Kondisi Tanah Diversity, Population Structure And Distribution Paterrn Of Syzygium In Gunung Baung, East Java

bahan organik kasar serta senyawa lainnya yang terbentuk akibat kegiatan mikroorganisme tanah. Bahan organik halus sering pula disebut dengan humus. Humus merupakan senyawa yang tidak mudah hancur serta memiliki kemampuan untuk menahan air dan unsur hara. Humus termasuk ke dalam koloid organik tanah. Koloid tanah adalah bahan mineral dan bahan organik tanah yang sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi per satuan beratnya. Sifat koloid tanah akan berkaitan dengan kemampuan tukar kationnya. Humus memiliki KTK yang tinggi jika dibandingkan dengan mineral liat. Hasil analisis tanah yang dilakukan menujukan bahwa nilai KTK umumnya tinggi rata- rata 32,14 me100g. Tanah dengan KTK yang tinggi dapat mengindikasikan kesuburan tanah yang baik apabila didominasi oleh kation basa berupa Ca, Mg, K, dan Na, atau dengan kata lain memiliki sifat kejenuhan basa yang tinggi. Nilai rata-rata tingkat kejenuhan basa KB di lokasi penelitian sebesar 42,26 termasuk ke dalam kategori sedang. Kandungan K termasuk dalam kategori tinggi, dengan nilai rata-rata sebesar 0,88. Rata-rata kandungan P sebesar 0,81, tergolong ke dalam kriteria sangat rendah. Kategori kandungan Na, Ca dan Mg rata-rata masuk dalam kategori sedang sampai sangat tinggi. Kandungan K,Ca, Na dan Mg menunjukkan nilai yang tinggi. Berdasarkan pada kondisi tanah di lokasi penelitian, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman cukup baik. Hal ini dapat tergambar dari sifat tekstur tanah, nilai KTK, kejenuhan basa, dan kandungan hara makro lainnya. Lokasi Blok 2, 3 dan 5 sebagai lokasi yang paling banyak dijumpai spesies Syzygium menunjukan nilai sifat kimia dan fisik tanah yang serupa dengan blok 1 dan 4. Data lengkap mengenai hasil analisis sifat kimia tanah ditampilkan dalam lampiran. Nilai CN rasio dan KTK dapat menjadi indikasi kesuburan tanah. Nilai CN rasio pada semua lokasi blok pengamatan menunjukkan nilai yang rendah. Sedangkan nilai KTK-nya menunjukan hasil yang tinggi pada semua lokasi blok pengamatan. Kedua nilai ini mengindikasikan bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan hara bagi tanaman cukup baik di semua lokasi. Jika dikaitkan dengan populasi Syzygium pada setiap lokasi blok pengamatan, maka kedua parameter kondisi tanah ini tidak berpengaruh. Blok 1, dimana dijumpai individu Syzygium terbanyak 125 individu memiliki nilai rata-rata CN sebesar 5,25 kategori rendah dan nilai KTK sebesar 27,74 kategori tinggi. Blok 4, sebagai lokasi yang paling sedikit dijumpai Syzygium memiliki nilai rata-rata CN sebesar 7,33 kategori rendah dan nilai KTK sebesar 31,03 kategori tinggi. Keberadaan spesies Syzygium dapat pula tumbuh pada lokasi dengan ketersediaan unsur hara yang miskin. Salah satunya adalah hutan kerangas. Kissinger 2002 mengemukakan bahwa salah satu spesies yang kehadirannya cukup penting dalam ekosisten kawasan hutan kerangas di Kabupaten Barito Urata, Kalimantan Tengah adalah spesies Eugenia inophylla. Spesies ini memiliki sinonim Syzygium inophyllum. Hal ini berdasarkan pada nilai Indeks Nilai Pentingnya yang termasuk ke dalam lima tertinggi pada tingkatan semai, tiang dan pohon. Hasil analisis tanah menunjukkan secara umum kandungan Fe dalam tanah di lokasi penelitian termasuk dalam kondisi yang normal pada kisaran 2-150 mg kg -1 Purwadi 2011. Rata-rata kandungan Fe tertinggi 90,60 mg kg -1 dijumpai pada lokasi blok 4, dimana pada lokasi tersebut paling sedikit dijumpai Syzygium. Sedangkan pada blok 1, dimana dijumpai Syzygium terbanyak, nilai rata-ratanya sebesar 75,81 mg kg -1 . Kandungan Fe yang tinggi dalam tanah dapat menjadi racun bagi beberapa spesies tumbuhan Hardjowigeno 2010. Hanya spesies yang mampu beradaptasi saja yang dapat tumbuh pada kondisi tanah semacam ini. Kandungan Fe berkaitan dengan pH tanah. Dibandingkan dengan lokasi lainnya, Blok 4 memiliki nilai rata-rata pH yang paling rendah pH 5,07 dan bersifat masam. Tanah dengan sifat masam umumnya mengandung unsur Fe yang tinggi. Kemungkinan sifat tanah yang masam serta kandungan Fe yang tinggi yang mengakibatkan Syzygium secara umum tidak dijumpai di lokasi pengamatan blok 4.

5.10. Kondisi Syzygium dan Bambu di TWA Gunung Baung

Terdapat enam spesies bambu yang dijumpai di lokasi penelitian, yaitu Bambusa blumeana, Schizostachyum zollingeri, Schizostachyum iraten, Dendrocalamus asper, Bambusa vulgaris, dan Giganthocloa apus. B. blumeana adalah spesies bambu yang sangat mendominasi di kawasan Gunung Baung INP = 225,13. Bambu ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan pring ori atau bambu duri. Spesies ini memiliki ciri berupa percabangan yang rapat dan dipenuhi dengan duri-duri. Spesies ini banyak tersebar di seluruh wilayah Jawa. Secara tradisional umumnya digunakan sebagai bahan pembuat keranjang. Digunakan juga sebagai bahan baku pembuatan pulp kertas, seperti yang dilakukan di wilayah Jawa Timur Widjaya 2001. Dalam tipe pertumbuhan rumpunnya, bambu dikelompokan ke dalam 2 tipe pertumbuhan yaitu simpodial clumped type dan monopodial running type. Pada tipe simpodial, pertumbuhan tunas baru terjadi di ujung rimpang dan percabangan rizomnya berkelompok membentuk rumpun yang jelas. Pada tipe monopodial, tunas baru dapat muncul pada setiap buku rimpang dan tidak membentuk rumpun. Pertumbuhannya seperti individu-individu yang terpisah pada jarak yang berjauhan. Bambu yang tumbuh di kawasan tropis seperti Malaysia dan Indonesia umumnya memiliki tipe pertumbuhan yang simpodial, sedangkan di daerah subtropik, seperti Jepang, Cina dan Korea umumnya bertipe monopodial Berlin dan Estu 1995. Widjaja 2010, mengelompokkan bambu berdasarkan bentuk percabangan akar rimpangnya ke dalam 2 tipe, yaitu pakimorf dengan percabangan akar rimpang yang beruas pendek dan bersifat simpodial, serta leptomorf dengan percabangan akar rimpang beruas panjang dan bersifat monopodial. Spesies bambu asli di Indonesia umumnya memiliki system percabangan akar rimpang yang bersifat pakimorf, sehingga buluh bambu yang muncul pada buku akar terlihat rapat dan membentuk rumpun. Spesies bambu yang dijumpai di TWA Gunung Baung semuanya memiliki tipe pertumbuhan yang simpodial, sehingga dengan mudah dapat dibedakan antar rumpun yang satu dengan lainnya. Jumlah petak pengamatan perjumpaan bambu, jumlah rumpun bambu dan luas rumpun bambu pada tiap-tiap blok pengamatan ditampilkan dalam Tabel 16. Tabel 16 Kondisi jumlah petak, jumlah rumpun dan luas rumpun bambu pada tiap blok lokasi pengamatan Spesies Jumlah pada masing-masing blok Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5 Jumlah Petak Bambu Bambusa blumeana 50 22 26 10 18 Schizostachyum zollingeri 19 Schizostachyum iraten 2 5 2 1 Gigantochloa apus 1 Dendrocalamus asper 1 1 3 Bambusa vulgaris 3 1 Jumlah 52 26 33 35 19 Jumlah rumpun bambu Bambusa blumeana 175 83 80 36 69 Schizostachyum zollingeri 169 Schizostachyum iraten 9 28 20 7 Gigantochloa apus 3 Dendrocalamus asper 3 1 5 Bambusa vulgaris 5 2 Jumlah 184 91 111 223 76 Luas rumpun bambu m 2 Bambusa blumeana 751,17 347,05 321,69 96,01 244,61 Schizostachyum zollingeri 214,38 Schizostachyum iraten 5,97 26,38 21,82 6,67 Gigantochloa apus 5.81 Dendrocalamus asper 2.20 1.57 8.71 Bambusa vulgaris 2.20 6.44 Jumlah 757,13 351,44 356,08 346,73 251,28 Dengan cara rekapitulasi yang sama dihitung pula jumlah Syzygium yang tercatat di seluruh petak pengamatan pada setiap blok pengamatan. Hasilnya ditampilkan dalam Tabel 17. Tabel 17 Jumlah spesies, individu dan petak Syzygium pada tiap lokasi blok pengamatan di TWA Gunung Baung, Jawa Timur Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5 Spesies Syzygium 3 4 5 1 3 Individu Syzygium 125 98 73 1 37 Petak Syzygium 55 30 38 1 21 Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa pada lokasi pengamatan di mana dijumpai jumlah rumpun bambu yang cukup banyak blok 4 justru hanya dijumpai sebanyak 1 individu Syzygium. Sebanyak 35 petak pengamatan yang ditumbuhi rumpun bambu terdapat di blok 4 ini. Jumlah spesies bambu yang dijumpai pada blok ini juga paling banyak dibandingkan dengan blok lainnya 5 spesies bambu. Spesies bambu yang mendominasi adalah Schizostachyum zollingeri. Secara alami, spesies ini hanya dijumpai di Jawa Timur. Hidup pada daerah dataran rendah tropis pada daerah yang lembab hingga kering Widjaja 2001. Analisis klaster yang dilakukan terhadap blok pengamatan berdasarkan pada karakter vegetasi bambunya menghasilkan tiga kelompok klaster, yaitu: kelompok pertama adalah klaster blok pengamatan 2,3 dan 5; kelompok kedua blok pengamatan 4 dan kelompok ketiga blok pengamatan 1 Gambar 25. Karakter vegetasi bambu yang dimasukan berupa: jumlah petak pengamatan dijumpai bambu, jumlah rumpun bambu, luas rumpun bambu, dan jumlah spesies bambu. Kesemuanya dihitung untuk setiap spesies bambu dan juga total keseluruhan bambu pada setiap lokasi blok pengamatan. Kondisi blok pengamatan 1 berbeda dibandingkan dengan kondisi blok lainnya karena pada lokasi ini sangat didominasi oleh keberadaan Bambusa blumeana. Kondisi pada blok pengamatan 4 dicirikan oleh keberadaan Schizostachyum zollingeri yang cukup mendominasi dibandingan dengan blok lainnya. Blok Pengamat an S im ila ri t y 4 5 3 2 1 29.40 52.93 76.47 100.00 Gambar 25 Dendogram lokasi blok pengamatan berdasarkan pada kondisi vegetasi bambu di TWA Gunung Baung