pelatihan dan penyuluhan yang terprogram dalam rangka pemberdayaan masyarakat BAPPENAS, 2004.
2.5 Kondisi Penyuluhan Sebelum dan di Era Desentralisasi
Perkembangan penyuluhan sebelum Indonesia merdeka mulai tercatat bersamaan dengan berdirinya “Departemen Pertanian” Landbouw pada tahun
1905 dimana salah satu tugas departemen ini adalah menyalurkan hasil penyelidikan kepada petani yang dilakukan oleh semacam “penyuluh”
Landbouw-adviseur dengan tugas khusus untuk memberi nasehat Soejitno, 1968 dalam Pambudi, 2002. Diungkapkan oleh Abbas 1995 bahwa pada tahun
1905 semua aktivitas pemerintahan termasuk penyuluhan dibawah pengelolaan Landbouw itu ditujukan untuk membantu program-program pemerintah kolonial
Belanda dan pada tahun 1908 pegawai penasehat penyuluhan dengan dasar perintah kepada petani dapat menyelenggarakan beberapa kegiatan “pendidikan”
sehingga aktivitasnya berkembang menjadi penyuluhan yang tidak berdasarkan perintah. Peningkatan ini sejalan dengan didirikannya Landbouw School tahun
1908 yang lulusannya diperbantukan pada penasehat pertanian Pambudi, 2002. Antara tahun 1921 sampai dengan 1942, instansi yang menangani penyuluhan
pertanian tidak hanya menangani penyuluhan tanaman pangan saja, akan tetapi berkembang untuk menangani perkebunan dan tercatat adanya keberhasilan dalam
beberapa hal seperti: pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, pemakaian benih dan pemberantasan hama penyakit. Dengan adanya perkembangan penyuluhan,
maka kegiatan-kegiatan bimbingan, percontohan, pembentukan kelompok dan hasil usahatani juga mulai dirasakan, sehingga sejak tahun 1927 telah berkembang
Kursus Tani Desa KTD di Jawa; tetapi antara tahun 1942-1945 zaman pendudukan Jepang penyuluhan pertanian pada umumnya tidak dilaksanakan
Abbas, 1995 Sejarah penyuluhan pertanian termasuk perikanan dan peternakan di
Indonesia sejak merdeka tahun 1945 sampai dengan mulai diberlakukannya desentralisasi tahun1995 diklasifikasikan oleh Pambudi 2002 sebagai berikut :
Setelah proklamasi kemerdekaan 1945-1950 dikembangkan “Plan Kasimo” yang meliputi rencana produksi pertanian tiga tahun yaitu antara tahun 1948-1950,
namun gagal karena terjadi gejolak revolusi fisik dan setelah adanya pengakuan kedaulatan RI 1950-1959 Plan Kasimo diganti dengan “Rencana Wacaksono”
yang berubah menjadi “Rencana Kesejahteraan Istimewa “ RKI dengan tujuan: 1 memperbanyak produksi dengan cara menambah Balai Benih dan Kebun Bibit,
2 perbaikan dan perluasan pengairan pedesaan, 3 peningkatan penggunaan pupuk, 4 peningkatan pemberantasan hama, 5 peningkatan pendidikan
masyarakat pedesaan dengan mendirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa BPMD.
Antara tahun 1950-1958 pada subsektor peternakan mulai dirintis kegiatan import ayam ras sampai terselenggaranya pameran Perunggasan di Jakarta pada
September 1961. Sementara itu pada tahun 1958 muncul gagasan “Intensifikasi Produksi Padi” yang dipusatkan pada sentra-sentra produksi hingga mencapai
1.000 Ha dan disebut “Padi Sentra”; tetapi sistem ini belum berhasil baik karena kurangnya keahlian dalam penyuluhan, disamping pelayanan dan pemasaran yang
buruk dan terjadinya penyelewengan kredit. Masa tahun 1959-1969, dikenal dengan “Periode Terpimpin”, cukup cepat
mengalami perubahan karena dimulai dengan “pola pergerakan massa” sekaligus “ pendekatan perorangan” sehingga pelayanan menjadi lebih merata. Sementara
itu pola “Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap I” dicanangkan dan
bersamaan dengan itu digerakkan pula aktivitas unggul melalui “Gerakan
Swasembada Beras” GSB mulai dari tingkat nasional sampai pedesaan dengan pimpinan “Komando Operasi Gerakan Makmur” KOGM pada setiap tingkat
operasi, serta “Swasembada Bahan Makanan” SSBM yang dinilai kurang berhasil karena tidak sesuai dengan konsep penyuluhan.
Pada masa ini, muncul gagasan untuk mengembalikan konsep penyuluhan pertanian berazaskan kesukarelaan, otoaktivitas dan demokratis yang dipimpin
oleh Departemen Pertanian, dengan melibatkan berbagai pihak seperti Fakultas- fakultas Pertanian, Organisasi Massa Tani dan Tokoh-tokoh Penyuluhan Pertanian,
Jawatan Pertanian Rakyat dan Pelaksana Penyuluh Pertanian dengan tujuan: a memprogresifkan pendekatan penyuluhan dan b membangun Organisasi
Penyuluhan Pertanian. Sementara itu Institut Pertanian Bogor IPB mencoba pilot project cara penyuluhan efektif guna meningkatkan produksi padi, yang dikenal
sebagai Demonstrasi Massal SSBM. Gerakan memotivasi petani ini diperluas hingga mencapai 150.000 Ha dengan nama baru Bimbingan Massal SSBM atau
Bimas SSBM dan terus mengalami perbaikan program dengan nama Bimas Berdikari, Bimas Biasa, Bimas Baru, Bimas Gotong Royong dan Bimas yang
Disempurnakan. Bimas kemudian berkembang menjadi Intensifikasi Massal Inmas, dimana kedua sistem tersebut mengakomodasi kegiatan penyuluhan
melalui “Pendekatan Kelompok” dalam satu Wilayah Unit Desa WILUD dan dikembangkan pula para Penyuluh Sukarela dari petani sendiri disebut Kontak
Tani yang dibina secara rutin, termasuk Penyuluhan Massal dan mengawali pengembangan program melalui penggunaan radio, pameran, penerbitan dan
pemutaran film. Secara berturut-turut Penyuluhan Pertanian pada Pembangunan Jangka
Panjang Tahap I PJPT I di klasifikasikan tiap Repelita yaitu : 1969-1974 Repelita I : penyuluhan ditata secara sistimatik sejalan dengan
kebijakan pembangunan nasional dengan sasaran utama swasembada pangan khususnya beras. Kemampuan aparat penyuluh ditingkatkan dan diangkat tenaga
sarjana menjadi Penyuluh Pertanian Spesial PPS, sarjana muda mejadi Penyuluh Pertanian Media PPM dan tamatan SPMA menjadi Penyulu Pertanian Lapangan
PPL. 1974-1979 Repelita II : pemantapan organisasi penyuluhan melalui pemisahan
fungsi pengaturan dan pelayanan, dimana tugas, wewenang dan tanggung jawab pembinaan teknis dalam penyelenggaraan pendidikan, latihan dan penyuluhan
yang berada di daerah dialihkan dari pengelolaan semua Direktorat Jenderal dalam lingkungan Departemen Pertanian kepada Badan Pendidikan, Latihan dan
Penyuluhan Pertanian Diklatluh, Departemen Pertanian BPLPP. Selanjutnya untuk menjalankan fungsinya, di daerah dibangun Unit Pelaksana Teknis UPT
Diklatluh dan pada tahun 1976 didirikan pula Balai Informasi Pertanian BIP sebagai UPT Penyuluhan Pertanian Pusat di Daerah. Sedangkan untuk UPT
Pendidikan Formal berupa SPP yang terdiri atas SPMA, SNAKMA, SUPM dan SPDMA, disamping UPT latihan pegawai seperti BLPP dan BKPI tersebar
disemua propinsi. Kebijakan lain yang terkait dengan fungsi penyuluhan antara lain adalah : a Pembentukan Kelompok Kerja Penasehat Penyuluhan Pertanian
KKP3 untuk tingkat pusat dan Forum Koordinasi Penyuluhan Pertanian Tingkat I FKPP I di Propinsi dan FKPP II untuk tingkat KabupatenKota; b
Pembentukan wilayah kerja Balai Penyuluhan Pertanian WKBPP dan Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian WKPP dimana WKPP dibagi dalam Wilayah
Kelompok WILKEL; c Kegiatan PPL dilakukan dengan sistem Latihan dan Kunjungan LAKU; d Penugasan penyuluh diatur sebagai berikut: 1 PPS aktif
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kegiatan BimasInmas, 2 PPS aktif membimbing PPL dalam tugasnya melalui kerjasama dengan Dinas-
dinas , 3 PPS dan PPL termasukPPM adalah pegawai Departemen pusat dan bukan pegawai DaerahPemda dengan tugas pokok menyebar informasi,
mengajarkan keterampilan, memberikan saranrekomendasi usaha tani, mengikhtiarkan peningkatan produksi, fasilitasi bahan informasi pertanian yang
diperlukan dan mengadakan penilaian serta membantu pengadaan percobaan dilapangan.
1979-1984 Repelita III : penataan penyuluhan pertanian berkaitan dengan reorganisasi Departemen Pertanian, dimana pada setiap Direktorat Jenderal
dibentuk Direktorat Penyuluhan, sehingga ditingkat Pusat ada Direktorat Penyuluhan Tanaman Pangan, Direktorat Penyuluhan Perkebunan, Direktotrat
Penyuluhan Perikanan, Direktorat Penyuluhan Peternakan, yang dikoordinasikan oleh Diklatluh BPLPP yang telah ada.
1984-1988 Repelita IV dan 1989-1993 Repelita V : beberapa kebijakan Pemerintah yang menetapkan pedoman penyuluhan dalam dua periode tersebut
diantaranya adalah: 1 SK Menteri Pertanian Nomor 482KptsLP.12071985 tentang Koordinasi Penyuluhan Pertanian, 2 SK Menteri Nomor
143KptsLP12031985 tentang Pengelolaan Kepegawaian Tenaga Penyuluh Pertanian,
3 SKB Mendagri – Mentan Nomor 59 tahun 1986- 695KptsLP.120II1986 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan
Pertanian, 4 SK Menpan 731985 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Penyuluh Pertanian, 5 Surat Edaran Bersama Mentan dan Kepala BAKN Nomor
17KptsLP.401I1986 tentang Pengertian dan Falsafah Penyuluhan Pertanian; Prinsip-prinsip dan Tujuan Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan Pertanian; dan
Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, seperti: Kedudukan, Tugas
Pokok dan Fungsi BPP, Susunan Organisasi BPP; Wilayah Kerja BPP; Rencana dan Program Penyuluhan; Penyelenggaraan dan Hubungan Kerja Penyuluhan
Pertanian, Pengelolaan BPP, Kepegawaian dan Pembiayaan BPP. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Penyuluhan Pertanian-Biro Hukum
Deptan, 1998 Penyuluhan Pertanian pada masa Pembangunan Jangka Panjang tahap II
mengalami beberapa perubahan diantaranya oleh Pusat Pengkajian SDM Pertanian 1995 mencatat bahwa berdasarkan Surat Keputusan Bersama SKB
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 539KptsLP.12071991 dan Nomor 65 tahun 1991 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan
Pertanian di Daerah, telah menyerahkan sebagian urusan penyuluhan pertanian termasuk perikanan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II meliputi pelaksanaan
kegiatan, tenaga penyuluh, biaya dan berbagai intitusi penyuluhan seperti BPP secara bertahap. Pemberlakuan SKB tersebut tanpa dilengkapi dengan petunjuk
pelaksanaan yang jelas telah menimbulkan berbagai interpretasi dan persepsi yang berbeda-beda terutama pada pelaksanaannya di daerah yang pada penghujungnya
bermuara menjadi kekisruhan dan kehancuran dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian Departemen Pertanian, 1996.
Pengkajian yang dilakukan oleh Jibatani Karsa 1994 dalam Laporan Pengkajian SDM
Pertanian 1995 menyimpulkan antara lain: 1 Sistem kerja LAKU masih diterapkan, namun mengalami perubahan-perubahan dalam
pelaksanaannya karena terutama disesuaikan dengan dana yang tersedia, 2 Kinerja rata-rata penyuluh pertanian sangat rendah yaitu 70 untuk disiplin
memasuki jam kerja dan 30 untuk kunjungan ke kelompok, 3 Terjadinya kehancuran operasional penyuluhan pertanian di lapangan yang mengakibatkan
terjadinya hubungan kerja yang kurang serasi antar penyuluh pertanian akibat telah terbaginya penyuluh pada dinas-dinas sub sektor.
Hasil pengkajian yang diperoleh dari studi Konsultan Bank Dunia mengenai kondisi penyuluhan pertanian mempunyai nada yang serupa
sebagaimana yang dilaporkan oleh Pusat Penyuluhan Pertanian 1996 sebagai berikut: 1 Perencanaan penyuluhan di daerah didasarkan atas kegiatan penyuluh
pertanian dan bukan atas dasar kebutuhan usaha petani-nelayan, 2 Sistem LAKU
pada umumnya tidak tepat lagi untuk wilayah tanaman pangan dan untuk wilayah perikanan, 3 BPP pada umumnya tidak memiliki rencana operasional, tidak
mempunyai personil dan dalam keadaan rusak, 4 PPL pada umumnya mengalami penurunan semangat kerja sehubungan dengan lambannya proses
penetapan angka kredit, ketinggalan informasi dibanding dengan petani-nelayan serta banyaknya tugas-tugas administratif yang dikerjakan oleh penyuluh.
Pada 10 April 1996 diterbitkan Surat Keputusan Bersama SKB Menteri Dalam Negeri – Menteri Pertanian Nomor 54 Tahun 1996 dan Nomor
301KptsLP.120496 sebagai penyempurnaan terhadap SKB 1991. Esensi yang melatar belakangi SKB tersebut menurut Pusat Penyuluhan Perteanian 1996
pada waktu adalah: 1 pertimbangan mengenai pelaksanaan azas Desentralisasi Penyuluhan Pertanian yakni penyerahan sebagian urusan penyuluhan pertanian
menjadi urusan rumah tangga daerah, sekaligus dengan pelaksanaan azas dekonsentrasi dalam penerapan desentralisasi penyuluhan pertanian di daerah
yakni pengaturan penyelarasan penyelenggaraan penyuluhan di daerah yang didasarkan pada kebijaksanaan dan bimbingan dari Pemerintah Pusat, 2
penekanan dan penajaman terhadap arah dan tujuan penyelenggaraan penyuluhan pertanian dalam rangka menumbuh-kembangkan swadaya dan peran serta petani-
nelayan dalam kegiatan usaha dan pembangunan, dimana dalam pengaturan pengelolaan kelembagaan dan ketenagaan serta penatalaksanaan penyuluhan perlu
ditingkatkan dan dikembangkan sesuai dengan sifat, arah dan tujuan penyuluhan pertanian serta tuntutan kebutuhan petani-nelayan.
Beberapa perubahan mendasar dengan diterbitkannya SKB 1996 tersebut dicatat oleh Pusat Penyuluhan Pertanian 1996 sebagai berikut: 1 Dibentuknya
Balai Informasi Penyuluhan Pertanian BIPP di tingkat KabupatenKota yang merupakan unit kerja organik penyuluhan pertanian dan kedudukannya berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada BupatiWalikota Kdh Tk II tetapi Menteri Pertanian melalui Pusat Penyuluhan Pertanian berkewajiban melakukan
pembinaan teknis terhadap BIPP dan BPP, 2 BPP dibentuk di setiap kecamatan dan diarahkan untuk dikelola oleh kelompok tani –nelayan yang dibimbing oleh
penyuluh senior; 3 Status tenaga fungsional penyuluh dialihkan menjadi tenaga fungsional Penyuluh Pusat yang diperbantukan di unit kerja Daerah tingkat II
dengan administrasi pangkal berada di BIPP berdasarkan ketetapan BupatiWalikota, sedangkan pada Daerah tingkat I tidak ditugaskan PPS, 4 PPL
yang bertugas di WKPP merupakan kelompok PPL yang bertugas melaksanakan kegiatan penyuluhan di wilayah kecamatan berdasarkan penugasan oleh Kepala
BIPP, 5 penyelenggaraan penyuluhan pertanian merupakan tanggung jawab Menteri Pertanian di tingkat nasional dengan dibantu oleh Kepala Pusat
Penyuluhan Pertanian, di tingkat Propinsi oleh Gubernur dibantu oleh Kepala Dinas Tk I lingkup pertanian; sedangkan Kepala Kantor Wilayah Departemen
Pertanian melaksanakan koordinasi dan bimbingan teknis terhadap Dinas Daerah Tingkat I lingkup pertanian, Tingkat II lingkup pertanian serta BIPP dalam
penyelenggaraan penyuluhan pertanian di daerah; selanjutnya BupatiWalikota sesuai dengan kewenangannya merupakan penanggung jawab penyelenggaraan
penyuluhan pertanian di KabupatenKota yang dibantu oleh Kepala BIPP yang berkoordinasi dengan Kepala Dinas Daerah Tingkat II lingkup pertanian sesuai
dengan bidang tugasnya masing-masing. Kebijakan-kebijakan di atas walaupun tidak dicantumkan dalam SKB
tersebut, namun menurut Vitayala 1996 menunjukkan adanya kecenderungan pola penyuluhan monovalen atau pendekatan komoditi spesifik the commodity
specialized approach. Oleh karena itu Vitayala 1996 mensyaratkan tuntutan manajemen penyuluhan pertanian yang harus dipenuhi oleh pendekatan komoditas
antara lain ialah: 1 informasi pasar yang kontinyu, yang mensyaratkan rekomendasi teknik berusaha harus mencakup ratio harga komoditas dan input
faktor yang dapat memberikan keuntungan kepada petani-nelayan; dimana rekomendasi tersebut harus selalu dimodifikasi mengikuti perubahan harga pasar,
2 teknik penyuluhan harus dapat dilakukan dengan didemonstrasikan dan dapat dilakukan sendiri oleh petani-nelayan, 3 input produksi yang direkomendasikan
harus tersedia setempat locally available pada waktu yang tepat dan dalam jumlah serta mutu yang tepat, 4 perlu adanya pemberian kredit untuk
mengimbangi rekomendasi input yang memungkinkan petani-nelayan mengadopsinya secara keseluruhan, 5 ratio antar harga dasar input usaha dan
harga komoditas unggulan harus dirumuskan. Untuk mengantisipasi tuntutan tersebut, maka beberapa hal berikut harus diperhatikan dalam konteks
penyelenggaraan penyuluhan di daerah sebagai berikut: 1 para penyuluh harus dipersiapkan dalam menjalankan fungsinya secara benar, 2 kesiapan Pemerintah
Daerah untuk mengkoordinasikan dan mempersiapkan penyuluh secara spesail dalam berbagai komoditi, 3 perlu adanya pendistribusian penyuluh berdasarkan
kompetensi dan keunggulan spesifik lokal 4 penyuluh harus dilengkapi dengan sarana yang memadai dan sesuai spesialisasi komoditi tertentu, 5 harus ada
kejelasan keterkaitan antara hal-hal di atas dengan otonomisasi penyuluhan Vitayala, 1996.
Periode pasca penetapan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu antara tahun 1999
sampai dengan pertengahan tahun 2001 yang dicatat oleh Darsono 2006 menggambarkan bahwa nomenklatur Dinas KabupatenKota menjadi sangat
beragam sehingga sistem penyuluhanpun mengalami perubahan yang sangat signifikan. Berdasarkan data Direktorat Kelembagaan Pemerintah, Ditjen PK2K-
DKP 2004 tercatat bahwa secara kelembagaan saat itu di Indonesia telah terbentuk Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Tingkat Propinsi di 30 Propinsi,
sedangkan Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Tingkat KabupatenKota diperkirakan sebanyak 261 lokasi kabupatenkota, dengan perincian seperti tertera
pada Tabel 1 dan Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 1 Instansi yang menangani sektor kelautan dan perikanan di propinsi
No Nama Instansi
Jumlah Propinsi
1. Dinas Kelautan dan Perikanan 13
2. Dinas Perikanan dan Kelautan 13
3. Dinas Perikanan
13 4. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
1 Sumber: Dit Kelembagaan Pemerintah DKP 2004
Tabel 2 Instansi yang menangani sektor kelautan dan perikanan di kabupatenkota
No Nama Instansi
Jumlah KabupatenKota
1. Dinas Kelautan dan Perikanan 74
2. Dinas Perikanan dan Kelautan 109
3. Dinas Kehewanan, Perikanan dan Kelautan 1
4. Dinas Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kelautan
2 5. Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan
2 6. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan
5 7. Dinas Kehewanan dan Kelautan
1 8. Dinas Perikanan dan Peternakan
6 9. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
10 10. Dinas Pertanian dan Kelautan
4 11. Dinas Peternakan dan Perikanan
24 12. Dinas Perikanan
10 13. Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian
1 14. Dinas Perikanan, Kelautan dan Pertanian
1 15. Dinas Sumberdaya Alam dan Perikanan
1 16. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan
1 17. Dinas Kelautan, Perikanan dan Kehewanan
1 18. Dinas Agrobisnis dan Kelautan
1 19. Dinas Kehewanan
1 20. Kantor Perikanan dan Kelautan
3 21. Kantor Kelautan dan Perikanan
1 22. Kantor Peternakan dan Perikanan
1 23. Kantor Perikanan
1 24. Sub Dinas Perikanan
88
Total 350
Sumber: Dit Kelembagaan Pemerintah – DKP 2004
Slamet 2003 berpendapat bahwa konsekuensi dari implementasi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dimana otonomi daerah yang sudah
menjadi kenyataan, ternyata membuat nasib penyuluhan pertanian di tingkat KabupatenKota yang bernama Balai Informasi Penyuluhan Pertanian BIPP
yang dengan susah payah dibangun dalam kurun waktu panjang, mendadak sontak diubah di sebagian besar daerah tingkat II sehingga “rumah para penyuluh” saat
ini tidak sama di setiap daerah. Perubahan kelembagaan penyuluhan pertanian sampai dengan Mei 2001 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3 Kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupatenkota
No BIPP berubah menjadi
Jumlah
1. Badan Informasi Pertanian 4
2. Unit Pelaksana Teknis Daerah 17
3. Bagian Unit Kerja ? 15
4. Kantor Informasi Pertanian 53
5. Sub Dinas 22
6. Seksi ? 22
7. Tetap sebagai BIPP 87
8. Dibubarkan ? 16
9. Status belum jelas ? 108
Jumlah 334
Sumber: Slamet 2003 Menurut Slamet 2003 kelembagaan penyuluhan pertanian yang sedang
mengalami disorganisasi saat ini sedang merosot sampai titik terendah selama 30 tahun terakhir. Kalau dalam era sebelumnya, kelembagaan penyuluhan pertanian
diseragamkan sebagai BIPP di kabupatenkota, maka dengan melihat kenyataan pada Tabel 3 di Era Desentralisasi kelembagaan itu menjadi beragam, yang
tentunya keragaman ini akan berpengaruh pada tugas pokok, kewenangan dan fungsi dari kelembagaan tersebut yang selanjutnya akan berdampak pada
penyelenggaraan penyuluhan di masing-masing wilayah. Sejalan dengan itu, Soedijanto 2004 menilai bahwa dengan implementasi
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, sebanyak 94 KabupatenKota memiliki kelembagaan penyuluhan pertanian dalam bentuk BadanKantorBalai
Sub DinasSeksiUPTDKelompok Penyuluh, sedangkan 6 sisanya bentuk kelembagaannya tidak jelas atau dibubarkan, dan ini mencerminkan beragamnya
persepsi pemerintah daerah tentang penyuluhan pertanian yang pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap efektifitas penyuluhan untuk mendukung
keberhasilan program pembangunan di daerah yang bersangkutan. Sama halnya dengan BPP sebagai kelembagaan penyuluhan pertanian terdepan yang berada di
kecamatan pada saat itu jumlahnya 3.892 unit belum semuanya difungsikan dengan baik.
Di sisi lain masalah keberadaan dan pemanfaatan para penyuluh menjadi beragam pula; dan hal ini telah membingungkan mereka, tugas mereka tidak jelas
bahkan penyuluh yang dialihkan tugas ke jabatan lain, atau oleh pejabat yang berkompeten menempatkan dan memanfaatkan penyuluh untuk kegiatan-kegiatan
yang lebih banyak berada di luar bidang penyuluhan sehingga mengakibatkan tidak sebandingnya jumlah tenaga penyuluh dengan jumlah kelompok binaan
yang harus dilayani. Selanjutnya tercatat di beberapa kabupatenkota keberadaan jabatanfungsional penyuluh pertanian termasuk perikanan tidak diakui,
tunjangannya tidak dibayarkan seperti yang seharusnya, pola kariernya tidak jelas, kenaikan pangkat menjadi terlambat, kesempatan megikuti pelatihan sangat
kurang, karena pemerintah daerah tidak menyediakan biaya pelatihan. Dalam situasi yang tidak menentu itu menyebabkan mereka frustasi, motivasi kerja turun
drastis, sampai banyak yang terbukti tidak melaksanakan tugasnya lagi sebagai penyuluh, karena hal ini makin memungkinkan dengan tidak adanya program-
program penyuluhan yang wajib mereka lakukan di lapangan Slamet, 2003; Soedijanto, 2004. Berdasarkan penelitian Slamet 2003 ditemukan adanya
penyuluh yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sampingan untuk penghasilan tambahan, ada yang tetap melayani kebutuhan-kebutuhan kelompok binaannya
dengan dukungan biaya dari kelompok binaan tersebut dan ada pula yang lari dari wilayah kerjanya tanpa diketahui kemana perginya.
Berbagai masalah lain yang menyertai dua masalah pokok yaitu kelembagaan dan ketenagaan adalah sebagaimana yang diangkat oleh Soedijanto
2004 yaitu antara lain: 1 masalah penyusunan program dan programa penyuluhan yang tidak dilakukan, sehingga operasonalisasi penyelenggaraan
penyuluhan menjadi tidak jelas, 2 masalah sarana untuk menjalankan kegiatan penyuluhan, baik sebagai sarana mobilitas, maupun sebagai bahan dan alat
penyuluhan yang sangat terbatas, bahkan ada yang tidak disediakan sama sekali, 3 masalah pembiayaan yang masih sangat kecil untuk keperluan
penyelenggaraan penyuluhan kalau mau dikatakan tidak ada atau terlihat kurangnya kemauan pemerintah daerah untuk menyediakan dana bagi kegiatan
penyuluhan, 4 masalah sikap pelaku utama terhadap penyuluhan, nampaknya manjadi apatis, dimana ada atau tidak ada penyuluhan, mereka hampir tidak
peduli lagi, 5 masalah kurangnya intensitas kegiatan yang disebabkan oleh kurangtidak adanya programprograma, tidak bersemangatnya penyuluh dan
beragamnya persepsi pemerintah daerah tentang penyuluhan pertanian. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum penyuluhan pertanian di
kabupatenkota sudah mati, atau mati suri, atau kalaupun ada kegiatan berada pada kondisi yang minimal Soedijanto, 2004.
Pada periode setelah terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan DKP dan penetapan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 sampai sekarang
ditandai dengan derasnya arus desentralisasi, sehingga intervensi dari pemerintah pusat sangatlah dibatasi dan hanya terfokus pada perumusan kebijakan,
standarisasi, norma, pedoman umum, koordinasi dan penyelenggaraan tingkat pusat, kerjasama dalam dan luar negeri, yang memerlukan strategi tersendiri serta
diharapkan dapat memfasilitasi daerah dalam rangka peningkatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan termasuk penyelenggaraan penyuluhan perikanan
Dit.Kelembagaan Pemerintah–DKP, 2004; Pusdiklat Perikanan-DKP, 2002. Oleh karena itu tepatlah kebijakan pemerintah membentuk DKP yang merupakan
suatu keputusan ekonomi politik dari proses perubahan yang mendasar di tingkat kebijakan nasional Kusumastanto, 2002, dan hal ini tentunya merupakan
indikator bahwa sektor kelautan dan perikanan telah menjadi sektor yang kedudukannya sejajar dengan sektor-sektor lain Darsono, 2006, dan dengan
demikian pemerintah termasuk lembaga non pemerintah sektor kelautan dan perikanan berkewajiban melaksanakan penyuluhan perikanan secara tersendiri,
serta pemerintah propinsi dan kabupatenkota di wilayahnya masing-masing memberdayakan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil dapat secara
berkelompok melalui penyediaan kredit, penyuluhan dan penumbuhan kelompok Undang-Undang No.31 tahun 2004 dan penjelasannya.
2.6 Sistem Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan