3.3.3 Mendirikan Rumah Tangga
Yusuf Wibisono menikah pada usia 21 tahun, tepatnya tahun 1968, ketika masa Pemerintahan Orde Baru, dengan seorang gadis suku Jawa yang bernama
Suparti. Suparti sendiri saat menikah ini berusia 20 tahun, setahun lebih muda dari Yusuf Wibisono, Yusuf Wibisono mengenal Suparti sewaktu SMA. Saat itu mereka
sama-sama bersekolah di Taman Siswa, seperti sudah dijelaskan di atas. Dari pernikahan Yusuf Wibisono dengan Suparti ini, mereka dikaruniai dua
orang anak saja, yaitu: 1
Muhammad Yunus, laki-laki, lahir tahun 1970, di Medan. 2
Yusniati, perempuan, lahir tahun 1974, di Medan. Tahun 1995 Muhammad Yunus menikah dan memberi Yusuf Wibisono dan Suparti
dua orang cucu yaitu Agung dan Ajeng. Agung lahir pada tahun 1997, sementara Ajeng lahir tahun 2000 yang lalu.
3.3.4 Kegiatan Berkesenian Melayu
Kegiatan bermusik beliau berawal ketika beliau duduk di bangku SMA, tahun 1966 sampai 1968. Bersama dengan teman-temannya beliau membentuk
sebuah band yang beraliran musik Minangkabau. Saat ini aliran musik Minangkabau ini umum terdapat di kawasan Pulau Sumatera. Alirannya
memadukan musik-musik Melayu, Minangkabau, Eropa, dan terutama Amerika Latin. Di Sumatera saat itu, menurut penjelasan Yusuf Wibisono, band
Universitas Sumatera Utara
Minangkabau yang terkenal adalah Kelompok Gumarang dari Padang. Saat itu mereka sering tampil untuk mengisi acara-acara hiburan yang diadakan di sekolah
tersebut. Adapun band ini terdiri dari para vokalis lelaki dan perempuan, seorang pemain gitar melodi, seorang pemain gitar ritem, seorang pemain bas, seorang
pemain drum set, dan seorang pemain keyboard. Ia sendiri dipercayakan sebagai pemain drum set. Di masa ini pula ia sudah menaruh minat pada lagu-lagu
Minangkabau dan Melayu yang nantinya akan mengarahkan kinerjanya.
3.3.5 Tempat Belajar Musik di Radio Republik Indonesia Medan
Setelah menyelesaikan sekolahnya di bangku SMA, beliau sering ikut berkumpul dengan sekelompok pemusik Melayu di Kota Medan. Walaupun saat itu
hanya sekedar melihat dan mendengar permainan dari pemusik-pemusik Melayu tersebut. Beliau sering datang ke Jalan Bintang yang merupakan
tempat perkumpulan para pemusik Melayu, mereka sering tampil di Radio Republik Indonesia RRI Nusantara Satu Medan. Beliau juga sering ikut
bergabung dengan para pemusik di Taman Raden Saleh Medan. Tentang keberadaan seniman dan penonton di Jalan Bintang ini, Takari 1998:341-
342 menyatakan bahwa sejak paruh kedua tahun 1960-an, setelah pemberontakan Gerakan Tiga Puluh September Partai Komunis Indonesia G-
30SPKI, muncul istilah pakpung yang merupakan istilah lain dari seni ronggeng Melayu. Istilah pakpung sendiri sebenarnya adalah tiruan bunyi
onomatopeik gendang rongeng, pak dan pung, sebagaimana halnya dangdut.
Universitas Sumatera Utara
Pada saat itu, di depan Radio Republik Indonesia RRI Medan di Jalan Bintang, terdapat sebuah warung milik Bu Ijah. Selain mengusahakan warung
ini, Bu Ijah juga merupakan seorang pimpinan ronggeng Melayu yang cukup terkenal, yang menyajikannya di lokasi ini pula. Dari lokasi inilah secara
lisan dikenal istilah pakpung untuk seni ronggeng Melayu ini. Perbedaannya dengan ronggeng Melayu hanya pada istilah saja, sedangkan bentuk, isi, dan
teknis pertunjukan adalah sama. Lokasi warung Bu Ijah ini sangat populer dan digemari oleh sebahagian besar
karyawan RRI Nusantara III sekarang Nusantara I Medan saat itu. Mereka memberi julukan warung Bu Ijah ini dengan istilah “studio enam.” Istilah ini
hanyalah sebagai perwujudan sikap ketertarikan mereka terhadap lokasi ini, sebagai salah satu tempat santai atau juga dianggap sebagai tempat kerja. Di
RRI Nusantara III Medan hanya terdapat lima studio, dengan fungsinya masing-masing. Di antara pegawai RRI Medan adalah seorang komponis
terkenal yaitu Lily Suheiry. Beliau selama hayatnya telah mencipta ratusan lagu-lagu yang umumnya berdasar kepada lagu tradisi Melayu. Karena sering
datangnya Lily Suheiry ke warung ini membuat lokasi tersebut mempunyai nilai tambah popularitas, yang membedakannya dengan warung-warung lain
yang terdapat di sekitarnya. Selain dari pegawai RRI Nusantara I Medan ini, seniman-seniman musik Kota
Medan juga merupakan pengunjung yang sering datang ke lokasi ini. Keadaan ini disebabkan Stasiun RRI Nusantara I Medan adalah pusat
Universitas Sumatera Utara
berkumpulnya para seniman musik Kota Medan, dan tempat untuk mendapatkan berbagai informasi tentang kegiatan musik di Kota Medan.
Agar tidak mengganggu kegiatan di Stasiun RRI Nusantara I Medan, dan untuk mencari lokasi yang lebih tenang, maka para seniman tersebut lebih
suka berkumpul di lokasi warung Bu Ijah tersebut. Seniman-seniman musik yang datang ke lokasi ini sebahagian besar adalah para
seniman musik tradisi Melayu dan yang berangkat dari musik modern Barat. Beberapa nama dari pemusik Melayu yang sering berkunjung ke lokasi ini di
antaranya adalah: Usman sebagai pemain biola dan pengaransemen lagu Dodoi Didodoi; Inong Ridha sebagai pemain biola gaya musik Melayu yang
terkenal; Nurdin sebagai pemain biola gaya Melayu; Wahab sebagai pemain biola gaya musik Melayu; Aliandi sebagai pemain gendang ronggeng Melayu;
Nasir sebagai pemain gendang ronggeng Melayu; Bahauddin sebagai pemain biola gaya musik Melayu; Aliandi pemain gendang ronggeng Melayu; Sorri
sebagai pemain biola gaya musik Melayu; Rubiah sebagai penyanyi lagu-lagu Melayu; dan masih banyak lagi yang lainnya. Sementara itu, para pemusik
yang berangkat dari musik modern Eropa, di antaranya adalah: Moehammad Noeh sebagai pemain klarinet dan saksofon; Hasanuddin sebagai pemain
piano; Andung Lubis sebagai pemain set drum; Sofian sebagai pemain trumpet; dan masih banyak lagi yang lainnya. Kesemua seniman yang
tersebut di atas, dikenal dan mengenal baik siapa itu Yusuf Wibisono. Berbekal dari pergaulannya dengan para pemusik dan penyanyi inilah yang
Universitas Sumatera Utara
kemudian mengarahkan kinerja Yusuf Wibisono berkecimpung dalam seni pertunjukan Melayu.
3.3.6 Belajar Bermain Gendang Ronggeng Melayu