Ca dan Mg, serta Kapasitas Tukar Kation KTK. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi indikator kesuburan tanah Partomihardjo dan Rahajoe 2005. Analisis
tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.
4.3.3. Data Vegetasi dan Struktur Populasi
Data dan informasi yang diperoleh dari survey pendahuluan mengenai kondisi lokasi peneltian, lokasi persebaran spesies dan kondisi vegetasinya
menjadi dasar untuk melakukan studi pola sebaran dan struktur populasi Syzygium. Populasi di sini diartikan sebagai kumpulan dari individu spesies
Syzygium yang berada pada suatu lokasi dan waktu yang sama serta mampu melakukan reproduksi secara aseksual atupun seksual. Hal ini akan berkaitan
dengan teknik penempatan petak pengamatan. Penempatan petak-petak contoh dilakukan secara terarah purposive sampling pada lokasi-lokasi yang diketahui
banyak terdapat keberadaan Syzygium. Berdasarkan hasil survey pendahuluan tentang keberadaan Syzygium di
Kawasan TWA Gunung Baung, maka dibuat petak pengamatan masing-masing sebanyak 50 petak pada 5 lokasi yang berbeda. Di samping menggambarkan
keberadaan Syzygium, kelima lokasi tersebut juga mewakili lokasi serta kondisi vegetasi yang berbeda dari Blok Inti Kawasan TWA Gunung Baung Gambar 6.
Kondisi vegetasi pada setiap blok pengamatan ditampilkan dalam Tabel 1. Lokasi-lokasi blok penempatan petak-petak pangamatan tersebut adalah
sebagai berikut: 1 Blok 1, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi bambu duri Bambusa
blumeana; 2 Blok 2, lokasi lereng, berbukit, dengan sedikit bambu;
3 Blok 3, lokasi lereng, berbukit, dan punggung bukit dengan sedikit bambu; 4 Blok 4, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi bambu Schizostachyum
zollingeri; 5 Blok 5, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi semak.
1 2
3 4
5
Blok pengamatan
Gambar 6 Lokasi blok penelitian dimana petak-petak pengamatan dibuat di Gunung Baung, Jawa Timur
Tabel 1 Kondisi vegetasi dominan pada tiap-tiap lokasi blok pengamatan
Lokasi Blok Pengamatan
Kondisi vegetasi dominan pada masing-masing blok pengamatan
Blok 1
Tingkat pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Ficus racemosa, Streblus asper, Ficus retusa, dan Tabernaemontana sphaerocarpha. Tumbuhan bawah didominasi
oleh Cyathula prostata, Parameria laevigata, Rauvolfia verticilata, dan Piper cubeba. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Syzygium racemosum dan
Tabernemontana sphaerocarpha. Bambu didominasi oleh Bambusa blumeana. Topografi lereng berbukit.
Blok 2
Tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovta, S. pycnathum, Emblica officinalis, dan Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Pennisetum purpureum dan
Voacanga grandifolia. Permudaan pohon didominasi oleh Voacanga grandifolia, Schoutenia ovata dan Streblus asper. Bambu didominasi Bambusa blumeana. Topografi
lereng berbukit.
Blok 3
Dysoxylum gaudichaudianum, Ficus hispida dan Garuga floribunda mendominasi tingkat pohon. Tumbuhan bawah didominasi oleh Tithonia diversifolia dan Cyathula
prostata. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Streblus asper, Voacanga grandifolia, dan Lepisanthes rubiginosa. Bambusa blumeana adalah spesies
bambu yang mendominasi. Topografi lereng berbukit dan sebagian punggung bukit.
Blok 4
Tingkat pohon didominasi oleh Ficus hispida, Sphatodea campanulata dan Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Mikania cordata dan Tithonia diversifolia.
Permudaan didominasi oleh Streblus asper. Bambu didominasi oleh Schizostachyum zollingeri. Topografi lereng berbukit.
Blok 5
Tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovata, Microcos tomentosa. Tumbuhan bawah didominasi oleh Tithonia diversifolia, dan Mikania cordata. Permudaan pohon
didominasi oleh Streblus asper, Schoutenia ovata, Syzygium pycnanthum dan Voacanga grandifolia. Bambu didominasi Bambusa blumeana. Topografi lereng berbukit.
Pembuatan petak contoh dilakukan untuk keperluan analisis vegetasi pada masing-masing lokasi blok pengmatan yang menjadi tempat tumbuh Syzygium.
Metode yang digunakan adalah metode kombinasi jalur dan petak Soerianegara dan Indrawan 1988. Adapun model metode kombinasi jalur berpetak yang
dipakai ditampilkan dalam Gambar 7.
Gambar 7 Kombinasi jalur berpetak untuk kegiatan analisis vegetasi Petak ukuran 2 x 2 meter
2
digunakan untuk tumbuhan dengan strata anakan pohon seedling dan tumbuhan bawah, petak ukuran 5 x 5 meter
2
untuk tingkat pancang, petak ukuran 10 x 10 meter
2
untuk tingkat tiang, dan petak ukuran 20 x 20 meter
2
untuk tingkat pohon. Jumlah jalur yang dibuat sebanyak 5 jalur untuk setiap blok pengamatan dengan panjang setiap jalur 200 meter. Luas
petak contoh yang dibuat adalah seluas 200 m x 20 m x 5 = 2 hektar untuk satu lokasi blok pengamatan. Jumlah blok pengamatan yang dibuat sebanyak 5 blok,
sehingga luas total petak pengamatan adalah 10 hektar, yang mewakili perbedaan kondisi lingkungan vegetasi serta keberdaan Syzygium.
Difinisi untuk masing-masing strata pertumbuhan pohon adalah sebagai berikut: 1 anakan atau semai seedling adalah regenerasi awal pohon dengan
ukuran hingga tinggi kurang dari 1,5 meter, 2 pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta dengan diameter batang kurang
dari 10 cm, 3 tiang adalah regenerasi pohon dengan diameter 10-20 cm, dan 4
200
m
100 m
pohon adalah tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih dari 20 cm Soerianegara dan Indrawan 1988.
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur komunitas vegetasi pohon pada setiap strata pertumbuhannya. Data yang
dikumpulkan berupa kerapatan, frekuensi dan dominansi serta indeks nilai penting INP dari setiap spesies yang teramati. Data hasil analisis vegetasi juga
digunakan untuk menganalisis kelimpahan, komposisi dan struktur populasi Syzygium di lokasi penelitian pada setiap fase pertumbuhannya semai, tiang,
pancang dan pohon. Data struktur populasi dapat digunakan untuk menganalisis status regenerasi spesies Tripathi et al. 2010; Uma 2001.
Data lain yang dicatat meliputi nama spesies, jumlah individu, diameter dan tinggi pohon, jumlah semai, pancang dan tiang, serta data kondisi
lingkungannya. Posisi geografis perjumpaan dengan Syzygium dicatat dan didokumentasikan, untuk selanjutnya digunakan untuk
membuat peta persebarannya di dalam kawasan. Peta persebarannya diperoleh dengan
mentransfer data dari GPS dengan menggunakan softwere map source dan
GoogleEarth. 4.3.4. Pola Sebaran
Syzygium
Data untuk pola sebaran Syzygium diperoleh dari data frekuensi perjumpan Syzygium pada setiap petak pengamatan. Dengan demikian pengumpulan datanya
dilakukan bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi yang diambil pada saat pembuatan petak contoh. Data tersebut selanjutnya dianalisis untuk mengetahui
pola sebaran Syzygium di lokasi penelitian. 4.4. Metode Analisis Data
4.4.1. Analisis Keanekaragaman Spesies
Analisis keanekaragaman spesies dilakukan dengan menggunakan nilai indeks keanekaragaman spesies. Indeks Keanekaragaman yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Indeks Keanekaragaman Shannon-Weiner Ludwig dan Reynolds 1988; Krebs 1989. Persamaannya adalah sebagai berikut:
H’ = - ∑ pi log pi, di mana pi = ni N
Keterangan: H’ adalah Indeks Keanekaragaman, pi adalah proporsi spesies i terhadap
keseluruhan jumlah spesies yang dijumpai dalam petak contoh di lokasi penelitian, ni adalah jumlah individu spesies i, dan N adalah jumlah
individu seluruh spesies yang dijumpai dalam petak pengamatan.
4.4.2. Analisis Vegetasi dan Struktur Populasi
Data dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan digunakan untuk mengetahui komposisi dan struktur populasi Syzygium. Penghitungan data
dilakukan untuk mengetahui nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi relatif serta Indeks Nilai Pentingnya.
Kerapatan K adalah jumlah individu suatu spesies dalam suatu luasan tertentu. Persamaannya adalah sebagai berikut:
Ki = ni A
Keterangan: Ki = kerapatan suatu spesies, ni = jumlah individu suatu spesies, A = luas total petak contoh.
Kerapatan Relatif KR adalah nilai proporsi jumlah individu suatu speses terhadap jumlah total individu seluruh spesies yang dijumpai dalam petak contoh.
Persamaannya adalah sebagai berikut:
KR = ni ∑n x 100
Keterangan: KR = kerapatan relatif suatu spesies, ni = jumlah individu suatu spesies, ∑n = jumlah total individu seluruh spesies yang dijumpai dalam petak
pengamatan.
Frekuensi F adalah parameter yang menunjukan kesempatan suatu spesies ditemukan pada suatu petak contoh. Nilai ini digambarkan dengan persamaan :
F = jumlah petak contoh ditemukan suatu spesies jumlah total keseluruhan petak contoh yang dibuat
Frekuensi Relatif FR adalah nilai proporsi frekuensi suatu spesies terhadap jumlah total nilai frekuensi seluruh spesies. Persamaan untuk FR adalah
sebagai berikut:
FR = Fi ∑ Fi x 100
Keterangan: Fi = frekuensi ditemukannya suatu spesies, ∑ Fi = jumlah frekuensi seluruh
spesies
Dominansi D adalah nilai yang menggambarkan penutupan permukaan tanah oleh keberadaan suatu spesies. Nilai ini diperoleh dari luas bidang dasar lbds
yang diperoleh dari perhitungan lbds dari ukuran batang pohon atau luas bidang penutupan oleh tumbuhan bawah. Nilai dominansi dihitung dengan persamaan:
D = ai A;
Keterangan: ai = luas bidang dasar lbds suatu spesies, A = luas total petak contoh
Dominansi Relatif adalah nilai proporsi dominansi suatu spesies terhadap jumlah total nilai dominansi seluruh spesies.
DR = Di ∑D x 100
Keterangan: Di = Dominansi suatu spesies, ∑ Fi = Jumlah dominansi seluruh spesies
Indeks Nilai Penting INP adalah suatu nilai yang menggambarkan pentingnya peran suatu spesien tumbuhan dalam suatu ekosistem. Nilai indeks ini
merupakan penjumlahan dari nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif suatu spesies. Untuk anakan pohon, semak ataupun herba nilai
INPnya dapat hanya dihitung dari nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatifnya Fachrul 2008. Persamaan untuk INP adalah sebagai berikut:
INP = KRi + FRi + DRi
Keterangan: KRi = kerapatan relatif suatu spesies, FRi = frekuensi relatif suatu spesies, DRi = dominansi relatif suatu spesies, INP = Indeks Nilai Penting
Analisis data struktur populasi Syzygium dilakukan secara deskriptif berdasarkan data struktur yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi. Data
kerapatan individu Syzygium pada tiap fase pertumbuhannya menjadi dasar untuk mengetahui sruktur populasinya. Analisis ini terutama berkaitan dengan struktur
fase pertumbuhan Syzygium pada tingkat semai, pancang, tiang hingga tingkat pohon.
4.4.3. Analisis Pola Sebaran
Untuk mengetahui pola sebaran Syzygium dilakukan bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi. Data yang diambil adalah data frekuensi perjumpaan
pada tiap petak contoh. Analisis pola sebaran dilakukan dengan menggunakan metode rasio ragam, dan metode nilai indeks yang terdiri atas: Index of Dispersion
ID, Clumping Index IC, dan Green’s Index IG Ludwig dan Reynolds 1988.
Metode rasio ragam digunakan dengan cara membandingkan nilai rata-rata dengan nilai koefisien ragamnya. Adapun acuan nilai yang dipakai adalah: jika S
2
= x, maka pola sebarannya acak, jika S
2
x, maka pola sebarannya homogen, dan jika S
2
x, maka pola sebarnnya berkelompok. Formula yang digunakan untuk penghitungan nilai indeksnya adalah sebagai berikut:
Index of Dispersion ID = ____, di mana: x = n = ∑ x Fx ,
N ∑Fx
S
2
= ∑ x.Fx
2
– x.n , N-1
Index of Clumping IC = ID -1 Green’s Index IG = IC n-1
Keterangan: N = jumlah petak pengamatan, n= jumlah individu total
Acuan nilai indeks yang digunakan untuk mengetahui karakter pola sebaran adalah nilai standar yang dapat menggambarkan karakter pola sebaran
secara umum. Adapun acuan tersebut adalah : jika nilai ID1, maka pola sebarannya adalah homogen, nilai ID = 1, maka pola sebarannya adalah acak, dan
jika nila ID1, maka pola sebarannya adalah berkelompok. Peta sebaran distribusi Syzygium yang dihasilkan dugunakan untuk mendukung analisis sebaran Syzygium
di lokasi penelitan.
4.4.4. Asosiasi Syzygium dengan spesies lainnya
Asosiasi antara Syzygium dengan spesies tumbuhan lain dilakukan secara berpasangan yaitu dengan spesies tumbuhan yang memiliki INP
≥ 10 Botanri 2010. Diawali dengan membuat tabel kontingensi untuk setiap pasangan spesies
Tabel 2. Tabel 2 Tabel kontingensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies
Spesies B ada
Tidak ada Syzygium
ada a
b m=a+b
tidak ada c
d n=c+d
r=a+c s=b+d
Keterangan: a = Jumlah petak pengamatan ditemukannya Syzygium dan spesies B
b = Jumlah petak pengamatan ditemukannya Syzygium, namun tidak spesies B c = Jumlah petak pengamatan ditemukannya spesies B, namun tidak Syzygium
d = Jumlah petak pengamatan tidak ditemukan kedua spesies
s
2
x
Hipotesis uji yang digunakan untuk menguji asosiasi antara Syzygium dengan spesies B adalah:
H = keberadan Syzygium dengan spesies a adalah saling bebas
H
1
= terdapat asosiasi antara Syzygium dengan spesies a Persamaan uji Chi-Square yang digunakan adalah:
Fx – Ex
2
Ex
Tahap selanjutnya adalah membandingkan nilai X
2
hitung dan X
2
tabel pada selang kepercayan 95. Jika X
2
hitung lebih kecil atau sama dengan X
2
tabel pada selang kepercayan 95, maka kesimpulannya terima H
, artinya tidak terdapat asosiasi antara Syzygium dengan spesies a. Jika Jika X
2
hitung lebih besar dari pada X
2
tabel pada selang kepercayan 95, maka kesimpulannya terima H
1
, artinya terdapat asosiasi antara Syzygium dengan spesies a.
Sifat asosiasi diketahui dengan membandingkan antara nilai pengamatan untuk a, Fa dengan nilai harapan Ea. Jika Fa Ea, maka asosiasi bersifat
positif. Sedangkan jika Fa Ea, maka asosiasi bersifat negatif Ludwig dan Reynolds 1998.
Asosiasi antara Syzygium dengan spesies tumbuhan lainnya dilakukan dengan pendekatan Indeks Jaccard IJ Ludwig and Reynolds 1988. Formulasi
untuk indeks tersebut adalah sebagai berikut:
JI =
Keterangan: JI = Indeks Jaccard
a = Jumlah petak pengamatan ditemukannya Syzygium dan spesies B b = Jumlah petak pengamatan ditemukannya Syzygium, namun tidak spesies B
c = Jumlah petak pengamatan ditemukannya spesies B, namun tidak Syzygium
Nilai indeks berkisar antara 0 – 1. Semakin mendekati 1, maka tingkat asosiasinya semakin kuat. Untuk mempermudah penghitungan maka dibuatkan tabel
kontingensi berpasangan antara dua spesies yang dibandingkan.
4.4.5. Analisis Faktor Ekologis
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor ekologis terhadap keberadaan Syzygium. Faktor ekologis yang dimaksudkan dalam
∑
X
2
hitung =
a a + b + c
penelitian ini adalah: jumlah individu tingkat semai, jumlah individu tingkat pancang, jumlah individu tingkat tiang, jumlah individu tingkat pohon, jumlah
rumpun bambu, luas rumpun bambu, intensitas penyinaran, ketinggian tempat, kemiringan lereng, pH tanah, kelembaban tanah, suhu udara dan kelembaban
udara. Data dianalisis dengan analisis klaster, principle component analysis PCA atau analisis komponen utama, analisis canonical, dan model regresi linear
berganda dengan
menggunakan softwere
Minitab 14,
PAST 2.14
PAlaeontological Statistics, dan CANOCO 4.5. Analisis klaster dilakukan untuk mengetahui kemiripan kondisi
lingkungan tempat tumbuh antar spesies Syzygium dan antar lokasi blok pengamatan. Analisis Komponen Utama dilakukan untuk melihat secara serentak
keseluruhan hubungan antar variabel yang diamati untuk keperluan intepretasi dan analisis hubungan. Hal ini dilakukan dengan cara menyederhanakan variabel yang
diamati menjadi variabel baru dengan jumlah yang lebih sedikit, yang disebut sebagai principle componen atau komponen utama. Hubungan antara spesies
Syzygium dengan variabel faktor lingkungan secara lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan metode Canonical Correspondence Analysis CCA dengan
menggunakan CANOCO 4.5. Metode ini merupakan metode analisis multivariate yang bertujuan untuk menggabungkan dan menganalisis data kelimpahan spesies
dengan data variabel lingkungan dari lokasi yang sama ter Braak 1986. Metode CCA akan membentuk suatu kombinasi hubungan linear yang maksimal antara
distribusi spesies terhadap variabel lingkungannya. Diagram ordinasi yang dihasilkan dapat menggambarkan pola variasi suatu komunitas dan juga distribusi
spesies sepanjang variabel-variabel lingkungannya. Hal tersebut dapat terlihat dari eigenvalues yang dihasilkan dari analisis ini ter Braak 1987.
Analisis regresi linear berganda dilakukan dengan menggunakan prosedur regresi Stepwise. Hal ini dilakukan untuk mengetahui variabel bebas yang
memiliki pengaruh paling determinan terhadap variabel tidak bebasnya. Model persaman regresi linear yang digunakan, terdiri atas variabel tak bebas yang akan
diprediksi oleh beberapa variabel bebas Walpole 1993; Iriawan dan Astuti 2006. Pada model ini jumlah individu Syzygium berlaku sebagai variabel tak bebas Y
yang akan diramalkan berdasarkan hasil pengukuran beberapa variabel bebas X.
Variabel bebas yang digunakanan adalah beberapa parameter ekologis bagi keberadaan Syzygium. Persamaan regresi linear yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Y
1...n
= a + a
1
x
1
+ a
2
x
2
+ a
3
x
3
+ a
4
x
4
+ ... + a
11
x
11
+ a
12
x
12
+ a
13
x
13
+ έ
Keterangan: Y
= jumlah individu Syzygium individu petak pengamatan 1...n
= Spesies Syzygium ke-1,...,ke-n. a
= koefisien regresi a
1,..,8
= koefisien variabel regresi x
1
= luas rumpun bambu pada tiap petak pengamatan m
2
x
2
= jumlah individu semai dan tumbuhan bawah pada tiap petak pengamatan individu x
3
= jumlah individu pancang pada tiap petak pengamatan individu x
4
= jumlah individu tiang pada tiap petak pengamatan individu x
5
= jumlah individu pohon pada tiap petak pengamatan individu x
6
= jumlah rumpun bambu pada tiap petak pengamatan rumpun x
7
= intensitas penyinaran lux x
8
= suhu udara
o
C x
9
= kelembapan udara x
10
= pH tanah x
11
= kelembaban tanah x
12
= kemiringan lereng x
13
= ketinggian tempat m dpl έ
= residual
4.5. Diagram Alir Penelitian
Tahapan kegiatan penelitian sebagai acuan dalam melakukan kegiatan penelitian ini ditampilkan dalam bentuk diagram alir penelitian Gambar 8.
Gambar 8 Diagram alir tahapan penelitian
SPESIES SYZYGIUM
KOMPOSISI, STRUKTOR POPULASI, POLA
SEBARAN ANALISIS
STRUKTUR POPULASI DAN
POLA SEBARAN SYZYGIUM
PETA SEBARAN SYZYGIUM
SELESAI OVERLAY DENGAN
PETA LOKASI PENELITIAN
SURVEY AWAL
KOLEKSI DATA MULAI
KEANEKARAGAMAN SPESIES SYZYGIUM
DOKUMENTASI POSISI GEOGRAFIS
SYZYGIUM ANALISIS
VEGETASI DAN FAKTOR EKOLOGIS
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Komposisi dan Struktur Vegetasi TWA Gunung Baung
Dari analisis vegetasi yang dilakukan berhasil dicatat sebanyak 240 spesies tumbuhan yang berasal dari 72 suku Lampiran 1. Hasil analisis vegetasi
memberi gambaran mengenai komposisi vegetasi yang ada di lokasi penelitian. Keberadan bambu dari spesies Bambusa blumeana cukup berpengaruh terhadap
komunitas tumbuhan yang terdapat di Gunung Baung. Nilai INP yang tinggi untuk spesies ini dibandingkan spesies lainnya dapat menjadi indikasi tersebut.
Terdapat enam spesies bambu yang dijumpai tumbuh di dalam kawasan : Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Gigantochloa
apus, Schizostachyum iraten dan Schizostachyum zollingeri. Widjaja 2010 mengemukakan bahwa semua spesies tersebut termasuk spesies bambu yang
umum terdapat di Jawa. Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper dan Giganthochloa apus adalah spesies yang telah banyak dikenal dan dimanfaatkan
masyarakat. B. blumeana, S. iraten dan S. zollingeri merupakan spesies bambu asli di Jawa yang tumbuh secara liar dan belum dibudidayakan.
Dua spesies yang cukup banyak dijumpai adalah Bambusa blumeana dan Schizostachyum zollingeri. Keberadaan B. blumeana sangat mendominasi di
dalam kawasan INP = 225,13. Widjaja 2001 mengemukakan bahwa spesies ini tumbuh secara liar dan tersebar di Jawa. Kemungkinan kawasan TWA Gunung
Baung adalah habitat alami bagi spesies ini. Bambu ini hampir dijumpai di semua lokasi pengamatan dan dikenal dengan sebutan pring ori oleh masyarakat lokal.
Pring ori memiliki ukuran rumpun yang luas dan rapat. Hal ini dikarenakan batangnya berduri, sehingga rumpunnya menjadi terlihat lebih rapat. Spesies
bambu lainnya yang juga banyak dijumpai adalah S. zollingeri. Spesies ini memiliki rumpun-rumpun yang kecil dan ukuran buluh yang lebih ramping.
Pada tingkai semai dan tumbuhan bawah vegetasi yang mendominasi adalah spesies perdu yaitu Tithonia diversifolia. Spesies ini dikenal dengan
sebutan paitan oleh masyarakat sekitar. Spesies ini mudah berkembang biak, baik dengan biji, stolon atau setek batangnya. Keberadaanya di lokasi penelitian cukup
melimpah terutama pada tempat-tempat yang terbuka. Tingginya dapat mencapai
2,5 meter dan keberadannya yang melimpah dapat menghambat pertumbuhan spesies lainnya. Spesies ini merupakan spesies introduksi dari Mexico dan kini
telah tersebar luas dan beradaptasi di Indonesia. Kehadirannya sering menjadi gulma di lahan pertanian Hanum dan van der Maesen 1997.
Streblus asper yang oleh masyarakat setempat disebut kayu serut, keberadaannya cukup melimpah pada tingkat pancang dan tiang. Perawakannya
berupa semak dan pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 15 meter. Spesies ini banyak dijumpai tumbuh di daerah hutan dengan iklim munson, terutama di
tempat-tempat terbuka hutan sekunder, hingga ketinggian 1000 m dpl. Schoutenia ovata adalah salah satu spesies pohon yang keberadaannya
sudah mulai langka. Dikenal dengan nama lokal walikukun, spesies ini hidup di daerah-daerah dataran rendah yang beriklim munson kering. Perawakannya
berupa pohon dengan tinggi dapat mencapai 10 meter. Siregar et al. 2005, memasukan spesies ini sebagai salah satu spesies yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai tanaman penghasil kayu komersial di Bali. Ficus hispida merupakan spesies pohon yang memiliki nilai INP tinggi.
Perawakan umumnya berupa pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 10 meter. Pada umumnya spesies dari marga Ficus merupakan pakan bagi satwa yang hidup
di hutan. Hasanbahri et al. 1996 menyatakan setidaknya terdapat 33 spesies tumbuhan yang menjadi pakan bagi Macaca fascicularis di kawasan Hutan Jati.
Jenis pakan yang paling banyak umumnya adalah dari marga Ficus dan Syzygium. Terdapat dua spesies Syzygium yang cukup berpengaruh dalam komposisi
vegetasi di lokasi penelitian, yaitu Syzygium pycnanthum dan Syzygium racemosum. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Nilai Penting INP kedua spesies
tersebut. Dilihat dari kelimpahan dan frekuensi perjumpaan, kedua spesies ini mempunyai nilai yang cukup tinggi terutama pada tingkat pancang, tiang dan
pohon. Perawakan pada umunya hanya berupa pohon kecil. Meskipun demikian beberapa individu dijumpai telah berbunga walaupun secara ukuran masih
dikategorikan dalam strata pancang dengan diameter batang setinggi dada 10-20 cm. Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa kedua spesies Syzygium ini
memiliki rentang kriteria strata pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan ketentuan strata pertumbuhan pohon pada umumnya. Syzygium cumini, S.
littorale, S. polyanthum, dan S. samarangenae sangat jarang dijumpai di lokasi penelitian. Bahkan untuk S. samarangense hanya dijumpai satu individu dalam
strata pohon. Indeks Nilai Penting yang 10 bagi spesies tumbuhan pada setiap strata dan habitus ditampilkan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Indeks Nilai Penting INP 10 dari spesies tumbuhan pada setiap stratahabitus di Gunung Baung, Jawa Timur
No Spesies
Suku INP
Semai dan Tumbuhan Bawah
1 Tithonia diversifolia
Asteraceae 45,26
2 Mikania cordata
Asteraceae 21,86
3 Cyathula prostata
Amaranthaceae 20,55
4 Piper cubeba
Piperaceae 15,50
5 Pennisetum purpureum
Poaceae 13,72
6 Voacanga grandifolia
Apocynaceae 10,78
Pancang
1 Tithonia diversifolia
Asteraceae 80,13
2 Streblus asper
Moraceae 35,32
3 Voacanga grandifolia
Apocynaceae 21,39
4 Lepisanthes rubiginosum
Sapindaceae 16,11
5 Syzygium pycnanthum
Myrtaceae 11,80
Tiang
1 Streblus asper
Moraceae 57,20
2 Syzygium pycnanthum
Myrtaceae 27,66
3 Voacanga grandifolia
Apocynaceae 21,29
4 Microcos tomentosa
Tilliaceae 18,60
5 Schoutenia ovata
Sterculiaceae 16,74
6 Syzygium racemosum
Myrtaceae 10,38
Pohon
1 Ficus hispida
Moraceae 22,27
2 Schoutenia ovata
Sterculiaceae 20,59
3 Syzygium pycnanthum
Myrtaceae 17,27
4 Streblus asper
Moraceae 14,98
5 Microcos tomentosa
Tilliaceae 13,95
6 Garuga floribunda
Burseraceae 12,72
7 Ficus racemosa
Moraceae 10,68
8 Emblica officinalis
Euphorbiaceae 10,54
9 Litsea glutinosa
Lauraceae 10,16
Bambu
1 Bambusa blumeana
Poaceae 225,13
2 Schizostachyum zollingeri
Poaceae 46,09
3 Schizostachyum iraten
Poaceae 18,15
Beberapa literatur hasil penelitian telah mengungkapkan sebagian kondisi vegetasi di TWA Gunung Baung Yuliani et al. 2006, 2006a; Pa’i dan Yulistiarini
2006; Catur 2008 . Spesies flora yang cukup banyak dijumpai di kawasan ini
antara lain beringin Ficus benjamina, kepuh Sterculia foetida, bendo Artocarpus elastica dan gondang Ficus variegata, serta berbagai spesies
bambu dari berbagai spesies Bambussa blumeana, B. vulgaris, Schizostachyum zollingeri, S. iraten, Dendrocalmus asper dan Giganthocloa apus. Keberadan
bambu cukup banyak dijumpai di dalam kawasan, terutama spesies B. blumeana. Setidaknya terdapat empat marga bambu tumbuh di kawasan Taman
Wisata Gunung Baung, yaitu: Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Schizostachyum. Kawasan TWA Gunung Baung memang merupakan habitat
alami bagi beberapa spesies bambu. Tingkat keanekaragaman spesies di suatu kawasan dapat didekati dengan
menggunakan perhitungan nilai indeks keanekaragaman spesies heterogenitas Shannon-Wiener H’ Ludwig dan Reynolds 1988; Krebs 1989. Nilainya
ditetapkan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap spesies yang teramati. Rosalia 2008 menggunakan kriteria nilai indeks ini
menurut Tim Studi IPB 1997. Kriteria nilainya adalah: kelimpahan spesies tinggi bila nilainya
≥ 3, sedang jika nilainya 2 – 3, dan rendah jika nilainya ≤ 2. Hasil penghitungan nilai Indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener di
lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener pada setiap
stratahabitus pertumbuhan vegetasi di TWA Gunung Baung, Jawa Timur
Semai dan tumbuhan bawah
pancang tiang
pohon bambu Indeks Shanon-
Wiener H 3,52
2,81 3,35
3,79 0,98
Jml spesies 164
103 68
101 6
Kriteria
tinggi sedang
tinggi tinggi
rendah
Nilai Indeks Shannon-Wiener H’ mengindikasikan bahwa keanekaragaman spesies tumbuhan di TWA Gunung Baung termasuk tinggi.