TN tidak merasa minder bersosialisasi di lingkungan masyarakat suku Batak Toba karena tidak memiliki anak laki-laki.
Namun, keinginan TN memiliki anak laki-laki sering muncul. Keinginan TN ini muncul saat melihat anak kecil di acara punguan
perkumpulan suatu marga tertentu. TN langsung menjadi kurang bersemangat dan tampak ada keputusasaan karena ia tidak ada anak
laki-laki. Anger dan depression muncul berbarengan dalam diri TN. Meskipun TN merasa tidak puas dan kurang bersemangat
menjalani keseharian tetapi TN merasa mendapat kekuatan dari anak perempuannya yang kembar tiga. TN menjadi lebih semangat saat
melihat tingkah laku mereka bertiga. Hal ini terlihat dari TN yang menjadi lebih lebih saat wawancara di sela dirinya menangis. TN
juga mendapat dukungan secara emosional dari pihak keluarga. Namun, dukungan keluarga belum cukup membuat TN mau
menerima keadaannya. TN justru merasa cemburuiri karena keluarga yang memberi dukungan itu memiliki anak laki-laki.
TN juga merasakan dukungan dari PT yang mengajak TN untuk menerima keadaan mereka yang tidak memiliki anak laki-laki.
TN merespon positif dukungan dari PT. TN mau mengikuti saran PT. Namun, PT sendiri belum merasa ada dukungan yang diberikan
oleh TN kepadanya. Meskipun PT belum merasakan dukungan dari TN tetapi dari wawancara dengan TN terlihat bahwa TN juga
perhatian terhadap PT. TN mengetahui perubahan yang terjadi pada PT selama ini.
PT masih memiliki beberapa ciri anger dalam dirinya setelah anak bungsu lahir. PT masih suka mengeluh, merasa gusar dan
cemburuiri. Ciri-ciri ini muncul saat PT mengikuti acara adat suku Batak Toba. Selain kemarahan, ada perasaan tertekan dalam diri PT
dari segi adat karena keadaannya. Dalam diri PT juga terlihat ada keputusasaan dan rasa
kehilanganyang terlihat dari hasil wawancara dengan TN. PT merasa hidupnya tidak berarti karena tidak memiliki anak laki-laki. PT
masih membayangkan dirinya memiliki anak laki-laki yaitu saat mengikuti acara adat suku Batak Toba. Cara PT menyiasati yaitu
dengan koping terhadap nilai religius yaitu tidak adanya keharusan memiliki anak laki-laki dalam ajaran agama yang dianut oleh PT. PT
juga menghibur diri seperti menganggap dirinya akan tidak mampu memenuhi kebutuhan jika memiliki anak laki-laki.
Meskipun tidak diutarakan secara langsung, PT tahu bahwa keluarga pihak istrinya TN tidak puas dengan keadaan PT dan TN
yang tidak memiliki anak laki-laki. Tetapi, PT tidak mau memikirkan pendapat orang lain. PT tidak menghiraukan
ketidakpuasan yang ada pada keluarganya. Meskipun PT memiliki anger dan depression dalam diri, tetapi
PT memiliki rasa tanggung jawab terhadap keluarganya. Di sisi lain, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari pengalaman keluarganya ini, PT sadar bahwa semua manusia tanpa terkecuali akan meninggal.
4. Struktur Dasar Keseluruhan
a. Data Demografi Ketiga Pasangan
Dari ketiga pasang informan penelitian, peneliti menemukan beberapa data demografi yang sama antara pasangan TS dan ST dan
pasangan MM dan SS. Pasangan TS dan ST dan Pasangan MM dan SS memiliki usia pernikahan lebih dari 30 tahun. Dari kedua
pasangan ini, pihak suami sama-sama telah pensiun. Selain itu, memiliki agama yang sama yaitu Katolik. Pihak suami dari dua
pasangan ini merupakan lulusan STM. Sedangkan, usia pernikahan pasangan PT dan TN yaitu 20 tahun. Pasangan PT dan TN beragama
Kristen. Pihak suami pasangan PT dan TN masih bekerja sebagai wirausahawan.
Pihak istri dari masing-masing pasangan memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang berbeda. Latar belakang
pendidikan pihak istri dari pasangan TS dan ST yaitu lulusan sarjana S1 dan bekerja sebagai seorang guru. Pihak istri dari pasangan MM
dan SS berlatar belakang pendidikan yaitu lulusan SMA. Sedangkan latar belakang pendidikan pihak istri pasangan PT dan TN yaitu
lulusan SD dan bekerja sebagai seorang pedagang. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti selama wawancara berlangusung, peneliti menemukan perbedaan respon
terhadap pertanyaan yang diajukan diantara ketiga pasang informan. Ketiga pasang informan tampak bersemangat saat menjawab
pertanyaan terkait dengan pemahaman nilai-nilai 3H hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Di sisi lain, saat diajukan pertanyaan
terkait anak laki-laki, ada perubahan yang terjadi diantara ketiga pasang informan. Ketiga pasang informan menjadi lebih serius
tampak dari nada bicara dan sikap saat menjawab pertanyaan. Selain itu, ada perubahan emosi seperti mata berkaca-kaca, menangis dan
ada jeda saat menjawab pertanyaan. Pada informan SS yang merupakan pasangan dari MM, terlihat ada keputusasaan yang
terlihat dari nada bicara yang merendah, sesekali menghela nafas dan sesekali ada jeda saat menjawab pertanyaan. Berbeda dengan
informan yang lain, informan MM tampak biasa saja saat menjawab pertanyaan mengenai anak laki-laki. Ditemukan bahwa pihak istri
dari setiap pasangan lebih emosional terhadap pertanyaan terkait anak laki-laki.
b. Pemahaman 3H Ketiga Pasangan
Ketiga pasang informan penelitian memiliki pemahaman yang sama terkait nilai hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Nilai
hagabeon menurut ketiga pasang informan yaitu nilai yang terkait PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan memiliki keturunan lengkap yakni anak laki-laki dan perempuan. Nilai ini dapat tercapai atas pemberian dari Tuhan. Nilai
hamoraon menurut ketiga pasang informan yaitu nilai yang terkait dengan kekayaan-harta benda seseorang dan dapat dicapai dengan
bekerja keras. Sedangkan, nilai hasangapon yaitu nilai yang terkait dengan kehormatanharga diri dan jabatan seseorang.
Dari tiga pasang informan ditemukan ada empat jawaban yang berbeda untuk mencapai nilai hasangapon. Menurut informan ST
dan PT, nilai hasangapon tercapai dengan perekonomian yang baik dan memiliki keturunan yang lengkap. Menurut TS dan SS nilai ini
tercapai melalui pangkatjabatan yang dimiliki seperti dalam pekerjaan. Nilai hasangapon menurut MM tercapai dengan
menghormati dan menghargai orang terlebih dahulu. Sedangkan, menurut TN nilai ini tercapai dengan mendidik anak menjadi anak
yang beriman dan berpendidikan, anak menghormati orang tua dan berkelakuan baik sehingga orang tua bangga.
Terkait dengan 3H, ada informasi lain dari informan secara pribadi. Menurut TS dan pasangan MM dan SS nilai 3H merupakan
filosofi hidup dan dicari oleh orang suku Batak Toba dalam hidup. Menurut PT orang suku Batak Toba yang memiliki ketiga nilai ini
dianggap sempurna. Namun, ada pandangan lain menurut TS dan SS bahwa tidak semua orang dapat mencapai ketiga nilai 3H ini.
c. Arti dan Peranan Anak Menurut Ketiga Pasangan
Bagi ketiga pasang informan kecuali informan TN, makna anakhon hi do hamoroan di au yaitu anak merupakan hal yang
terpenting bagi orang tua. Orang tua akan melakukan apapun demi anaknya. Sedangkan, TN memaknai ungkapan anakhon hi do
hamoroan di au yakni anak yang berhasil dan sukses akan membuat orang tua menjadi bangga dan senang.
Ketiga pasang informan memiliki persamaan terhadap peranan anak laki-laki dalam adat budaya suku Batak Toba yaitu sebagai
penerus keturunan marga. Ada tambahan lain dari para informan yang berbeda terkait peranan anak laki-laki seperti pasangan MM
dan SS serta informan TS menambahkan bahwa anak laki-laki sebagai penerus harta kekayaan. Menurut PT dan TN juga
menambahkan bahwa peranan anak laki-laki ialah bertanggungjawab terhadap keluarga orang tuanya karena bermarga sama dan memiliki
tanggungjawab tertentu dalam adat. TS menambahkan bahwa anak laki-laki memberikan hak tertentu bagi orang tuanya dalam adat.
Sedangkan, anak perempuan tidak bisa meneruskan keturunan. Menurut PT, anak secara umum berperan menciptakan hubungan
sosial dengan pihak keluarga lain secara budaya Batak Toba Dalihan Na Tolu, menjaga nama baik orang tuakeluarga dan
membanggakan orang tua. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tambahan dari TS yakni anak berarti keturunan. Namun, dalam suku Batak Toba ada perbedaan penyebutan untuk anak
berdasarkan jenis kelaminnya. Anak yang berjenis kelamin laki-laki disebut anak. Sedangkan, anak yang berjenis kelamin perempuan
disebut boru. Pasangan TS dan ST serta informan MM tidak setuju atas cara
pandang orang suku Batak Toba yang membedakan anak laki-laki dan perempuan. Menurut pasangan TS dan ST, anak perempuan
kurang dianggap dalam keluarga karena cara pandang ini. Cara pandang informan MM juga berbeda dengan orang suku Batak Toba
pada umumnya. MM tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan.
d. Proses Penerimaan Diri Ketiga Pasangan TS dan ST, MM dan
SS, PT dan TN
Pada penelitian ini, fokus yang menjadi utama adalah memahami bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya
menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki. Hasil dari penelitian yang peneliti temukan menunjukkan
bahwa ketiga pasang informan melalui proses menuju penerimaan diri yang berbeda-beda. Secara individu, para informan juga melalui
proses yang berbeda-beda. Secara keseluruhan, para pasangan belum mencapai tahap penerimaan kecuali informan MM.