Ruang Lingkup Penelitian Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat.

Dalam penyusunan kajian pengembangan sistem penyuluhan perikanan terlebih dahulu diawali dengan menentukan kondisi saat ini existing condition. Penentuan dan penilaian terhadap kondisi saat ini dianalisis dengan menggunakan metode Rapid Appraisal Index Development System of Fisheries Extension on Decentralize Circumstance in IndonesiaPengembangan sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia Rap- INSINYURKANIN yang dikembangkan dari metode Rapfish Kavanagh, 2001. Selanjutnya berdasarkan hasil exsisting condition serta stakeholders assesment maka dirancang skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif menghasilkan rekomendasi yang dapat dioperasionalkan dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah.

1.7 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah, khususnya daerah KabupatenKota yang berdasarkan kebijakan desentralisasi mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah yang bersangkutan. Penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah didasarkan pada 5 lima dimensi yaitu: dimensi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, saranaprasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama sosial. Untuk mengetahui gambaran umum dan keberadaan penyelenggaraan penyuluhan perikanan saat ini dilakukan analisis menggunakan metode Rap- INSINYURKANIN sehingga memperoleh nilai indeks dan divisualisasikan dalam 5 lima dimensi. Selanjutnya pengaruh error hasil Rap- INSINYURKANIN yang berupa nilai indeks tersebut divalidasi dengan analisis Monte Carlo. Berdasarkan hasil analisis dan pertimbangan faktor penentu dari stakeholder assesment serta dengan memperhatikan atribut yang sensitif, dapatlah dirancang skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dan rekomendasi operasionalnya. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat.

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pengertian itu, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang –undangan. Penerapan azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia menurut Setyawan 2002 adalah melalui pembentukan daerah-daerah otonom, dimana istilah otonomi sendiri berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu “autos” sendiri, dan “namos” peraturan atau undang-undang, sehingga otonomi berarti peraturan itu sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi “ pemerintahan sendiri” Dalam terminologi ilmu pemerintahan dan hukum negara, kata otonomi sering dihubungkan dengan otonomi daerah dan daerah otonom. Otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri Setyawan, 2002 dan diartikan sebagai kebebasan atas kemandirian bukan kemerdekaan, sedangkan otonomi daerah sendiri oleh Setyawan 2002 memiliki beberapa pengertian, yaitu: 1 kebebasan untuk memelihara dan mengajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri, 2 pendewasaan politik rakyat lokal dan proses mensejahterakan rakyat, 3 adanya pemerintahan yang lebih atas memberikan atau menyerahkan bagian urusan rumah tangganya kepada pemerintahan bawahannya; sebaliknya pemerintahan bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut, 4 pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Menurut Fakrulloh 2004, daerah otonom dapat diberikan beberapa pengertian yaitu: 1 daerah yang mempunyai kehidupan sendiri yang tidak bergantung pada satuan organisasi lain, 2 daerah yang mengemban misi tertentu yaitu dalam rangka meningkatkan keefektifan dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah didaerah dimana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban itu daerah diberi hak dan kewenangan tertentu, 3 daerah yang memiliki atribut, mempunyai urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat dan yang memiliki sumber keuangan sendiri. Selanjutnya Fakrulloh 2004 menyatakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya berurusan dengan persoalan pembagian kewenangan dan keuangan dari pusat ke daerah, melainkan juga kebijakan ini hendak membawa negara lebih dekat pada masyarakat atau membuat demokrasi lokal bekerja akuntabilitas lokal, transparansi, responsivitas dan partisipasi masyarakat. Secara normatif, Sondakh 2003 menyatakan bahwa dengan desentralisasi antara lain dengan pemberian otonomi yang lebih luas, kinerja pembangunan daerah akan menjadi lebih baik, karena pemerintahan yang memiliki mandat untuk mengformulasikan, mengambil dan melaksanakan keputusan publik akan menjadi lebih dekat ke masyarakat. Menurut Muluk 2006, desentralisasi membawa pemerintah untuk lebih dekat kepada masyarakat karena ia mampu meningkatkan kebebasan, persamaan dan kesejahteraan, serta desentralisasi memberikan landasan bagi partisipasi masyarakat dan kepemimpinan untuk tingkat lokal maupun nasional. Selanjutnya dikatakan oleh Smith 1985 dikutip Muluk 2006 bahwa desentralisasi mencakup beberapa elemen, yakni 1 desentralisasi memerlukan pembatasan area, yang bisa didasarkan pada tiga hal pola spesial kehidupan sosial dan ekonomi, rasa identitas politik dan efisiensi pelayanan politik yang bisa dilaksanakan; 2 desentralisasi yang meliputi pendelegasian wewenang, baik itu kewenangan politik maupun kewenangan birokratis. Sementara itu, oleh Hoessein 2001 yang dikutip Muluk 2006 mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup dua elemen pokok, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom tersebut. Secara teoritis antara desentralisasi dan demokratisasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain Fakrulloh, 2004 dan tanpa demokratisasi dan partisipasi masyarakat maka desentralisasi dan otonomi daerah tidak mungkin berjalan seperti yang diharapkan Kaloh, 2007. Desentralisasi dalam berbagai bentuknya selalu berasosiasi dengan demokratisasi Wibowo et al. 2004, karena desentralisasi memberikan kesempatan bagi masyarakat melalui wakilnya untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara lebih efektif dari semua keputusan. Dijelaskan oleh Smith 1985 dalam Muluk 2006 biasanya desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi, meski secara logis dengan desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki seperti akuntabilitas penyediaan layanan publik dan partisipasi tetap memerlukan adanya demokrasi. Keterkaitan antara desentralisasi dan demokrasi telah melahirkan model otonomi daerah yang berbasis masyarakat. Secara prinsip, otonomi daerah yang berbasis masyarakat adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi dan demokrasi yang berbasis pada partisipasi masyarakat, karena semuanya berawal dari masyarakat dan dikembalikan kepada masyarakat; yaitu otonomi daerah yang dibangun “dari” partisipasi masyarakat, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab “oleh” masyarakat, dan dimanfaatkan secara responsif “untuk” masyarakat Fakrulloh, 2004. Dengan demikian, dikemukakan oleh Sumaryadi 2005 hakekat otonomi adalah meletakkan landasan pembangunan yang tumbuh dan berkembang dari rakyat, diselenggarakan secara sadar dan mandiri oleh rakyat, dan hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat. Namun demikian diingatkan oleh Wibisono 2002 bahwa faktor kualitas masyarakat sebagai sumber daya manusia pembangunan harus dapat sejalan dengan perubahan paradigma otonomi daerah tersebut. Menurut Sumaryadi 2005 pengembangan konsep peran masyarakat dalam era otonomi daerah untuk mencapai kemandirian harus dibentuk agar: 1 terbukanya kesadaran dan tumbuhnya keterlibatan masyarakat dan kemandirian bersama, 2 diperbaikinya kondisi sekitar kehidupan kaum rentan, lemah, tak berdaya, miskin dengan kegiatan-kegiatan peningkatan pemahaman, peningkatan pendapatan dan usaha-usaha kecil diberbagai bidang ekonomi kearah swadaya, 3 ditingkatkan kemampuan dan kinerja kelompok- kelompok swadaya dalam keterampilan teknis dan manajemen untuk perbaikan produktivitas dan pendapatan mereka. Strategi pembangunan daerah yang berorientasi meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dibidang kelautan dan perikanan menurut Dahuri 2003 diantaranya adalah: 1 mengembangkan kapasitas aparat pemerintahan birokrasi yang mendukung peranannya dalam mengembangkan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan, 2 meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan khususnya ekonomi lokal yang didasarkan pada: 1 sumberdaya lokal local resources termasuk didalamnya sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, 2 kandungan lokal local content baik tenaga kerja maupun bahan baku, 3 pertimbangan gender dan 4 perencanaan bisnis business plan yang mengarah pada keberlanjutan, serta kegiatan budidaya dan sistem bisnis berbasis sumberdaya domestik kawasan pesisir dan laut termasuk kegiatan pengolahan agroindustri dan tata niaga, 3 meningkatkan sumberdaya manusia pelaku ekonomi pembangunan kelautan dan perikanan, baik pelaku industri skala modern maupun tradisional seperti nelayan melalui pendidikan formal maupun nonformal yang tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan knowledge, ketrampilan skill dan perubahan perilaku attitude. Bentuk partisipasi masyarakat dibagi dalam 5 tingkatan menurut Breinkeirhoff 2002 yang dikutip oleh Wibowo et al. 2004 adalah sebagai berikut : 1 Penyebaran informasiinformation sharing untuk menjamin transparansi dan membangun legitimasi, baik berasal dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya. 2 Konsultasi, untuk pertukaran informasi dan pandangan dua arah yang juga meliputi information sharing dan pengumpulan feedback dan reaksi. 3 Kolaborasi merupakan aktivitas bersama yang melibatkan pihak eksternal tetapi inisiator masih memegang kendali atas pengambilan keputusan dan kontrol. 4 Pembuatan keputusan bersamajoint decision making, adalah sebuah kolaborasi dimana terdapat pembagian kontrol atas keputusan yang dibuat. 5 Pemberdayaanempowerment, adalah transfer kontrol atas pembuatan kebijakan, sumberdaya dan aktivitas dari inisiator kepada stakeholder yang lain. Pilihan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan langkah strategis untuk menciptakan keadilan ekonomi serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Djayadiningrat, 2003. Menurut Kusumastanto 2003, pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan perikanan dilandasi oleh : 1 partisipasi masyarakat pesisir khususnya nelayan dan petani ikan merupakan instrumen untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat yang menekankan bahwa tanpa kehadirannya program pembangunan yang dikembangkan akan gagal, 2 masyarakat pesisir akan lebih mempercayai program yang dikembangkan dalam bidang yang terkait langsung dengan kepentingan mereka, karena keterlibatan mereka dalam proses persiapan dan perencanaan sampai implementasi membuat mereka mengetahui seluk-beluk program tersebut bahkan merasa memilikinya, 3 akan mendorong terciptanya partisipasi secara umum common participation bagi masyarakat pesisir dalam pembangunan karena tercipta persepsi yang kondusif bahwa partisipasi mereka merupakan suatu “hak demokrasi” dalam menunjang proses itu sendiri: dan dalam perspektif inilah kunci pokok keberhasilan penerapan otonomi daerah. Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, Satria et al. 2002 berpendapat bahwa dengan desentralisasi, terbukalah pintu menuju terciptanya ruang partisipasi masyarakat lokal yang seluas-luasnya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, sekaligus akan merupakan tanggungjawab mereka terhadap masa depan sumberdaya tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa hal lain yang tidak kalah pentingnya dengan desentralisasi adalah institusi lokal yang menyimpan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dapat menemukan kembali kekuatan perannya, atau dengan kata lain formula community based management yang lebih kompleks, dan tentunya masih banyak potensi dan manfaat lain yang dapat digali dari pendekatan desentralisasi itu Satria et al. 2002. Namun demikian, diingatkan oleh Satria et al. 2002 bahwa dengan kondisi objektif masyarakat perikanan Indonesia saat ini membuat kita harus kembali berpikir untuk menerapkan pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat secara murni, karena hal tersebut berhubungan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan serta menuntut antara lain kemampuan manajerial dan kedewasaan bermasyarakat yang merata sehubungan dengan pengelolaan yang diserahkan pada organisasi-organisasi masyarakat, dan hal ini tentunya membutuhkan perangkat-perangkat lokallembaga-lembaga lokal. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Wibowo et al. 2004 mengungkapkan bahwa problem partisipasi didaerah adalah berkenaan dengan belum dimilikinya mekanisme dialog yang efektif, khususnya dalam menangani isu-isu pembangunan, sehingga yang muncul lebih sebagai komunikasi satu arah dari pemerintah daerah kepada masyarakatnya, dimana hal ini disebakan karena tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang hak – hak sebagai warga masyarakat sangat sedikit, juga sering muncul keengganan dari pihak pemerintah karena biasanya proses pengambilan keputusan akan berjalan alot jika melibatkan banyak pihak.

2.2 Sumber Daya Manusia pada Era Desentralisasi