Karakteristik Sumber Daya Manusia Perikanan

Sementara itu dalam Pedoman Umum Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan 2002 dicantumkan bahwa khalayak yang disuluh meliputi seluruh lapisan masyarakat yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1 nelayan, 2 pembudidaya ikan, 3 pengolah ikan, 4 pedagang ikan, 5 pengusaha perikanan, 6 generasi muda, 7 tokoh adat dan masyarakat, 8 pemuka agama, 9 aparatur pemerintahan, 10 kelompok masyarakat lainnya yang berkaitan secara langsung atau tidak dengan perikanan. Menurut Undang-Undang No. 16 tahun 2006, sasaran penyuluhan dibagi menjadi sasaran utama dan sasaran antara, dimana sasaran utama adalah pelaku utama dan pelaku usaha, sedangkan sasaran antara adalah pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati perikanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat. Pelaku utama kegiatan perikanan adalah nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan beserta keluarga intinya, dan pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha perikanan. Poernomo 2004 menyarankan agar para penyuluh harus memahami benar tentang sistem sosial, norma-norma yang berlaku, kepercayaan yang dianut dan berbagai karakteristik khalayak yang disuluh dalam rangka mencapai tujuan penyuluhan perikanan. Kebutuhan hal ini muncul, terutama oleh karena diterapkannya berbagai materi, metoda dan pendekatan penyuluhan yang harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat perikanan yang memang sangat spesifik berbeda dengan masyarakat petani umumnya.

2.6.5 Karakteristik Sumber Daya Manusia Perikanan

Karakteristik sumberdaya manusia perikanan jelas berbeda dengan sumberdaya manusia pertanian lainnya secara umum. Menurut jenis kegiatan utamanya sumberdaya manusia perikanan berdasarkan pembagian Nikijuluw 1999 dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: nelayan dan pembudidaya ikan. Orientasi dari kegiatan utama sumberdaya perikanan juga membentuk perilaku ekonomi dan sosial yang berbeda pula. Nelayan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan dialam bebas, yang menurut Satria et al. 2002 menyebabkan nelayan berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal, sedangkan pembudidaya ikan mengusahakan pembudidayaan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai Mulyadi, 2005. Secara sosiologis, karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat petani seiring dengan perbedaan karakteristik sumberdaya alam yang tersedia; dimana masyarakat petani menghadapi sumberdaya yang terkontrol, yaitu pengelolaan lahan untuk produksi suatu komoditas dengan output yang relatif dapat diprediksi. Dengan sifat produksi tersebut memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan elemen resikopun tidak besar Satria et al. 2002. Hal ini menurut Satria et al. 2002 relatif sama dengan pembudidaya ikan berbasis daratan, karena relatif sama sifat sumberdaya yang dihadapi yaitu mengetahui jumlah, tempat dan waktu ikan ditangkap; hanya saja menurut Mulyadi 2005, sistim perikanan budidaya memerlukan pemeliharaan dan penangkapan yang bergantung pada pengaturan tenaga kerja yang kompleks dan memerlukan input seperti kolam galian, benih, pengaturan mutu air dan pemberian makanan yang keseluruhannya membutuhkan investasi modal yang relatif besar. Sementara itu untuk jenis budidaya ikan berbasis perairan diwilayah pantai antara lain seperti ikan kerapu, baronang, teripang, kakap putih, kerang- kerangan termasuk kerang mutiara, dan rumput laut tidak terlepas dari musim dan cukup beresiko tinggi Mulyadi, 2005. Kondisi sumberdaya yang berisiko tinggi menurut Satria et al. 2002 menyebabkan nelayan atau pembudidaya berbasis laut memiliki karakter yang keras serta ditambahkan oleh Soelaeman 1992 dalam Purnomo dan Hartono 2005 bahwa tingkat mobilitas sosialnya rendah yang berakibat pada jangkauan kontak sosial yang terbatas dan sempit. Dalam banyak hal nelayan membentuk masyarakatnya sendiri, sering terasing karena harus hidup didekat laut atau tepi danau dan keterasingan ini makin besar karena semakin terpisah dengan masyarakat daratan ketika menangkap ikan. Disamping itu, karena banyak diantara mereka yang beraktifitas pada malam hari atau pagi buta pada saat orang kebanyakan tidur, nelayan sering dipandang sebagai orang yang terpencil dari masyarakat Pollnac, 1988 dalam Mulyadi, 2005. Untuk lebih memperjelas karakteristik sumberdaya manusia perikanan khususnya nelayan, dapat ditinjau dari beberapa aspek, yang menurut Nikijuluw 1999 dibagi menjadi antara lain : a aksesibilitas terhadap sumberdaya alam yakni ketergantungannya sangat tinggi, yang ditentukan oleh sifat-sifat alami sumberdaya tanpa harus merawat dan membesarkan, tergantung pada iklim yang relatif labil, tergantung pada mobilitas ikan, tergantung pada jenis tangkapan tanpa kemampuan mengendalikan dan mengontrol; b perekonomian, yakni produktivitasnya tergantung pada awak kapal, perahu dan teknologi yang digunakan; hasil produksinya tidak dapat ditimbun dalam jangka panjang; pola ekonomi uang tunai, tergantung pada gejolak pasar yang tidak menentu; c lingkungan sosial; yakni terisolasi dari keramaian kehidupan darat kecuali daerah-daerah tertentu, hidup di lingkungan terbatas komunitas nelayan yang relatif kecil, terbiasa hidup berkelompok ditengah laut dengan persediaan logistik yang terbatas baik jumlah maupun kualitasnya; sering hidup jauh dari keluarga, bekerja dimalam hari dan berisiko tinggi; d hubungan sosial ekonomi dapat digolongkan sebagai masyarakat yang homogen, bahkan di beberapa tempat terdiri dari satu keturunan atau daerah asal dan karena itu sistem kekerabatan sangat kuat yang dipengaruhi oleh ikatan kekeluargaan dan batasan tempat tinggal, sehingga hubungan antara komunitas nelayan dan masyarakat diluar relatif rendah. dalam kegiatan sosial ekonomi, masyarakat nelayan ada yang biasa dikenal dengan juragan, nelayan biasa dan pedagang perantara. Juragan biasanya adalah pemilik modal yang menyediakan fasilitas perahu dan peralatan untuk nelayan; ia dapat juga sebagai penampung penjualan ikan dan menjadi penyalur utama produksi ikan; bahkan tidak jarang menyalurkan bahan-bahan penangkap ikan yang destruktif, seperti racun dan bom. Besarnya peranan juragan tersebut telah menyebabkan ketergantungan nelayan kepadanya sangat tinggi, dan hubungan antara keduanya sering disebut sebagai hubungan patron client yang pada umumnya sangat tidak menguntungkan nelayan Nikijuluw, 1999. Menurut Mulyadi 2005, hubungan patron client di dalam komunitas masyarakat nelayan umumnya terjadi antara buruh nelayan dengan juragan disatu pihak, atau antara juragan dengan pedagang dilain pihak; jarang ditemukan hubungan antara buruh nelayan dengan pedagang, karena buruh nelayan bukanlah pengambil keputusan dalam aktivitas penangkapan ikan. Namun menurut Nikijuluw 1999 bahwa selain juragan, pihak yang berperan besar dalam sistem sosial-ekonomi masyarakat nelayan adalah pedagang perantara, karena mereka berfungsi sebagai penyalur hasil produksi ikan dengan cara melakukan pembelian ikan segar untuk kemudian dijual ke kota. Peranan pedagang perantara ini sangat penting terutama dalam mengatur harga lelang ikan, yang hanya dengan mengulur waktu pembelian ikan dari nelayan, mereka dapat membeli ikan dengan harga yang sangat murah; dan hal inilah yang sangat tidak menguntungkan bagi nelayan karena mereka tidak mempunyai kemampuan menyimpan hasil produksinya lebih lama. Dibeberapa daerah dikenal pula penampung atau kolektor, dimana mereka biasanya menggunakan kapal kolektor yang berlayar disekitar lokasi penangkapan ikan dan membeli langsung ikan segar dari nelayan di tengah laut. Ketergantungan nelayan pada kolektor di beberapa wilayah di Indonesia sangat tinggi dan hal tersebut sering sangat memberatkan nelayan karena kolektor dapat menentukan harga pembelian menurut standar yang ditentukan secara sepihak, sehingga apabila tidak ada kesepakatan, maka kerugian tetap berada pada pihak nelayan karena kapasitas kapalperahu yang terbatas sering terjadi nelayan harus membuang hasil tangkapannya ke laut Nikijuluw, 1999. Memperhatikan karakteristik dan permasalahan sumber daya manusia perikanan diatas, maka dibutuhkan strategi pendekatan penyuluhan perikanan dengan mempertimbangkan semua aspek yang sungguh sangat penting untuk terwujudnya suatu proses adopsi inovasi serta kombinasi tertentu perlu diperhitungkan secara khusus dalam proses pengembangan sumberdaya manusia nelayan, dan agar mengikutsertakan mereka pada tahap-tahap awal suatu perencanaan perubahan, karena menurut Purnomo dn Hartono 2005 dengan pengetahuan tentang hal-hal tersebut akan merupakan informasi yang esensial didalam arahan tentang pendekatan dan pendampingan dilingkup program atau kegiatan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat.

2.6.6 Pendekatan sistem penyuluhan