Pengembangan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia

(1)

PENGEMBANGAN SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN

ERA DESENTRALISASI DI INDONESIA

ANTHON ANTHONNY DJARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2009

Anthon Anthonny Djari NRP C561030134


(3)

ABSTRACT

ANTHON ANTHONNY DJARI. Systems Development of Fisheries Extension on Decentralize Circumstance in Indonesia. (Under the direction of SUGENG HARI WISUDO, RUDY C TARUMINGKENG, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO and BASITA GINTING)

This research forwarded to (1) identify the kind of atributes that reflecting the fisheries extension development (2) analizing the fisheries present status in some region in Indonesia, (3) comparing the fisheries present status between east Indonesia region, middle Indonesia region and also west Indonesia region and (4) formulating policy recomendation for implementation fisheries extension develompment. Collecting data methode implemented during the field survey process, and also literature tracement as the secondary data. This study employs the multi dimensional scaling for the analizing methode as the examination of the fisheries present status, one way anova to show different status between region and prospective analysis to formulating policy recommendation. Based on the result we know that the sustainability status of fisheries extension system in decentralize circumstance majority in unsustainable condition, except on implementation dimension. The result also showed that present status of fisheries extension in some region in Indonesia isn’t different. Four strategies are structured to optimize fisheries extension development.

Keywords : Systems development, fisheries extension, decentralize circumstance


(4)

RINGKASAN

ANTHON ANTHONNY DJARI. Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia. Di bawah bimbingan SUGENG HARI WISUDO, RUDY C TARUMINGKENG, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, BASITA GINTING

Secara terminologi, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengacu pada pengertian tersebut tersirat harapan bahwa dalam era desentralisasi masing-masing daerah dapat memanfaatkan sumberdaya produktif secara berkelanjutan. Sebagai negara yang memiliki potensi besar di bidang perikanan dan kelautan, tidak salah jika banyak daerah yang sangat bergantung pada sektor tersebut. Permasalahannya adalah kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai motor penggerak utama masih rendah kualitasnya.

Salah satu cara yang dinilai efektif untuk meningkatkan kualitas SDM adalah penyuluhan. Berdasarkan pemikiran bahwa pendelegasian wewenang penyuluhan dari pemerintah pusat ke daerah dapat mempercepat akselerasi peningkatan kualitas SDM, maka penyuluhan perikanan termasuk urusan yang didesentralisasikan. Meskipun penyerahan kewenangan penyuluhan perikanan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) di satu sisi memberikan manfaat langsung terhadap daerah namun disisi lain membawa persoalan terkait dengan institusionalisasi.

Melihat kompleksitas permasalahan penyuluhan era desentralisasi di Indonesia, maka dipandang perlu melakukan penelitian mengenai sistem penyuluhan perikanan di era desentralisasi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah merancang kebijakan dasar pengembangan penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia. Tujuan tersebut dicapai melalui beberapa tahap kegiatan yaitu (1) mengidentifikasi atribut/indikator yang dapat mencerminkan pengembangan sistem penyuluhan perikanan, (2) menganalisis nilai indeks pengembangan sistem penyuluhan perikanan di daerah, (3) membandingkan nilai indeks pengembangan sistem penyuluhan perikanan di wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat dan (4) memformulasikan rekomendasi kebijakan dan skenario strategi implementasi penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2007 sampai Mei 2008 bertempat di 20 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Keseluruhan kabupaten/kota dikelompokkan berdasarkan wilayah yaitu wilayah timur, wilayah tengah dan wilayah barat. Ada 2 (dua) jenis data yang dikumpulkan untuk kepentingan analisis yaitu data primer dan data sekunder. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan serangkaian instrumen analisis yaitu: (1) multidimensional scaling (MDS), (2) analisis statistik dengan metode anova, dan (3) analisis prospektif.


(5)

Status keberlanjutan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia dapat dijelaskan melalui 56 atribut dengan rincian atribut pada dimensi kelembagaan sebanyak 11, atribut pada dimensi ketenagaan sebanyak 14, serta atribut pada dimensi penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan serta respon sasaran utama (sosial) masing-masing 12, 9 dan 10 atribut.

Secara umum sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia berada pada kondisi yang kurang berkelanjutan. Hal ini diindikasikan dari nilai dimensi pada masing-masing daerah yang menjadi titik sampel umumnya berada di bawah 50%. Pengecualian untuk dimensi penyelenggaraan, nilai indeks keberlanjutan di mayoritas daerah masih mengindikasikan kondisi yang cukup berkelanjutan. Jika masing-masing daerah yang menjadi sampel dikelompokkan berdasarkan wilayah Timur, Tengah dan Barat maka ditemukan fakta bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk kelima dimensi yang dianalisis pada wilayah tersebut tidak berbeda nyata.

Mengacu pada indikasi yang ditemukan pada hasil analisis, dirancang 4(empat) skenario strategi untuk optimalisasi sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia, yaitu : (1) antara ada dan tiada, (2) upaya penyesuaian dan sinkronisasi, (3) penerapan sistem penyuluhan yang efektif dan efisien dan (4) penciptaan iklim yang kondusif.

Kata kunci : Pengembangan sistem, penyuluhan perikanan, era desentralisasi


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PENGEMBANGAN SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN

ERA DESENTRALISASI DI INDONESIA

ANTHON ANTHONNY DJARI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Judul Disertasi : Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia

Nama Mahasiswa : Anthon Anthonny Djari Nomor Pokok : C561030134

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si Ketua

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA

Anggota Anggota

Dr.Ir. Basita Ginting, MA Anggota

Diketahui,

Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

i

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas anugerah dan karunia-Nya, disertasi yang berjudul “Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia” ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing; dan Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF; Dr. Ir. Hartisari Hardjomidjojo, DEA; serta Dr. Ir. Basita Ginting S., MA, masing masing sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan bimbingan hingga tersusunnya disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Rizald M. Rompas, M.Agr; Ir. J. W. Mosse, M.Sc, PhD dan Dr. Soen’an H. Poernomo atas rekomendasinya kepada penulis serta kepada Sekretaris Jenderal DKP dan Prof. Dr. Ir. Sahala Hutabarat, M.Sc yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Program S3 Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen pada Program Studi Teknologi Kelautan yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya selama proses belajar serta para anggota Komisi Pendidikan yang telah memberikan masukan dalam penyempurnaan disertasi ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta stafnya, Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc selaku Ketua Departemen PSP FPIK IPB dan Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan administrasi.

Terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota serta para Kepala Dinas Lingkup Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota dan Provinsi / Instansi yang menangani Penyuluhan Perikanan, Lembaga Penelitian / Diklat / Penyedia Sumberdaya, Industri Perikanan/Pelaku usaha dan LSM/Pemerhati sektor Kelautan dan Perikanan tempat dimana penulis melaksanakan penelitian yang telah memberikan data, informasi, dan konfirmasinya yang dibutuhkan.


(10)

ii

Selanjutnya juga ucapan terima kasih yang tak tehingga penulis tujukan kepada semua Pakar/Nara sumber, Penyuluh Perikanan, Pelaku utama dan Enumerator yang tak mungkin di sebutkan satu persatu yang dengan penuh keikhlasan telah membantu dalam pengumpulan data dan terlibat dalam diskusi serta memberikan masukan berharga dalam penelitian ini. Demikian juga kepada Ir. Sumardi Suriatna, M.Ed, serta teman-teman dan staf di BPSDM KP/ Pusat Pengembangan Penyuluhan Perikanan, STP Jakarta, Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor, BAPPL Serang serta teman-teman seperjuangan mahasiswa Program Studi TKL yang telah memberikan saran masukan terhadap penyempurnaan disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih.

Kepada Irham B, S.Pi, M.Si dan Pieter Amalo, S.Tp, MM, penulis menyampaikan limpah terima kasih atas keikhlasan bantuan yang diberikan, terutama dalam meramu analisis dan penulisannya, serta kepada Ir. Tjahjo Hartono, M.Si dan Dr. Ir. Taslim Arifin, M.Si yang dengan segala ketulusan telah memberikan pemahaman kepada penulis berkaitan dengan pendekatan Rapfish untuk menganalisa keberlanjutan pengembangan penyuluhan perikanan. Secara khusus pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas segala jasa, kasih dan inspirasi yang diperoleh dari kedua orangtua penulis yaitu Bapak Paulus Djari (almarhum) dan Ibu Cornelia Djari-Bule (almarhumah), mertua Bapak Titus Bawole (almarhum) dan Ibu Altje Bawole-Tuter serta Saudara-saudara penulis yang tak dapat disebutkan satu-persatu.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang tiada tara kepada istri tercinta dr. Ruth Esther Djari-Bawole dan keempat putera terkasih yaitu Alvin Javier Djari, Alvan Aresto Djari, Alven Aresto Djari, dan Alvon Artito Djari, atas segala cinta kasih, doa, dorongan dan pengorbanan yang diberikan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009


(11)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kupang pada tanggal 6 Agustus 1959 sebagai anak ke-dua belas dari ke-dua belas bersaudara dari pasangan Bapak Paulus Djari (almarhum) dan Ibu Cornelia Djari-Bule (almarhumah). Pendidikan sarjana di tempuh di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang pada tahun 1983. Tahun 1988, penulis melanjutkan pendidikan S2 di program studi Biologi Reproduksi pada Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1990. Sejak tahun 2003, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S3 program studi Teknologi Kelautan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam bidang pekerjaan, sejak tahun 1986 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan diberi kepercayaan untuk mengemban berbagai jabatan sebagai berikut:

1. Kepala Seksi Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan pada Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi NTT, tahun 1992-1996

2. Kepala Seksi Produksi Peternakan dan Perikanan pada Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi NTT, tahun 1996-1999

3. Kepala Dinas Perikanan pada Pemda Kota Kupang, tahun 1999-2001 4. Kepala Dinas Pertanian pada Pemda Kota Kupang, tahun 2001-2002 5. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan pada Pemda Kota Kupang, tahun

2002-2003

6. Kepala Bagian Tata Usaha pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2003-2005

7. Kepala Bidang Pendidikan pada Pusat Pengembangan SDM-KP Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2005-2006

8. Kepala Bagian Perencanaan pada Sekretariat BPSDM-KP Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2006-2007

9. Kepala Bagian Evaluasi dan Dokumentasi pada Sekretariat BPSDM-KP Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2007

10.Kepala Bagian Keuangan dan Umum pada Sekretariat BPSDM-KP Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2007-2008


(12)

iv

11.Kepala Bagian Administrasi Pelatihan Perikanan Lapangan (BAPPL) Serang pada Sekolah Tinggi Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2008-2009

12.Kepala Bidang Program, Pusat Pengembangan Penyuluhan Perikanan, BPSDMKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2009-sekarang Selama penulis bekerja, telah memperoleh pendidikan dan latihan penjenjangan untuk menunjang karier yaitu:

1. Pendidikan dan Pelatihan Administrasi Umum (ADUM), tahun 1996 2. Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan Tingkat III (SPAMA), tahun 1999 3. Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan Tingkat II (SPAMEN), tahun 2001 Disamping itu penulis juga telah memperoleh tanda jasa dari Presiden Republik Indonesia berupa: “Satya Lencana Karya Satya 10 Tahun” pada tahun 1998 dan “Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun” pada tahun 2008.


(13)

v

DAFTAR ISTILAH

1. Atribut adalah karakteristik/sifat/ciri/hal-hal yang dimiliki dan yang menerangkan mengenai objek penelitian.

2. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Dimensi adalah ruang lingkup atau batasan ukuran dari sudut pandang (segi) tertentu yang menjadi pusat/objek penelitian.

4. Indeks adalah suatu nilai/skor dengan skala tertentu sebagai petunjuk untuk menilai suatu ciri tertentu.

5. Keberlanjutan adalah keadaan berkesinambungan yang mencerminkan suatu kondisi masa lampau, dapat di nilai pada masa kini dan diprediksikan pada masa yang akan datang (nilai buruk mencerminkan kondisi yang tidak menguntungkan, sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi yang menguntungkan).

6. Kelembagaan adalah institusi/organisasi dan/atau bukan institusi/organisasi yang menetapkan aturan/norma/nilai yang sifatnya mengikat untuk dilakukan, ditaati dan menjamin adanya sanksi bagi semua yang melakukan pelanggaran. 7. Ketenagaan adalah semua penyuluh yang mempunyai tugas pokok dan fungsi,

kompetensi, peran dan tanggung jawab untuk melaksanakan penyuluhan. 8. Kompetensi adalah kemampuan dan kewenangan bertindak yang di miliki

oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan sesuai dengan unjuk kerja yang telah ditetapkan.

9. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10.Partisipasi adalah keikutsertaan secara aktif dalam suatu kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi serta memperoleh manfaatnya.

11.Pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang di bentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha perikanan.


(14)

vi

12.Pelaku utama adalah sasaran penyuluhan, yaitu: nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat pesisir lainnya beserta keluarga intinya yang bermata pencaharian utama di bidang kelautan dan perikanan.

13.Pemberdayaan adalah proses dalam upaya pemberian pemahaman terhadap kemampuan pengendalian diri serta memperluas kemampuan melalui berbagai cara/motivasi sampai pada tingkat prestasi dan kepuasan yang lebih besar dari sebelumnya.

14.Pengembangan adalah upaya untuk meningkatkan, mendalami,

memperbaharui, atau memperluas suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. 15.Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan, mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

16.Penyelenggaraan adalah semua proses dan aktifitas perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi terhadap program, mekanisme kerja, metode, materi penyuluhan, peran serta dan kerjasama yang dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan penyuluhan.

17.Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha sebagai sasaran penyuluhan agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi dan sumber daya lainnya.

18.Penyuluh pegawai negeri sipil adalah pegawai negeri sipil yang di beri tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup kelautan dan perikanan.

19.Penyuluh swadaya adalah sasaran penyuluhan yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh.

20.Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan.

21.Polivalen adalah perangkapan tugas pokok, peran dan tanggung jawab penyuluh untuk melaksanakan bidang pekerjaan lain yang tidak berdasarkan kompetensi dan profesionalisme yang bersangkutan.


(15)

vii

22.Respons pelaku utama adalah tanggapan dari sasaran penyuluhan terhadap penyelenggaraan dan hasil yang dicapai. Sebagai dimensi disebut juga dimensi sosial.

23.Sarana prasarana dan pembiayaan adalah semua faktor dan sumber daya selain lembaga dan tenaga yang mendukung penyelenggaraan penyuluhan.

24.Sistem adalah kumpulan elemen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan karakteristik kompleks, dinamis dan probabilistik.

25.Tugas pokok dan fungsi adalah pekerjaan yang dibebankan sebagai suatu kewajiban kepada organisasi/kelembagaan yang harus dicapai dan dipertanggung-jawabkan melalui hasil kegiatan.


(16)

viii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Hipotesis... 10

1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 10

1.7 Ruang Lingkup Penelitian... 13

2 TINJAUAN PUSTAKA Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat ... 14

Sumberdaya Manusia pada Era Desentralisasi ... 19

Konsepsi Penyuluhan ... 25

Pembangunan Perikanan dan Pemberdayaan Masyarakat ... 31

Kondisi Penyuluhan Sebelum dan di Era Desentralisasi ... 41

2.6 Sistem Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan ... 53

2.6.1 Kelembagaan penyuluhan ... 56

2.6.2 Ketenagaan penyuluh perikanan ... 62

2.6.3 Pembiayaan, sarana dan prasarana penyuluhan ... 64

2.6.4 Penyelenggaraan penyuluhan perikanan ... 65

2.6.5 Karakteristik Sumber Daya Manusia perikanan ... 71

2.6.6 Pendekatan sistem penyuluhan ... 75

2.7 Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 79

3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 83

Jenis dan Sumber Data ... 84

Metode Pengumpulan Data ... 85

Analisis Data ... 85

3.4.1 Pendekatan sistem ... 86

3.4.2 Analisis pengembangan penyelenggaraan penyuluhan Perikanan... 90

3.4.3 Analisis perbandingan status... 100


(17)

ix

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Skor (saat ini) Masing-Masing Atribut pada Setiap

Dimensi ... 104

4.2 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi Secara Multi Dimensi ... 123

4.3 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi Secara Dimensional ... 126

4.4 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi di Indonesia Timur ... 127

4.5 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi di Indonesia Tengah ... 130

4.6 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi di Indonesia Barat... 133

4.7 Pola Pengembangan Dimensional Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi ... 136

4.8 Perbandingan Keberlanjutan Penyelenggaraan Penyuluhan di Indonesia Timur, Tengah dan Barat... 138

4.9 Potret Keberlanjutan Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi... 156

4.9.1 Keberlanjutan dimensi kelembagaan ... 159

4.9.2 Keberlanjutan dimensi ketenagaan ... 164

4.9.3 Keberlanjutan dimensi penyelenggaraan ... 169

4.9.4 Keberlanjutan dimensi sapras-pembiayaan... 173

4.9.5 Keberlanjutan dimensi sosial ... 176

4.10 Akurasi Pendugaan Status Keberlanjutan ... 180

4.11 Strategi Pengembangan Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi ... 183

4.11.1 Penentuan faktor kunci dengan pendekatan need analysis 183 4.11.2 Analisis I/D Matrix dari hasil analisis kebutuhan berdasarkan stakeholder assessment... 185

4.11.3 Penentuan faktor kunci dengan pendekatan analisis keberlanjutan ... 186

4.11.4 Analisis I/D Matrix dari hasil analisis kebutuhan berdasarkan analisis keberlanjutan... 188

4.11.5 Analisis I/D Matrix untuk integrasi hasil analisis kebutuhan dan analisis keberlanjutan ... 189

4.11.6 Skenario strategi pengembangan penyuluhan perikanan era desentralisasi ... 213

4.11.7 Peran dan tanggungjawab stakeholders... 216

4.11.8 Skema pengembangan sistem penyuluhan perikanan era Desentralisasi di Indonesia... 222

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 224

5.2 Saran... 225

DAFTAR PUSTAKA... 226


(18)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Instansi yang menangani sektor kelautan dan perikanan di propinsi ... 48

2 Instansi yang menangani sektor kelautan dan perikanan di kabupaten/kota ... 49

3 Kelembagaan penyuluhan (pertanian) di kabupaten/kota ... 50

4 Penelitian mengenai keberlanjutan dan penyuluhan pernah dilakukan

di Indonesia ...80

5 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ... 84

6 Analisa kebutuhan pelaku sistem dalam sistem penyelenggaraan

penyuluhan perikanan ... 89

7 Atribut-atribut dan skor penyelenggaraan penyuluhan perikanan ... 91

8 Kategori status pengembangan sistem penyelenggaraan penyuluhan

perikanan berdasarkan nilai indeks hasil analisis nilai

Rap-INSINYURKANIN ... 95

9 Pedoman penilaian analisa prospektif ... 101

10 Pengaruh langsung antar faktor dalam penyelenggaraan penyuluhan

perikanan ... 102

11 Rekapitulasi jumlah penyuluh bidang perikanan dan kelautan per provinsi

di Indonesia sampai September 2008... 113

12 Nilai indeks multidimensi daerah yang berada di wilayah Indonesia Timur... 124

13Nilai indeks multidimensi daerah yang berada di wilayah Indonesia Tengah...124

14 Nilai indeks multidimensi daerah yang berada di wilayah Indonesia Barat...125

15 Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi setiap daerah di

Wilayah Indonesia Timur... 129

16 Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi setiap daerah di

Wilayah Indonesia Tengah... 132


(19)

xi

17 Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi setiap daerah di

Wilayah Indonesia Barat ... 135

18 Pola pengembangan dimensi penyuluhan perikanan di Indonesia... 136

19 Pola pengembangan dimensi penyuluhan perikanan era desentralisasi

di Indonesia ... 155

20 Kodifikasi wilayah sampel

... 157

21 Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi setiap daerah ... 158

22 Hasil analisis Rap-INSYINYURKANIN untuk berbagai parameter statistik .... 180

23 Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan penyuluhan

perikanan era desentralisasi di Indonesia berdasarkan hasil analisis

kebutuhan ...184

24 Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan penyuluhan

perikanan era desentralisasi di Indonesia berdasarkan hasil analisis

keberlanjutan ...187

25 Faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan antar

faktor rendah dan faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar

namun ketergantungan antar faktor tinggi terhadap penyuluhan perikanan

era desentralsasi di Indonesia berdasarkan analisis kebutuhan... 189

26 Faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan antar

faktor rendah dan faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar

namun ketergantungan antar faktor tinggi terhadap penyuluhan perikanan

era desentralsasi di Indonesia berdasarkan analisis kebutuhan... 190

27 Keterangan integrasi faktor-faktor yang memiliki korelasi dan pengaruh

besar namun ketergantungan antar faktor rendah, serta faktor-faktor

yang memiliki pengaruh besar dan ketergantungan antar faktor tinggi

berdasarkan analisis kebutuhan dan keberlanjutan ... 191

28 Faktor gabungan yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan

rendah terhadap penyuluhan perikanan era desentraliasasi di

Indonesia berdasarkan analisa kebutuhan dan keberlanjutan...192

29 Perubahan kondisi faktor-faktor kunci dalam pengembangan sistem


(20)

xii

30 Inkompatibilitas antar keadaan dari lima faktor kunci dalam

penyelenggaraan penyuluhan era desentralisasi di Indonesia dalam jangka

waktu 5 tahun ... 206

31 Hasil analisis skenario sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi

di Indonesia ... 207

32 Prediksi skenario strategi pengembangan sistem penyuluhan perikanan

era desentralisasi di Indonesia... 208

33 Responden pakar untuk analisis prospektif... 210

34 Presentase pendapat responden terhadap masing-masing skenario ... 210


(21)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian kajian sistem penyuluhan perikanan di era

desentralisasi ... 12

2 Ilustrasi indeks pengembangan penyuluhan perikanan sebesar 65% ... 94

3 Ilustrasi indeks pengembangan setiap dimensi penyelenggaraan

penyuluhan perikanan era desentralisasi ... 94

4 Tahapan analisis Rap- INSYINYURKANIN ... 99

5 Diagram pengaruh dan ketergantungan sistem ... 102

6 Diagram layang nilai indeks keberlanjutan sistem penyuluhan era

desentralisasi di Indonesia ... 126

7 Diagram layang nilai indeks keberlanjutan sistem penyuluhan era

desentralisasi di Indonesia Timur ... 127

8 Diagram layang nilai indeks keberlanjutan sistem penyuluhan era

desentralisasi di Indonesia Tengah ... 129

9 Diagram layang nilai indeks keberlanjutan sistem penyuluhan era

desentralisasi di Indonesia Barat... 133

10 Rata-rata nilai indeks keberlanjutan ± SD di wilayah Indonesia Timur, Tengah

dan Barat pada dimensi (1) kelembagaan, (2) ketenagaan, (3) penyelenggaraan,

(4) sapras-pembiayaan dan (5) sosial ... 142

11 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan di Indonesia Barat

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 143

12 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 144

13 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 145

14 Peran masing-masing atribut dimensi ketenagaan di Indonesia Barat


(22)

xiv

15 Peran masing-masing atribut dimensi ketenagaan di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 156

16 Peran masing-masing atribut dimensi ketenagaan di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 147

17 Peran masing-masing atribut dimensi penyelenggaraan di Indonesia Barat

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 148

18 Peran masing-masing atribut dimensi penyelenggaraan di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 149

19 Peran masing-masing atribut dimensi penyelenggaraan di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 149

20 Peran masing-masing atribut dimensi sapras-pembiayaan di Indonesia Barat

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 150

21 Peran masing-masing atribut dimensi sapras-pembiayaan di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 151

22 Peran masing-masing atribut dimensi sapras-pembiayaan di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 151

23 Peran masing-masing atribut dimensi sosial di Indonesia Barat

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 152

24 Peran masing-masing atribut dimensi sosial di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 153

25 Peran masing-masing atribut dimensi sosial di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 153

26 Kondisi indeks keberlanjutan masing-masing dimensi... 157

27 Analisis Rap-INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi kelembagaan ... 159

28 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan di masing-masing

daerah ... 161

29 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam


(23)

xv

30 Analisis Rap- INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi ketenagaan ... 166

31 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan di masing-masing

daerah ... 166

32 Peran masing-masing atribut dimensi ketenagaan yang dinyatakan dalam

bentuk perubahan nilai RMS ... 169

33 Analisis Rap- INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi penyelenggaraan ... 170

34 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi penyelenggaraan di masing-masing

daerah ... 171

35 Peran masing-masing atribut dimensi penyelenggaraan yang dinyatakan

dalam bentuk perubahan nilai RMS ... 173

36 Analisis Rap- INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi sapras-pembiayaan... 174

37 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi sapras-pembiayaan di masing-masing

daerah ... 175

38 Peran masing-masing atribut dimensi sapras-pembiayaan yang dinyatakan

dalam bentuk perubahan nilai RMS ... 176

39 Analisis Rap- INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi sosial ... 177

40 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi sosial di masing-masing daerah... 178

41 Peran masing-masing atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam

bentuk perubahan nilai RMS ... 179

42 Analisis Monte Carlo setiap dimensi (1) kelembagaan, (2) ketenagaan,

(3) penyelenggaraan, (4) sarana, (5) sosial dan (6) multidimensi ... 182

43 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam penyuluhan perikanan


(24)

xvi

44 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam penyuluhan perikanan

era desentralisasi di Indonesia berdasarkan analisis keberlanjutan... 188

45 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam penyuluhan perikanan

era desentralisasi di Indonesia berdasarkan analisis kebutuhan dan

keberlanjutan ... 193

46 Alur skenario berdasarkan perkiraan pada masa yang akan datang... 213

47 Skema pengembangan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi


(25)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta lokasi penelitian... 238

2 Atribut-atribut dan skor pengembangan penyuluhan perikanan ... 239

3 Keberlanjutan sistem penyuluhan di Indonesia Timur setiap dimensi... 245

4 Keberlanjutan sistem penyuluhan di Indonesia Tengah setiap dimensi... 246

5 Keberlanjutan sistem penyuluhan di Indonesia Barat setiap dimensi...247

6 Analisis one way anova menggunakan perangkat SPSS ... 248


(26)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acuan hukum dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi terhadap Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Secara de facto, pemberlakuan otonomi daerah telah dimulai sejak 1 Januari 2001. Berdasarkan pasal 22 Undang-Undang No.32 tahun 2004 ditegaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, daerah memiliki kewajiban antara lain : (1) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI, (2) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, (3) mengembangkan kehidupan demokrasi, (4) mewujudkan keadilan dan pemerataan, dan (5) mengembangkan sumber daya produktif di daerah.

Dalam pembagian urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah yang bersangkutan. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang dimaksud dengan ”urusan pemerintahan yang secara nyata ada” adalah sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah antara lain : pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata.

Secara filosofis, urusan pemerintahan yang secara nyata ada adalah untuk menyediakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya dan untuk itulah kesesuaian antara kebutuhan nyata masyarakatnya atas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah akan merupakan realitas otonomi daerah yang sebenarnya (Suwandi, 2002). Selanjutnya Suwandi (2003) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah harus memahami dengan benar sektor-sektor mana yang menjadi andalan daerah yang bersangkutan untuk dikembangkan, karena dengan pemahaman sektor unggulan tersebut akan menjadi acuan bagi daerah dalam menentukan isi otonomi atas dasar ”core competence” daerah yang bersangkutan,


(27)

2

dan dengan pengembangan core competence serta berbagai varian-nya akan memberikan dampak besar dalam pembangunan daerah tersebut.

Kebijakan otonomi daerah merupakan paradigma baru pengelolaan pemerintahan yang dilaksanakan sebagai penyempurnaan atas segala bentuk pemusatan wewenang dan tidak lepas dari tuntutan keadilan dan perbaikan nasib rakyat, khususnya di daerah untuk meningkatkan taraf hidup, penghargaan terhadap kondisi sosial dan budaya lokal, dan kelestarian lingkungan. Perubahan tersebut mempengaruhi secara langsung bentuk-bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan sebab telah memberikan kewenangan pengelolaan wilayah laut dari pemerintah pusat ke daerah. Keadaaan tersebut seperti yang diatur pada pasal 18 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kewenangan daerah tersebut meliputi : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, (b) pengaturan administrasi, (c) pengaturan tata ruang, (d) penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, (e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan (f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Selanjutnya ditegaskan bahwa kewenangan yang dimaksud adalah paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan / atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota; akan tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. ”Nelayan kecil” yang adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara tradisional, tidak dikenakan surat ijin dan bebas dari pajak, serta bebas menangkap ikan di seluruh pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.

Untuk menunjang konsepsi pembangunan yang mendukung otonomi daerah di wilayah laut, diperlukan beberapa prasyarat. Prasyarat tersebut dijelaskan oleh Kusumastanto (2003) yaitu sebagai berikut: pertama, kebebasan politik (political

freedom) yang bermakna bagi masyarakat pesisir yang implementasinya

berlandaskan pada prakarsa mereka sendiri (local initiatives). Prakarsa ini tidak mungkin berkembang secara produktif, jika masyarakat nelayan dan pesisir


(28)

3

umumnya berada di bawah tekanan ; kedua, penyediaan fasilitas – fasilitas ekonomi (economic facilities) yang menunjang pengembangan sektor kelautan dan perikanan menjadi sebuah persoalan politik yang diproyeksikan guna menunjang proses ekonomi yang berkeadilan. Oleh karena itu otonomi yang dikembangkan tanpa dibarengi perbaikan pelayanan justru akan menjadi ”beban”. Hal tersebut sama maknanya dengan memberikan kewenangan ke daerah, tetapi tanpa disertai dukungan sumber daya yang memadai; ketiga, terbukanya peluang sosial (social opportunities) yang mendukung otonomi daerah di wilayah laut ;

keempat, perluasan partisipasi (expansion of participation) masyarakat pesisir

dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan ekonomi politik yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di daerah.

Dengan desentralisasi atau penyerahan wewenang dari pemerintah ke pemerintah daerah, maka terdapat keuntungan sekaligus pemerintah daerah menghadapi tantangan. Manfaat langsung dari penyerahan wewenang di bidang kelautan dan perikanan menurut Dahuri (2003) adalah pemerintah daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing pemerintah pusat dan daerah dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Sedangkan tantangan yang dihadapi adalah tanggung jawab dan pembiayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah berupa pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain. Kusumastanto (2003) menyatakan bahwa dengan adanya otonomi daerah, mekanisme dan proses penyelenggaraan negara serta penguasaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sangat dekat dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya yang seharusnya tidak perlu dijalankan sepenuhnya oleh negara. Dalam konteks ini otonomi termasuk wilayah laut yang merupakan peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah dan memiliki wawasan yang jelas terhadap perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan.


(29)

4

Secara implisit, penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di sektor kelautan dan perikanan (desentralisasi) meliputi beberapa aspek di antaranya yang bersifat umum, aspek kelautan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengawasan dan pengendalian, pengolahan dan pemasaran, investasi dan peluang usaha, serta pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan.

Khusus pada aspek penyuluhan perikanan, hal yang diserahkan menjadi urusan daerah tingkat propinsi di antaranya adalah : (1) penetapan/perumusan kebijakan, norma, standar dan pedoman penyuluhan perikanan tingkat propinsi, (2) perencanaan penyelenggaraan penyuluhan perikanan tingkat propinsi dan/atau lintas kabupaten/kota, (3) melakukan koordinasi, supervisi dan distribusi sumberdaya penyuluhan perikanan di propinsi, (4) melaksanakan kerjasama penyuluhan perikanan dengan pihak lain, baik instansi pemerintah, swasta maupun masyarakat, (5) menyelenggarakan penyuluhan perikanan di tingkat propinsi. Kewenangan penyuluhan perikanan yang diserahkan menjadi urusan daerah tingkat kabupaten/kota meliputi : (1) merumuskan kebijakan, perencanaan, program dan kegiatan penyuluhan perikanan di kabupaten/kota setelah mendapat masukan dari penyuluh, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan unsur masyarakat lainnya, (2) menyusun pedoman teknis penyuluhan perikanan, (3) melakukan koordinasi, supervisi dan distribusi sumberdaya penyuluhan perikanan, (4) menyelenggarakan kegiatan penyuluhan perikanan, (5) menetapkan, mengangkat, membina dan mensupervisi petugas penyuluh yang berada di kabupaten/kota, (6) menetapkan lokasi dan memfasilitasi Pos Pelayanan Penyuluhan Perikanan, (7) melaksanakan pembinaan, pemantauan, pengawasan, penilaian dan evaluasi kegiatan penyuluhan perikanan di kabupaten/kota.

Perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi penyerahan kewenangan penyuluhan perikanan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) berdampak pada masalah yang berkaitan lansung dengan institusionalisasi otonomi daerah. Secara teoritis dapat diterangkan dengan mensitir pendapat Dahuri (2003) tentang persoalan institusional di daerah dalam konteks pengelolaan wilayah laut untuk penyelenggaraan penyuluhan perikanan sebagai berikut:


(30)

5

1) Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang menangani masalah penyelengaraan penyuluhan perikanan di daerah. Implikasinya tidak tersedianya instrumen hukum penyelenggaraan penyuluhan perikanan. Selain itu, belum lengkapnya pedoman , standar, kebijakan, strategi dan manajemen penyuluhan di daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2) Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan) dalam bidang penyuluhan perikanan. Ini menimbulkan kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada terhadap penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

3) Pemahaman sistem penyuluhan dan karakteristik pelaku utama. Selama ini program penyuluhan lebih banyak didesain oleh Pemerintah, telah menyebabkan kemampuan daerah dalam merancang program penyelenggaraan penyuluhan perikanan menjadi rendah. Hal ini akan berkaitan dengan masalah programa penyuluhan, mekanisme kerja dan metode, materi penyuluhan, peran serta dan kerjasama dalam penyelenggaraan peyuluhan perikanan.

4) Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan dan perikanan. Akibatnya, upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum bisa terwujud.

Pada sisi lain, penyelenggaraan penyuluhan perikanan selama ini merupakan bagian dari sistem penyuluhan pertanian. Mengingat bahwa sifat dan bentuk kegiatan perikanan bersifat spesifik, maka menurut Purnomo (2006) diperlukan penyelenggaraan tersendiri untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dengan pertimbangan sebagai berikut:

1) Wawasan, pengetahuan, kesadaran sumberdaya manusia perikanan masih perlu ditingkatkan. Di sisi lain, kesadaran kritis (critical awareness) masyarakat semakin meningkat di era reformasi sedangkan tingkat kepercayaan pada sistem birokrasi yang ada menurun, sehingga mereka berupaya mencari penyelesaian masalahnya dari berbagai sumber alternatif yang belum tentu dapat dipertanggung jawabkan. Masyarakat dari berbagai lapisan makin mudah dalam mengakses informasi lokal, nasional dan global


(31)

6

makin mudah dan intensif, serta secara utuh/tanpa saringan. Di sisi lain tingkat kedewasaan/kematangan sangat beragam dalam menyikapi penyelenggaraan penyuluhan sehingga rentan terhadap konflik.

2) Selama ini sistem penyuluhan yang ada bersifat polivalen sedangkan substansi perikanan bersifat khas, dimana kondisi teknis, lingkungan, ekologis dan sosial perikanan sangat spesifik, sehingga perlu tersedia kelembagaan, fasilitas, tenaga penyuluh, yang secara khusus menangani bidang perikanan dan dapat dilaksanakan secara tersendiri.

3) Kondisi saat ini menunjukkan bahwa nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan belum memanfaatkan teknologi terapan secara optimal untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya, sehingga pengetahuan, keterampilan, sikap dan motivasi yang dimiliki dipandang perlu untuk ditingkatkan melalui penyuluhan. Di sisi lain, sistem penyuluhan perikanan baku belum efektif implementasinya, sehingga dalam pelaksanaannya belum diselenggarakan dalam konteks jejaring kerja.

4) Saat ini terdapat perubahan sosial yang lebih demokratis dan tata pemerintahan yang lebih banyak melimpahkan kewenangan kepada daerah (prinsip otonomi daerah), namun demikian, implementasi otonomi daerah berimplikasi pada penempatan kegiatan dan kelembagaan penyuluhan (termasuk perikanan) bukan sebagai prioritas penanganan, karena dianggap sebagai overhead cost daerah (kata lain dari menjadi beban daerah dan bukan pemasok PAD). Secara pemerintahan, keberadaan kelembagaan penyuluhan perikanan sebagai unit administrasi pangkal di daerah menjadi beragam. 5) Tuntutan masyarakat terhadap sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang

lebih demokratis, seiring dengan kesadaran untuk keluar dari keterpurukan ekonomi yang membebani dan fungsi birokrasi yang selama ini kurang berpihak pada rakyat. Adanya semangat dan kesadaran membangun masyarakat setempat serta akses informasi yang mudah didapat, juga gencarnya agen pemasaran swasta dan institusi pendidikan dan penelitian di sektor perikanan, telah menempatkan penyuluh fungsional PNS bukan sebagai satu-satunya agent of change.


(32)

7

Dalam konteks desentralisasi penyuluhan perikanan yang harus dilaksanakan secara spesifik sesuai tuntutan pelaku utama di daerah memerlukan suatu perencanaan dan pengembangan yang terpadu yang mencakup aspek-aspek seperti kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta kebutuhan pelaku utama.

Untuk memperoleh gambaran yang komprehensip mengenai status (kondisi) pengembangan penyuluhan perikanan di daerah pada era desentralisasi sekaligus bisa mengidentifikasi berbagai masalah serta arah pemecahannya bagi pengambilan keputusan dan penentuan prioritas kebijakan, maka penelitian ini dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat diidentifikasikan permasalahan-permasalahan pada pengembangan sistem penyuluhan perikanan yang terjadi pada era desentralisasi sebagai berikut:

1) Penyelenggaraan penyuluhan perikanan belum berfungsi dan berjalan secara optimal di daerah karena kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan perikanan belum terbentuk. Kalaupun ada, tugas pokok dan fungsinya masih polivalen serta programnya tidak terfokus ke penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

2) Banyaknya alih tugas penyuluh perikanan ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya dan rendahnya kemampuan dan kinerja penyuluh perikanan.

3) Materi dan metoda penyuluhan perikanan belum sepenuhnya mendukung pengembangan perikanan sebagai komoditas unggulan di daerah, karena kurangnya dukungan informasi dan keterbatasan sumberdaya.

4) Terbatasnya dukungan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan dari pemerintah daerah maupun dukungan pembiayaan dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

5) Kurangnya keberpihakan kepada pelaku utama sehingga penyuluhan perikanan yang dioperasionalkan belum sepenuhnya menggairahkan peran


(33)

8

pelaku utama untuk turut serta dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan.

Dengan melihat berbagai permasalahan yang kompleks dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan di era desentralisasi, maka diperlukan suatu solusi melalui pendekatan yang bersifat multidimensi/integral yang mencakup aspek-aspek yang mempengaruhi penyuluhan perikanan era desentralisasi sehingga pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dapat diwujudkan secara optimal.

Kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah antara lain: (1) sulitnya merubah paradigma stakeholder yang berperan dalam pengembangan sistem penyuluhan di daerah dan adanya perbedaan persepsi tentang penyuluhan perikanan, (2) belum fokusnya prioritas pemerintah daerah terhadap penanganan penyuluhan perikanan, (3) sistem operasionalisasi penyuluhan perikanan belum terintegrasi dan dijabarkan dalam aturan/pedoman yang dapat dijadikan acuan desentralisasi penyuluhan bagi daerah.

Dengan demikian permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah upaya merancang suatu sistem yang terintegrasi menyangkut berbagai dimensi pengembangan penyuluhan perikanan sebagai upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia perikanan (pelaku utama) di daerah.

Pertanyaan selanjutnya dalam penelitian ini adalah:

1) Apa saja atribut/indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan pengembangan penyuluhan perikanan dari masing-masing dimensi (kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama/sosial) ?

2) Seberapa besar performa pengembangan penyelenggaraan penyuluhan perikanan saat ini?

3) Apakah ada perbedaan performa pengembangan penyelenggaraan penyuluhan antar wilayah di Indonesia?

4) Bagaimana rumusan kebijakan yang dapat menjadi pedoman dasar bagi daerah dalam pengembangan penyuluhan perikanan?


(34)

9

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian berjudul ”Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia” Terkait dengan judul tersebut maka tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk merancang kebijakan dasar pengembangan penyuluhan perikanan di daerah. Kebijakan dasar tersebut hanya dapat diformulasikan secara tepat jika diketahui kondisi eksisting dari sistem penyuluhan yang ada. Oleh karenanya ditetapkan tujuan-tujuan spesifik yang pada garis besarnya berupaya mengungkap kondisi eksisting penyuluhan perikanan era desentralisasi berikut rekomendasi strategi yang akan diambil. Adapun tujuan spesifik peneltian ini yaitu:

1) Mengidentifikasi atribut/indikator yang dapat mencerminkan pengembangan penyuluhan perikanan yang mencakup dimensi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan serta respons pelaku utama (sosial)

2) Mengukur tingkat perkembangan penyuluhan perikanan di daerah

3) Membandingkan nilai indeks pengembangan penyuluhan perikanan di wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat

4) Merumuskan rekomendasi kebijakan dan skenario strategi implementasi pengembangan penyuluhan perikanan di daerah

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini secara umum adalah sebagai bahan rujukan dalam penyusunan rencana pembangunan perikanan, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan penyuluhan perikanan. Secara khusus penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi:

1) Stakeholders,sebagai informasi dan bahan pertimbangan untuk memanfaatkan peluang penyuluhan perikanan dalam konteks dan kebutuhannya.

2) Pemerintah, sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan dan prioritas program yang operasional, khususnya dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah tingkat II Kabupaten/Kota

3) Ilmu Pengetahuan, sebagai referensi pembanding, data awal dan dapat menjadi katalisator bagi penelitian-penelitian sejenis sehingga niat untuk menciptakan


(35)

10

model penyuluhan perikanan yang efektif dan efisien di era desentralisasi dapat diwujudkan dalam tempo yang relatif cepat

4) Pengelolaan perikanan tangkap, sebagai informasi acuan dan bahan pertimbangan dalam penentuan sumbangsih penyuluhan perikanan terhadap pengembangan dan efektifitas pengelolaan perikanan tangkap

1.5 Hipotesis

Hipotesis umum yang menyusun penelitian ini adalah kebijakan dasar pengembangan penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia akan berbeda di masing-masing daerah dan sangat tergantung pada cara pandang pemerintah daerah terhadap nilai strategis penyuluhan dalam rangka optimalisasi potensi sumberdaya. Adapun hipotesis khusus yang dibangun dalam penelitian ini adalah:

1) Terdapat perbedaan fokus pengembangan dimensi yang akan dikembangkan oleh daerah dalam era desentralisasi penyuluhan

2) Terdapat perbedaan status keberlanjutan penyuluhan perikanan era desentralisasi di wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat;

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Pencapaian tujuan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah membutuhkan serangkaian kajian secara integral yang meliputi variabel-vaeriabel multidimensional seperti kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sapras-pembiayaan dan sosial.

Berbagai faktor akan turut mempengaruhi dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah terutama yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan menyangkut kelembagaan penyuluhan perikanan, ketenagaan dan pembiayaan yang harus menjadi tanggung jawab daerah. Pada saat bersamaan kebijakan penyelenggaraan penyuluhan perikanan sudah harus berdiri sendiri (dipisahkan dari pertanian) karena kekhasan dan karakteristik yang berbeda antara perikanan dan pertanian.

Salah satu dampak desentralisasi penyelenggaraan penyuluhan perikanan ke daerah adalah adanya stagnasi atau kesenjangan. Dipandang dari dimensi


(36)

11

kelembagaan, penyuluhan yang selama ini difungsikan sebagai ”rumah para penyuluh” bersifat variatif di masing-masing daerah. Kelembagaan dinas pun beragam dan ada yang tidak melaksanakan fungsi penyuluhan perikanan. Keragaman ini tentunya akan berpengaruh pada tugas dan fungsi kelembagaan itu sendiri dan berdampak pada penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah. Di sisi lain masalah keberadaan dan pemanfaatan para penyuluh menjadi beragam pula. Karir dan kompetensi para penyuluh (fungsional) menjadi tidak jelas dan beberapa di antaranya beralih fungsi kegiatan yang lebih banyak berada di luar bidang penyuluhan. Dalam situasi yang tidak menentu itu, motivasi kerja para penyuluh turun drastis dan bahkan ada yang tidak melaksanakan tugasnya lagi. Keprofesionalan penyuluh perikanan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena implementasi regulasi dalam penilaian angka kredit penyuluh perikanan belum berjalan. Hal ini makin diperparah dengan tidak adanya pengaturan penyelenggaraan penyuluhan perikanan dan program-program penyuluhan yang wajib mereka lakukan di lapangan, di samping tidak adanya dukungan Biaya Operasional Penyuluh (BOP) yang memadai untuk melayani kebutuhan-kebutuhan kelompoknya, apalagi biaya khusus yang di alokasikan dalam rangka penyelenggaraan penyuluhan perikanan dikatakan hampir tidak disediakan oleh semua daerah.

Berdasarkan deskripsi kondisi di atas, maka telah terjadi stagnasi/kesenjangan dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah, sehingga perlu dicari solusi alternatif pengembangannya. Kesenjangan antar daerah kemungkinan makin diperparah oleh adanya pola pembangunan kewilayahan pada masa lalu yang difokuskan berdasarkan wilayah timur, tengah dan barat sehingga kemungkinan adanya perbedaan di masing-masing wilayah masih ada. Oleh karenanya perlu pula dalam analisis dilakukan kajian mengenai perbedaan pengembangan penyuluhan perikanan di masing-masing wilayah.

Alternatif pengembangan penyelenggaraan penyuluhan perikanan dikaji dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan berdasarkan 5 dimensi yaitu: kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama (sosial) dan diharapkan adanya perubahan paradigma

stakeholder, peningkatan peran pemerintah dan peningkatan operasional


(37)

12

skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dilakukan dengan mengubah kondisi dari faktor-faktor yang berpengaruh pada masing-masing dimensi untuk menghasilkan rekomendasi bagi pihak-pihak pengambil keputusan. Kerangka pikir tersebut seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian kajian pengembangan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia.

Kajian Pengembangan sistem Penyuluhan Perikanan Kesenjangan Penyelenggaraan

Penyuluhan Perikanan

Alternatif Pengembangan Penyuluhan Perikanan

Kelembagaan Ketenagaan Penyelenggaraan Sarana & Biaya

Pelaku Utama

Perubahan Paradigma

Peran PEMDA

Operasional Penyuluhan

Rancangan Skenario Kebijakan Pengembangan Penyuluhan di Daerah

Rekomendasi Penyelenggaraan Penyuluhan

Spesifik Perikanan Desentralisasi


(38)

13

Dalam penyusunan kajian pengembangan sistem penyuluhan perikanan terlebih dahulu diawali dengan menentukan kondisi saat ini (existing condition). Penentuan dan penilaian terhadap kondisi saat ini dianalisis dengan menggunakan metode Rapid Appraisal Index Development System of Fisheries Extension on Decentralize Circumstance in Indonesia/Pengembangan sistem Penyuluhan

Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia (Rap- INSINYURKANIN) yang

dikembangkan dari metode Rapfish (Kavanagh, 2001). Selanjutnya berdasarkan hasil exsisting condition serta stakeholders assesment maka dirancang skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif menghasilkan rekomendasi yang dapat dioperasionalkan dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah.

1.7Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah, khususnya daerah Kabupaten/Kota yang berdasarkan kebijakan desentralisasi mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah yang bersangkutan. Penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah didasarkan pada 5 (lima) dimensi yaitu: dimensi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama (sosial). Untuk mengetahui gambaran umum dan keberadaan penyelenggaraan penyuluhan perikanan saat ini dilakukan analisis menggunakan metode Rap- INSINYURKANIN sehingga memperoleh nilai indeks dan divisualisasikan dalam 5 (lima) dimensi. Selanjutnya pengaruh error hasil Rap-INSINYURKANIN yang berupa nilai indeks tersebut divalidasi dengan analisis Monte Carlo.

Berdasarkan hasil analisis dan pertimbangan faktor penentu dari

stakeholder assesment serta dengan memperhatikan atribut yang sensitif, dapatlah

dirancang skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dan rekomendasi operasionalnya.


(39)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat.

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pengertian itu, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang –undangan.

Penerapan azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia menurut Setyawan (2002) adalah melalui pembentukan daerah-daerah otonom, dimana istilah otonomi sendiri berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu

“autos” (sendiri), dan “namos” (peraturan) atau undang-undang, sehingga

otonomi berarti peraturan itu sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi “ pemerintahan sendiri”

Dalam terminologi ilmu pemerintahan dan hukum negara, kata otonomi sering dihubungkan dengan otonomi daerah dan daerah otonom. Otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri (Setyawan, 2002) dan diartikan sebagai kebebasan atas kemandirian bukan kemerdekaan, sedangkan otonomi daerah sendiri oleh Setyawan (2002) memiliki beberapa pengertian, yaitu: (1) kebebasan untuk memelihara dan mengajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri, (2) pendewasaan politik rakyat lokal dan proses mensejahterakan rakyat, (3) adanya pemerintahan yang lebih atas memberikan atau menyerahkan bagian urusan rumah tangganya kepada pemerintahan bawahannya; sebaliknya pemerintahan bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan


(40)

15

urusan tersebut, (4) pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Menurut Fakrulloh (2004), daerah otonom dapat diberikan beberapa pengertian yaitu: 1) daerah yang mempunyai kehidupan sendiri yang tidak bergantung pada satuan organisasi lain, 2) daerah yang mengemban misi tertentu yaitu dalam rangka meningkatkan keefektifan dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah didaerah dimana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban itu daerah diberi hak dan kewenangan tertentu, 3) daerah yang memiliki atribut, mempunyai urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat dan yang memiliki sumber keuangan sendiri. Selanjutnya Fakrulloh (2004) menyatakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya berurusan dengan persoalan pembagian kewenangan dan keuangan dari pusat ke daerah, melainkan juga kebijakan ini hendak membawa negara lebih dekat pada masyarakat atau membuat demokrasi lokal bekerja (akuntabilitas lokal, transparansi, responsivitas dan partisipasi masyarakat).

Secara normatif, Sondakh (2003) menyatakan bahwa dengan desentralisasi (antara lain dengan pemberian otonomi yang lebih luas), kinerja pembangunan daerah akan menjadi lebih baik, karena pemerintahan yang memiliki mandat untuk mengformulasikan, mengambil dan melaksanakan keputusan publik akan menjadi lebih dekat ke masyarakat. Menurut Muluk (2006), desentralisasi membawa pemerintah untuk lebih dekat kepada masyarakat karena ia mampu meningkatkan kebebasan, persamaan dan kesejahteraan, serta desentralisasi memberikan landasan bagi partisipasi masyarakat dan kepemimpinan untuk tingkat lokal maupun nasional. Selanjutnya dikatakan oleh Smith (1985) dikutip Muluk (2006) bahwa desentralisasi mencakup beberapa elemen, yakni (1) desentralisasi memerlukan pembatasan area, yang bisa didasarkan pada tiga hal (pola spesial kehidupan sosial dan ekonomi, rasa identitas politik dan efisiensi pelayanan politik yang bisa dilaksanakan); (2) desentralisasi yang meliputi pendelegasian wewenang, baik itu kewenangan politik maupun kewenangan birokratis. Sementara itu, oleh Hoessein (2001) yang dikutip Muluk (2006)


(41)

16

mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup dua elemen pokok, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom tersebut.

Secara teoritis antara desentralisasi dan demokratisasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain (Fakrulloh, 2004) dan tanpa demokratisasi dan partisipasi masyarakat maka desentralisasi dan otonomi daerah tidak mungkin berjalan seperti yang diharapkan (Kaloh, 2007). Desentralisasi dalam berbagai bentuknya selalu berasosiasi dengan demokratisasi (Wibowo et al. 2004), karena desentralisasi memberikan kesempatan bagi masyarakat melalui wakilnya untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara lebih efektif dari semua keputusan. Dijelaskan oleh Smith (1985) dalam Muluk (2006) biasanya desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi, meski secara logis dengan desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (seperti akuntabilitas penyediaan layanan publik dan partisipasi) tetap memerlukan adanya demokrasi. Keterkaitan antara desentralisasi dan demokrasi telah melahirkan model otonomi daerah yang berbasis masyarakat. Secara prinsip, otonomi daerah yang berbasis masyarakat adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi dan demokrasi yang berbasis pada partisipasi masyarakat, karena semuanya berawal dari masyarakat dan dikembalikan kepada masyarakat; yaitu otonomi daerah yang dibangun “dari” partisipasi masyarakat, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab “oleh” masyarakat, dan dimanfaatkan secara responsif

“untuk” masyarakat (Fakrulloh, 2004). Dengan demikian, dikemukakan oleh

Sumaryadi (2005) hakekat otonomi adalah meletakkan landasan pembangunan yang tumbuh dan berkembang dari rakyat, diselenggarakan secara sadar dan mandiri oleh rakyat, dan hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat. Namun demikian diingatkan oleh Wibisono (2002) bahwa faktor kualitas masyarakat sebagai sumber daya manusia pembangunan harus dapat sejalan dengan perubahan paradigma otonomi daerah tersebut. Menurut Sumaryadi (2005) pengembangan konsep peran masyarakat dalam era otonomi daerah untuk mencapai kemandirian harus dibentuk agar: (1) terbukanya kesadaran dan tumbuhnya keterlibatan masyarakat dan kemandirian bersama, (2) diperbaikinya kondisi sekitar kehidupan


(42)

17

kaum rentan, lemah, tak berdaya, miskin dengan kegiatan-kegiatan peningkatan pemahaman, peningkatan pendapatan dan usaha-usaha kecil diberbagai bidang ekonomi kearah swadaya, (3) ditingkatkan kemampuan dan kinerja kelompok-kelompok swadaya dalam keterampilan teknis dan manajemen untuk perbaikan produktivitas dan pendapatan mereka.

Strategi pembangunan daerah yang berorientasi meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dibidang kelautan dan perikanan menurut Dahuri (2003) diantaranya adalah: (1) mengembangkan kapasitas aparat pemerintahan (birokrasi) yang mendukung peranannya dalam mengembangkan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan, (2) meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan khususnya ekonomi lokal yang didasarkan pada: 1) sumberdaya lokal (local resources) termasuk didalamnya sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, 2) kandungan lokal

(local content) baik tenaga kerja maupun bahan baku, 3) pertimbangan gender dan

4) perencanaan bisnis (business plan) yang mengarah pada keberlanjutan, serta kegiatan budidaya dan sistem bisnis berbasis sumberdaya domestik kawasan pesisir dan laut termasuk kegiatan pengolahan (agroindustri) dan tata niaga, (3) meningkatkan sumberdaya manusia pelaku ekonomi pembangunan kelautan dan perikanan, baik pelaku industri skala modern maupun tradisional seperti nelayan melalui pendidikan formal maupun nonformal yang tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan perubahan perilaku (attitude).

Bentuk partisipasi masyarakat dibagi dalam 5 tingkatan menurut Breinkeirhoff (2002) yang dikutip oleh Wibowo et al. (2004) adalah sebagai berikut :

(1) Penyebaran informasi/information sharing untuk menjamin transparansi dan membangun legitimasi, baik berasal dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya.

(2) Konsultasi, untuk pertukaran informasi dan pandangan dua arah yang juga meliputi information sharing dan pengumpulan feedback dan reaksi.


(43)

18

(3) Kolaborasi merupakan aktivitas bersama yang melibatkan pihak eksternal tetapi inisiator masih memegang kendali atas pengambilan keputusan dan kontrol.

(4) Pembuatan keputusan bersama/joint decision making, adalah sebuah kolaborasi dimana terdapat pembagian kontrol atas keputusan yang dibuat. (5) Pemberdayaan/empowerment, adalah transfer kontrol atas pembuatan

kebijakan, sumberdaya dan aktivitas dari inisiator kepada stakeholder yang lain.

Pilihan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan langkah strategis untuk menciptakan keadilan ekonomi serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Djayadiningrat, 2003). Menurut Kusumastanto (2003), pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan perikanan dilandasi oleh : 1) partisipasi masyarakat pesisir khususnya nelayan dan petani ikan merupakan instrumen untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat yang menekankan bahwa tanpa kehadirannya program pembangunan yang dikembangkan akan gagal, 2) masyarakat pesisir akan lebih mempercayai program yang dikembangkan dalam bidang yang terkait langsung dengan kepentingan mereka, karena keterlibatan mereka dalam proses persiapan dan perencanaan sampai implementasi membuat mereka mengetahui seluk-beluk program tersebut bahkan merasa memilikinya, 3) akan mendorong terciptanya partisipasi secara umum (common participation) bagi masyarakat pesisir dalam pembangunan karena tercipta persepsi yang kondusif bahwa partisipasi mereka merupakan suatu “hak demokrasi” dalam menunjang proses itu sendiri: dan dalam perspektif inilah kunci pokok keberhasilan penerapan otonomi daerah.

Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, Satria et al. (2002) berpendapat bahwa dengan desentralisasi, terbukalah pintu menuju terciptanya ruang partisipasi masyarakat lokal yang seluas-luasnya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, sekaligus akan merupakan tanggungjawab mereka terhadap masa depan sumberdaya tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa hal lain yang tidak kalah pentingnya dengan desentralisasi adalah institusi lokal yang menyimpan kearifan tradisional dalam


(44)

19

pengelolaan sumberdaya perikanan dapat menemukan kembali kekuatan perannya, atau dengan kata lain formula community based management yang lebih kompleks, dan tentunya masih banyak potensi dan manfaat lain yang dapat digali dari pendekatan desentralisasi itu (Satria et al. 2002). Namun demikian, diingatkan oleh Satria et al. (2002) bahwa dengan kondisi objektif masyarakat perikanan Indonesia saat ini membuat kita harus kembali berpikir untuk menerapkan pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat secara murni, karena hal tersebut berhubungan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan serta menuntut antara lain kemampuan manajerial dan kedewasaan bermasyarakat yang merata sehubungan dengan pengelolaan yang diserahkan pada organisasi-organisasi masyarakat, dan hal ini tentunya membutuhkan perangkat-perangkat lokal/lembaga-lembaga lokal.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Wibowo et al. (2004) mengungkapkan bahwa problem partisipasi didaerah adalah berkenaan dengan belum dimilikinya mekanisme dialog yang efektif, khususnya dalam menangani isu-isu pembangunan, sehingga yang muncul lebih sebagai komunikasi satu arah dari pemerintah daerah kepada masyarakatnya, dimana hal ini disebakan karena tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang hak – hak sebagai warga masyarakat sangat sedikit, juga sering muncul keengganan dari pihak pemerintah karena biasanya proses pengambilan keputusan akan berjalan alot jika melibatkan banyak pihak.

2.2 Sumber Daya Manusia pada Era Desentralisasi

Menurut Fakrulloh (2004) unsur desentralisasi dalam konteks desentralisasi demokratis mengandung dua elemen penting; pertama pelembagaan pembaharuan konstitisional dan hukum untuk membagi kekuasaan pada struktur pemerintahaan lokal (perubahan dalam konteks hubungan antar level pemerintahan), kedua peningkatan kemampuan pemerintah daerah untuk bertindak (kapasitas sumberdaya manusia dan finansial serta tanggung jawab yang signifikan). Selanjutnya dikatakan bahwa tata pemerintahan daerah yang demokratis mencakup tiga elemen, yaitu: (1) pengelolaan pemerintahan secara transparan, akuntabel dan responsif (perubahan dalam konteks hubungan antara pemerintah


(45)

20

daerah dengan warga masyarakat lokal), (2) penguatan peran elemen-elemen masyarakat sipil (partisipasi masyarakat baik secara individual maupun kolektif), (3) perbaikan kualitas hidup warga masyarakat (pemberdayaan warga, kualitas layanan publik dan pemerataan akses).

Berkenaan dengan itu, Kaloh (2007) berpendapat bahwa secara kelembagaan, pemerintah daerah harus menyiapkan birokrasi yang efisien dengan mengembangkan teknologi informasi dalam meningkatkan kinerja kelembagaannya yang tentunya dengan dukungan sumberdaya manusia yang berkualitas, serta dipihak lain daerah harus memfasilitasi dan berkreasi pelayanan publik agar mengikuti perkembangan teknologi dan dinamika science, karena interaksi perkembangan tersebut akan memberikan sinergi bagi kemajuan daerah secara keseluruhan sehingga corak apapun masyarakatnya (agraris atau bahari), semuanya bergerak dalam bingkai dan visi teknologi yang berbasis ilmu pengetahuan. Menghadapi perubahan hubungan pusat dan daerah otonom, maka perkembangan sosial ekonomi daerah menurut Sondakh (2003) akan terutama tergantung dari : (1) prasarana dan sarana (2) ketersediaan dana rutin dan pembangunan daerah (3) kualitas pemerintahan lokal dan (4) kualitas pengusaha dan masyarakat lokal. Ditegaskan oleh Tim World Bank (1994) yang dikutip oleh Sondakh (2003) bahwa dalam konteks yang lebih terfokus ke perkembangan sosial ekonomi suatu daerah, pada kenyataannya kemajuan tidak semata ditentukan oleh kekayaan sumberdaya alam (natural resource endowment) tetapi oleh produktivitas sumberdaya manusia. Rumusan ini sejalan dengan pandangan Todaro (1974) yang disetir oleh Sondakh (2003) tentang pengaruh tiga faktor utama terhadap proses perkembangan ekonomi, yaitu : sistem pasar, sistem dan perilaku sosial, dan kebijakan dan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, dimana faktor pertama dan ketiga merupakan men make sistem yang dengannya ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia. Ditekankan oleh Dahuri (2003) bahwa kunci keberhasilan pembangunan bidang kelautan dan perikanan di era otonomi daerah dan masa depan bangsa tidak terlepas dari faktor kualitas sumberdaya manusia dan kemampuannya dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, karena pengalaman empiris selama ini telah membuktikan, bahwa kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan suatu bangsa sangat ditentukan oleh


(46)

21

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa yang bersangkutan. Selanjutnya ditegaskan bahwa sumberdaya manusia kelautan dan perikanan sebagai penggerak pembangunan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam praktek pembangunan daerah dan nasional diperankan oleh 3 (tiga) kelompok pelaku pembangunan, yaitu kelompok birokrasi, pelaku kegiatan ekonomi dan kelompok masyarakat itu sendiri.

Menurut Wibowo et al.(2004) birokrasi diharapkan kehadirannya mengingat kebutuhan publik yang selalu berubah-ubah atau berkembang, sehingga fungsi-fungsi pelayanan publikpun harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dengan tetap menjaga sifat netralisir pelayanannya; karena disinilah birokrasi menjadi relevan eksistensinya. Selanjutnya dikatakan oleh Weber yang dikutip oleh Wibowo et al. (2004) bahwa alasan pokok birokrasi berimplikasi kepada tugas utama untuk melayani masyarakatnya dan agar tugas tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, maka Weber mengajukan 6 (enam) syarat bagi terciptanya birokrasi yang netral, yaitu : 1) Desentralization of work, 2) Fixed and

jurisdictional areas, 3) Profesionalized system of work, 4) Technical capability, 5)

No personal feelings or favoritisme, dan 6) Tracking carreer. Dikatakan oleh

Hidayat et al. (2004) bahwa peningkatan kualitas pelayanan akan merujuk pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik, karena pelayanan yang baik dapat dilihat dari besarnya sumberdaya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan publik; dan oleh karena itu kemampuan dan sumberdaya dari aparat birokrasi harus berkualitas dan profesional untuk dikonsentrasikan pada pelayanan kebutuhan dan kepentingan publik.

Riyadmadji (2006) menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi yang mempunyai kapasitas besar dalam menyelenggarakan urusan-urusan publik bila dibandingkan organisasi non birokrasi, dan oleh Setyono (2002) yang dikutip oleh Riyadmadji (2006) memberi alasan sebagai berikut : (1) birokrasi memiliki

“legitimate power”, karena mendapat mandat dari undang-undang untuk

mengurus kehidupan negara, sehingga dapat bertindak atas nama negara pada hal-hal yang dimandatkan kepadanya; (2) penguasaan informasi, karena birokrasi bertugas mengurus segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan


(1)

Monitoring Evaluasi dan Laporan

(0) = 1 (1) = 18

(2) = 1

(1) asal dilaksanakan 2 0

(0) tidak dilaksanakan (1) asal dilaksanakan (2) dilaksanakan dengan baik

D. Dimensi Sarana/Prasarana dan

Pembiayaan

Dimensi dan Atribut

Skor saat ini (jumlah

kabupaten kota) Baik Buruk Keterangan

Keberadaan/Ketersediaan/Dukungan Sarana /Fasilitas Penyuluhan

(0) = 15 (1) = 5 (2) = 0

(0) tidak ada 2 0

(0) tidak ada (1) ada,sangat minim (2) memadai

Kesesuaian Sarana/Fasilitas/Alat Bantu

(0) = 16 (1) = 4 (2) = 0

(0) tidak ada/tidak sesuai 2 0

(0) tidak ada/tidak sesuai (1) belum sesuai kebutuhan

Yang Tersedia (2) sesuai kebutuhan

Pemanfaatan Sarana/Fasilitas/Alat Bantu

(0) = 1 (1) = 14

(2) = 5 (3) = 0 (1) dimanfaatkan tapi belum

sesuai kebutuhan

3 0

(0) tidak ada/tidak dimanfaatkan (1) dimanfaatkan tapi belum

sesuai kebutuhan (2) dimanfaatkan bersama/gabungan

(3) dimanfaatkan secara khusus untuk kebutuhan perikanan

Khusus Sarana Transportasi

(0) = 18 (1) = 2 (2) = 0

(0) Tidak tersedia 2 0

(0) Tidak tersedia (1) Tersedia tapi untuk berbagai kepentingan (2) Tersedia Khusus untuk penyuluhan

Sumber dan Ketersediaan Pembiayaan

(0) = 14 (1) = 6 (2) = 0

(0) tidak tersedia 2 0

(0) tidak tersedia (1) pemerintah, tapi kurang memadai (2) pemerintah dan memadai

Kebutuhan dan Alokasi

(0) = 15 (1) = 5 (2) = 0

(0) tidak sesuai 2 0

(0) tidak sesuai (1) belum sesuai (2) sesuai kebutuhan dan alokasi yang baik

Dukungan dan Kerjasama Dengan Pihak Lain (swasta)

(0) = 16 (1) = 4 (2) = 0

(0) tidak ada 2 0

(0) tidak ada (1) ada, sedikit/tidak kontinue (2) intensif

Alokasi Pembiayaan Penguatan Modal

(0) = 19 (1) = 1 (2) = 0

(0) tidak ada 2 0

(0) tidak ada (1) ada, hanya untuk pelaku utama (2) ada


(2)

pelaku utama

Sistem / Aturan dan Mekanisme Pembiayaan

(0) = 17 (1) = 3 (2) = 0

(0) tidak ada 2 0

(0) tidak ada (1) ada, tapi tidak dilaksanakan (2) dilaksanakan dengan baik

E. Dimensi Respons Pelaku Utama

Dimensi dan Atribut

Skor saat ini (jumlah

kabupaten kota) Baik Buruk Keterangan

Manfaat Penyuluhan

(0) = 0 (1) = 16

(2) = 4

(1) terasa sedikit 2 0

(0) tidak ada (1) terasa sedikit (2) bermanfaat

Peran Penyuluh

(0) = 0 (1) = 19

(2) = 1

(1) sedikit berperan 2 0

(0) tidak ada (1) sedikit berperan (2) berperan

Sistem dan Metode Penyuluhan

(0) = 2 (1) = 16 (2) =2

(1) ada, tidak teratur 2 0

(0) tidak ada (1) ada, tidak teratur (2) berjalan baik

Partisipasi Yang Diberikan

(0) = 1 (1) = 19

(2) = 0

(1) sedikit 2 0 (0) tidak ada (1) sedikit (2) banyak

Materi Yang Diharapkan

(0) = 2 (1) = 16

(2) = 2

(1) sedikit sesuai 2 0

(0) tidak sesuai (1) sedikit sesuai (2) sangat sesuai

Akses Kepada Sumberdaya

(0) = 3 (1) = 16

(2) = 1

(1) bisa beberapa saja 2 0

(0) sangat sedikit (1) bisa beberapa saja (2) mudah

Frekuensi Penyuluhan

(0) = 1 (1) = 16

(2) = 3 (3) = 0

(1) 1-2 kali sebulan 3 0

(0) tidak pernah ada (1) 1-2 kali sebulan (2) ≥ 3 kali dalam sebulan (3) sesuai kebutuhan

Peran Pelaku Usaha

(0) = 3 (1) = 16

(2) = 1 (3) = 0

(1) netral 3 0

(0) negatif (1) netral (2) positif (3) sangat positif

Keterlibatan Pelaku Usaha

(0) = 6 (1) = 12

(2) = 2

(1) usaha mikro/kecil 2 0

(0) tidak ada (1) usaha mikro/kecil (2) industri besar

Kebutuhan Kelembagaan di Wilayah

(0) = 2 (1) = 18

(2) = 0

(1) cukup membutuhkan 2 0

(0) tidak membutuhkan (1) cukup membutuhkan (2) sangat membutuhkan


(3)

Lampiran 3. Keberlanjutan sistem penyuluhan di Indonesia Timur setiap dimensi

(1) kelembagaan, (2) ketenagaan, (3) penyelenggaraan, (4)

sapras-pembiayaan dan (5) sosial.

Down Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

Ot

he

r D

is

ti

n

gi

s

hi

n

g Fe

a

ture

s

Good Bad

Up

Down

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

Ot

he

r D

is

ti

ngi

s

h

in

g Fe

a

tur

e

s

Down Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

O

the

r D

is

ti

ngi

s

hi

ng Fe

a

tur

e

s

Down Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

O

the

r D

is

ti

n

gi

s

hi

ng F

e

a

tur

e

s

Down

Up

Bad

Good

-180 -120 -60 0 60 120

0 20 40 60 80 100

O

the

r D

is

ti

ng

is

hi

n

g F

e

a

ture

s

1

2

3

4


(4)

Down Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

O

ther

D

ist

ingi

sh

in

g Fe

at

ur

e

s

Down Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

O

th

e

r D

is

ti

ngi

s

h

ing Fe

a

tur

e

s

Down Up

Bad

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

O

the

r D

is

ti

n

gi

s

hi

n

g Fe

a

ture

s

Down Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

O

th

e

r Di

st

in

g

ish

in

g

F

eat

u

res

Down

Up

Bad

-200 -150 -100 -50 0 50 100

0 20 40 60 80 100

O

th

e

r D

is

ti

ng

is

hi

ng Fe

a

tur

e

s

Lampiran 4. Keberlanjutan sistem penyuluhan di Indonesia Tengah setiap dimensi

(1) kelembagaan, (2) ketenagaan, (3) penyelenggaraan, (4)

sapras-pembiayaan dan (5) sosial.

1

2

3

4


(5)

Lampiran 5. Keberlanjutan sistem penyuluhan di Indonesia Barat setiap dimensi

(1) kelembagaan, (2) ketenagaan, (3) penyelenggaraan, (4)

sapras-pembiayaan dan (5) sosial.

5

Down

Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

O

th

er

D

ist

in

g

ish

in

g

F

eat

u

res

Down Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

O

the

r D

is

ti

n

gi

s

hi

ng F

e

a

tur

e

s

Down Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

O

the

r D

is

ti

ngi

s

hi

ng Fe

a

tur

e

s

Down Up

Bad Good

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100

Ot

he

r D

is

ti

ngi

s

hi

ng Fe

a

tur

e

s

Down

Up

Bad

Good

-200 -150 -100 -50 0 50 100

0 20 40 60 80 100

O

the

r D

is

ti

ngi

s

h

ing

Fe

a

tu

re

s

4

3

2

1


(6)

ANOVA

105.170 2 52.585 1.285 .302

695.735 17 40.926

800.905 19

31.428 2 15.714 .714 .504

374.324 17 22.019

405.752 19

49.886 2 24.943 2.283 .132

185.746 17 10.926

235.633 19

42.263 2 21.131 .695 .513

516.982 17 30.411

559.245 19

25.386 2 12.693 .546 .589

395.060 17 23.239

420.446 19

5.803 2 2.902 .819 .457

60.209 17 3.542

66.013 19

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total

KELEMBAG

KETENAGA

PENYELEN

SAPRAS

SOSIAL

MULTIDIM

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Lampiran 6. Analisis one way anova menggunakan perangkat SPSS