i.2. Arti Dan Peranan Anak Dalam Adat Budaya Suku Batak Toba
Pasangan TS dan ST memaknai ungkapan anakhon hi do hamoraon di au yaitu anak lebih berharga dibandingkan harta
kekayaan. TS menambahkan bahwa anak menjadi pegangan hidup orangtua. ST menambahkan bahwa ungkapan tersebut
juga memiliki makna yaitu orang tua berjuang dan bekerja demi anak-anaknya.
“Artinya gini anakhon hi do hamoraon di au itu sebetulnya sudah menjadi suatu hukum yang nyata sudah
jelas kalo kamu punya harta segudang tapi kalo enggak punya anak hampa kan. Artinya jauh lebih penting
keturunan dibandingkan harta. Namanya juga enggak punya keturunan, untuk apalah hidup seakan-akan hidup
itu kosong. Jadi kalo ada anak seakan-akan ada pegangan hidup terlepas masalah anak itu kadang-kadang tidak
selalu membuat bahagia orang tua tapi pada prinsipnya memang anakhon hi do hamoraon di au kalo enggak
punya anak mau bicara apa?” 78-80, 82-84, TS.
“Iya, kalo anakhon hi do hamoraon di au artinya apapun yang kita miliki, yang dimiliki orang tua itu berusaha,
bekerja, e banting tulang itu kan untuk anaknya” 72-73, ST.
TS menjelaskan bahwa pengertian anak dalam bahasa Batak yaitu keturunan. Namun, ada perbedaan penyebutan untuk
jenis kelamin sehingga lebih spesifik. Dalam bahasa Batak Toba, anak laki-laki disebut anak sedangkan anak perempuan disebut
boru. Berikut kutipan yang ada dalam wawancara: “Kalo kita menggunakan bahasa yang sederhana, anak itu
adalah keturunan mau perempuan mau laki sama hanya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang membedakan kelaminnya. Kalo anak nungnga jelas bawa anak itu berarti laki-laki kalo boru sudah jelas
perempuan. Jadi dalam arti yang sesungguhnya sama” 85-87, TS.
Arti dan peranan anak laki-laki menurut pasangan TS dan ST yakni sebagai penerus keturunan. TS menambahkan bahwa
anak laki-laki juga berperan sebagai pewaris harta kekayaan dan memberikan hak tertentu bagi orang tua dalam adat suku Batak
Toba. ST juga mengungkapkan bahwa adanya anak laki-laki dalam suatu keluarga akan membuat keluarga tersebut menjadi
gabe atau lengkap, selain ada anak perempuan. Di sisi lain, menurut TS dan ST kehadiran anak perempuan kurang dianggap
dalam keluarga menurut adat dibanding anak laki-laki. “Eem kalo di adat Batak, anak laki-laki itu hanya sebagai
penerus keturunan kalo saya tangkap tapi karena sudah seperti itu ee dari nenek moyang kita dulu jadi kayak gitu
sampai sekarang lah. Kayaknya sih anak perempuan itu kurang aktif, kurang ada harganya” 24-26, 31-32, ST.
“Anak laki-laki itu mewariskan, mendapatkan harta orang tua tapi kalo anak perempuan enggak” 72, TS.
Pasangan TS dan ST sama-sama tidak setuju atas cara pandang orang suku Batak Toba terhadap keluarga yang tidak
memiliki anak laki-laki. “Jadi kembali lagi kalo kita orang Batak itu saya
menganggap orang Batak itu keliru caranya berpikir, kan kalo enggak ada anak anak laki-laki seakan-akan kalo
enggak ada garis keturunan seakan-akan tidak dianggap sebagai manusia nah itu itu fatalnya” 180-182, TS.