8
BAB II LANDASAN TEORI
Bab II ini berisi kajian teori, kerangka berpikir, dan hipotesis tindakan. Kajian teori membahas mengenai teori-teori yang mendukung yakni teori
perkembangan anak, metode pembelajaran, metode inkuiri, teori kognitif Bloom, kemampuan mengingat, kemampuan memahami, pembelajaran IPA, dan materi
tentang IPA. Hasil penelitian yang relevan membahas mengenai penelitian terdahulu yang berisi penelitian tentang inkuiri, penelitian tentang kemampuan
proses kognitif, dan literature map.
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori-teori yang Mendukung
2.1.1.1 Teori Perkembangan Anak
Supratiknya 2002: 26 mengungkapkan bahwa ada dua teori konstruktivisme sosial yang terkemuka yaitu teori konflik sosiokognitif Jean
Piaget 1896-1980 dan teori sosiokultural Lev Semenovich Vygotsky 1896- 1934. Jean Piaget memiliki pendapat mengenai teori perkembangan kognitif.
Perkembangan kognitif tergantung pada empat faktor yaitu pertumbuhan biologis, pengalaman dengan lingkungan fisik, pengalaman dengan lingkungan sosial, dan
ekuilibrasi Piaget, dalam Schunk, 2012: 331. Ekuilibrasi merupakan faktor utama dan dorongan motivasi di belakang perkembangan kognitif. Ekuilibrasi
mengkoordinasikan tindakan-tindakan dari tiga faktor lainnya dan membuat struktur-struktur mental dan realitas lingkungan eksternal. Ekuilibrasi mengacu
pada dorongan biologis untuk menciptakan sebuah kondisi keseimbangan atau ekuilibrium yang optimal antara struktur-struktur kognitif dan lingkungan
Duncan, dalam Schunk, 2012: 331. Ekuilibrium adalah mekanisme yang diusulkan Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak-anak berpindah dari satu
tahap pemikiran ke pemikiran berikutnya. Pergeseran ini terjadi karena anak-anak mengalami konflik kognitif atau disEkuilibrium dalam mencoba memahami dunia
Piaget, dalam Santrock, 2014: 44.
9
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa proses kognitif dapat dipangaruhi oleh ekuilibrasi yaitu dorongan untuk mencapai
keseimbangan Ekuilibrium dan menyebabkan terjadinya pergeseran pemikiran sehingga anak mengalami konflik disEkuilibrium. Konflik tersebut dapat
diselesaikan dan mencapai keseimbangan Ekuilibrium dengan adanya asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses merespons lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang Hergenhahn, 2010: 314. Asimilasi terjadi ketika orang
memasukkan informasi baru ke dalam pengetahuan skema yang ada. Akomodasi terjadi ketika orang menyesuaikan skema pengetahuan mereka terhadap informasi
baru. Skema adalah tindakan atau representasi mental yang mengorganisasikan pengetahuan Piaget, dalam Santrock, 2014: 43. Berdasarkan beberapa pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa asimilasi dan akomodasi sangat berkaitan erat dengan skema. Anak menggunakan skema mereka dengan cara asimilasi dan
akomodasi. Perkembangan kognitif seseorang akan berjalan seiring dengan
bertambahnya usia. Perkembangan tersebut berlangsung melalui tahapan-tahapan yang berbeda dan semakin kompleks. Piaget dalam Santrock, 2014: 45-52
mengusulkan empat tahapan perkembangan kognitif yakni sensorimotorik, pra operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Keempat tahapan
tersebut akan diuraikan sebagai berikut. 1.
Tahap Sensorimotorik Tahap sensorimotor berlangsung dari lahir sampai dengan 2 tahun 0-2
tahun. Pada tahap ini bayi membangun pemahaman tentang dunia dengan mengoordinasikan pengalaman sensorik mereka seperti melihat dan
mendengar dengan tindakan motorik mereka mencapai, menyentuh. Pada awal tahap ini, bayi lebih menunjukkan pola refleksif untuk beradaptasi
dengan dunia. Pada akhir tahap ini, mereka menampilkan pola sensorimotor yang jauh lebih kompleks Piaget, dalam Santrock, 2014: 45.
2. Tahap Pra Operasional
Tahap pra operasional berlangsung dari anak usia 2 sampai 7 tahun. Tahap ini lebih simbolis dari cara berpikir sensorimotor, namun tidak melibatkan
10
pemikiran operasional. Pemikiran pra operasional dapat dibagi menjadi sub- tahap fungsi simbolis dan pikiran intuitif. Sub-tahap fungsi simbolis terjadi
antara usia 2 sampai 4 tahun. Sub-tahap ini, anak mendapatkan kemampuan untuk merepresentasikan secara mental benda yang tidak ada, namun mereka
masih memiliki keterbatasan yakni egosentrisme. Sub-tahap pemikiran intuitif terjadi antara usia 4 sampai 7 tahun. Pada sub-tahap ini, anak mulai
menggunakan penalaran primitif dan ingin mengetahui jawaban atas segala macam pertanyaan Piaget, dalam Santrock, 2014: 46-48.
3. Tahap Operasional Konkret
Tahap operasional konkret berlangsung antara usia 7 sampai 11 tahun. Pemikiran operasional konkret melibatkan penggunaan operasi. Penalaran
logis menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya dalam situasi konkret. Operasi konkret adalah tindakan mental yang dapat dibalik yang berkaitan
dengan benda nyata konkret. Pada tahap operasional konkret, anak-anak dapat melakukan secara mental yang dapat mereka lakukan sebelumnya dan
dapat membalikkan operasi konkret. Tahap operasional konkret melibatkan penyusunan stimulus sepanjang dimensi kuantitatif seriation dan
kemampuan untuk berpikir serta menggabungkan hubungan secara logis atau transitivitas Piaget, dalam Santrock, 2014: 49.
4. Tahap Operasional Formal
Tahap operasional formal berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pada tahap ini, individu bergerak melampaui penalaran tentang pengalaman
konkret dan masuk berpikir dengan cara yang lebih abstrak, idealis, serta logis. Pada tahap ini, anak mulai mewujudkan konsep dan mengembangkan
hipotesis mengenai cara untuk memecahkan masalah dan mencapai kesimpulan secara sistematis Piaget, dalam Santrock, 2014: 50-52.
Setiap anak akan mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya usia anak. Perkembangan yang dialami setiap anak dapat berbeda-beda sesuai dengan
kecepatan anak untuk berkembang. Tahap perkembangan kognitif yang digunakan peneliti adalah tahap operasional konkret yakni antara usia 7 sampai 11 tahun
karena subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV Sekolah Dasar. Anak dalam tahap operasional konkret dapat berpikir secara rasional yang dapat diterapkan
11
pada masalah-masalah yang konkret. Mereka dapat mengatasi atau menyelesaikan permasalahan berdasarkan hal-hal yang konkret atau nyata.
Pemikiran atau pengetahuan yang semakin kompleks tidak lepas dari peran lingkungan sosial yang berada disekeliling individu sehingga dapat dikatakan
bahwa lingkungan sosial sebagai fasilitator perkembangan dan pembelajaran. Teori pembelajaran yang didasarkan pada gagasan tersebut adalah teori
pembelajaran konstruktivis yang dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Slavin 2011: 4 mengemukakan teori ini mempunyai implikasi terhadap pengajaran karena
menjadikan siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran mereka sendiri sehingga dapat disebut pengajaran yang berpusat pada siswa. Vygotsky dalam
Slavin, 2011: 4 berpendapat bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu melalui proyek kooperasi.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konstruktivis adalah pembelajaran yang kooperatif yakni siswa saling berinteraksi
dengan orang dewasa atau teman sebaya sehingga siswa secara aktif mengikuti pembelajaran. Interaksi memberikan peranan penting bagi perkembangan dan
pemikiran manusia. Perbedaan perkembangan dan pemikiran manusia didasarkan pada kultur masing-masing individu.
Pandangan Vygotsky dikenal sebagai teori sosiokultural yang berarti bahwa teori ini menekankan pembelajaran berlangsung melalui interaksi anak dengan
seseorang yang berpengetahuan, baik itu orang dewasa seperti orang tua atau guru dan teman sebaya Vygotsky, dalam Salkind, 2009: 373. Berdasarkan paparan
tersebut dapat disimpulkan bahwa teori Vygotsky menekankan pada perkembangan dipengaruhi oleh interaksi sosial dan kultural, yakni anak dapat
berinteraksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu sehingga mereka dapat membangun pengetahuannya sendiri melalui pembelajaran yang
aktif. Vygotsky mengemukakan bahwa siswa paling baik memelajari konsep yang
berada dalam zona perkembangan proksimal zone of proximal development atau ZPD. Zona perkembangan proksimal atau ZPD adalah jarak antara tingkatan
perkembangan aktual yang berupa pemecahan masalah secara mandiri dan tingkatan perkembangan potensial yang berupa pemecahan masalah di bawah
12
bimbingan orang dewasa atau bekerja sama dengan teman sebaya yang mampu. ZPD dapat digambarkan sebagai perbedaan antara kemampuan anak untuk
memecahkan masalah dengan dibantu. ZPD mencakup semua fungsi dan aktivitas yang bisa dilakukan anak hanya dengan bantuan orang lain. Orang lain dalam
proses ini memberikan intervensi yang terstruktur yang disebut sebagai perancahan atau scaffolding Vygotsky, dalam Salkind, 2009: 375-376.
Perancahan atau scaffolding dapat diartikan sebagai teknik-teknik yang digunakan oleh pendidik untuk membangun jembatan antara apa yang sudah
diketahui oleh anak dan apa yang harus diketahui olehnya. Perancahan atau scaffolding terdiri atas kegiatan-kegiatan yang disediakan oleh pendidik untuk
menopang dan menuntun anak melalui zona perkembangan proksimal. Perancahan dapat diberikan oleh guru atau teman sebaya. Teman sebaya yang
tahu dapat menjadi pendidik bagi anak agar berhasil mempelajari apa yang harus diketahui Vygotsky, dalam Salkind, 2009: 379-380.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ZPD merupakan daerah saat anak membutuhkan bantuan dari orang dewasa baik orang tua maupun guru
serta teman sebaya yang lebih terampil dalam memecahkan suatu permasalahan. Bantuan yang diberikan oleh orang lain disebut sebagai perancahan atau
scaffolding. Perancahan atau scaffolding berarti upaya-upaya yang dilakukan guna mengatasi permasalahan ketika anak berada pada daerah ZPD. Bantuan dari orang
lain atau teman sebaya yang lebih terampil dapat menjadikan anak meraih ide berpikir yang baru.
Upaya dalam mengatasi permasalahan tidak terlepas dari teknik atau metode yang digunakan agar anak mencapai suatu keberhasilan sehingga pemilihan
metode yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak sangat menentukan keberhasilan suatu pembelajaran.
2.1.1.2 Metode Pembelajaran