Proses Penerimaan Diri Ketiga Pasangan TS dan ST, MM dan

ketiga pasang informan, para istri merupakan pihak yang lebih emosional terutama saat pertanyaan terkait anak laki-laki. Secara khusus, informan MM yang merupakan pasangan dari SS telah mencapai tahap acceptance atau penerimaan diri atas keadaannya yang tidak memiliki anak laki-laki. Dalam diri MM sudah ada penerimaan juga sudah tidak ada lagi ketakutan, keputusasaan dan kemarahan. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock 1981 bahwa penerimaan diri adalah toleransi seseorang terhadap peristiwa frustasi maupun menjengkelkan serta pengakuan terhadap kekuatan yang dimiliki. Dampak dari penerimaan diri Hurlock, 1974 informan MM yaitu memiliki penyesuaian diri seperti dapat mengevaluasi diri dan memiliki keyakinan diri serta penyesuaian sosial seperti merasa aman memberi perhatian terhadap orang lain dan penyesuaian sosial yang baik. Meskipun secara keseluruhan belum mencapai tahap acceptance kecuali informan MM, ada faktor-faktor yang mendukung ketiga pasang informan dalam proses menuju penerimaan yaitu faktor eksternal pasangan, lingkungan, ajaran agama dan internal nilai religius dan rasa syukur, diri. Faktor internal yaitu nilai religius dan rasa syukur, diri. Dari ketiga pasang, faktor yang mempengaruhi atau pendukung menuju proses penerimaan diri ialah nilai religius dan rasa syukur. Nilai religius dan rasa syukur membantu ketiga pasang informan untuk mengatasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kendala yang dialami dan rasakan seperti emosi-emosi negatif. Seperti pasangan TS dan ST yang mensyukuri dan berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi ialah kehendak Tuhan. Faktor internal yang berkaitan dengan diri yaitu keyakinanprinsip yang dimiliki dalam hidup. Faktor lainnya yang hanya ada pada setiap informan yaitu faktor usia yang semakin tua seperti pada informan TS, pengalihan objek harapan kepada menantu laki-laki terjadi pada SS. Kesuksesan yang pernah dicapai yaitu memiliki anak perempuan juga jadi faktor pendukung pada informan TS dan SS. Faktor eksternal yang peneliti temukan pada ketiga pasang informan yaitu pasangan, lingkungan dan ajaran agama juga menjadi faktor pendukung bagi ketiga informan dalam proses menuju penerimaan. Faktor yang penting ialah dukungan sosial dari pasangan. Dukungan dari pasangan dalam hal ini ialah berupa ajakan untuk menerima keadaan dan berbagai bentuk perhatian. Para informan merasa mendapatkan dukungan dari pasangan masing- masing namun, hal ini tidak tampak pada informan PT. Selain itu, tidak ada hambatan yang dirasa dari lingkungan sesama orang orang suku Batak Toba. Fakta nyata bahwa anak laki-laki tidak selalu baik dan menyusahkan juga jadi faktor pendukung bagi kedua pasangan yaitu pasangan TS dan ST dan pasangan MM dan SS dalam proses menuju penerimaan. Kehadiran cucu laki-laki di rumah menjadi faktor lain bagi pasangan TS dan ST. Sedangkan, faktor lain yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ada pada pasangan MM dan SS ialah kebanggaan memiliki anak- anak perempuan yang berkelakuan baik. Peneliti juga menemukan keunikan pada informan MM yaitu adanya lingkungan sosial mesosistem yang baik semasa muda antara pengalaman dalam keluarga dan lingkungan sekolah. Ajaran agama tidak mengharuskan memiliki anak laki-laki juga turut mempengaruhi informan SS. Di sisi lain, faktor yang menghambat datang dari pihak keluarga ketiga pasang informan. Pihak keluarga ketiga pasang informan tidak siap akan keadaan mereka yang tidak memiliki anak laki-laki sehingga membuat mereka secara tidak langsung tersirat kurang menerima. Kondisi ini akhirnya membuat pihak keluarga secara tidak langsung menyarankan khususnya pihak suami untuk menikah lagi dan atau mengadopsi anak laki-laki. Namun, saran- saran tersebut tidak ditanggapi oleh ketiga pasangan informan khususnya para suami.

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ketiga pasang informan melalui proses yang berbeda-beda menuju penerimaan. Seperti yang dikritik oleh Kastenbaum dalam Huffman, dkk., 2000 bahwa setiap orang memiliki pengalaman yang unik bahwa emosi dan reaksi tergantung pada kepribadian, situasi hidup, usia dan lainnya. Informan pasangan TS dan ST melalui tahap yang berbeda. Sebelum kelahiran anak bungsu keenam, informan TS melalui tahap anger sejak anak kedua kemudian saat kelahiran anak bungsu tahap denial dibarengi rasa bersalah. Setelah kelahiran anak bungsu TS mengalami tahap depression tetapi ada usaha menghibur diri. Meskipun ada usaha menghibur diri, TS kembali ke tahap depression dan dibarengi dengan adanya usaha menghibur diri dengan nilai religius sebagai koping. TS kembali regresif ke tahap anger dibarengi lagi dengan usaha menghibur diri. Sementara itu, pasangannya ST sebelum kelahiran anak bungsu keenam ada rasa cemburu hingga menjelang kelahiran anak keenambungsu melalui tahap anger berupa kemarahan, keluhan, terkejut dan rasa gusar. Saat kelahiran anak bungsu, meskipun kurang bahagia tetapi tetap mau bersyukur. Meskipun bersyukur, tahap anger muncul lagi kemudian berganti menjadi tahap depression dan dibarengi dengan usaha mengibur diri koping hingga saat ini. Sementara itu, informan pasangan MM dan SS juga melalui tahap yang berbeda. Informan MM dalam mencapai tahap acceptance melalui usaha menghibur dirinya dan bargaining, kemudian berganti menjadi tahap bargaining dan memiliki harapan baru untuk memiliki anak laki-laki hingga sebelum saat kelahiran anak bungsu ketujuh. Saat kelahiran anak ketujuh bungsu, ada koping yang digunakan oleh MM hingga MM berusaha menghibur dirinya yang dibarengi dengan penerimaan. Berbeda dengan MM, pasangannya SS saat anak kedua melalui tahap anger. Kemudian saat hamil anak ketiga SS masuk ke dalam tahap bargaining dan saat kelahiran anak ketiga regresif ke tahap anger. Menjelang kelahiran anak bungsu ketujuh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI beralih ke tahap depression. Saat kelahiran anak bungsu ketujuh, SS menggunakan koping untuk mengatasi kendala karena keadaannya yaitu nilai religius, tetapi kemudian kembali ke tahap depression. Setelah kelahiran anak bungsu SS masih mengalami tahap depression tetapi berupaya menghibur dirinya sampai sekarang. Pasangan PT dan TN juga berbeda, PT melalui tahap anger disusul bargaining saat anak ketiga, kemudian pada saat kelahiran anak bungsu kelahiran keenam melalui tahap depression yang dibarengi dengan usaha menghibur diri. Kemudian tahap anger dibarengi dengan perasaan tertekan hingga kembali terulang mengalami tahap depression. Ada koping yang digunakan untuk mengatasi keadaan. Sedangkan, pasangan PT yaitu TN melalui tahap anger saat kelahiran anak bungsu tetapi dibarengi rasa syukur atas kelahiran. Setelah kelahiran anak bungsu, berganti ke tahap depression kemudian regresif ke tahap anger dibarengi depression sampai sekarang. Perbedaan proses yang dialami oleh masing-masing ketiga pasang informan menunjukkan bahwa tahapan yang dilalui bersifat fleksibel, dapat melompat-lompat tidak berurutan, tidak semua tahapan dilalui, terjadi bersamaan dengan tahap yang lain dan tahapan dapat berubah yaitu bersifat progresif dan regresif. Peneliti juga menemukan bahwa ketiga pasang informan sama-sama tidak diawali tahap denial dan isolation seperti yang ada dalam tahap penerimaan diri Kulber-Ross 1998. Temuan peneliti ini sesuai dengan perhatian yang diberikan oleh Kubler-Ross dalam Kail Cavanough, 2010 terhadap kelima tahapan penerimaan diri ini bahwa tidak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI semua orang mengalami tahapan tersebut atau melalui tahapan tersebut sesuai dengan urutan yang sama. Hal tersebut juga didukung oleh Neimeyer dalam Kail Cavanough, 2010 bahwa tahap penerimaan tidak harus dilihat sebagai urutan. Seperti yang terlihat pada informan pasangan TS dan ST dan pasangan PT dan TN. TS berada pada depression lalu regresif ke tahap anger. Pasangan PT dan TN, TN berada di tahap depression regresif ke tahap anger dan depression sedangkan PT berada di tahap depression lalu anger dan ada tekanan kemudian progresif ke tahap depression. Dari ketiga pasang informan, peneliti menemukan bahwa faktor utama yang melatarbelakangi ketiga pasangan begitu persisten berusaha memiliki anak laki-laki yaitu sebagai penerus keturunan keluarga marga. Hal ini karena sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal – menurut garis keturunan ayah Vergouwen, 2004. Persistensi tersebut terlihat dari pasangan TS dan ST yang memiliki anak perempuan sebanyak 6 orang, pasangan MM dan SS memiliki 7 orang anak dan pasangan PT dan TN memiliki 8 orang anak tetapi enam kelahiran. Temuan peneliti ini sesuai dengan hasil penelitian Nurelide 2007 bahwa anak laki-laki memiliki arti yang penting dalam keluarga karena nantinya ia yang akan meneruskan kelangsungan hidup keluarganya. Anak laki-laki berkewajiban mengurus kelangsungan hidup keluarga juga berperan sebagai penerus marga. Selain faktor penerus keturunan keluarga marga, ada faktor lain yang peneliti temukan dan hal ini bersifat lebih pribadi pada masing-masing informan. Vergouwen 2004 menyatakan bahwa dalam budaya suku Batak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Toba yang menjadi pewaris seutuhnya adalah anak laki-laki. Berlainan dengan anak laki-laki, anak perempuan tidak mempunyai hak tertentu dalam warisan orang tuanya. Maka, harta kekayaan orang tua akan turun ke anggota galur terdekat. Pernyataan Vergouwen ini sejalan dengan alasan pasangan TS dan ST yang persisten ingin memiliki anak laki-laki sebagai penerus warisan walaupun sudah memiliki anak perempuan. Lain halnya dengan informan TN terlepas dari adat budaya suku Batak Toba yang disandangnya, dari temuan yang ada alasan lain TN ingin memiliki anak laki-laki yaitu ingin keturunannya lengkap yaitu ada anak laki- laki dan perempuan. Hal ini berbanding terbalik dengan pasangannya yaitu PT. Identitas yang disandang sebagai orang suku Batak Toba memberikan suatu tekanan bagi PT. Tekanan ini muncul karena PT merasakan ada batasan peran dalam berpartisipasi saat mengikuti suatu acara adat suku Batak Toba. Apa yang terjadi pada PT ini juga diungkapkan oleh Irianto 2005 bahwa kedudukan masing-masing orang apakah ia dari kelompok Hula-hula, Boru atau Dongan Sabutuha menentukan secara jelas peranannya dalam ritual upacara. Bahkan, tempat duduk dalam upacara juga sudah ditetapkan secara jelas. Bila ada permasalahan, satuan upacara ini juga menunjukkan secara jelas siapa-siapa saja yang harus diundang untuk ikut membicarakan dan memutuskannya. Tekanan akibat keterbatasan yang dirasakan oleh PT ini didukung oleh pernyataan Pleck dalam Santrock, 2012 bahwa pria tidak hanya mengalami stress jika mereka menyimpang dari perannya, mereka juga dirugikan jika tidak bertindak sesuai perannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI