Faktor Media Massa press Faktor Masyarakat

bulat-bulat walaupun berbeda didalam tuntutan. Keadaan ini sangat menghambat proses monitoring dan evaluasi penegakan hukum. 108

6. Faktor Media Massa press

Dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang seharusnya media massa memberikan kontribusi yang siknifikan dan transparansi terhadap kasus- kasus perdagangan orang. Namun sangat disayangkan dimana media massa pada saat ini masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang human trafficking dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan human trafficking dan kejahatan susila lainnya.

7. Faktor Masyarakat

Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik. Disamping itu, sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hukum dan aparat penegak hukum. 109 108 Mudjiono, Sistem hukum dan tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1997, hlm 24. 109 Ibid, hlm 26. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan dalam hukum dan jaminan pelaksanaan hak asasi manusia khususnya dalam pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Pemahaman masyarakat tentang tindak pidana perdagangan orang masih sangat rendah, sehingga terkadang perbuatan yang Universitas Sumatera Utara mereka lakukan termasuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang mereka tidak menyadarinya ataupun seseorang yang mengetahui tentang itu tidak melaporkannya, demikian pulak telah menjadi korban namun tidak melaporkannya. Hal ini semua terjadi akibat kurangnya pemahaman masyarakat akan tindak pidana perdagangan orang, yang selayaknya dilindungi oleh hukum. Faktor-faktor yang diuraikan diatas merupakan faktor-faktor terjadinya perdagangan orang, namun perlu diketahui bahwa faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri. Dengan kata lain , faktor-faktor yang berhubungan dengan faktor lain akan menghasilkan kejahatan. Satu sama lain akan selalu berkaitan, seperti halnya sebab dari suatu akibat yang disebut multifactor theory. Sebagai contoh faktor ekonomi dengan faktor penegakan hukum, sebagai masyarakat yang berkekurangan dibidang ekonomi akan berusaha untuk memperbaiki kondisi keuangannya, sebagian masyarakat memilih untuk bekerja di luar negeri untuk jadi Tenaga Kerja Indonesia TKI namun dengan menjadi TKI banyak dokumen- dokumen yang harus dilengkapi, ketika dokemun tersebut dalam pengurusannya tidak sesuai dengan aturan hukum yang dilakukan oleh penyalur tenaga kerja, maka berakibat pada penyimpangan-penyimpangan, yang memberikan peluang terjadinya tindak pidana perdagangan orang 110 110 Chairul Bariah Mozasa, Op cit, hlm 9. . Seperti halnya dengan faktor- faktor lain yang saling berhubungan dan mempunyai keterkaitan satu sama lain. Universitas Sumatera Utara

BAB III PENGATURAN HUKUM TENTANG

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Sebagai perbuatan yang meresahkan masyarakat, merugikan korban baik psikis, biologis dan materi, sudah selayaknya TPPO diatur dalam produk perundang-undangan, dimana penerapannya harus benar-benar dilaksanakan sesuai dengan hukum materill 111 atau upaya penal dalam menanggulangi TPPO serta penegakkannya harus tegas, sehingga pada akhirnya tercapai tujuan dasar hukum yaitu memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dan membantu meningkatkan perekonomian pembangunan negara. 112

i. Aturan Hukum Nasional

Oleh karna itu penulis menguraikan pengaturan hukum tentang tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut :

1. Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP

Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP memuat beberapa pasal tentang tindak pidana perdagangan orang. Secara khusus disebutkan dalam Pasal 297 KUHP. Walaupun muatan pasal 297 kurang terang dalam menjelaskan unsur- unsur pidananya serta perlindungan dalam pasal tersebut seakan-akan dibatasi, karena hanya menyebutkan anak laki-laki, yang dalam penafsiran lain anak perempuan tidak tersentuh oleh pasal tersebut. Pasal 297 juga tidak cukup untuk 111 Lihat Pengertian hukum materill menurut Sudikno Mertokusumo yang menyatakan “ Tempat dimana hukum diambil, faktor yang membantu pembentukan hukum”. 112 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 2000, hlm 3. Universitas Sumatera Utara berbagai macam bentuk kejahatan yang terdapat dalam modus perdagangan orang. Seperti perdagangan orang melalui jeratan utang. Selain itu, pasal ini tidak mencantumkan masalah-masalah penyekapan atau standarisasi kondisi pekerjaan. Jika ukuran hukum tidak jelas, aparat penegak hukum akan sulit membedakan antara penampungan dengan penyekapan. 113 Kenyataannya perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur dapat juga terjadi dengan tujuan untuk melakukan perbudakan atau eksploitasi tenaga kerja. Lebih lanjut dalam pasal 297 juga menimbulkan banyak penafsiran mengenai pengertian di bawah umur, apakah hanya dikenakan kepada wanita dan anak laki-laki yang di bawah umur, atau wanitanya adalah wanita dewasa dan anak laki-laki di bawah umur, yang akibatnya anak perempuan dan laki-laki dewasa tidak terlindungi. Adapun asas hukum pidana menentukan bahwa hukum Jadi, akan sulit untuk menghukum mereka yang melakukan penyekapan karena KUHP tidak memilki kriteria hukum yang dapat diterapkan di lapangan dan sanksi untuk kejahatan ini tergolong ringan. Ancaman hukuman penjara 0 - 6 tahun tidak ada ancaman denda atau penyitaan aset. Selain itu pasal 297 tidak menjelaskan tentang eksploitasi sebagai unsur tujuan atau maksud dari perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur, tetapi dalam penjelasan KUHP yang disusun oleh R. Soesilo bahwa perdagangan wanita dan anak laki- laki di bawah umur ke luar negeri hanya terbatas pada eksploitasi pelacuran atau pelacuran paksa. 113 Farhana, Op Cit, hlm. 115. Universitas Sumatera Utara pidana menganut sistem interprestasi negatif, yang tidak oleh ada interprestasi lain selain yang ada dalam KUHP itu sendiri. Namun demikian pasal ini tetap dijadikan alat untuk menjerat para pelaku TPPO sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 27 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ditambah dengan produk perundang-undangan lain yang berkaitan dengan delik pidana yang sama. Selain pasal 297, dalam KUHP sendiri terdapat pasal-pasal yang mempunyai keterkaitan dengan TPPO, pasal tersebut sering digunakan oleh para penegak hukum untuk menindak pelaku tindak pidana perdagangan orang. Adapun pasal-pasal yang dimaksud sebagai berikut : 114 1. Pasal 263 tentang memalsukan surat-surat, hal ini terkait dengan pemalsuan identitas korban, baik dalam bentuk KTP, paspor, maupun surat keterangan lainnya. 2. Pasal 277 tentang mengaburkan asal usul seseorang, pasal ini terkait dengan memasulkan surat-surat, dengan memberikan identitas atau asal usul yang tidak jelas atau tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya. 3. Pasal 178 tentang pengakuan palsu, bunyi pasal ini terkait dengan masalah pengakuan yang didapat pada seseorang yang terkait dengan kasus perdagangan orang. 4. Pasal 281 tentang perbuatan yang melanggar kesusilaan. 5. Pasal 285 tentang perkosaan 6. Pasal 286 tentang persetubuhan dengan perempuan yang pingsan atau tidak berdaya. 7. Pasal 287 tentang persetubuhan dengan anak perempuan berusia dibawah 15 tahun. 8. Pasal 288 tentang persetubuhan dengan isrti yang belum masanya dikawinkan. 9. Pasal 289 tentang perbuatan cabul atau asusila. 10. Pasal 290 tentang perbuatan asusila yang dilakukan terhadap orang yang tidak berdaya. 11. Pasal 292-293 tentang perbuatan cabul dengan anak-anak yang belum dewasa. 12. Pasal 294 tentang perbuatan cabul dengan penyalahgunaan kekuasaan. 114 Lihat Pasal-Pasal yang berhubngan dengan TPPO UU No 1 Tahun 1946 tentang KUHP. Universitas Sumatera Utara 13. Pasal 295 tentang menfasilitasi atau memudahkan perbuatan asusila dengan orang yang belum dewasa atau anak-anak. 14. Pasal 296 tentang memutuskan perbuatan cabul sebagai minta mata pencarianpekerjaan atau kebiasaan. 15. Pasal 301 tentang mempekerjakan orang di bawah umur sebagai pengemis atau pekerjaan berbahaya. 16. Pasal 328 tentang penculikan. 17. Pasal 329 tentang membawa pekerja ke tempat kerja lain daripada yang diperjanjikan. 18. Pasal 330 tentang melarikan orang yang belum dewasa dari kekuasaan orang yang berhak 19. Pasal 331 tentang menyembunyikan atau mencabut orang yang belum dewasa dari penyidikan. 20. Pasal 332 berkaitan dengan melarikan perempuan. 21. Pasal 333 berkaitan dengan sengaja dan tanpa hak merampas kemerdekaan seseorang. 22. Pasal 334 tentang karena kesalahan atau kelalaian culpaschuld terampasnya kemerdekaan orang lain. 23. Pasal 335 tentang memaksa orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 24. Pasal 336 tentang ancaman dengan kejahatan-kejahatan khusus. 25. Pasal 351 tentang penganiayaan 26. Pasal 352 tentang penganiayaan ringan. 27. Pasal 353 tentang penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu. 28. Pasal 354 Penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu. 29. Pasal 362 Pencurian. 30. Pasal 365 tentang pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. 31. Pasal 368 tentang pemerasan dimana berkaitan dengan modus operandi pelaku tindak pidana perdagangan orang terhadap utang dari keluarga ataupun korban. 32. Pasal 369 tentang ancaman. 33. Pasal 378 tentang penipuan yang mana pelaku TPPO melancarkan modus operandinya dengan memberikan janji-janji kepada korban dalam hal pekerjaan yang layak dan penghasilan yang besar. 34. Pasal 506 tentang mucikari souteneur. Ancaman pidana dalam pasal-pasal diatas beragam-ragam, namun ancaman pidana tersebut tidak menjamin perbuatan TPPO tidak terjadi dan tujuan pemidanaan dapat terwujud dengan baik. Sebagai tindak pidana yang perkembangannya dipengaruhi oleh teknologi informasi, komunikasi dan transformasi yang mengakibatkan modus kejahatan perdagangan manusia Universitas Sumatera Utara semakin canggih. Demikian canggihnya modus operandi pelaku TPPO maka haruslah diikuti dengan perangkat hukum atau instrumen hukum yang khusus untuk mencegah terjadinya TPPO dan melindungi korban. Beralih akan hal tersebut maka pada tanggal 19 April 2007 lahirlah Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adapun aturan hukum yang terdapat dalam undang-undang tersebut sebagai berikut.

2. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

a. Pengertian

Menurut UU PTPPO Perdagangan orang yaitu “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”. 115 “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling Suatu perbuatan disebut TPPO bila mana tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang PTPPOi. Selanjutnya yang dimaksud dengan TPPO adalah 115 Pasal 1 ayat 1 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Universitas Sumatera Utara lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak Rp600.000.000,00 enam ratus juta rupiah”. 116

b. Penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana perdagangan orang

Proses penyelidikan dan penyidikan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilakukan berdasarkan dari Undang-Undang Nomor 8 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sebagai mana dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO yang menyatakan bahwa : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan dalam undang-undang ini.” 117 Secara umum KUHAP mengatur tentang Penyidik dan Penuntut Umum tertera pada Pasal 4 sampai Pasal 151. Sehubungan dengan itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidang Perdagangan Orang, selain hukum pidana materiil dirumuskan juga hukum pidana formil 118 “Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa: a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: 1 tulisan, suara, atau gambar; 2 peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau 3 huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang . 116 Pasal 1 ayat 2 UU No 21Tahun 2007 tentang PTPPO. 117 Pasal 28 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 118 Hukum Pidana formill yaitu hukum yang mengatur tentang penerapan hukum materill dengan kata lain hukum acara pidana. Universitas Sumatera Utara memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya” 119 “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya” 120 “1 Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang” “2 Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, hanya dilakukan atas izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 satu tahun” 121 “Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang” 122 “1 Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor” 123 “2 Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan” 124 “Dalam hal saksi danatau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual” 125 “Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi danatau korban berhak didampingi oleh advokat danatau pendamping lainnya yang dibutuhkan” 126 119 Pasal 29 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 120 Pasal 30 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 121 Pasal 31 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 122 Pasal 32 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 123 Pasal 33 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 124 Pasal 33 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 125 Pasal 34 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 126 Pasal 35 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Universitas Sumatera Utara “1 Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. 2 Informasi tentang perkembangan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan” 127 “1 Saksi danatau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa”. “2 Dalam hal saksi danatau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang”. “3 Pemeriksaan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi danatau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan” 128 “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi danatau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas” 129 “1 Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi danatau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup”. “2 Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 saksi danatau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya”. “3 Pemeriksaan terhadap saksi danatau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa” 130 “1 Pemeriksaan terhadap saksi danatau korban anak, atas persetujuan hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman”. “2 Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang” 131 “1 Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa”. “2 Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam 127 Pasal 36 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 128 Pasal 37 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 129 Pasal 38 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 130 Pasal 39 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 131 Pasal 40 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Universitas Sumatera Utara sidang sebelumnya dianggap sebagai alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa” 132 “Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada keluarga atau kuasanya” 133

c. Tabel Sanksi tindak pidana perdagangan orang

134 Pasal Tindak Pidana Pidana Min Penjara Pidana Max Penjara Denda tambah atau Rupiah Pidana Tambahan 2 Perdagangan 3 tahun 15 tahun +120-600 - 3 dan 4 Perdaganga orang ke dalam atau ke luar Indonesia 3 tahun 15 tahun +120-600 - 5 Perdagangan anak melalui adopsi 3 tahun 15 tahun +120-600 jt - 6 Perdagangan anak ke dalam atau ke luar negeri 3 tahun 15 tahun +120-600 jt - 7 1 Perdagangan orang mengakibatkan luka fisik dan psikis 4 tahun 20 tahun +160-800 jt - 7 2 Perdagangan orang mengakibatkan kematian 5 tahun Seumur hidup +200 jt-5 miliar - 8 Perdagangan orang dilakukan oleh penyelenggara negara 4 tahun 20 tahun +160-800 jt Pemberhent ian tidak hormat 9 Menggerakkan orang lain untuk 1 tahun 6 tahun +40-240 jt - 132 Pasal 41 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 133 Pasal 42 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO 134 Lihat UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Universitas Sumatera Utara melakukan tindak pidana tetapi tidak terjadi 10 Membantumel akukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang 3 tahun 15 tahun +120-600 jt - 11 Merencanakan melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdaganga orang 3 tahun 15 tahun +120-600 jt - 12 Menggunakan memanfaatkan korban tindak pidana orang 3 tahun 15 tahun +120-600 jt - 15 Tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh korporasi: untuk pengurusan dan untuk korporasi 3 tahun 15 tahun +120-600 jt 360-1 miliar 800 jt a.Pencabuta n izin b.perampas an kekayaan c.pencabuta n status badan hukum d.pemecata n pengurus e.pelanggar an kepada pengurus mendirikan korporasi bidang usaha yang sama 16 Tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh 4 tahun 20 tahun +160-800 jt - Universitas Sumatera Utara kelompok terorganisir 17 Tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok terorganisir terhadap anak 4 tahun 20 tahun +160-800 jt -

d. Tabel sanksi tindak pidana lain yang berhubungan dengan tindak pidana perdagangan orang

135 Pasal Tindak Pidana Pidana Min Penjara Pidana Max Penjara Dendatam bahatau Rupiah 19 Pemalsuan dokumen untuk mempermudah tindak pidana perdagangan orang 1 tahun 7 tahun +40-280 jt 20 Saksi palsu, bukti palsu atau barang bukti palsu 1 tahun 7 tahun +40-280 jt 21 1 Penyerahan fisik terhadap saksi atau petugas persidangan 1 tahun 5 tahun +40-200 jt 21 2 Penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas persidangan berakibat luka berat 2 tahun 10 tahun +80-400 jt 21 3 Penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas persidangan dengan berakibat kematian 3 tahun 15 tahun +120-600 jt 22 Mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan, penuntutan pemeriksaan di pengadilan 1 tahun 5 tahun +40-200 jt 23 Membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang 1 tahun 5 tahun +40-200 jt 24 Memberitahukan identitas saksi atau korban yang harus dirahasiakan 3 tahun 7 tahun +120-280 jt 135 Lihat UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Universitas Sumatera Utara Sebagai negara hukum rechtsstaat yang menjunjung tinggi nilai-nilai, asas-asas, norma-norma, kebiasaan-kebiasaan dan budaya-budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Beralih akan hal tersebutkita mengenal asas lex specialis derogat legi generalis yang mengandung arti bahwa peraturan yang khusus menyampingkan peraturan yang umum. Bertolak dari asas tersebut maka peraturan yang umum yang mengatur tentang TPPO dalam hal ini KUHP dapat dikesampingkan dengan lahirnya peraturan yang khusus yakni UU PTPPO. Sebagai mana kita ketahui bahwa TPPO merupakan suatu perbuatan yang kompleks yang akibatnya saling mempengaruhi berbagai aspek dan sering kali berkaitan dengan tindak pidana lain. Oleh sebab itu sangatlah perlu penanganannya. Dari uraian kedua undang-undang diatas, tidaklah semata-mata hanya kedua undang-undang tersebut yang dapat menindak perbuatan TPPO, walaupun dalam penanganan tiap-tiap kasus harus sesuai dengan delik formil pengaturannya dan delik materil akibatnya. Oleh karna hal-hal tersebut maka dalam bab ini diuraikan beberapa produk perudang-undangan yang berkaitan dengan TPPO yaitu : ii. Aturan Hukum yang Berkaitan dengan TPPO

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Sebagai ground norm yang tertinggi, UUD 1945 menegaskan dalam beberapa pasal yang berkaitan terhadap hak asasi manusia sekaligus sebagai acuan dan landasan bentuk peraturan dibawahnya yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang. Salah satu pasal tersebut yaitu : Universitas Sumatera Utara “Setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi” 136

2. Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979

Tentang Ekstradisi Didalam Undang-Undang ini, pelaku yang masuk didalam daftar orang yang dapat ekstradisi, yaitu : a. Menculik seorang perempuan dengan kekerasan atau tipu muslihat, atau dengan sengaja menculik seseorang yang belum cukup umur. b. Perdagangan perempuan dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur c. Penculikan dan penahanan melawan hukum d. Perbudakan Didalam undang-undang ini disebutkan yang dapat diekstradisi ialah : “Pejabat yang berwenang dari negara asing diminta dan disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan, ekstradisi juga dapat dilakuakan terhadap orang yang disangka telah melakukan pembantuan, percobaan dan pemufakatan jahat sepanjang pembantuan, percobaan, dan pemufakatan jahat itu dapat dipidana menurut hukum negara RI dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi” 137 Dengan demikian semua pelaku kejahatan trafficking yang dilakukan terhadap WNI oleh pelaku WNI maupun WNA baik yang dilakukan di Wilayah Indonesia maupun di luar negeri selama negara-negara tersebut mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, maka mereka dapat diekstradisi dan diadili di Indonesia menurut hukum Indonesia. Dewasa ini di Indonesia telah mengikat perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara, seperti Australia melaui UU nomor 136 Pasal 28 B ayat 2 UUD 1945. 137 Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Universitas Sumatera Utara 8 Tahun1994, Hongkong, Filiphina melalui UU Nomor 10 Tahun 1976 serta Malaysia dan Thailand.

3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada

Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2, dan Pasal 7. Dalam Undang-Undang ini menerangkan tentang hak-hak anak yang harus diperoleh, yang merupakan wujud dari tanggungjawab orang tua, pemerintah dan masyarakat. Adapun hak-hak anak tersebut : “Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan” 138 “1 Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan”. “2 Pelaksanaan ketentuan ayat 1 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah” 139 “2 Pelaksanaan ketentuan ayat 1 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah” “1 Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar” 140 “1 Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya”. “2 Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1, juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim” 141 “Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan” 142 “Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial” 143 138 Pasal 3 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 139 Pasal 4 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 140 Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 141 Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 142 Pasal 7 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 143 Pasal 8 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Universitas Sumatera Utara “Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial” 144 “1 Orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagaimana termaksud dalam Pasal 9, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal itu ditunjuk orang atau badan sebagai wali”. “2 Pencabutan kuasa asuh dalam ayat 1 tidak menghapuskan kewajiban orang tua yang bersangkutan untuk membiayai, sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anaknya”. “3 Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orang tua ditetapkan dengan keputusan hakim”. 4 Pelaksanaan ketentuan ayat 1, 2 dan 3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah” 145

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women “Huruf b mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang tepat, termasuk sanksi mana tepat, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan”. “Huruf c Untuk menetapkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan laki-laki dan menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan lembaga publik lainnya yang efektif perlindungan perempuan terhadap setiap tindakan diskriminasi”. “Huruf d Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan dan memastikan bahwa otoritas publik dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini” 146 “Huruf a untuk memodifikasi pola sosial dan budaya perilaku pria dan wanita, dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka dan adat dan segala praktek lainnya yang didasarkan pada gagasan inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotip untuk laki-laki dan perempuan. “Huruf b Untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga Article 2 b To adopt appropriate legislative and other measures, including sanctions where appropriate, prohibiting all discrimination against women. c To establish legal protection of the rights of women on an equal basis with men and to ensure through competent national tribunals and other public institutions the effective protection of women against any act of discrimination. d To refrain from engaging in any act or practice of discrimination against women and to ensure that public authorities and institutions shall act in conformity with this obligation 144 Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 145 Pasal 10 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 146 Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Universitas Sumatera Utara meliputi pemahaman yang tepat bersalin sebagai sosial fungsi dan pengakuan tanggung jawab umum dari laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dan perkembangan anak-anak mereka, dengan pengertian bahwa kepentingan anak-anak adalah pertimbangan utama dalam segala hal” 147

5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak

sebagai mana telah diubah menjadi Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak. Article 5 a To modify the social and cultural patterns of conduct of men and women, with a view to achieving the elimination of prejudices and customary and all other practices which are based on the idea of the inferiority or the superiority of either of the sexes or on stereotyped roles for men and women. b To ensure that family education includes a proper understanding of maternity as a social function and the recognition of the common responsibility of men and women in the upbringing and development of their children, it being understood that the interest of the children is the primordial consideration in all cases. Sebelum perubahan Undang-Undang tentang Peradilan Anak kurang memberi perhatian terhadap perlindungan anak, serta penyelesaian perkara anak lebih dominan dengan penjatuhan pidana atau teori pembalasan retrebutif theory dan pencegahan atau teori relatif deterrence theory tanpa alternative lain, bukan hanya hal itu saja pada UU No 3 Tahun 1997 hanya mengenal peran masyarakat sebagai mana yang terdapat pada : “Petugas kemasyarakatan terdiri dari : a. Pembimbing Kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman; b. Pekerja Sosial dari Departemen Sosial; dan c. Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan” 148 Hal tersebut menerangkan perlindungan terhadap anak kurang tersentuh. Namun setelah perubahan pada UU No 11 tahun 2012 lebih dititik beratkan pada upaya alternative penyelesaian kasus yaitu Restorative Justice dan Diversi sebagai mana terdapat pada : 147 Pasal 5 UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. 148 Pasal 33 UU No 3 Tahun 1997. Universitas Sumatera Utara “1 Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi” 149 “Diversi bertujuan: a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak”. 150 “1 Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi” 151 Selain itu dalam UU No 11 tahun 2012 dikenal lembaga-lembaga yang berperan dalam peradilan anak yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. 152 Kesemuanya hal diatas bertujuan untuk perlindungan anak serta terpeninuhinya hak-hak anak dalam proses peradilan. Kaitan Undang-Undang Peradilan Anak dengan TPPO selain sama-sama berperan untuk menegakkan Hak Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan. 149 Pasal 5 UU No 3 Tahun 1997. 150 Pasal 6 UU No 3 Tahun 1997. 151 Pasal 7 UU No 3 Tahun 1997. 152 Lihat Lembaga-lembaga yang berperan dalam Peradilan Anak UU No. 11 tahun 2012. Universitas Sumatera Utara Asasi Manusia juga berperan untuk melindungi anak-anak sebagai mana yang rentan jadi korban perdagangan orang saat ini adalah anak-anak.

6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan

convention again Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punisment Konvensi tentang menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia terdiri atas pembukuan dengan 6 paragraf dan batang tubuh dengan 3 bab yang terdiri atas 33 pasal. Dimana dalam konvensi iniPemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara. Konvensi ini mengatur secara tegas “pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuansepengetahuan pejabat publik public official dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya”. Adapun pelarangan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi ini tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat atau diakibatkan olehsuatu sanksi hukum yang berlaku. Konvensi ini mejelaskan bahwa, perintah dari atasan atau penguasa public authority juga tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas suatu penyiksaan. Hal yang sama berlaku pula bagi siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta melakukan tindak penyiksaan dan pelaku tindak Universitas Sumatera Utara pidana tersebut dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan sifat tindak pidananya. Dalam konvensi ini juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak penyiksaansebagai tindak pidana yang dapat diektradisikan. Serta melarang Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau mengektradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan, dan melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindak penyiksaan apabila tidak mengekstradisikannya. Serta wajib saling membantu dalam proses peradilan atas tindak pidana penyiksaan dan menjamin bahwa pendidikan dan penyuluhan mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam program pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang lain yang terlibat dalam proses penahanan, permintaan keterangan interogasi, atau perlakuan terhadap setiap pribadi atau individuyang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan.

7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO

convention number 105 Concening the abolition of forced Labour Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa Dalam Pengesahan Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa memberikan perlindungan terhadap para pekerja atau buruh, sebagai mana yang di sebutkan dalam Pasal 1 yaitu : “Setiap anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib melarang dan tidak memanfaatkan segala bentuk kerja paksa atau wajib kerja”. 153 153 Pasal 1 UU No. 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO convention number 105. Universitas Sumatera Utara Pengesahan Konvensi ini menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak-hak dasar pekerja khususnya hak untuk bebas dari kerja paksa. Pengesahan Konvensi ini atas dasar perintah serta cerminan Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang- Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat pekerja sebagaimana tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekaduntuk mencegah, melarang, dan menghapuskan segala bentuk kerja paksa sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. Dalam pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundang- undangan masih dirasakan adanya penyimpangan. Oleh karena itu pengesahan konvensi ini dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan hukum sesara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan hak pekerja dari setiap bentuk pemaksaan kerja. Hal ini akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia.

8. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO

convention number 138 Concening Minimum Age For forced Labour Konvensi ILO mengenai Usia minimum untuk diperbolehkan bekerja Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila khususnya Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Universitas Sumatera Utara Untuk itu bangsa Indonesia bertekad melindungi hak dasar anak sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Konvensi, Indonesia melampirkan Pernyataan Declaration yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah Republik Indonesia adalah 15 lima belas tahun. accordance with Article 2 Paragraph 1 of the Convention, the Government of the Republic of Indonesia hereby declares that the minimum age for admission to employment is 15 fifteen years. Dalam pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundang- undangan masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan hak anak. Oleh karena itu pengesahan Konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan anak, mengganggu pendidikan, serta mengganggu perkembangan fisik dan mental anak. Hal ini akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional.

9. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi

ILO convention number 111 Concening Discrimination in Respect of Employment and Occorupation Konvensi ILO mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan menjabarkan bahwa Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi atau hak dasar sejak dilahirkan. Salah satu bentuk hak asasi adalah persamaan kesempatan, dan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan.Dalam Universitas Sumatera Utara Konvensi ini melarang dengan tegas “Setiap bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan termasuk dalam memperoleh pelatihan dan keterampilan yang didasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan”. Pengesahan Konvensi ini diharapkan dapat memajukan dan melindungi hak-hak dasar pekerja khususnya hak mendapatkan persamaan kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan. Hal ini juga sejalan agar lebih meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional.

10. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Sebagai undang-undang yang menjamin HAM dalam segala bidang yang ditentukan ditiap-tiap pasal, salah satu pasal yang dengan tegas melarang akan TPPO yaitu : “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiataneksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya” 154

11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO

convention number 182 concening the Prohibiton and Immediate Action for the Elimination of the Worst Form Child Labour Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan segera Penghapusan bentuk-bentuk Pekerjaan terburuk untuk Anak ini lahir dan disahkan pada tanggal 8 Maret Tahun 2000 oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid, untuk melindungi hak asasi anak sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. 154 Pasal 65 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Universitas Sumatera Utara Dalam pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundang- undangan masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan hak anak. Oleh karena itu, pengesahan Konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan “segala bentuk terburuk dalam praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakkan hukum secara efektif” 155 “Setiap anggota yang meratifikasi konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk- bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sebagai hal yang mendesak”. sehingga akan lebih menjamin perlindungan anak dari segala tindakan perbudakan dan tindakan atau pekerjaan yang berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi, narkotika, dan psikotropika. Perlindungan ini juga mencakup perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak. 156 “Pengertian anak dalam hal ini yaitu semua orang yang berusia di bawah usia 18 delapan belas tahun” 157 “a segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon debt bondage, dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; b pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno; c pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; d pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak”. Adapun bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah : 158 155 Tujuan Konvensi UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO convention number 182. 156 Pasal 1 UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO convention number 182. 157 Pasal 2 UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO convention number 182. 158 Pasal 3 UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO convention number 182. Universitas Sumatera Utara

12. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia Dalam UU ini menerangkan tentang perbuatan-perbuatan yang melanggar Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dengan bunyi : ”Huruf f dan g Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : f penyiksaan; g perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual lain yang setara” 159 “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana, dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 5 lima tahun” Sanksi pidana : 160 ”Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan paling singkat 10 sepuluh tahun” 161 “Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan Selain itu dalam UU tentang pengadilan Hak Asasi Manusia mengenal tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi, dengan bunyi : “Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. 2 Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. 3 Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah” 159 Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 160 Pasal 39 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 161 Pasal 40 UU No. 26 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Universitas Sumatera Utara rehabilitasi. 2 Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. 3 Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah” 162

13. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Didalam UU Perlindungan Anak dicantumkan beberapa pasal mengenai anak yang menjadi korban kekerasan, kejahatan maupun perdaganganAdapun bunyinya sebagai berikut : ”Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan” 163 “ Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi danatau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalah gunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya napza, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik danatau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran” 164 a Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga “Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Ayat 3 Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan melalui : b Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi c Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial dan d Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara” 165 162 Pasal 35 1 UU No. 26 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 163 Pasal 17 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 164 Pasal 59 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 165 Pasal 64 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Universitas Sumatera Utara “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah” 166 “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun danatau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah” 167

14. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Convetion on the Rights of the Child Konvensi tentang Hak-hak Anak Konvensi ini menjelaskan bahwa anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena itu pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Pelaksanaan pengembangan potensi anak tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjasama internasional Konvensi ini menitik beratkan bahwa untuk mengembangkan hak anak diperlukan “pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan terhadap anak untuk mendapatkan dan merealisasikan hak-haknya”. 168

15. Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Ratifikasi

Konvensi ILO 87 tentang Kebebasan berserikat Konvensi ini bertolak dari pemikiran bahwa pengakuan atas prinsip kebebasan berserikat merupakan alat untuk meningkatkan kondisi pekerja dan menciptakan ketenangan. Hak untuk bebas berserikat terjelaskan bahwa : 166 Pasal 83 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 167 Pasal 88 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 168 Tujuan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convetion on the Rights of the Child. Universitas Sumatera Utara “ Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikandan, menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasiorganisasilain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain”. Article 2 Workers and employers, without distinction whatsoever, shall have the right to establish and, subject only to the rules of the organisation concerned, to join organisations of their own choosing without previous authorisation. 169 “ Setiap negara anggota Organisasi Perburuhan Internasional untuk mana Konvensi iniberlaku harus mengambil langkah-langkah yang perlu dan tepat untuk menjaminbahwa para pekerja dan pengusaha dapat melaksanakan secara bebas hak-hakberorganisasi” Article 11Each Member of the International Labour Organisation for which this Convention is inforce undertakes to take all necessary and appropriate measures to ensure that workers and employers may exercise freely the right to organise 170

16. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang RAN

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak danKeppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang RAN Pengahapusan Perdagangan Perempuan dan Anak Pemerintah Indonesia pada Desember 2001 telah mempebaharui komitenya tentang penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak ESKA dengan menandatangani World Declaration II to Combat CSEC The Commercial Sexual Eksploitation of Children di Yokoyama setelah pada tahun 1996 menandatangani Deklarasi Dunia pertama CSEC di Stockholm, Swedia sehingga lahirnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Komitmen tersebut berlanjut dengan pokok permasalahan yang sama yakni untuk memberantas perdagangan orang di Indonesia telah dilakukan oleh pemerintah RI dengan dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 169 Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 87 tentang Kebebasan berserikat. 170 Pasal 11 Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 87 tentang Kebebasan berserikat. Universitas Sumatera Utara tentang Rencana Aksi Nasional RAN Pengahapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, walaupun kebijakan tersebut belum diimplementasikan dengan baik dalam pelaksanaannya. Secara umum kebijakan RAN Perdagangan Orang ini bertujuan untuk menghapus segala bentuk perdagangan perempuan dan anak, sedangkan secara khusus kebijakan ini memiliki empat tujuan, yaitu: a Tersedianya norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan perempuan dan anak. b Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban perdagangan orang perempuan dan anak yang dijamin secara hukum c Terlaksananya pencegahan segala bentuk perdagangan perempuan dan anak di keluarga dan masyarakat. d Terciptanya kerja sama dan koordinasi dalam upaya penghapusan perdagangan perempuan dan anak antarinstansi di tingkat nasional dan internasional.

17. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

“1 Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. 2 Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat 1 meliputi : a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; danatau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. 3 Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana di- maksud dalam ayat 2 huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri”. 171 171 Pasal 74 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Universitas Sumatera Utara “1 Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 5 lima tahun danatau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. 2 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 merupakan tindak pidana kejahatan” 172

18. Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan

Korban Perdagangan Perempuan dan Anak Sebagai suatu daerah Otonom yang mempunyai daerah teritotial yang luas dan pendunduk yang padat serta perekonomian dalam tingkat perkembangan, sangatlah rentan dengan kriminalitas salah satunya TPPO. Beranjak sebagai suatu daerah Otonom berdasarkanUndang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara jo. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi. Maka Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak, yang tujuannya untuk memberikan Kontribusi dalam memberantas TPPO di Indonesia khususnya daerah Sumatera Utara dengan cara pencegahan, rehabilitasi dan re-integrasi perempuan dan anak korban perdagangan trafficking. Adapun beberapa Pengaturannya berbunyi sebagai berikut : “Huruf o Perdagangan Trafiking Perempuan dan anak adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur 172 Pasal 183 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Universitas Sumatera Utara perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, perempuan atau anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak” 173 “Perempuan yang akan bekerja diluar wilayah desakelurahan wajib memiliki Surat izin Bekerja Perempuan SIBP yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Lurah dan diadministrasikan oleh camat setempat” 174 “Perempuan yang akan keluar Propinsi Sumatera Utara dengan maksud mencari pekerjaan wajib meminta surat jalan kepada Kepala Desa atau Lurah setempat dengan melampirkan keterangan tertulis tentang nama dan alamat serta jenis pekerjaan yang dicari. 2 Perempuan yang akan pindah tempat tinggal ke luar Desa atau Kelurahan wajib meminta surat pindah dari Kepala Desa atau Lurah Setempat” 175 “Pemerintah Daerah bersama-sama dengan pemerintah KabupatenKota, Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial lainnyabwajib mencegah terjadinya perdagangan perempuan dan anak. 2 Untuk melaksanakan pencegahan terjadinya Perdagangan trafiking Perempuan dan Anak pemerintah daerah bekerjasama dengan pemerintah kabupatenkota serta masyarakat mengambil langkah-langkah berupa : a. dilakukan pengawasan yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melaksanakan tindakan pencegahan dan penghapusan perdagangan trafiking perempuan dana anak; b. Melaksanakan Sosialisasi dan atau kampanye tentang pencegahan, penanggulangan dan penghapusan praktek-praktek perdagangan trafficking perempuan dan anak di wilayah asal, penampungan sementara transit dan tujuan. c. Melaksanakan kerjasama antara propinsi maupun antar negara lain yang bersifat regional maupun international melalui forum bilateral atau multilateral, yang dilakukan melalui pertukaran informasi, kerjasama penanggulangan dan kegiatan teknis lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku” 176 “Pemerintah Daerah maupun Pemerintah kabupatenkota Aparat Penegak Hukum dan dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta Masyarakat berkewajiban memberi perlindungan terhadap korban perdagangan 173 Pasal 1 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. 174 Pasal 4 1 Pasal 1 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. 175 Pasal 6 1 Pasal 1 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. 176 Pasal 14 1 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. Universitas Sumatera Utara trafficking perempuan dan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” 177 “Setiap perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan trafficking, berhak mendapat bantuan hukum dari Gugus Tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” 178 “Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan trafficking perempuan dan anak” 179 “Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 peraturan daerah ini diwujudkan dalam pemberian : a. Hak mencari, memperoleh atau memberi informasi dan atau melaporkan adanya perdagangan trafficking perempuan dan anak kepada penegak hukum; b. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a pasal ini; c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada pemerintah atau perusahaan yang bertanggung jawab menangani pengerahan dan pengiriman tenaga kerja agar tidak terjadi praktek-praktek yang menjurus kepada perdagangan trafficking perempuan dan anak” 180 “Setiap korban perdagangan trafficking perempuan dan anak berhak memperoleh rehabilitasi baik fisik maupun psikis akibat perdagangan trafficking; 2 Layanan dan fasilitas rehabilitasi meliputi layanan konseling psikologis, medis, pendampingan hukum dan pendidikan ketrampilan keahlian atau pendidikan alternatif; 3 Rehabilitasi sebagaimana dimaksud ayat 2 pasal ini diberikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku” 181 “Setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi dan membantu secara langsung maupun tidak langsung terjadinya perdagangan trafiking perempuan dan anak dengan tujuan untuk melakukan eksploitasi baik dengan atau tanpa persetujuan untuk pelacuran, kerja atau pelayanan, perbudakan atau praktek serupa dengan perbudakan, pemindahan atau transplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan pemerasaan dan pemanfaatan fisik, seksual, 177 Pasal 15 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. 178 Pasal 16 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. 179 Pasal 17 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. 180 Pasal 18 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. 181 Pasal 19 1 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. Universitas Sumatera Utara tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan secara sewenang-wenang untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material dapat dikenakan ancaman pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku” 182

19. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Huruf b Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial danatau tujuan tertentu” 183 “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 dua belas juta rupiah atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah” 184

20. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri “Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri” 185 “Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menteri” yang mana Pasal 10 menerangkan bahwa Pelaksana penempatan TKI di luar negeri terdiri dari a. Pemerintah; b. Pelaksana penempatan TKI swasta” 186 “Setiap orang dilarang menempatkan calon TKITKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di Indonesia 182 Pasal 28 Perda Sumetera Utara No. 6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. 183 Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 184 Pasal 47 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 185 Pasal 4 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 186 Pasal 12 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Universitas Sumatera Utara maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalamPasal 27 187 .” 188 “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun danatau denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 dua miliar rupiah dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah, setiap orang yang: a. Menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. Menempatkan TKI tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; atau menempatkan calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Selanjutnya Ayat 2 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan tindak pidana kejahatan.” Dimana hal-hal tersebut diatas harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Sanksi pidana : 189

21. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban “Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: a.bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Dimana yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban Penjelasan Pasal 6 huruf b” 190 “Ayat 1 Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi 187 Pasal 27Ayat 1 Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing”. “Ayat 2 Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, 188 Pasal 30 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 189 Pasal 102 ayat 1 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 190 Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban . Universitas Sumatera Utara tanggung jawab pelaku tindak pidana”. ”Ayat 2 Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan” 191 ”Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi danatau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat 1 karena Saksi danatau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 3 tiga tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.30.000.000,00 tiga puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah”. . 192

22. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal yang diuraikan diatas menerangkan bahwa setiap saksi dan atau korban memiliki hak untuk dilindungi bagi saksi dan pemulihan kondisi kejiwaan bagi korban terutama bagi korban tindak pidana berat yang salah satunya TPPO. selanjutnya dalam pasal 7 diuraikan tentang hak restetusi atau ganti kerugian yang dialami saksi dan atau korban oleh LPSK di Pengadilan, hal ini sejalan yang diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO yang terurai dalam pasal 48. “1 Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapatdilakukan melalui transplantasi organ danatau jaringan tubuh, implan obat danatau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. 2 Transplantasi organ danatau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. 3 Organ danatau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun”. 193 “Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah”. 194 191 Pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 192 Pasal 40 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 193 Pasal 64 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 194 Pasal 192 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Universitas Sumatera Utara Kaitan pasal tersebut dalam tindak pidana perdagangan orang yakni terhadap perbuatan komersial perdagangan trafficking yang tidak lain adalah organ atau jaringan tubuh manusia.

23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2009 Tentang

Pengesahan Protocol To Prevent, Suppress And PunishTrafficking In Persons, Especially Women And Children,Supplementing The United Nations Convention AgainstTransnational Organized Crime Protokol yang memuat pengertian untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang terorganisasi, menguraikan Pengaturan yang ikut memerangi TPPO, yaitu : “a To prevent and combat trafficking in persons, paying particular attention to women and children; b To protect and assist the victims of such trafficking, with full respect for their human rights; and c To promote cooperation among States Parties in order to meet those objectives” Pasal 2 Tujuan dari Protokol ini adalah; a Untuk mencegah dan memberantas perdagangan orang, dengan memberikan perhatian khusus kepada perempuan dan anak-anak; b Untuk melindungi dan membantu korban-korban perdagangan tersebut, dengan menghormati sepenuhnya hak-hak asasi mereka; dan c Untuk mendorong kerja sama antar Negara-Negara Pihak untuk memenuhi tujuantujuan tersebut. 195 “a Trafficking in persons shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the-purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs”. “a Perdagangan orang berarti perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan, atau penerimaan orang-orang, 195 Article 2 UU RI No.14 Tahun 2009. Universitas Sumatera Utara dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lain dari paksaan, penculikan, penipuan, penyesatan, penyalahgunaan kekuasaan atau keadaan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan persetujuan dari seseorang yang. memiliki kekuasaan atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi, Eksploitasi meliputi, sekurang-kurangnya, eksploitasi dalam pelacuran seseorang atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ” 196 “1 Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan legislatif dan tindakan lainnya yang diperlukan untuk menetapkannya sebagai tindak pidana yang diatur dalam pasal 3 Protokol ini, apabila dilakukan secara sengaja. 2 Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang diperlukan untuk menjadikannya suatu tindak pidana: a Tunduk pada konsep-konsep dasar sistem hukumnya, mencoba untuk melakukan suatu tindak pidana yang ditetapkan pada ayat 1 pasal ini; b Berpartisipasi sebagai kaki tangan melakukan suatu tindak pidana yang ditetapkan pada ayat 1 pasal ini; c Mengorganisasi atau mengarahkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana yang ditetapkan pada ayat 1 pasal ini” “1 Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences the conduct set forth in article 3 of this Protocol, when committed intentionally. 2 Each State Party shall also adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences: a Subject to the basic concepts of its legal system, attempting to commit an offence established in accordance with paragraph 1 of this article; b Participating as an accomplice in an offence established in accordance with paragraph 1 of this article; and c Organizing or directing other persons to commit an offence established in accordance with paragraph 1 of this article. 197 “Prevention of trafficking in persons 1 States Parties shall establish comprehensive policies, programmes and other measures: a To prevent and combat trafficking in persons; and b To protect victims of trafficking in persons, especially women and children, from revictimization. 2 States Parties shall endeavour to undertake measures such as research, information and mass media campaigns and social and economic initiatives to prevent and combat trafficking in persons. 3 Policies, programmes and other measures established in accordance with this article shall, as appropriate, include cooperation with non-governmental organizations, other relevant organizations and other elements of civil society. 4 States Parties shall take or strengthen measures, including 196 Article 3UU RI No.14 Tahun 2009. 197 Article 5UU RI No 14. Tahun 2009. Universitas Sumatera Utara through bilateral or multilateral cooperation, to alleviate the factors that make persons, especially women and children, vulnerable to trafficking, such as poverty, underdevelopment and lack of equal opportunity. 5 States Parties shall adopt or strengthen legislative or other measures, such as educational, social or cultural measures, including through bilateral and multilateral cooperation, to discourage the demand that fosters all forms of exploitation of persons, especially women and children, that leads to trafficking” “Pasal 9Pencegahan Perdagangan Orang1 Negara-Negara Pihak wajib membuat kebijakan-kebijakan, program-program dantindakan-tindakan komprehensif lainnya:a Untuk mencegab dan memberantas perdagangan orang; dan.b Untuk melindungi korban- korban perdagangan orang, terutamaperempuan dan anak-anak, agar tidak dijadikan korban lagi.2 Negara-Negara Pihak wajib berupaya mengambil tindakan-tindakan sepertipenelitian, sosialisasi informasi dan kampanye media massa dan inisiatifinisiatif sosial dan ekonomi untuk mencegah dan memberantas perdaganganorang,3 Kebijakan-kebijakan, program- program dan tindakan-tindakan lainnya yang dibuatsesuai dengan pasal ini wajib, sepatutnya, termasuk keijasama denganorganisasi-organisasi non- pemerintah, organisasi-organisasi relevan lainnya danelemen-elemen masyarakat sipil lainnya.4 Negara-Negara Pihak wajib mengambil atau memperkuat tindakan-tindakan,termasuk melalui kerjasama bilateral atau multilateral, untuk mengurangifaktor-faktor yang membuat orang-orang, terutama perempuan dan anak-anak,rentan terhadap perdagangan, seperti kemiskinan, keterbelakangan dan kurangnyakesempatan yang setara.5 Negara-Negara Pihak wajib mengambil atau memperkuat tindakan- tindakanlegislatif atau tindakan-tindakan lainnya, seperti pendidikan, tindakan- tindakansosial atau kebudayaan, termasuk melalui kerjasama bilateral dan multilateral,untuk mengurangi permintaan yang memicu segala bentuk eksploitasi orang,termasuk perempuan dan anak-anak, yang mengarah ke perdagangan. 198

24. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang “Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana adalah huruf l. perdagangan manusia dan huruf u. Prostitusi.” 199 “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.” 200 “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke 198 Article 9UU RI No.14 Tahun 2009. 199 Pasal 2 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU. 200 Pasal 1 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Universitas Sumatera Utara luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah”. 201

25. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Kemigrasian

“Penangkalan adalah larangan terhadap Orang Asing untuk masuk Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian 202 , dimana patut didugaterlibat tindak pidana transnasional yang terorganisasi atau membahayakan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; danatautermasuk dalam jaringan praktik atau kegiatan prostitusi, perdagangan orang, dan penyelundupanterlibat dalam kegiatan makar terhadap Pemerintah Republik Indonesia; atautermasuk dalam jaringan praktik atau kegiatanprostitusi, perdagangan orang, danpenyelundupan manusia”. 203 “1 Setiap Orang Asing yang masuk danatau berada di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. 2 Setiap Orang Asing yang dengan sengaja menggunakan Dokumen Perjalanan, tetapi diketahui atau patut diduga bahwa Dokumen Perjalanan itu palsu atau dipalsukan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah”. 204 iii. Aturan Hukum Internasional International Conventions Sejak tahun 1904 masyarakat internasional telah mencoba untuk menghapus pratek-pratek perdagangan yang diberlakukan oleh PBB salah satu anggotanya International Labour Organization ILO dan Organisasi antar pemerintahan lainnya, yang berbentuk deklarasi, resolusi, rekomendasi dan tratat 201 Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU. 202 Pasal 1 ayat 29 UU No. 6 tahun 2011 tentang Kemigrasian. 203 Pasal 13 huruf g, h, i, dan j UU No. 6 tahun 2011 tentang Kemigrasian. 204 Pasal 119 UU No. 6 tahun 2011 tentang Kemigrasian. Universitas Sumatera Utara yang secara umum disebut Instrumen. Salah satu keseriusan dalam penanganan perdagangan oleh masyarakat internasional ditandai dengan lahirnya International Agreement yaitu International Agreement for the suppression of White Slave Traffic yang kemudian dianggap kurang efektif yang akhirnya diubah pada tahun 1910 dengan InternationalConvention for the suppression of White Slave Traffic. 205 205 Chairul Bariah Mozasa, Op cit, hlm 13. Berbagai bentuk aturan internasional tersebut disusun dan disetujui oleh masyarakat internasional sebagai tanggapan terhadap pelanggaran HAM dan kejahatan yang stematis di seluruh dunia. Salah satu kejahatan yang stematis dan lintas negara yaitu perdagangan orang. Hal ini tidak terlepas dari isu-isu yang dilontarkan dunia secara global yang mengklaim bahwa perdagangan anak dan perempuan merupakan tindakan yang perlu mendapat perhatian serius. Oleh sebab itu penulis menguraikan beberapa aturan hukum internasional atau Instrumen- instrumen internasional yang berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana perdagangan orang baik yang telah diratifikasi atau disetujui, maupun yang belum diratifikasi atau disetujui oleh Indonesia. Universitas Sumatera Utara • Tabel Instrumen Hukum Internasional yang mengatur tentang TPPO 206 No Instrumen Hukum Internasional Tahun Keterangan 1 Konvensi Perbudakan, Konvensi Liga Bangsa-Bangsa 1926 Disahkan 1927 Konvensi ini belum diratifkasi oleh Indonesia 2 Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa UDHR 1948 Konvensi ini belum diratifikasi oleh Indonesia 3 Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi Pihak lain 1949 Disahkan 1951 Indonesia belum meratifikasi Protokol maupun Konvensi yang asli 4 Protokol untuk mengamandemenkan Konvensi Perbudakan 1953 Indonesia belum meratifikasi Konvensi maupun Protokol yang asli 5 Konvensi Kewarganegaraan : Perempuan yang sudah menikah 1957 Disahkan 1958 Indonesia belum meratifikasi tratat ini 6 Konvensi untuk Izin menikah, usia minimum untuk menikah dan Pendaftaran Pernikahan 1962 Disahkan 1964 Diterima oleh Indonesia pada tanggal 25 Juli 1998 7 Konvensi semua Penghapusan Deskriminasi CERD 1965 Disahkan 1960 Indonesia belum meratifikasi tratat ini 8 Pemufakatan Hak Sipil dan Politik Internasional ICCPR 1966 Disahkan 1976 Indonesia belum meratifikasi tratat ini 9 Pemufaktan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Internasional Internasional ICESCR 1966 Disahkan 1976 Indonesia belum meratifikasi Protokol ini maupun Pemufakatan terkait 10 Protokol Opsional untuk Pemufakatan Hak Sipil dan Politik Internasional 1976 Disahkan 1979 Diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984 sebgai UU No 7 Tahun 1984 11 Konvensi Penghapusan 1979 Diratifikasi oleh 206 Farhana, Op cit, hlm 94 dan Lihat Kementrian Bidang Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Pengahapusan Perdagangan Orang Traffficking in Person di Indonesia Tahun 2003-2004, Jakarta, 2004, hlm 29. Universitas Sumatera Utara Diskriminasi terhadap Perempuan CEDAW Disahkan 1981 Indonesia pada tahun 1998 12 Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukum yang Kejam, tidak manusiawi Lainnya CAT 1984 Disahkan 1987 Disetujui oleh resolusi Majelis Umum 40144, 13 Desember 1985 13 Deklarasi Hak Asasi Manusia Individu yang bukan Warga Negara di Negara di mana mereka tinggal 1985 Disetujui oleh resolusi Majelis Umum 4034, 29 November 1985 14 Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan untuk Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan 1985 Disetujui oleh resolusi Majelis Umum 4034, 29 November 1985 15 Konvensi Hak-Hak Anak CRC 1989 Disahkan 1990 Diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 361990 16 Konvensi Perlindungan Hak-Hak Semua Burh Migran dan Anggota Keluarga mereka 1990 Indonesia belum meratifikasi tratat ini 17 Rekomendasi Nomor 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, Komite PBB untuk mengakhiri Diskriminasi terhadap Perempuan CEDAW 1992 Indonesia belum meratifikasi 18 Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan DEVAW Resolusi Majelis Umum 48104, 20 Desember 1993 Indonesia belum meratifikasi 19 Deklarasi dan Program Aksi Wina VDPA 1993 Indonesia belum meratifikasi 20 Rekomendasi Komisi PBB tentang Status Perempuan 1993 Indonesia belum meratifikasi 21 Pengangkatan Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan 1994 Indonesia belum meratifikasi 22 Resolusi 397 –Kekerasan terhadap Buruh Migran Perempuan, Komisi Status Perempuan 1994 Indonesia belum meratifikasi 23 Resolusi 396 Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan 1995 Indonesia belum meratifikasi 24 Konferensi Dunia Keempat mengenai Perempuan Beijing dan Deklarasi Beijing dan 1995 Indonesia belum meratifikasi Universitas Sumatera Utara Kebijaksaan ANSI 25 Resolusi Majelis Umum PBB UNGA 5166: Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan 1996 Indonesia belum meratifikasi 26 Resolusi Majelis Umum PBB UNGA 5298: Perdagangan Perempuan dan Anak 1996 Indonesia belum meratifikasi 27 Status Roma untuk Pengadilan Kriminal Indonesia 1998 Indonesia belum meratifikasi Status Roma tersebut 28 Protokol Oprasional untuk Kovensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan 1998 Indonesia meratifikasi protokol ini pada bulan Februari 2000 29 Konvensi Menentang Kejahatan Terorganisir Lintas Batas 1999 Disahkan 2000 Indonesia belum meratifikasi 30 Resolusi Majelis Umum PBB UNGA 5567: Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan 2000 Ditandatangani oleh Indonesia pada bulan desember 2000. Sampai saat ini traktat tersebut belum mempunyai jumlah ratifikasi yang cukup untuk disahkan 31 Protokol untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak Suplemen Konvensi PBB Menentang Kejahatan Terorganisir Lintas Batas 2000 Ditandatangani oleh Indonesia pada bulan desember 2000. Sampai saat ini traktat tersebut belum mempunyai jumlah ratifikasi yang cukup untuk disahkan 32 Protokol Opsional bagi Konvensi Hak-Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak 2000 Disahkan 1927 Diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 24 September 2001 33 Prinsip dan Pedoman Hak Asasi Manusia dan Perdagangan Manusia yang direkomendasi oleh PBB 2002 Rekomendasi ini belum diratifikasi oleh Indonesia 34 Resolusi Majelis Umum PBB UNGA: Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan 2002 Resolusi ini belum diratifikasi Indonesia Universitas Sumatera Utara 35 Konvensi Kerja Paksa Nomor 29 1930 Diratifikasi oleh Indonesia tahun 1950 36 Konvensi Perlindungan Upah Nomor 95 Konvensi revisi Migrasi untuk Pekerjaan Nomor 97 1949 1949 Konvensi ini belum diratifikasi Indonesia Konvensi ini belum diratifikasi Indonesia 37 Konvensi Abolisi Kerja Paksa Nomor 105 1957 Diratifikasi oleh Indonesia tahun 1999 38 Konvensi Diskriminasi Pekerjaan dan Jabatan Nomor 111 1958 Diratifikasi oleh Indonesia tahun 1999 39 Konvensi Kebijakan Pekerjaan Nomor 122 1964 Konvensi ini belum diratifikasi Indonesia 40 Konvensi Usia Minimum untuk Bekerja Nomor 138 1973 Diratifikasi oleh Indonesia tahun 1999 sebagai UU No. 20 Tahun 1999 41 Konvensi Buruh Migran atau Ketentuan Pelengkap Nomor 143 1975 Konvensi ini belum diratifikasi Indonesia 42 Konvensi tentang Penduduk Asli dan Suku Bangsa Nomor 169 1989 Konvensi ini belum diratifikasi Indonesia 43 Konvensi Lembaga Penyalur Tenaga Kerja Swasta 1997 Konvensi ini belum diratifikasi Indonesia 44 Deklarasi Prinsip dan Hak Fundamental di Tempat Kerja 1998 Deklarasi ini belum diratifikasi Indonesia 45 Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak 1999 Diratifikasi oleh Indonesia tahun 2000 sebagai UU No. 1 Tahun 2000 Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN NO.1554PID.B2012PN.MDN

D. Kasus Posisi

1. Kronologis

207 a. Bermula sekira bulan Desember 2011 bertempat di Sukabumi saksi Entin menawarkan kepada saksi korban untuk bekerja sebagai kasir di sebuah Cafe di Medan, atas tawaran tersebut saksi korban setuju, kemudian tanggal 14 Desember 2011, saksi korban dan seorang laki-laki yaitu saksi Ikbal berangkat dari Sukabumi menuju Jakarta diantar oleh saksi Entin, setelah sampai di Jakarta, saksi korban dan saksi Ikbal berjumpa dengan isteri terdakwa yaitu saksi Asrat Nitawati, kemudian saksi korban tinggal di rumah saksi Asrat Nitawati selama 5 lima hari. b. Selanjutnya tanggal 19 Desember 2011, saksi korban dan saksi Ikbal berangkat menuju Medan, dengan naik pesawat, sekira pukul 23.00 Wib tiba di Medan, saksi korban dan saksi Ikbal dijemput oleh terdakwa di Bandara Polonia, kemudian dibawa oleh terdakwa menuju sebuah Mess, yang berdekatan dengan Cafe Pesona beralamat di Jalan Setia Indah No. 30, Desa Sunggal kanan Kecamatan Sunggal, keesokan harinya sekira tanggal 20 Desember 2011, saksi korban mulai bekerja sebagai Waiters atau pelayan di Cafe Pesona yang tempatnya berdekatan dengan Mess tempat saksi korban tinggal. 207 BAP Perkara No.1554PID.B2012PN.MDN dalam Putusan. Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

3 59 100

Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/PN.Mdn)

2 99 187

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Pemalsuan Dokumen Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 (Studi Putusan No. 2960/PID.B/2008/PN.Medan)

0 34 116

Analisa Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Putusan Hakim Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 43 146

Tinjauan Yuridis Terhadap Perdagangan Anak Yang Masih Dalam Kandungan Dihubungkan Dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 2 3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

0 0 27

BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/20

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/PN.Mdn)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN - Analisa Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Putusan Hakim Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 28