Latar Belakang Keluarga Biografi Yusuf Wibisono

3.3.1 Latar Belakang Keluarga

Yusuf Wibisono dilahirkan di kota Medan, pada tanggal 17 Agustus 1947. Beliau merupakan anak dari pasangan Muhammad Selo almarhum dan Asmah almarhumah. Ayahnya berasal dari Yogyakarta yang datang merantau ke kota Medan di tahun 1933, yang bekerja sebagai buruh di pabrik tempe. Muhammad Selo adalah seorang suku Jawa yang migrasi ke Sumatera Timur, yang saat itu dipandang sebagai daerah tujuan perantauan yang banyak menjanjikan penaikan taraf hidup dan ekonomi. Seperti diketahui Sumatera Timur adalah daerah perkebunan yang banyak memerlukan tenaga kerja. Sumatera Timur juga adalah daerah yang dihuni oleh berbagai etnik, dan tidak memiliki budaya dominan. Tentang keberadaan ayah dan ibundanya, Yusuf Wibisono menjelaskannya sebagai berikut. Bapak saya itu yang bernama Muhammad Selo adalah seorang Jawa dari Jogja. Bapak saya itu kawin dengan Ibu saya yang bernama Asmah di Jogja, tahun 1931, masih zamannya penjajahan Belanda. Kedua orang tua saya itu bukan keturunan priyayi atau santri. Keduanya orang biasa saja. Namun dalam pandangan kerabat dan kawan-kawan bapak dan ibu, keduanya adalah seorang Islam yang taat dan shaleh. Keduanya selalu menjalankan perintah agama, seperti shalat, puasa, dan zakat. Ayah dan ibu tidak dapat disebut sebagai kelompok abangan sebagaimana yang umum terjadi dalam kelompok masyarakat kelas bawah di Jawa sana Wawancara dengan Yusuf Wibisono 2 Desember 2007. Setelah ayah dan ibunya menikah di Yogyakarta, dan memiliki seorang anak, keduanya memutuskan untuk merantau ke Sumatera Timur atau yang dikenal Universitas Sumatera Utara sebagai Tanah Deli. Ayahnya adalah pekerja yang ahli membuat tempe di daerah Kauman, Yogyakarta. Keahlian ini juga yang diandalkannya untuk merantau ke Sumatera Timur. Tentang bagaimana proses kedua orang tuanya merantau atau migrasi ke Sumatera Timur ini, Yusuf Wibisono menjelaskannya kepada penulis sebagai berikut. Pada tahun 1933, ayah dan ibu saya beserta kakak saya yang tertua merantau ke Tanah Deli, Sumatera Timur saat itu. Ayah dan ibu saya ini merantau ke Tanah Deli karena alasan ekonomi, yaitu ingin meningkatkan tingkat perekonomian dan kesejahteraan keluarga. Pada saat mereka tinggal di Jogja, kehidupan mereka paspasan, dan menjadi buruh tani, di samping sebagai buruh pembuat tempe. Selain itu, karena usia mereka yang relatif masih muda, maka mereka ingin melepaskan diri dari ketergantung orang tua mereka di Jogja. Selain itu, beberapa teman ayah dan ibunya yang merantau ke Tanah Deli rata-rata berhasil meningkatkan taraf perekonomiannya. Selain itu, di Tanah Deli juga banyak orang-orang Jawa yang merantau dan menetap di kawasan ini sejak zaman kuli kontrak di masa penjajahan Belanda. Itulah latar belakang yang membulatkan tekad kedua orang tua saya merantau ke Tanah Deli ini wawancara penulis dengan Yusuf Wibisono tanggal 2 Desember 2007. Setelah menetap di Sumatera Utara, tepatnya di kawasan Tembung Medan, ayah dan ibu Yusuf Wibisono, berhasil meningkatkan taraf perekonomian keluarga. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik tempe awalnya. Kemudian di tahun 1935 ia mendirikan pabrik tempe sendiri dan memenuhi permintaan beberapa kedai dan rumah makan. Sementara ibunya membantu usaha sang suami dalam membuat tempe ini. Kemudian setelah itu lahirlah bertutut-turut anak kedua sampai kesepuluh bersaudara. Universitas Sumatera Utara Yusuf Wibisono merupakan anak keempat dari sepuluh bersaudara ini. Kesepuluhnya adalah masing-masing sebagai berikut: 1 Warsinem anak sulung perempuaan lahir tahun 1932 di Yogyakarta, Jawa, 2 Warsinah perempuan lahir di Medan tahun 1937, 3 Suparni perempuan lahir di Medan tahun 1939, 4 Yusuf Wibisono laki-laki lahir di Medan 17 Agustus 1947, 5 Yakub laki-laki lahir di Medan 1949, 6 Yayus perempuan lahir di Medan 1950, 7 Yanti perempuan lahir di Medan 1952, 8 Atik perempuan lahir di Medan 1954, 9 Supriyah perempuan lahir di Medan 1956, dan 10 Anto laki-laki anak ragilbungsu, lahir di Medan tahun 1958. Dengan keluarga yang bisa dikatakan besar ini, Yusuf wibisono merasa mereka sebagai suatu kekuatan besar di tanah perantauan. Mereka hidup saling tolong- menolong dan bekerjasama dalam keluarga besar ini. Masa kecil, kakak-kakaknya bekerja menanak nasi, mencuci piring, mencuci pakaian, menyeterika, membersihkan rumah dan membantu kedua orang tuanya di pabrik tempe untuk membuat tempe. Ia sendiri bersama-sama adik lelakinya juga membantu membuat tempe, kemudian menjualnya ke para pelanggan dan kedai-kedai yang membutuhkan, yang disebutnya dengan mengider tempe. Kemudian dua minggu sekali ia sebagai lelaki tertua dipercayakan kedua orang tuanya untuk menagih uang-uang tempe tersebut. Itu ia jalani dengan senang hati dan tanpa beban. Universitas Sumatera Utara

3.3.2 Pendidikan