Tuhan itu. Mungkin kalo saya dikasih Tuhan anak laki-laki mungkin entah jadi apa nanti anak saya itu, ya mungkin saya tidak sanggup mendidik anak laki-laki karena saya lihat pada umumnya anak laki-laki itu banyak yang menyusahkan orang tuanya seperti itu. Jadi saya anggap bahwa seperti itulah yang terbaik yang dikasih Tuhan sama saya itu supaya tidak terbebani terus dipikiran saya, tidak terlalu dalam ya gimanalah boleh dikatakan sedih ya sedih lah kita tidak mempunyai anak laki-laki” 142-147. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Salah satu fakta nyata bahwa anak laki-laki tidak selalu baik menjadi salah satu alasan yang digunakan oleh ST untuk menghibur diri. Hal tersebut terjadi pada keluarga ST sendiri, satu-satunya adik laki-lakinya menyusahkan kedua orang tuanya. Hal inilah yang menjadi latarbelakang ST dan saudari- saudarinya yang lain menganggap penyebab ibu mereka semakin cepat meninggal adalah sikap dan perilaku adik laki- lakinya tersebut. “Orang tua Opung Boru ini meninggal mendadak begitu. Memang sih darah tinggi mungkin udah waktunya udah ajalnya ya tapi kami menganggap karena pangngalaho atau tingkah lakunya ito panggilan kepada saudara laki- laki oleh perempuan dan sebaliknya ku itu anak laki-laki itu yang membuat mama Opung nenek itu ya cepat meninggal seperti itu” 215-218. Meskipun pasangan TS dan ST mengalami kendala dalam diri masing-masing tetapi di saat yang bersamaan pasangan TS dan ST berusaha menghibur diri masing-masing yang menunjukkan bahwa pasangan ini berusaha untuk menerima keadaan mereka yang tidak memiliki anak laki-laki. Dalam diri ST ada rasa sedih dan gusar. Faktor yang melatarbelakangi kesedihan dan kegusaran ST adalah tidak akan memiliki penerus keturunan dan penerus harta warisan keluarganya. ST menyadari bahwa secara adat anak perempuan tidak dapat meneruskan keturunan dan harta warisan keluarganya. Dalam budaya suku Batak Toba, anak perempuan akan ikut suaminya. Berikut kutipan wawancara ST,: “Pertama kan penerus keturunan itu tidak ada nah walaupun setidaknya tidak opung nenek ee tidak dikatakan kaya ya adalah sedikit warisan jadi tidak ada penerus kami itu kan bou mu ini semua kawin nanti diambil suaminya ee dibawa suaminya kan begitu” 337- 339. Topik pembicaraan terkait anak laki-laki menjadi suatu hal yang sangat sensitif bagi TS. Terlihat dari pernyataan TS yang tidak mau membicarakan dan selalu menghindar jika pasangannya ST mulai mengarahkan pembicaraan pada topik ini. Hal ini dilakukan oleh TS untuk menghindari konflik dan saling menyalahkan diantara TS dan ST. Berikut kutipan pernyataan dari TS: “Kalo soal bicara tentang adat mungkin lah ya tapi kalo untuk sensitif untuk pribadi yang masalah kekurangan ini kami juga sebetulnya agak jarang ya ngomong seperti itu kenapa karena takutnya bersinggungan kan. Biarlah batin yang bicara maksudnya gitu kan. Nanti kalo kita ungkapkan kamu begini begini kan akhirnya nanti takut enggak terima jadinya beban kan. Jadi opung kakek hati- hati, lebih bagus bercanda cerita-cerita lah adat lah jangan ee opung kakek masalah anak laki enggak ada ini enggak enggak, saya yang menutup jangan sampai dari saya opung doli kakek. Jangan sampai saya memulai gitu loh karena saya ee biasa itu sensitif” 359-364. “Ya jadi untuk yang satu ini saya ya enggak pernah saya mendahului kalo dia pun yang memulai saya alihkan, ah sudah lah enggak usah dipikirin hal-hal yang seperti itu yang lain aja kita bicarakan kata opung doli kakek seperti itu. Saya enggak mau terlibat terlalu serius membicarakan hal itu. Takut nanti biasanya kalo kita bertengkar kita enggak mau menerima kesalahan kita dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI selalu melempar kesalahan kepada pasangan kita atau orang lain begitu kan. Kita kan enggak mau menerima kekurangannya, selalu mengatakan orang lain lah yang salah” 365-369. Seiring berjalan waktu semenjak kelahiran anak bungsu, TS menyadari bahwa tidak mungkin lagi baginya memiliki anak laki-laki sehingga timbul kepasrahan. Hal ini dilatarbelakangi oleh usia yang semakin tua sehingga TS mulai menerima takdir yang tidak lagi memungkinkannya untuk memiliki anak. Meskipun begitu, TS berusaha menghibur dirinya dengan berpikir bahwa keadaannya merupakan yang terbaik dan mensyukuri semua yang sudah dimiliki dari Tuhan. Berikut pernyataan dari TS: “Tapi sekarang sudah terkubur itu sudah karena memang udah enggak mungkin lagi ada perubahan tentang hal yang satu ini. Nah, jadi artinya kita sudah pasrah karena itu sudah enggak mungkin lagi terjadi, udah tua. Syukurilah apa yang sudah menjadi miliki kita. Kita mungkin cuma ditentukan begini begitu, inilah yang terbaik” 224-226. Meskipun TS dan ST sama-sama mengalami kendala karena tidak memiliki anak laki-laki tetapi pasangan ini saling memberi dukungan. Dukungan ini tidak terkait langsung dengan keadaan yang tidak memiliki anak laki-laki. Namun, dukungan ini menguatkan aspek lain dalam diri pasangan TS dan ST. TS merasakan dukungan dari ST berupa perhatian, sering mengingatkan TS agar ia tidak terbebani dengan urusan duniawi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dan lebih menikmati hidup. Dukungan lain yang dirasakan TS yaitu perhatian terhadap ia dan anak-anak mereka dan terhadap pihak keluarga TS. TS juga merasa bahwa ST tetap menghargai dan menghormatinya. Berikut kutipan pernyataan TS: “Ya dukungannya gitulah ya dukungan opung nenek itu kan jangan terlalu banyak kau pikiri dunia ini nanti kau cepat tua, apa sih kalo sudah mati kamu bawa ke liang kubur itu? Jadi udah santai ajalah jangan terlalu beban hidup ini. seperti itulah dukungan opung boru nenek” 237-238. “Yang kurasakan ialah bahwa Opung nenek mu ini tidak ada lagi tandingannya, perempuan hebat. Maksudnya gimana Pung? Jadi begini bagi orang kita dia sangat dekat dengan keluarga, semuanya dibantuin. Saya lihat orang lain seperti itu pasti berantem, hanya kepada keluargamulah kan lebih condong tapi dia lebih condong ke keluarga saya. Saya merasa kok dia itu seperti itu lebih condong, seharusnya dia menuntut. Sering dia membantu keluarga Opung kakek. Kadang Opung kakek bilang jangan condong ke keluargaku saja tapi dia bilang enggak apalah kita harus saling membantu. Dia juga sekarang wanita karier enggak pernah sesuka-suka dia sama Opung kakek” 415-420. Sedangkan, dukungan yang dirasakan oleh ST dari TS berupa ajakan untuk menerima keadaan mereka yang tidak memiliki anak laki-laki. Keadaan mereka yang tidak memiliki anak laki-laki dan hanya ada anak perempuan merupakan hal terbaik bagi mereka dari Tuhan. Pernyataan ST terdapat dalam kutipan wawancara berikut ini: “Suportnya ya ee seperti ini kayak Tuhan itu ee memberikan kita anak perempuan bahwa inilah yang terbaik dikasih Tuhan, mungkin kalo Tuhan memberikan anak laki-laki entah nanti dia itu e anak laki-laki itu yang mungkin buat kita jadi stress jadi apa gitu kan. Jadi inilah yang terbaik dikasih Tuhan seperti itu, nah gitulah opung kakek itu ngomong” 268-270. Sebuah keluarga suku Batak Toba yang sudah menikah selama 37 tahun dan tetap langgeng walaupun tidak memiliki seorang anak pun jadi salah satu alasan bagi TS dalam menghibur dirinya sendiri untuk menerima keadaan tidak memiliki anak laki-laki. TS menjadikan keluarga ini sebagai contoh baginya agar sabar dalam menjalani hidup dan memiliki sebuah komitmen dalam berumahtangga apapun yang terjadi. TS sadar bahwa ada orang lain yang lebih susah darinya. Hal ini terungkap dari pernyataan TS berikut ini: “Jadi ada keluarga kita disini kan marga Sihotang kan di Koba ini, sudah ee mereka sudah menikah tahun 79 berarti sudah 37 tahun sampai sudah pension sudah tua lah mereka tidak dikaruniai seorang anak pun tapi mereka tetap bertahan sampai hari ini sampai detik ini. Berarti mereka itu komit kan, nah sebenarnya opung kakek masih diberi 6 cwek kan, mereka satu pun enggak ada dan pernah hamil pun enggak pernah atau pernah melahirkan tau-tau meninggal pun sama sekali belum pernah sampai sekarang tua rambut uban. Jadi ku anggap mereka lebih kuat imannya daripada saya kan. Kenapa saya katakan ya karena mereka sama sekali tidak ada kan buah kasih sayang mereka itu tidak ada tapi mreka bisa bertahan maksud saya. Ya dengan melihat sekitar kita, ada enggak yang lebih susah ya kan ada makanya kita harus sabar hidup itu” 276-283. Di sisi lain, TS meminta kepada anak perempuannya yang tertua agar cucu laki-lakinya yang tertua tinggal bersama dengan TS. Tindakan TS ini mencerminkan bahwa meskipun TS sudah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tidak berusaha lagi untuk mendapatkan anak laki-laki tetapi TS masih merindukan sosok seorang anak laki-laki. Cucu laki- lakinya ini menjadi pemenuhan keinginan TS yang tidak tercapai yaitu memiliki anak laki-laki. “Opung kakek yang minta, mamanya sih enggk kasih. Tapi mamanya nangis sebenarnya mau ngasih kan itu kan tapi karena ku bilang tolong lah nak bapak kan tidak ada anak laki biar dulu lah bapak yang merawat Jojo sementara. Jadi karena omongan aku itu enggak bisa dibantah dia apalagi adeknya udah lahir lagi laki kan. Nah mungkin dia merasa karena saya enggak punya anak laki itu mamanya itu nangis sebetulnya” 440-443. ST sebagai istri TS tidak menolak keinginan TS untuk merawat cucu laki-laki mereka itu. Namun, ST terlihat mengalami suatu dilema karena khawatir cucunya itu akan kekurangan kasih sayang orang tuanya karena masih kecil. Selain itu, ST juga memiliki kekhawatiran yaitu akan timbul kecemburuan dari anak keduanya yang hanya memiliki anak perempuan. Berikut pernyataan ST: “Opung nenek keberatan sih dak tidak tapi opung nenek merasa karena dia masih kecil, nah dia kan masih butuh kasih sayang orangtuanya kalo dari kecil kita ee di ajak ke rumah kita jauh dari orang tuanya nanti jadi kurang kasih sayang orangtuanya sama dia kan gitu. Memang sih kita sayang tapi kan opung nenek juga berpikir dengan cucu dari yang nomor dua itu, cucu dari bou nomor dua kan perempuan dua-dua nah nanti mereka kan jadi cemburu sosial, mentang-mentang anakku perempuan enggak die e mereka enggak disayang sama mamak dan bapak tapi lebih sayang sama Jojo karena mereka laki-laki nah takutnya seperti itu nanti dibilang mereka kan” 195-200. Pasangan TS dan ST merasakan ada perbedaan sejak kehadiran cucu laki-lakinya di rumah. Kehadiran cucu laki-laki ini memberikan dampak positif bagi diri pasangan TS dan ST. TS pun menganggap cucu laki-lakinya ini sebagai pengganti sosok anak laki-laki yang selama ini tidak bisa dimiliki olehnya. TS maupun ST menjadi senang semenjak kehadiran cucu mereka di rumah. TS sendiri tampak bahagia karena dapat merasakan memiliki anak laki-laki. Demikian pernyataan TS dan ST: “Makanya saya langsung tercetuskan dengan masalah ini, makanya kan langsung saya bawa cucu ini datang ke sini untuk mendapat ketenangan. Cucuku laki inilah ku anggap sebagai anakku yang bungsu. Si Jojo cucu laki-laki pertama tuh lah anak kami yang laki. Enggak punya anak laki-laki tapi dikasih Tuhan langsung dua cucu laki-laki. Mungkin di anak enggak dapat tapi lewat cucu saya dapatkan” 188-190, 436-438, TS. “Ya kalo aku seakan-akan sudah kutemukan yang sebenarnya itu. Aku, aku sayang banget sama Jojo, kalo bisa dia ya di aku lah yang ngasuh dia sampai besar, kalo bisa ya perasaan sekarang ya enggak tau kalo besok kalo ada perubahan. Tapi setelah dia pulang rumah ini rasanya sepi, hampa apalagi dia ngomong opung kakek enggak sayang lagi ya sama aku, jemput sekarang Jojo” 453-456, TS. “Ya rasanya ya biasalah tidak ee ya enaklah rasanya ramai tadi udah enggak ada anak kecil lagi kan jadi ramai. Jadi ada kanti kawan opung doli menemani kakek, ada kawannya laki-laki karena sebelumnya tidak ada kawannya laki-laki di rumah ini. Pun lebih senang lah semenjak ada Jojo, opung doli kakek terutama ya gitu” 202-204, ST. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dari hasil data menunjukkan bahwa TS dan ST berulang berusaha mengatasi kendala yang mereka rasakan seperti emosi- emosi negatif karena tidak memiliki anak laki-laki. Pasangan TS dan ST berusaha mengatasi dengan koping terhadap nilai religius dan menghibur diri dari fakta-fakta yang diketahui terkait anak laki-laki yang tidak selalu baik. keadaannya yang tidak memiliki anak laki-laki setelah kelahiran anak bungsu hingga sekarang. Hingga saat ini, pasangan TS dan ST belum berada pada tahap penerimaan dan masih berupaya mengatasi kendala yang dirasakan. Tabel 4 Rangkuman Penerimaan Diri Pasangan TS dan ST TS ST Tahap Ciri-ciri Tahap Ciri-ciri Sebelum Kelahiran Anak Bungsu 2 Anger Sejak anak kedua hingga keenam - Ada tuntutan - Ada keluhan - Menyalahkan diri sendiri - Ada rasa marah 2 Anger Menjelang kelahiran anak keenam - Ada rasa marah - Ada keluhan - Ada rasa terkejut - Ada rasa gusar Saat Kelahiran Anak Bungsu 1 Denial - Ada kebingungan - Ada kegelisahan - Tidak mau mengakui keadaan sehingga timbul pikiran negatif dan ada - Kurang bahagia tetapi tetap mau bersyukur - Perasaan bersalah - Ada ketakutan Setelah Kelahiran Anak Bungsu 4 Depression - Ada keputusasaan - Tidak bersemangat - Merasa tertekan - Ada kecemasan namun ada usaha menghibur diri 2 Anger - Ada keluhan - Ada rasa cemburuiri - Ada rasa sedih namun ada usaha menghibur diri 2 Anger - Ada rasa cemburuiri - Ada rasa sedih - Ada kemarahan namun ada usaha menghibur diri 4 Depression - Merasa sedih - Merasa tertekan - Ada keputusasaan - Dalam tahap ini juga ada rasa sedih dan gusar namun ada usaha menghibur diri iii. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penerimaan Diri Berdasarkan hasil analisis wawancara terhadap pasangan TS dan ST mengenai pengalaman atas keadaan tidak memiliki anak laki-laki, diketahui bahwa pasangan ini belum mencapai tahap penerimaan. Namun, akan ditunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses menuju ke penerimaan diri, diantaranya: iii.1. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi proses menuju penerimaan diri pada pasangan TS dan ST yaitu anak laki- laki tidak selalu baik. Hal ini karena adanya fakta-fakta nyata kasus yang terjadi pada keluarga ST dan keluarga lain yang mengalami kesusahan karena anak laki-laki. Anak laki-laki bersikap dan berperilaku tidak baik, menggunakan obat- obatan terlarang sehingga menyusahkan orang tua. Berikut pernyataan dari TS dan ST: “Saya lihat pada umumnya anak laki-laki itu banyak yang menyusahkan orang tuanya seperti itu. Orang tua Opung Boru ini meninggal mendadak begitu. Memang sih darah tinggi mungkin udah waktunya udah ajalnya ya tapi kami menganggap karena pangngalaho atau tingkah lakunya ito panggilan kepada saudara laki- laki oleh perempuan dan sebaliknya ku itu anak laki- laki itu yang membuat mama Opung nenek itu ya cepat meninggal seperti itu” 131-132, 215-218, ST. “Saya lihat ada orang anaknya anak laki-laki satu, ya ampun kadang-kadang setengah memaksa ke orang tuanya. Ada yang ku ketahui dia kayak ngancam lah kalo enggak dikasih toh dicampakkanlah. Pokoknya yang bertindak kasar lah terhadap orang tua” 227- 229, TS. Dukungan yang berasal dari pasangannya juga turut menjadi salah satu faktor bagi TS dan ST. Dukungan dari ST yang dirasakan oleh TS berupa perhatian, sering mengingatkan TS agar ia tidak terbebani dengan urusan duniawi dan lebih menikmati hidup. Dukungan lainnya seperti perhatian terhadap ia dan anak-anak mereka serta pihak keluarga TS juga ST tetap menghargai dan menghormatinya. Dukungan yang dirasakan oleh ST dari TS seperti selalu mengajak untuk menerima keadaan mereka yang tidak memiliki anak laki-laki dan hanya ada anak perempuan merupakan yang terbaik bagi mereka dari Tuhan. “Yang kurasakan ialah bahwa Opung nenek mu ini tidak ada lagi tandingannya, perempuan hebat. Maksudnya gimana Pung? Jadi begini bagi orang kita dia sangat dekat dengan keluarga, semuanya dibantuin. Saya lihat orang lain seperti itu pasti berantem, hanya kepada keluargamulah kan lebih condong tapi dia lebih condong ke keluarga saya. Saya merasa kok dia itu seperti itu lebih condong, seharusnya dia menuntut. Sering dia membantu keluarga Opung kakek. Kadang Opung kakek bilang jangan condong ke keluargaku saja tapi dia bilang enggak apalah kita harus saling membantu. Dia juga sekarang wanita karier enggak pernah sesuka-suka dia sama Opung kakek” 415- 420, TS. “Suportnya ya ee seperti ini kayak Tuhan itu ee memberikan kita anak perempuan bahwa inilah yang terbaik dikasih Tuhan, mungkin kalo Tuhan memberikan anak laki-laki entah nanti dia itu e anak laki-laki itu yang mungkin buat kita jadi stress jadi apa gitu kan. Jadi inilah yang terbaik dikasih Tuhan seperti itu, nah gitulah opung kakek itu ngomong” 268-270, ST. Kehadiran cucu laki-laki TS dan ST juga menjadi salah satu faktor eksternal yang membuat pasangan ini menjadi lebih bersemangat dalam menjalani hidup mereka. Seperti pernyataan keduanya berikut ini: “Ya kalo aku seakan-akan sudah kutemukan yang sebenarnya itu” 453, TS. “Ya enaklah rasanya ramai tadi udah enggak ada anak kecil lagi kan jadi ramai. Pun lebih senang lah semenjak ada Jojo, opung doli kakek terutama ya gitu” 202-204, ST. iii.2. Faktor Internal Salah satu faktor internal yang yang mempengaruhi TS dalam proses menuju penerimaan ialah kenyataan bahwa ia masih memiliki keturunan walaupun berjenis kelamin perempuan, berikut: “Perasaan saya sekarang justru saya bersyukur, kenapa? Karena banyak orang tidak punya anak sama sekali dan saya masih punya. Saya cuma dikategori kurang lengkap, tidak termasuk di kategori tidak beruntung” 129-130. Usia juga menjadi salah satu faktor pada diri TS. Usia yang semakin tua membuat TS berpikir tidak akan terjadi hal negatif seperti yang dikhawatirkan. “Mungkin bagi kami sekarang karena sudah tua, enggak mungkin lagi terjadi hal-hal yang negatif. Jadi kalo sudah setua ini seiring dengan berjalannya waktu, sudahlah jadi udah enggak ada lagi hal-hal yang perlu dipermasalahkan sekalipun budaya kita menginginkan hal itu” 175, 382-384. Keyakinan yang dipegang oleh TS dan ST dalam hidupnya yaitu segala yang terjadi dalam hidupnya merupakan kehendak Tuhan juga menjadi salah satu faktor internal bagi TS dan ST dalam proses menuju penerimaan diri. Hal ini juga merupakan koping bagi pasangan ini. “Saya punya keyakinan bahwa semua yang ku rasakan, yang ku alami terjadi yang menjadi kenyataan adalah anugerah Tuhan” 92-93, TS. “Keyakinan itu em hanya Tuhan yang ini yang bekerja dalam keluarga gitu” 234, ST.

d. Proses Penerimaan Diri Pasangan TS dan ST Yang Tidak

Memiliki Anak Laki-laki Nilai hagabeon dari nilai 3H menurut pasangan TS dan ST yaitu keturunan lengkap ada laki-laki dan perempuan, hamoraon yaitu kekayaan harta benda dan hasangapon terkait dengan kehormatan yang dimiliki oleh seseorang. Nilai hamoraon dapat dicapai dengan bekerja keras. Nilai hagabeon tercapai dengan memiliki anak laki-laki dan perempuan. Namun, nilai ini tergantung dari pemberian Tuhan. Nilai hasangapon bagi TS tercapai melalui pangkat yang dimiliki dalam pekerjaan. Sedangkan, menurut ST nilai hasangapon tercapai saat seseorang memiliki ekonomi yang baik dan keturunan yang lengkap. Menurut TS nilai 3H ini merupakan filosofi hidup orang suku Batak Toba pada umumnya. Namun, tidak semua orang dapat mencapai ketiga nilai ini. Menurut TS, tidak lagi menjadi suatu kekurangan jika ketiganya tidak tercapai karena dipengaruhi oleh agama yang telah dianut oleh orang suku Batak Toba. Pasangan TS dan ST memaknai anakhon hi do hamoroan di au yaitu anak lebih berharga dibandingkan harta kekayaan. TS menambahkan bahwa anak menjadi pegangan hidup orang tua. Tambahan lain menurut ST yaitu orang tua berjuang dan bekerja demi anak-anaknya. Menurut pasangan TS dan ST, peranan anak laki-laki yaitu sebagai penerus keturunan. Menurut TS peranan lain anak laki-laki ialah memberikan hak tertentu bagi orang tua dalam adat dan sebagai pewaris harta kekayaan. Anak perempuan sendiri menurut TS dan ST kurang dianggap dalam keluarga menurut adat. Cara pandang orang suku Batak Toba ini dikritisi oleh TS dan ST. TS dan ST tidak setuju dengan perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan. Pasangan TS dan ST mempunyai pandangan yang sama sebagai pasangan terkait anak perempuan. Pandangan ini saling menguatkan TS dan ST untuk menerima keadaan bahwa hanya memiliki anak perempuan juga tidak ada masalah. Ketidaksetujuan ST ini juga terlihat dari nada bicara yang lebih keras dibanding saat menjawab pertanyaan lain selama wawancara. Pasangan TS dan ST sama-sama memiliki ciri-ciri kemarahan anger seperti rasa marah, ada keluhan dan tuntutan karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Tetapi, ST ada ciri lainnya yaitu rasa cemburuiri dan gusar. Ciri-ciri ini muncul dalam diri TS karena TS belum ada anak laki-laki. TS mulai ingin memiliki anak laki-laki setelah istrinya ST melahirkan anak pertama. Kemudian, TS berharap anak keduanya laki-laki namun tetap perempuan. Lalu, TS berharap akan dapat anak laki-laki pada anak ketiga tetapi tetap sama perempuan. Keadaan ini membuat TS mengeluh dan menuntut istrinya ST karena belum bisa melahirkan anak laki-laki. Namun, hal tersebut tidak diungkapkan TS secara langsung, hanya dalam hati saja direpress. Namun, muncul rasa bersalah pada diri TS. Rasa bersalah TS muncul atas keluhan dan tuntutan yang TS miliki terhadap istrinya ST. Pihak keluarga TS dan istrinya ST memberi saran kepada TS untuk menikah lagi. Saran ini diberikan oleh pihak keluarga agar marga TS memiliki penerus sehingga tidak putus. Namun, TS menolak dengan berbagai pertimbangan. Faktor pemicu ST menyarankan suami TS menikah lagi adalah rasa cemburuiri. ST merasa kurang dihargai dan ada perbedaan kasih sayang diantara menantu lain dari ibu mertuanya. Marga TS tetap dapat berlangsung bila TS dan ST mengadopsi anak laki-laki. Namun, tidak dilakukan oleh TS dan ST. Alasan TS adalah hanya ingin merawat anak kandung saja dan takut anak adopsi akan bersikap tidak baik dan seluruh harta dikuasai serta faktor biaya adopsi juga mahal. Sedangkan, alasan ST yaitu ada ketakutan akan berdosa terhadap Tuhan sebab tidak akan bisa memberi perhatian dan kasih sayang yang sama antara anak-anak perempuan dan anak laki-laki. Meskipun TS dan ST memiliki alasan yang berbeda tetapi mereka berdua berusaha saling menghibur diri. Menjelang kelahiran anak keenam atau bungsu, ST bermimpi ia melahirkan anak perempuan lagi. Dalam diri ST muncul rasa terkejut, rasa marah, gusar dan keluhan yang menunjukkan bahwa ST dalam tahap anger. Saat itu, ST terbayang dan takut bahwa kasih sayang suaminya TS akan berkurang terhadap anak-anak perempuannya. Selain itu, kasih sayang dari mertuanya juga akan berkurang terhadap ST dan anak-anaknya. Muncul juga pikiran bahwa tidak akan ada penerus keturunanmarga suaminya. Terlihat bahwa ST memahami peranan anak laki-laki dalam sebuah keluarga suku Batak Toba. ST merasa didukung oleh suaminya dalam keadaan tersebut. Suami ST mengajak ST untuk menerima apapun jenis kelamin anak keenam. Bahkan jika anak keenam tersebut lahir dalam kondisi cacat mereka harus menerimanya. TS mengalami tahap denial dan ada rasa bersalah saat mengetahui anak keenam juga berjenis kelamin perempuan. Keengganan TS untuk mengakui bahwa anaknya perempuan membuat TS ingin menghindari kondisi dengan niat menukar anak perempuannya dengan anak laki-laki orang lain. Di saat yang bersamaan, TS merasa bersalah dan ada ketakutan. TS merasa berdosa kepada Tuhan dan anak perempuannya itu atas pikiran mau menukar itu. TS segera memeluk anaknya. ST sendiri berusaha PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menghibur dirinya sendiri dengan tetap mau bersyukur walaupun merasa kurang bahagia karena lahir anak perempuan lagi. Selama wawancara pun TS dan ST tidak menutupi perasaannya. Terlihat dari mata TS dan ST tampak berkaca-kaca saat peneliti pengajukan pertanyaan terkait kelahiran anak bungsu. TS mengalami tahap depression setelah kelahiran anak bungsu. TS merasa merasa hidupnya tidak berarti, rendah diri, ada keputusasaan dan perasaan tertekan. Meskipun mengalami tahap depression, TS berusaha mengatasi keadaan dengan koping yaitu berpikir bahwa segala sesuatu merupakan kehendak Tuhan dan menjadi semakin sering pergi ke gereja. TS merasa marah pada diri sendiri dan merasa bersalah kepada istrinya ST. TS merasa bahwa ia merupakan faktor penyebab mereka tidak memiliki anak laki-laki secara seksologi. TS masih membayangkan dirinya memiliki anak laki-laki. TS pun menjadi cemburuiri dan timbul keluhan terhadap keluarga lain yang memiliki anak laki-laki hingga saat ini. Meskipun mengalami tahap anger, berusaha diatasi TS dengan koping yaitu berpikir bahwa keadaan ini merupakan terbaik dari Tuhan. Nilai-nilai adat budaya suku Batak Toba salah satunya 3H berakar kuat dalam diri pasangan TS dan ST. Selain tidak akan ada penerus keturunan marga, TS dan ST juga sadar bahwa mereka tidak akan pernah menerima ulos pansamot. Ulos ini hanya diterima PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI