Yusuf Wibisono : Perannya Dalam Kebudayaan Musik Melayu Di Sumatera Utara

(1)

YUSUF WIBISONO : PERANNYA DALAM KEBUDAYAAN

MUSK MELAYU DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : MARTAVIA RASTUTI NIM : 020707004

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

YUSUF WIBISONO : PERANNYA DALAM KEBUDAYAAN

MUSIK MELAYU DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : MARTAVIA RASTUTI NIM : 020707004

Pembimbing I Pembimibng II

Drs. M. Takari, M. Hum Dra. Frida Deliana, M. Si

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “YUSUF WIBISONO : PERANNYA DALAM KEBUDAYAAN MUSIK MELAYU DI SUMATERA UTARA” ini diajukan sebagai syarat memperoleh gelar sarjana seni S-1 pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Ayahanda Robert Saragih, Ibunda Asnah br Manurung, Ayah mertua Azhari Harahap, S.H, M.Si, Ibu mertua Hj.Irma Purwani Batubara, Oom Irmansyah Batubara, S.H, Sp.N dan Tante Hamidah, Tante Dra.Yusnidawati, Uci Ibu dan Tante Ucha, keluarga besar alm. Zainuddin Jaffar (Titi Kuning) yang telah tulus membimbing dan mendorong penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, dan atas kasih sayang dan do’a tulusnya kepada penulis. Juga kepada adik tersayang Muel dan Brian. B’ Dito dan K’ Fie atas supportnya, Mira dan Arbi yang telah bersedia meminjamkan laptopnya, Fandi, Nanda, Vina dan Larry Hutabarat.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor, Dekan, Ketua Jurusan Etnomusikologi Ibu Dra. Frida Deliana, Msi, Sekretaris Jurusan Etnomusikologi Dra. Heristina, Bapak Drs. Muhammad Takari M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi


(4)

ini, juga kepada Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, MA, Ph.D sebagai dosen wali serta terima kasih kepada seluruh staf pengajar Jurusan Etnomusikologi atas bimbingan yang diberikan sehingga memperluas wawasan penulis dalam ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

Terima kasih khusus penulis ucapkan kepada Bapak Yusuf Wibisono yang telah banyak memberikan informasi berharga kepada penulis sebagai bahasan dalam skripsi ini.

Kepada Team Terbang ’02 Mak Intan Ssn, Decy Ssn, Resta Ssn, Herbert Purba Ssn, Tomy Ssn, Nelia Ssn, Irfas Ssn (kumaha damang kang?), Irbet Ssn, Herbet Ssn (kocie), Epenk (KOPASJIBA), Alex, Ho’ma, Vian, Sabet, Fauzi (Rock N’ Roll is never die), Galumbang, Riga Ssn (thanks untuk handycamnya), Alvon ‘03 yang sudah membantu dalam menyelesaikan transkripsi lagu, Siti ‘03 yang selalu support, Pu2t yang sabar menemani penulis selama penelitian. B’ Bembeng dan K’ Ika, Ogek Thoib Ssn dan Devi yang telah memberikan inspirasi dan ide-ide cemerlang buat penulis, teman-teman etnomusikologi, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Yang terakhir dan special kepada suami tercinta Alvin Irza Harahap dan buah hati kami Ahmad Rialviansyah Harahap. Terima kasih atas dorongan dan waktu yang telah kita jalani bersama baik suka maupun duka.

Penulis menyadari skripsi ini masih belum dikatakan sempurna karena keterbatasan kemampuan penulis sebagai manusia, oleh sebab itu penulis mengharapkan sekali masukan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca


(5)

sekalian, sehingga lebih bemanfaat bagi pengetahuan bersama khususnya di bidang etnomusikologi

Harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan yang berharga untuk kita semua.

Medan, 25 Juni 2008 Penulis

Martava Rastuti


(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Musik adalah ekspresi kultural yang sebahagiannya bersifat universal dan sebahagian lain bersifat partikular. Musik juga merupakan ekspresi emosi yang berkait dengan kehidupan. Ritem dan melodi dalam musik dapat mengungkapkan emosi yang disampaikan oleh senimannya. Selain itu musik juga merupakan alat komunikasi sosial yang berhubungan dengan aspek kebudayaan. Di dalamnya terkandung sistem kepercayaan, konsep struktur sosial, dan juga sistem perekonomian suatu masyarakat. Musik juga dapat disajikan sebagai hiburan yang mempunyai peranan penting dalam suatu kehidupan masyarakat. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan musik yang berbeda-beda. Demikian pula yang terjadi di negara Indonesia, yang memiliki ratusan suku bangsa dan kebudayaannya.

Indonesia adalah negara dengan daerah kepulauan, yang dihuni oleh berbagai macam suku bangsa, yang memiliki kekayaan budaya. Di antara keragaman tersebut terdapat musik yang sering digunakan suku-suku bangsa di Indonesia, baik itu dalam upacara adat, hiburan, dan komunikasi sosial.

Dengan letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan dan lalu lintas pelayaran, baik itu sejak zaman Hindu-Budha, Islam, dan hingga saat sekarang ini, musik sebagai bagian dari kebudayaan, mendapat pengaruh-pengaruh dari luar


(7)

Indonesia. Di antaranya adalah India, China, Arab, dan Eropa. Etnik Melayu yang sebahagian besar mendiami pesisir pantai Indonesia, adalah etnik atau suku yang banyak mendapatkan pengaruh dari bangsa di luar. Ini karena etnik Melayu mendiami pesisir pantai Indonesia yang menjadi titik pertama dari kontak-kontak terhadap bangsa-bangsa asing yang ingin menjalin hubungan terhadap bangsa Indonesia seperti halnya dalam hubungan perdagangan.

Sinar (1996:2) menjelaskan bahwa Melayu berada antara lain di Siam Selatan, Malaysia Barat, Singapura, Brunai, Malaysia Timur dan Indonesia. Lebih lanjut, Takari (2005:149) juga menjelaskan bahwa berdasarkan aspek kewilayahan, rasial dan budaya, masyarakat Melayu mendiami gugusan kepulauan di Asia Tenggara yang mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina bahkan diasporanya mencapai Madagaskar, Suriname dan kepulauan Oceania (Makronesia, Mikronesia dan Polinesia). Selain aspek ras mereka juga memiliki kesamaan di bidang bahasa dan kesenian.

Namun demikian makna Melayu juga terkadang disublimasikan sebagai ras Melayu yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan memakai budaya Melayu. Takari (2005:149) menjelaskan bahwa makna ini muncul setelah abad ketiga belas ketika teras Islam menjadi teras utama dalam budaya masyarakat Melayu di Asia Tenggara. Ia juga menjelaskan bahwa makna yang demikian tidak berarti tertutup atau tidak menghargai perbedaan melainkan dalam Islam diakui perbedaan yang diatur secara bermartabat dan adil.


(8)

Judith A. Nagata (dalam Sinar 1996:2) mengemukakan tentang identitas Melayu ini sebagai berikut.

A Malay one who is a Muslim, who habitually speaks Malay, who practices Malay Adat and who fulfills certain residence requirements (seorang Melayu ialah seorang Islam yang sehari-hari berbahasa Melayu, yang melaksanakan adat Melayu dan yang memenuhi syarat-syarat sesetempat tertentu).

Terlepas dari definisi apa itu Melayu, masyarakat Melayu khususnya yang mendiami daerah pesisir pantai nusantara atau sebagian besar Indonesia saat ini, memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam sekali sebagai akibat dari adanya kontak-kontak terhadap bangsa-bangsa asing yang mendatangi nusantara. Namun demikian bukan berarti budaya Melayu menjadi budaya yang menyerap sepenuhnya pengaruh-pengaruh asing ke dalam budaya mereka.

Sinar (1996:2) menjelaskan karena wilayahnya yang berada di jalur lalu lintas yang ramai yaitu Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, maka tidaklah heran jika masyarakat Melayu mendapatkan pengaruh dari bangsa-bangsa lain seperti China, Siam, Arab, India Selatan, Persia, Portugis, dan juga dari suku-suku yang bertetangga seperti halnya Batak, Jawa, dan lain-lain.

Lebih lanjut lagi Sinar (1996:2) juga menjelaskan bahwa pengaruh dari bangsa-bangsa luar tersebut dapat dengan jelas kita telusuri pada alat-alat musik, lagu-lagu dan tarian Melayu. Sehingga hal ini membuat kita sulit untuk menentukan mana yang “asli” dan mana yang “modern” dengan mendapatkan pengaruh dari Barat. Dalam kebudayaan Melayu sendiri dikenal zapin sebagai hasil


(9)

akulturasi budaya. Ada juga jenis-jenis kesenian yang dapat bertahan tanpa melakukan akulturasi dengan tetap mempertahankan musik kraton yang tradisional. Ini disebabkan karena masyarakat Melayu membenarkan adanya hubungan inter-kultural dengan adat yang lainnya tanpa melakukan pencampuran. Ini dapat dilihat dari adanya pengelompokan seperti, musik asli, musik tradisional, dan musik modern.

Dengan banyaknya pengaruh dari bangsa di luar Indonesia dan juga keterbukaan budaya Melayu dalam menghadapi masuknya budaya asing ke daerah Melayu, telah menciptakan kekhasan tersendiri dalam budaya musik Melayu. Hal ini dapat dilihat dari adanya penggunaan instrumen di luar Indonesia seperti biola, akordeon, piano, bas, gitar dan lainnya yang masuk ke dalam pengelompokan musik modern. Dalam pengelompokan musik modern, musik dan tari-tarian yang mengiringinya masih menggunakan lagu Melayu asli dan perubahan yang terjadi terdapat pada alat ataupun instrumen yang digunakan.

Dalam musik tradisional Melayu sendiri terdapat instrumen atau alat musik yang sangat esensial yakni gendang, rebab (kemudian hari digantikan oleh biola) dan gong atau tetawak (kemudian hari digantikan oleh bas). Ensambel musik Melayu sendiri dimainkan pada upacara pernikahan, penyambutan tamu dan juga pada acara-acara hiburan. Dalam konteks ini, instrumen yang sering dipakai atau sering ditemui umumnya adalah gendang, biola, dan akordeon. Alat musik ini masing-masing dapat dimainkan pada saat introduksi atau di awal lagu. Setiap instrumen dalam ensambel musik Melayu memiliki hubungan yang sangat erat atau


(10)

saling ketergantungan dalam memainkan melodi, seperti ketika biola memainkan melodi akordeon akan berfungsi sebagai melodi pengantarnya agar penyanyi dapat mulai menyanyikan lagu dan gendang dapat memainkan fungsinya sebagai pembawa tempo.

Kebudayaan musik Melayu seperti diurai di atas, didukung oleh seniman-seniman musik Melayu, yang juga selalu bersama-sama dengan seniman-seniman tari dan teater dalam rangka melakukan seni pertunjukan Melayu. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam kebudayaan Melayu, identitas kulturalnya terbuka untuk menerima etnik-etnik lain menjadi Melayu sesuai dengan yang digariskan oleh norma-norma dan peraturan yang berlaku. Etnik lain dapat dipandang dan masuk menjadi Melayu. Demikian pula seperti halnya suku Jawa banyak yang menjadi dan mengakui didirnya Melayu dan Jawa sekaligus. Keseharian menggunakan budaya Melayu, dan menerakan adat-istiadat Melayu, bahkan ada juga yang menjadi seniman-seniman Melayu. Termasuk salah satu di antaranya yang terkenal adalah Yusuf Wibisono.

Beberapa hal menarik yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah mengenai pelaku kesenian Melayu yang bertempat tinggal di kota Medan yaitu Yusuf Wibisono. Hal yang penulis anggap menarik disini adalah sebagai pelaku kesenian Melayu. Yusuf Wibisono selain memainkan musik Melayu beliau juga dapat membuat dan memperbaiki alat-alat musik Melayu antara lain gendang, biola dan akordeon. Satu hal lagi yang penulis anggap menarik adalah Yusuf Wibisono merupakan seorang etnik Jawa.


(11)

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka penulis memilih Yusuf Wibisono sebagai subjek pemusik Melayu dan menjadi fokus penelitian. Karena beliau sebagai pelaku budaya Melayu selain sebagai pemusik juga mampu dalam artian secara profesional membuat dan memperbaiki atau menjadi pengrajin dari alat-alat musik Melayu. Hal inilah yang menjadi dasar dari ketertarikan penulis untuk mengangkatnya kedalam sebuah karya tulisan ilmiah yaitu skripsi yang berjudul: Yusuf Wibisono: Peranannya dalam Kebudayaan Musik Melayu di Sumatera Utara.

1.2Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang akan penulis kaji dalam tulisan ini adalah sejauh apa peran Yusuf Wibisono dalam kebudayaan musik Melayu di Sumatera Utara, mencakup tiga dalam hal sebagai berikut:

a. Sebagai pengrajin dan orang yang mahir memperbaiki alat-alat musik Melayu.

b. Sebagai pemain akordeon, pemain biola dan pemain gendang Melayu.

c. Sebagai pengelola para seniman musik dan tari Melayu dalam rangka memenuhi permintaan pertunjukan kesenian Melayu, seperti ronggeng, zapin, lagu dan tari Melayu.


(12)

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dari hasil penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui secara jelas peranan Yusuf Wibisono dalam kebudayaan

musik Melayu di Sumatera Utara sebagai pengrajin dan orang yang mahir memperbaiki alat-alat musik Melayu.

2. Untuk mengetahui secara jelas peranan Yusuf Wibisono sebagai seniman musik Melayu, yaitu sebagai pemain akordeon, biola, dan gendang Melayu. 3. Untuk mengetahui secara jelas peranan Yusuf Wibisono sebagai pengelola

(dalam istilah Melayu telangkai) para seniman musik dan tari Melayu dalam rangka memenuhi permintaan pertunjukan kesenian Melayu.

Manfaat dari tulisan dalam bentuk skripsi Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumaera Utara ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu, dalam rangka menjadi sarjana seni, di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Manfaat lainnya dari studi ini adalah para pembaca dapat memahami bagaimana peranan seorang etnik Jawa yang bernama Yusuf Wibisono dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara, dalam berbagai bidang yang digelutinya.

3. Tulisan ini nantinya dapat memberikan sumbangan bagi dokumentasi, referensi, dan analisis kebudayaan Melayu Sumatera Utara secara umum.


(13)

1.4 Konsep dan Teori yang Digunakan 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan sesuatu hal yang akan diamati. Dalam penulisan konsep penulis akan menerangkan kata-kata kunci pada judul tulisan yaitu: kajian, peranan, musik dan Melayu, agar pembaca memahami maksud dari judul tulisan ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1989:378), disebutkan bahwa kajian adalah suatu proses penelitian atau penelaahan dalam mempertimbangkan dan menguji sesuatu hal untuk mendapatkan hasil. Dalam konteks ini, proses penelitian atau penelaahan terfokus pada seorang tokoh utama yaitu Yusuf Wibisono, sejauh apa perannya dalam kebudayaan musik Melayu, khususnya Sumatera Utara.

Diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, peranan adalah suatu bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan dan dapat dipertanggungjawabkan (Balai Pustaka, 1989:667). Dalam tulisan ini, yang dimaksud peranan adalah tugas utama Yusuf Wibisono dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara, dan apa yang dilaksanakan serta dipertanggungjawabkannya.

Musik adalah ekspresi kultural yang mempunyai yang mempunyai kaitan dengan kehidupan yaitu emosi; musik tidak terpakai apabila tidak ada emosi. Pada mulanya musik dipakai hanya untuk mengiringi upacara kepercayaan dan sekarang ini berkembang untuk mengiringi tarian-tarian hiburan (Sinar 1996:1). Musik adalah seni mengungkapkan gagasan melalui bunyi yang mempunyai unsur-unsur


(14)

yaitu melodi, irama, harmoni, dengan dasar pendukung yaitu gagasan, sifat dan warna bunyi (M. Soeharto 1978:102).

Kemudian apa yang dimaksud dengan Melayu, Sinar (1995) mengemukakan bahwa definisi Melayu ada sejak pengislamannya di abad ke 15 M, adalah etnik secara kultural yang mangatakan seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu sehari-hari dan beradat-istiadat Melayu. Dalam konsep ini, orang Melayu itu terbuka menerima etnik lain untuk menjadi Melayu dengan dasar seperti diurai di atas. Dengan demikian, Yusuf Wibisono, walau secara keturunan berasal dari etnik Jawa, ia dapat dipandang dan diakui sebagai Melayu, bila ia menyatakan dirinya sebagai orang Melayu, atau sekaligus juga sebagai orang Jawa. Yang jelas, ia memiliki peranan penting dalam kebudayaan musik Melayu Sumatera Utara.

Berkaitan dengan alat-alat musik Melayu, yang selalu digunakan dalam ensambel musik Melayu, yang selalu dimainkan dan diperbaiki jika rusak oleh Yusuf Wibisono, maka perlu dijelaskan konsep tentang tiga alat musik tersebut, yaitu, biola, akordeon, dan gendang. Di ambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, biola adalah alat musik yang digesek dengan bow sebagai alat penggesek dan memiliki 4 senar (Balai Pustaka 1989:120). Akordeon merupakan instrumen free reed box aerophone. Akordeon merupakan alat musik ritmis dan melodis. Akordeon juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam suatu komposisi dan ensambel musik Melayu. Gendang adalah alat musik pukul yang di dalamnya berongga dan pada salah satu lubang atau kedua-duanya diberi selaput (Balai


(15)

Pustaka 1989:268). Biola dan akordeon merupakan alat musik yang diadopsi dari kebudayaan Barat oleh etnik Melayu, namun dipandang sebagai alat musik tradisi Melayu, digunakan selama beraba-abad dan telah menyatu dalam musik Melayu. Sementara gendang Melayu yang dimaksud adalah gendang ronggeng. Gendang frame, yang berbentuk bowl (mangkuk) atau konis, dengan satu sisi kulit yang terbuat dari kulit kambing. Alat musik ini sangat populer dalam ensambel musik Melayu di Sumatera Utara. Bahkan Sumatera Utara mengekspor gendang ini ke berbagai wilayah di nusantara. Gendang buatan Yusuf Wibisono menurut informasi dari para informan di lapangan adalah gendang kualitas terbaik di Nusantara.

1.4.2 Teori

Dalam skripsi ini penulis akan mempergunakan beberapa teori yang dikemukakan dari beberapa ahli untuk dijadikan sebagai kerangka teoretis. Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang diambil dari fakta-fakta mungkin juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999:33). Teori juga dapat diartikan sebagai suatu analisis mengenai suatu hal yang dapat dibuktikan dan teruji kebenarannya. Untuk mengkaji sebuah kesenian dengan latar belakang masalah tertentu, ada yang relatif sederhana dan ada pula yang kompleks, maka para ilmuwan seni biasanya menggunakan teori-teori. Dalam kajian ini, pengertian teori yang peneliti gunakan adalah juga mengikuti pendapat Marckward et al., yang memiliki tujuh pengertian, yaitu:


(16)

(1) sebuah rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada prinsip-prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan;

(2) sebuah bentuk prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan;

(3) abstrak pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktek;

(4) penjelasan awal atau rancangan hipotesis untuk menangani berbagai macam fenomena;

(5) spekulasi atau hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk

teorema, yang menghadirkan pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan

(7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik, yang membedakannya dengan seni yang dilakukan atau dieksekusi (Marckwardt et al. 1990:1302).

Adapun teori-teori yang penulis gunakan untuk mengkaji peranan Yusuf Wibisono dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara, mencakup teori-teori sebagai berikut. Untuk mengkaji peranan sosiobudayanya digunakan teori perilaku sosial pemusik. Untuk mengkaji struktur melodi musik biola dan akordeon yang dipertunjukkan Yusuf Wibisono, digunakan teori weighted scale. Untuk mengkaji biografi ringkas Yusuf Wibisono digunakan teori biografi. Untuk mengkaji


(17)

bagaimana cara Yusuf Wibisono mengelola pertunjukan musik dan tari Melayu digunakan teori manajemen.

(a) Untuk mengkaji peran Yusuf Wibisono dalam kebudayaan musik Melayu Sumatera Utara, penulis menggunakan teori perilaku sosial pemusik yang ditawarkan oleh Merriam (1964:123-144). Teori ini menyatakan bahwa perilaku dalam proses musik menitikberatkan pada pemusik dan keberadaannya sebagai anggota masyarakat. Sebagai seorang pemusik beliau memainkan peran yang khusus dan memiliki status yang khusus pula dalam masyarakat. Peran dan status pemusik ini ditentukan oleh konsensus masyarakat. Dalam konteks tulisan ini penulis akan mengkaji peranan Yusuf Wibisono dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara. Merriam menyatakan secara jelas mengenai bagaimana perilaku sosial pemusik ini sebagai berikut.

A third type of behavior in the music process is that of the musician who, no less than any other individual, is also a member of society. As a mussician, he plays a specific role and may hold a specific status within his society, and his role and status are determined by consensus of society as to what should be proper behavior for the musician. Musicians may form a special class or caste, they may or may not be regarded as professional, they role may be ascribed or archived, their status may be high or low or a combination of both. In nearly every case, however, musicians behave sicially in certain well-defined ways, because they are musicians, and their gehavior is shaped both by their own self-image and by the expectations and stereotypes of the musicianly role as seen by society at large (1964:123).

Lebih jauh teori perilaku sosial pemusik juga melibatkan sisi ekonomi yaitu honor atau bayaran pemusik. Ada di kalangan pemusik yang menggantungkan


(18)

hidupnya secara total pada seni musik, sebahagian yang lain hanya sambilan (Merriam 1964:125). Selain itu kategori pemusik juga ada yang termasuk ke dalam profesional, spesialisasi, dan amatir, juga faktor bakat (talenta), cara-cara rekruitmen, pemusik dilahirkan bukan dibentuk (seperti pada masyarakat Venda) dan lainnya.

Dalam skripsi ini, untuk mengkaji peranan Yusuf Wibisono dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara, penulis memfokuskan perhatian pada tiga aspek, yaitu: (1) perannya sebagai pengrajin atau pembuat dan orang yang mahir memperbaiki alat-alat musik Melayu, (2) perannya sebagai seniman (pemain akordeon, biola, gendang dan lainnya), dan (3) pengelola seni pertunjukan Melayu.

Teori perilaku sosial pemusik seperti terurai di atas, menurut penulis sangat tepat untuk mengkaji peranan Yusuf Wibisono. Bahwa dari sisi ekonomi, Yusuf Wibisono menggantungkan hidupnya kepada berkesenian Melayu. Sebagai pembuat gendang ia memperoleh keuntungan yang disebutnya dengan lumayan. Di samping itu ia juga dapat memperbaiki alat-alat musik seperti biola, akordeon, dan lain-lainnya. Sebagai seniman ia juga bermain alat-alat musik biola, akordeon, gendang, dan lainnya. Dari sisi ini ia juga selalu mendapat honorarium sebagaimana yang lazim diterima para seniman musik Melayu. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya, dari sisi ekonomis ini, Yusuf Wibisono sering pula menjadi pengelola seni pertunjukan Melayu, untuk memenuhi permintaan akan seni pertunjukan Melayu terutama di kawasan Sumatera Utara. Dalam posisi sebagai pengelola ini,


(19)

biasanya honorarium adalah yang paling besar untuknya baru seniman lain. Boleh dikatakan bahwa Yusuf Wibisono termasuk ke dalam pemusik profesional bukan pemusik amatir. Ia dibayar karena keahlian profesinya sebagai pemusik. Ia belajar mengikut bakat yang ada pada dirinya. Belajar secara otodidak melalui tradisi lisan bukan tradisi tulisan. Ia merekam permainan seniman lain dalam bentuk audio, dan kemudian mempelajarinya sendiri. Dalam konteks kebudayaan Melayu Sumatera Utara, pemusik umumnya dilahirkan secara alamiah, dan tidak dibentuk oleh pendidikan formal atau nonformal, termasuk Yusuf Wibisono. Rekruitmen pemusik dilakukan berdasarkan saling kenal dan hubungan antara sesama mereka. Dengan demikian teori perilaku sosial pemusik yang ditawarkan Merriam ini akan digunakan dalam mengkaji peranan Yusuf Wibisono dalam kebudayaan musik Melayu Sumatera Utara (lebih lanjut lihat Bab IV, V, dan VI).

(b) Untuk memperlihatkan secara jelas bagaimana struktur musik yang dimainkan oleh Yusuf Wibisono, khususnya biola, akordion, maka penulis menggunakan teori teori weihgted scale. Teori ini pada prinsipnya menawarkan delapan karakteristik yang harus diperhartikan dalam mendeskripsikan melodi yaitu: scale (tangga nada), pitch (nada dasar), range (wilayah nada), frequency of not (jumlah nada), prevalent interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formulas (formula-formula melodis), dan contour (kontur) (Malm 1997:8). Untuk mewakili struktur melodi yang dimainkan pada biola dan akordion oleh Yusuf Wibisono dipilih lagu yang berentak senandung (lambat), mak inang (sedang), dan lagu dua (cepat). Untuk mengkaji struktur


(20)

permainan gendang ronggeng digunakan analisis melalui dimensi waktu yang lazim digunakan dalam tradisi musik Melayu, seperti silabis tak, ding, dang, tung. Kemudian siklus, meter, no-not yang digunakan, motif, dan bentuk ritem, dan hal-hal sejenis.

(c) Selain itu, terutama dalam Bab III, khusus mengenai kajian biografi ringkas Yusuf Wibisono, digunakan teori biografi. Pada dasarnya teori ini dipergunakan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti dalam sejarah, sastra, sosiologi, dan antropologi. Biografi secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah kisah riwayat hidup seseorang. Biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja. Namun juga dapat berupa lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta-fakta dari kehidupan seseorang dan peran pentingnya. Sementara biografi yang panjang meliputi informasi-informasi penting namun dikisahkan dengan lebih mendetail dan tentunya dituliskan dengan gaya bercerita yang baik.

Dalam studi biografi penulis akan menganalisis dan menerangkan kejadian-kejadian dalam hidup seseorang. Melalui biografi, akan ditemukan hubungan, keterangan arti dari tindakan tertentu atau misteri yang melingkupi hidup seseorang, serta penjelasan mengenai tindakan dan perilaku hidupnya. Biografi biasanya dapat bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal atau tidak terkenal, namun demikian, biografi tentang orang biasa akan menceritakan mengenai satu atau lebih tempat atau masa tertentu.


(21)

Biografi seringkali bercerita mengenai seorang tokoh sejarah, namun tak jarang juga tentang orang yang masih hidup. Banyak biografi ditulis secara kronologis. Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan berdasar tema-tema utama tertentu (misalnya "masa-masa awal yang susah" atau "ambisi dan pencapaian"). Walau begitu, beberapa yang lain berfokus pada topik-topik atau pencapaian tertentu.

Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat berupa benda-benda separti surat-surat, buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan-bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memaparkan peranan subjek biografi itu. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a) pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) temukan fakta-fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut; (c) mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu; (d) pikirkan, apa lagi yang perlu anda ketahui mengenai orang itu, bagian mana dari hidupnya yang ingin lebih banyak anda tuliskan.

Beberapa pertanyaan yang mungkin dapat dijadikan partimbangan misalnya: (a) apa yang membuat orang ini istimewa atau menarik; (b) dampak apa yang telah ia lakukan bagi dunia atau orang lain; (c) atau sifat apa yang mungkin akan sering peneliti gunakan untuk menggambarkan orang ini; (d) contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut; (e) kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang itu; (f) apakah ia mampu mengatasi rintangan tersebut; (g) apakah ia mengatasinya dengan mengambil resiko, atau


(22)

dengan keberuntungan; (h) apakah dunia akan menjadi lebih baik atau lebih buruk jika orang ini tidak pernah hidup, bagaimana bisa, dan mengapa. Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari perpustakaan atau internet untuk membantu anda menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas serta supaya cerita peneliti lebih menarik (terjemahan Ary (2007) dari situs: http://www. infoplease.com/ homework/wsbiography.html).

Dalam tulisan ini, biografi yang penulis maksud adalah kisah riwayat hidup Yusuf Wibisono terutama peranannya dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara. Adapun bentuknya berupa biografi singkat, bukan biografi panjang. Biografi Yusuf Wibisono ini dibuat untuk tujuan mendukung kajian peranannya dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara. Bagaimana latar belakang kehidupannya. Ia adalah etnik Jawa, mengapa mesti berkecimpung dalam budaya Melayu Sumatera Utara. Bagimana ia belajar membuat alat musik, memperbaiki alat musik, bermain alat musik, dan lain-lainnya. Sejauh apa interaksinya dengan para budayawan dan seniman Melayu Sumatera Utara. Kemudian bagaimana ia memandang identitas dirinya, apakah sebagai etnik Jawa, etnik Melayu, atau kedua-duanya. Bagaimana pula pandangan-pandangan positif dan negatif orang-orang lain terhadap Yusuf Wibisono. Hal-hal inilah yang akan dikaji pada bagian biografi singkat Yusuf Wibisono.

(d) Untuk mengkaji bagaimana Yusuf Wibisono mengelola para seniman musik dan tari Melayu untuk melakukan sebuah pertunjukan, sesuai dengan permintaan masyarakat yang membutuhkannya, dipergunakan teori manajemen.


(23)

Menurut Sukarna (1992) teori manajemen mendasarkan perhatian kepada proses pengarahan atau pembimbingan orang-orang dan fungsi-fungsi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.1 Dalam tulisan ini, teori manajemen digunakan untuk menganalisis bagaimana Yusuf Wibisono mengarahkan para seniman musik dan tari Melayu, serta fungsi-fungsi seniman ini, dalam rangka memenuhi permintaan masyarakat yang membutuhkn akan seni pertunjukan Melayu di Sumatera Utara, dengan tujuan untuk melestarikan kebudayaan Melayu dan juga kepentingan bisnis seni pertunjukan Melayu. Bagaimana sistem organisasi, produksi pertunjukan, sistem pemasaran, sistem pembagian honor, promosi, dan lain-lainnya.

1.5 Metode Penelitian

Menurut Merriam dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan. Metode lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu meliputi dasar-dasar teoritis yang menjadi acuan bagi teknik penelitin lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan juga berbagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam 1964:39-40).

1

Kata manajemen berasal dari bahasa Inggris management, yang kalau dilihat dari sejarahnya bersal dari istilah managgiare dari bahasa Latin, atau managgio dari bahasa Italia, artinya adalah: (a) mengarahkan dan mengawasi, (b) memperlakukan dengan seksama, (c) mengurus perniagaan atau persoalan-persoalan manusia lainnya, dan (d) mencapai tujuan tertentu.


(24)

Selain itu dalam penelitian seni dikenal metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada hakekatnya bertujuan untuk mencari makna-makna yang terkadung daripada kegiatan atau artifak tertentu. Selanjutnya peneltian kuantitatif biasanya bertujuan untuk mengukur fenomena yang ada berdasarkan rentangan-rentangan kuantitas tertentu. Sejauh pengamatan penulis, kajian seni lebih banyak didekati oleh metode kualitatif, walaupun demikian bukan berarti metode kuantitatif tidak diperlukan dalam mengkaji seni. Yang perlu dipahami adalah kedua metode digunakan cocok untuk membahas permasalahan apa. Misalnya untuk mengkaji seberapa banyak degradasi jumlah ronggeng Melayu di Sumatera Utara, tentu metode yang cocok adalah metode kuantitatif. Sebaliknya untuk mengetahui sejauh mana makna semiotik yang ingin dikomunikasikan seniman dalam pertunjukan guro-guro aron, tentulah lebih cocok didekati dengan metode kualitatif. Dalam konteks penelitian tertentu, bahkan kedua-dua metode diperlukan.

1.5.1 Metode Penelitian Kualitatif

Dalam rangka mengkaji peranan Yusuf Wibisono dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Alasuutari (1996:8) bahwa bahan penelitian kualitatif ibarat sepotong dunia yang harus dicermati daripada hanya mendapatkan seperangkat ukuran-ukuran. Dalam hal ini seorang peneliti harus mengamati bahan itu dengan cermat serta menganalisisya. Di samping itu, harus pula ditetapkan terlebih dahulu dari


(25)

sudut mana sepotong dunia itu dipecah lagi. Bahan atau data itu bisa terdiri dari tulisan atau ceramah yang terekam dalam konteks yang berbeda, bisa dari data hasil observasi, bisa berita dari surat kabar, dan lainnya. Data-data kualitatif itu kemudian perlu didekati dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai menurut kemauan peneliti, yang tidak bisa hanya diamati dengan mata telanjang. Salah satu sifat dari data itu merupakan data yang memiliki kandungan yang kaya, yang multidimensional, dan kompleks. Oleh karenanya, untuk merekam komunikasi yang nonverbal ini diperlukan rekaman audio atau audiovisual.

Sebuah data kualitatif adalah sebagai sebuah teka-teki atau sebuah misteri. Dalam menebak teka-teki itu selalu harus mengarah untuk menjawab pertanyaan mengapa, dan bukan sekedar menjawab pertanyaan apa. Seorang peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif selalu berupaya menampilkan pertanyaan mengapa yang baik sebanyak-banyaknya. Kemudian menentukan yang mana yang dipilih untuk dianalisis.

Lebih jauh Nelson menjelaskan mengenai apa itu penelitian kualitatif itu mengikut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diuraikannya berikut ini.

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).


(26)

Dari kedua kutipan di atas, secara garis besar dapat dinyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam. Para penelitinya percaya kepada perspektif naturalistik (alamiah), serta menafsirkan untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh kerana itu biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etika posisi politik. Namun demikian, penelitian seni dengan metode kualitatif juga selalu melibatkan data-data yang bersifat kuantitatif, dengan melihat kepada pernyataan S. Nasution bahawa setiap penelitian (kualitatif dan kuantitatif) harus direncanakan.Untuk itu diperlukan desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu. Dalam desain antara lain harus dipikirkan: (a) populasi sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d) prosedur pengumpulan data, (e) cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya menggunakan statistik, (g) cara mengambil kesimpulan dan sebagainya (Nasution 1982:31).

1.5.2 Studi Kepustakaan

Untuk mendukung kelengkapan data-data yang diperoleh, penulis menggunakan buku-buku yang dirasa cukup relevan untuk mendukung tulisan ini.


(27)

Dimana buku-buku yang dipakai berhubungan dengan kebudayaan Melayu, dan juga buku-buku yang berhubungan dengan tulisan ini. Tulisan yang penulis gunakan untuk mendukung kajian ini berupa skripsi, makalah, buku, jurnal, surat kabar, dan lain-lainnya.

Agar kajian ini mendapatkan hasil yang baru, maka perlu dikemukakan bahwa kajian sejenis juga telah dilakukan oleh beberapa ilmuwan atau penulis budaya Melayu. Misalnya Siti Zulaikha Sitanggang tahun 2008 yang lalu menulis tentang biografi seniman musik Melayu Ahmad Setia yang mengkajinya dari persfektif biografi dan struktur musik melodi akordion yang disajikannya. Tulisan ini menjadi rujukan utama penulis dalam skripsi ini.

Tulisan lainnya yang menjadi rujukan utama dalam skripsi ini adalah tulisan Fadlin (1989), yang mengkaji konstruksi gendang ronggeng Melayu Sumatera Timur (Sumatera Utara). Dalam tulisan ini, Fadlin juga banyak mengambil data yang diperolehnya dari Yusuf wibisono, terutama dalam mendeskripsikan pembuatan gendang ronggeng serta struktur taksonomis atau konstruksi gendang ronggeng Melayu. Selain itu dalam tulisan Fadlin ini dianalisis secara mendalam tentang struktur ritme gendang ronggeng, yang mencakup tempo senandung, mak inang, dan lagu dua. Tulisan ini menjadi rujukan penulis dalam mendeskripsikan pembuatan gendang ronggeng Melayu oleh Yusuf Wibisono, serta struktur ritme permainan gendang ronggeng Melayu oleh Yusuf Wibisono.

Tulisan-tulisan lainnya juga menjadi bahan pustaka untuk perbandingan penulis dalam mengkaji peranan Yusuf Wibisono dalam budaya musik Melayu


(28)

Sumatera Utara. Di antaranya adalah kajian manajemen Sinar Budaya Group oleh Astri Ismiralda (2003). Begitu juga dengan tulisan kebudayaan Melayu secara umum (editor Tengku Luckman Sinar dan Syaifuddin 2001), Tengku Lah Husni (1986) tentang kajiannya mengenai butir-butir adat budaya Melayu Sumatera Timur. Selengkapnya studi pustaka ini dapat dilihat di bibliografi.

1.5.3 Penelitian Lapangan

Dalam penelitian lapangan, penulis mengadakan pendekatan kepada informan sejak tahun 2006 yang lalu, dan sampai penulis mendapatkan judul mengenai peranan Yusuf Wibisono terhadap kebudayaan musik Melayu yaitu sebagai pemusik, pengrajin dan juga pengelola pertunjukan. Sejak bulan Februari 2008 yang lalu, penulis dengan intensitas yang relatif lebih sering melakukan pendekatan dan penelitian kepada informan untuk mendapatkan data-data yang lebih lengkap lagi.

Penelitian lapangan ini dilakukan dengan metode pengumpulan data dengan cara wawancara dan perekaman. Sebelum wawancara, penulis menyusun daftar pertanyaan untuk mengarahkan kepada pokok permasalahan yang ingin penulis ketahui. Namun demikian penulis tetap akan mengembangkan pertanyaan kepada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan. Dalam konteks perekaman, penulis menggunakan tape recorder Sony TCM-150 dengan menggunakan kaset Sony IEC1 zx 60.


(29)

Pengamatan yang dilakukan adalah secara langsung, yaitu melihat langsung persembahan lagu dan tari Melyu Sumatera Utara yang dipertunjukan oleh Yusuf Wibisono dan kelompoknya. Tujuan observasi ini adalah untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan pengamatan dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial. Berasaskan jenisnya, maka observasi yang selalu digunakan dalam penelitian seni adalah partisipasi pengamat sebagai pertisipan (insider) yaitu sebagai anggota masyarakat yang ditelitinya walau harus tetap menjaga jarak. Mengikut S. Nasution (1989:123) keuntungan cara ini adalah peneliti merupakan bagian yang menyatu daripada keadaan yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak mempengaruhi keadaan itu dalam kewajarannya.

(2) Wawancara. Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui pengamatan tersebut (seperti konsep-konsep etnosainsnya tentang estetika), peneliti seni biasanya melakukan wawancara. Dalam kaitan ini yang dilakukan adalah wawancara yang sifatnya terfokus yaitu terdiri daripada pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu (Koentjaraningrat 1980:139). S. Nasution membagi jenis wawancara sebagai berikut. Berdasarkan fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik dan (c) penelitian. Berdasarkan jumlah respondennya: (a) individual dan (b) kelompok. Berdasarkan lamanya wawancara: (a) singkat dan (b) panjang. Berdasarkan penanya dan responden: (a) terbuka, tak berstruktur, bebas, non-direktif atau client centered dan (b) tertutup, berstruktur (S. Nasution 1989:135).


(30)

Dalam penelitian ini, berdasarkan fungsinya termasuk ke dalam penelitian. Berdasarkan informan, termasuk ke dalam informan kunci atau individual. Berdasarkan lamanya wawancara adalah panjang. Berdasarkan penanya dan respondennya termasuk terbuka. Selanjutnya dilakukan kerja laboratorium.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Setelah mendapatkan data dilapangan, penulis mengadakan kerja laboratorium. Dimana hasil rekaman lagu akan di transkripsi dan dianalisis. Untuk memudahkan pentranskripsian, penulis mengubah hasil rekaman yang di dengar ke dalam bentuk notasi. Penggunaan notasi ini dilakukan untuk menggambarkan lebih jelas apa yang di analisa. Hasil transkripsi ini akan di bahas pada bab V dalam skripsi.

1.5.4.1 Metode Transkripsi

Dalam sains-sains seni, transkripsi dan analisis merupakan bagian dari kerja laboratorium. Meskipun demikian, pentraskripsian bunyi musik dapat dilakukan di lapangan pada saat melakukan penelitian. Namun, dalam konteks pertunjukan, transkripsi secara langsung tentu lebih sulit dilakukan terutama kerana terbatasnya waktu yang dipergunakan untuk mentranskripsi, sehingga akan menghasilkan transkripsi yang sulit dipertanggungjawabkan ketepatannya. Oleh karena itu, peneliti sebaiknya mencatat hal-hal yang dapat mendukung transkripsi di laboratorium nantinya, pada saat rekaman langsung di lapangan. Seperti


(31)

mencatat nama, posisi, dan teknik pemain, seperti: teknik memukul gendang, improvisasi, cara masuk, cara membentuk tekstur, daerah tumpuan pukulan onomatopeik gendang, dan sejenisnya.

Transkripsi merupakan pencatatan (notasi) bunyi musik yang dihasilkan seseorang atau sekelompok pemusik ke dalam bentuk lambang-lambang atau gambaran tertentu. Pada asasnya, secara kasar bentuk-bentuk notasi musik dapat dikelompokkan kepada dua jenis: (1) notasi tablatura dan (2) notasi grafik. Notasi tablatura merupakan cara pencatatan bunyi musik yang diwujudkan ke dalam bentuk simbol, dengan tidak mewujudkan lintasan gerakan naik turunnya frekuensi nada. Contoh notasi ini adalah nota angka Barat, yang pada awalnya diperkenalkan oleh Guido de Arrezo dan Cheve tahun 1850. Contoh lain adalah nota dalam musik Jepang. Juga dalam musik Jawa dikenal sistem notasi kepatihan dan sari swara yang mempergunakan angka-angka Arabik. Notasi grafik merupakan sistem pencatatan bunyi musik yang diwujudkan ke dalam bentuk simbol dengan mengikuti lintasan gerak naik turunnya frekuensi nada atau lintasan melodi (melodic line). Contoh notasi seperti ini adalah notasi balok (noten balk) Barat. Disadari bahawa selain kelebihannya, notasi balok juga mempunyai kekurangan-kekurangan (Nettl 1946:33).

Menurut Nettl, kenyataan menunjukkan bahwa beberapa ritme dan tangga nada tradisi non-Barat tidak selalu cocok dengan sistem notasi Barat sehingga agak menyulitkan untuk memproduksi ulang kembali ke dalam notasi konvensional. Beberapa pentranskripsi menambah simbol-simbol khusus


(32)

daripada notasi konvensional tersebut, dengan simbol yang diinginkan, sesuai dengan suara yang dihasilkan. Misalnya interval yang lebih besar dari setengah langkah ditambahi tanda "tambah" atau yang lebih kecil ditambahi tanda "kurang" di atas notnya (Nettl 1946:31).

Untuk mendapatkan hasil transkripsi yang akurat dan objektif, dapat dipergunakan berbagai mesin yang dapat mengukur nada dan mentranskripsi musik, seperti monokord yaitu sebuah senar yang diregangkan di atas sebuah vibrator yang mempunyai skala. Monokord ini mula-mula diperkenalkan oleh Jaap Kunst, yang selanjutnya dijadikan dasar cara bekerjanya osiloskop dan komputer, alat yang lebih peka mentranskripsi bunyi musik.

1.5.4.2 Metode Analisis

Alan P. Merriam menjelaskan bahwa studi lapangan yang dikerjakan para pakar etnomusikologi, dibagi secara kasar kepada tiga tahap. Yang pertama adalah mengumpulkan data; kedua, menganalisis; dan ketiga data yang telah dianalisis diterapkan kepada masalah-masalah yang relevan dengan etnomusikologi dan beberapa pengetahuan sosial dan humaniora lainnya (Merriam 1964:7).

Untuk mengkaji sejarah masuknya masyarakat Jawa ke Sumatera Timur dan biografi Yusuf Wibisono, peneliti dapat memakai metode penggunaan bahan dokumen seperti yang ditawarkan oleh Sartono Kartodirdjo. Menurutnya bidang ilmu sejarah meliputi seluruh aktivitas manusia. Ilmu sosial dalam pembahagian kerjanya mencakup lapangan yang luas. Pada satu pihak sejarawan


(33)

umumnya memperhatikan proses dan struktur tunggal dalam ruang dan waktu. Pihak lain, ahli ilmu-ilmu sosial lebih memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang konstan serta berulang tetap, atau kecenderungan-kecenderungan yang teratur di dalam masyarakat. Kedua golongan ahli tadi mungkin mempelajari fakta-fakta yang sama, akan tetapi dengan tujuan serta cara penggunaannya yang berbeda. Apabila sebuah penelitian mengenai masyarakat mengambil perspektif atau orientasi historis, maka bahan dokumenter mempunyai arti metodologis yang sangat penting. Sebelum mengolah fakta dan data sesuai dengan persoalan masyarakat yang hendak diselidiki, dokumen perlu dianalisis secara kritis. Sejumlah besar data yang tersedia adalah data lisan seperti yang terdapat dalam surat-surat, catatan harian, kenangan (memoar), laporan dan sebagainya (Kartodirdjo 1985:44-65).

Sifat istimewa data lisan ini adalah bahwa data itu mengatasi ruang dan waktu, sehingga membuka kemungkinan bagi si peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang gejala sosial yang telah musnah. Untuk melengkapi bahan-bahan dokumenter ini, perlu juga dilakukan wawancara terhadap para saksi sejarah yang secara empiris dianggap tahu tentang seni yang diteliti.

Meskipun dalam penelitian ini peneliti menumpukan perhatian pada aspek peranan Yusuf Wibisono dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara, untuk mendukungnya peneliti menggunakan metode analisis pendekatan sejarah, seperti yang dikemukakan oleh Steaward berikut ini.


(34)

In cultural studies it is important to distinguish a scientific, generalizing approach from a historical, perticularizing approach. The former attempts to arrange phenomena in orderly categories, to recognize consistent interrela-tionships between them, to establish laws of regularities, and to make formulations which have predictive value (Steward 1976:3).

Menurut Steward di dalam kajian-kajian kebudayaan, adalah penting untuk melakukannya menurut kaidah ilmu pengetahuan, yaitu dengan pendekatan yang umum dari kesejarahanan, menuju pendekatan yang lebih khusus lagi. Usaha-usaha yang pertama berusaha untuk merancang fenomena di dalam kategori-kategori yang teratur, untuk mengenal keterhubungan konsisten antara budaya itu, untuk membangun hukum-hukum keteraturannya, dan untuk membuat rumusan-rumusan yang mempunyai nilai perkiraan.

Selanjutnya pentingnya studi sejarah dalam etnomusikologi, dikemukakan oleh Merriam bahwa penggunaan musik sebagai suatu teknik untuk mengetahui dan merekonstruksi sejarah budaya, telah lama menjadi bagian etnomusikologi. Misalnya para pelajar pada disiplin ini menerapkan berbagai metodologi yang diambil dari teori-teori evolusi dan difusi yang dikemukakan para pakar antropologi. Studi-studi seperti itu secara bertahap menjadi jalan keluar bagi kerangka kerja teoretis, yang mendasari mereka bagaimana melihat kesalahan atau kekurangan teori tersebut. Namun dengan melalui waktu selama beberapa tahun, sehingga mereka mendapatkan kebangkitan minat tersebut.

Suatu pertanyaan utama di sini yang perlu diperhatikan adalah, apa yang dimaknakan oleh frase "merekonstruksi sejarah kebudayaan" dan bagaimana


(35)

musik itu dapat dipergunakan dalam suatu kegiatan, untuk penggunaan beberapa peralatan penelitian khusus, yang pada akhirnya melibatkan tiga kemungkinan yang terpisah. Pada tingkat pertama, adalah bagian dari sejarah kebudayaan dari beberapa kelompok masyarakat, yang terdiri dari satu deskripsi tentang pandangan hidupnya; yang pada beberapa bagian dalam waktu inventaris kebudayaan masyarakatnya, terdiri daripada bagian-bagian penting, yang bercerita kepada kita tentang masyarakat tersebut serta pandangan hidupnya. Kedua, deskripsi-deskripsi seperti ini, luas atau sempit dalam istilah-istilah sejumlah bagian yang dideskripsikannya, dapat menjangkau sebagian daripada keseluruhan penggunaan laporan sejarah atau ekskavasi arkeologi (yang rentangan waktunya biasanya dipandang lebih panjang). Dari pendekatan seperti itu, kita belajar pemikiran tertentu tentang pandangan hidup, terutama pembicaraan dalam kasus musik.

Akhirnya, suara musik sebagai kesatuan wujud, dalam kenyataannya memberikan nilai yang potensial dalam merekonstruksi kontak kebudayaan. Karakteristik-karakteristik ini, yang mencapai puncaknya dalam reabilitasnya, mereduksi suara ke dalam istilah-istilah statistik, pada masa yang akan datang dapat memberikan para etnomusikologi suatu peralatan yang tajam khususnya untuk analisis (Merriam 1964:277-278).

Ringkasnya, studi musik menyumbangkan sejumlah cara untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan. Dalam cara-cara tertentu, studi ini memberikan bukti yang nyata sejarah musik itu sendiri menyumbangkan


(36)

pengetahuan kepada sejarah umum. Sama halnya dengan suara musik ataupun alat-alat musik, dapat dikaji melalui teknik-teknik dokumenter historikal dan penelitian arkeologis. Studi terhadap musik ini merefleksikan teori antropologi dan sejarah, yang pada umumnya mempergunakan teori-teori evolusi dan difusi, dalam kompleks kebudayaan. Teori ini dapat dipergunakan dalam mengkaji proses difusi dan distribusi. Sumbangan potensial yang terbesar ini, dapat menjadi kenyataan, melalui kajian suara musik ataupun alat-alat musik, sebagai subjek analisis melalui penggunaan statistik (Merriam 1964:302).

Selanjutnya untuk metode analisis musik, peneliti menggunakan cara pendekatan yang ditawarkan Nettl. Dia membagi ke dalam tiga bagian besar materi suara musik yang akan dianalisis, yaitu: nada, ritme, dan hubungan nada dengan ritme. Selanjutnya dia merincikan lebih dalam, dalam menganalisis nada perlu diperhatikan tangga nada, interval, kontur melodi, formula, dan warna suara. dalam menganalisis ritme perlu diperhatikan durasi not, meter, sekuens, tendensi dan tempo. Sedangkan hubungan antara nada dan ritme berkaitan dengan interelasi tiap-tiap bagian, materi tematik, polifoni, dan tekstur (Nettl 1964:135-136).

Di dalam antropologi, teori fungsi didasarkan kepada teori belajar (learning theory). Proses belajar adalah ulangan-ulangan daripada reaksi-reaksi organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya sedemikian rupa, sehingga salah satu kebutuhan nalurinya dapat dipuaskan. Teori ini sering juga disebut teori S-D-R (stimulus-drive-reaction). Teori ini pada prinsipnya menyatakan


(37)

bahwa segala aktivitas kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dan keperluan naluri manusia yang berhubungan dengan kehidupannya, misalnya: kesenian timbul karena pada mulanya manusia hendak memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan; ilmu pengetahuan timbul kerana kebutuhan naluri manusia untuk selalu ingin tahu (Radcliffe-Brown 1952:181-184).

Selain sejarah kesenian juga mempunyai struktur tertentu sebagai ekspresi budaya masyarakat pendukungnya. Dalam lagu Melayu sebagai cetusan rasa, tidak keseluruhan struktur musik, dan teksnya, didasari oleh perkiraan matematika yang rasional, tetapi juga oleh unsur intuisi para pelakunya.2

Keberadaan seni musik yang dihasilkan oleh suatu masyarakat, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: proses pembelajaran tradisi, migrasi, ekologi, fungsi dan penggunaannya, tatanan masyarakatnya, hubungan tari dan musik dengan unsur budaya lain, masa genre tari dan musik itu hidup, tingkat penghargaan masyarakat terhadap genre seni, pemusik pendukung, hubungan penari dan pemusik dengan seniman lain seperti: pemain teater, komposer, koreografer dan lainnya. Musik dalam suatu kebudayaan masyarakat tidak dapat terlepas dari sejarah budayanya. Ia dapat berubah, yang merupakan proses kelanjutan dan dapat pula dipengaruhi oleh budaya lain. Musik ini dapat berfungsi

2

Estetika dan seni (musik serta tari) mempunyai hubungan. Beberapa filosof mengemukakan pandangannya. Konfucius (551-487 Seb. M.) mengemukakan bahwa musik penting untuk mendukung moral yang universal. Musik dapat menunjukkan wibawa penguasa dan sebagai sebuah perjalanan yang menyenangkan. Plato (428-348 Seb. M.) memandang musik sebagai salah satu bagian dari etika (bersopan)--ada hubungan antara karakter manusia dan musik yang diekspresikannya. Gottfried von Leibniz (1446-1716) sebagai seorang filosof dan ahli matematika Jerman, mengemukakan bahwa musik dan tari merefleksikan sebuah ritme universal, mencerminkan dasar-dasar matematika, disertai pengalaman dan kesadaran akan hubungan numerik. Rene Descartes (1596-1690) memandang bahawa dasar-dasar musik merupakan kegiatan matematis. Lebih lanjut lihat Mortimer J. Adler et al. volume 12, (1990:663-664).


(38)

dalam berbagai kegiatan manusia, seperti: bekerja, menghibur diri, mengungkapkan emosi, pengabsahan upacara religi, dan lainnya. Musik yang dihasilkan oleh masyarakat ini mempunyai struktur tertentu dengan hukum-hukum umumnya sendiri yang merupakan proses induktif, yang dijadikan sebagai asas untuk mencipta. Walau demikian, mereka juga memberikan kebebasan kepada individu-individu yang bergulat di bidang musik ini untuk mencipta dan menghasilkan tari dan musik, namun mereka tentu saja tak dapat terlepas dari latar belakang budayanya, agar karyanya menjadi bagian yang integral dari kebudayaan masyarakatnya.

Untuk dapat memahami struktur musik dalam suatu kebudayaan masyarakat, sudah seharusnya kita mengetahui hukum-hukum umum yang menyebabkan masyarakat itu menghasilkan musik sedemikian rupa. Hukum-hukum ini terdapat di balik pikiran para pembuat tari (koreografer) dan musik (komposer), pelaku musik (seniman), dan juga penikmat dalam masyarakatnya, yang mengalami proses-proses transformasi sedemikian rupa. Struktur musik ini menjadi satu bagian yang integral dengan struktur-struktur sosial budaya lainnya. Struktur musik ini bukanlah suatu struktur yang statis, ia dapat saja berubah sesuai dengan perubahan konsep, kegiatan, dan wujud kebudayaan masyarakatnya. Namun demikian, ada beberapa jenis musik yang oleh masyarakatnya dipertahankan struktur dan fungsinya sebagaimana awal kali musik itu tercipta. Ada juga musik yang harus disajikan secara akurat strukturnya, tidak diperkenankan untuk melakukan improvisasi, misalnya tradisi radif di Parsi,


(39)

musik istana gagaku di Jepang, dan pola ritme gordang sambilan pada kebudayaan etnik Mandailing-Angkola di Sumatera Utara.

Di dalam sejarah perkembangan antropologi dan etnomusikologi, para ahli filsafat sosial (yaitu para ahli filsafat yang berpikir mengenai bentuk masyarakat yang sempurna serta tingkah laku dan perilaku manusia yang dapat menuju ke arah tercapainya cita-cita perubahan masyarakat), dalam zaman Aufklärung di Eropa pada abad kedelapan belas, sangat dipengaruhi kemajuan di dalam ilmu alam. Mereka terutama mengagumi metodologi ilmu pasti yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu tersebut, yang selalu menuju ke arah pembentukan generalisasi-generalisasi yang mantap dan akhirnya ke arah perumusan kaedah-kaedah alam yang dapat dipakai oleh manusia untuk kemudian menguasai alam. Dengan demikian, secara sosial budaya gejala-gejala tingkah laku dan perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, mereka carilah unsur persamaan yang dipakai sebagai azas-azas generalisasi dalam analisis induktif, yang selanjutnya dapat dirumuskan sebagai kaedah-kaedah sosial (Koentjaraningrat 1980:14-15).

Dalam etnomusikologi, konsep ini juga dipakai untuk mencari unsur persamaan sebagai azas-azas generalisasi dalam analisis induktif terhadap struktur musik (dan kadang juga dikaitkan dengan struktur sosial masyarakatnya). Umumnya pendekatan untuk mencapai generalisasi struktur musik semacam ini, adalah melalui disipilin musikologi, namun dengan pengolahan sedemikian rupa dalam etnomusikologi.


(40)

Dalam sejarah perkembangan etnomusikologi sendiri, terjadi gabungan dua disiplin yaitu musikologis dan etnologis. Musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri sedangkan etnologi memandang musik sebagai bagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).

Dari kutipan kalimat-kalimat di atas, menurut Merriam para pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah,


(41)

yaitu musikologi dan etnologis. Kemudian menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandungi kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai daripada literatur-literatur yang dihasilkannya seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara musik sebagai suatu bahagian daripada permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan


(42)

hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Sedangkan para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin dasar yaitu etnologi dan musikologi, walau terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.

Lagu yang dihasilkan oleh suatu kebudayaan pada prinsipnya mempunyai struktur-struktur tertentu dan menjadi bagian yang integral dari struktur musiknya, yang menjadi dasar bagi para seniman musiknya untuk menciptakannya. Seperti yang dikemukakan oleh Lomax sebagai berikut.

A song style, like other human things, is a pattern of learned behavior, common to the people of a culture. Singing is specialized act of communication, akin to speech, but far more formally organized and redundant. Because of its heightened redundancy, singing attracts and holds the attention of group; indeed, as in most primitive societies, it invites group perticipation. Wheter chorally performed or not, however, the chief function of song is to express the shared feelings and hold the joint activities of some human community. It is to be expected, therefore, that the content of the sung communication should be social rather than individual, normative rather than perticular (Lomax 1968:3).

Lomax menyatakan bahwa suatu gaya nyanyian, sama dengan tingkah laku manusia itu, yang menjadi sifat umum masyarakatnya dalam suatu kebudayaan. Nyanyian adalah aksi khusus daripada komunikasi, yang berhubungan dengan ujaran bahasa, tetapi lebih jauh daripada itu nyanyian ini diorganisasikan dan diwujudkan lebih formal daripada bahasa. Nyanyian menarik dan memegang


(43)

perhatian sekelompok manusia, kerana penekanannya pada perwujudan (yang dilebih-lebihkan). Sungguhpun demikian, sebagaimana nyanyian di sebagian besar masyarakat primitif, nyanyian mengundang perhatian kelompoknya. Apakah disajikan dalam paduan suara atau tidak. Dengan demikian, fungsi utama nyanyian adalah untuk mengekspresikan rasa, dan sekaligus sebagai suatu aktivitas berbagai jenis komunikasi manusia. Nyanyian sangat diinginkan oleh masyarakatnya. Selanjutnya isi nyanyian tersebut lebih bersifat komunikasi sosial dibandingkan komunikasi individual lebih bersifat normatif dibandingkan menjelaskan fakta. Selain itu, teks juga turut berperan dalam membentuk struktur umum yang menjadi acuan bagi penciptaan lagu Melayu. Pada budaya Melayu ini, teks memberikan akomodasi pada garapan struktur musiknya. Dengan demikian teks juga patut untuk dianalisis sebagai bagian dari struktur musiknya. Pernyataan ini didukung pula oleh pendapat Lomax tentang teks pada nyanyian rakyat seperti berikut.

SCHOLAR [sic.] and enthusiasts in the field of folk song have long believed that the orally transmitted poetry of a people, passed on by them as part of their noncritically accepted cultural heritage, might yield crucial information about their principal concerns and unique world-view. However, in spite of extensive study and collection of folk song texts, little has been done in a systematic way to test this idea. One of the very few such attempts is Sebeok's analysis of Cheremis lore (Sebeok, 1956, 1959, 1964). The present study develops the hypothesis: that folk song texts, if analyzed in a systematic fashion, give clear expression to the level of cultural complexity, and a set of norms which differentiate and sharply characterize cultures (Lomax 1968:5).


(44)

Menurut Lomax, sarjana dan orang-orang yang menaruh minat yang luar biasa di dalam lapangan nyanyian rakyat, telah lama percaya bahwa transmisi puisi secara oral pada suatu masyarakat, mereka lalui sebagai bagian daripada penerimaan budaya warisan tanpa kritikan, yang dapat menghasilkan informasi yang penting tentang prinsip yang menjadi perhatian dan dunia-pandangan mereka yang unik. Walau dilakukan studi dan koleksi teks-teks nyanyian rakyat secara luas, hanya sedikit saja yang dilakukan secara sistematik untuk menguji ide ini. Satu daripada berbagai usaha ini adalah analisis terhadap cerita masyarakat Cheremis yang dilakukan Sebeok (1956, 1959, 1964). Studi masa kini mengembangkan hipotesis: bahawa teks nyanyian rakyat, jika dianalisis dengan cara yang sistematis, memberikan ekspresi yang jelas tentang tingkat kompleksitas kebudayaannya, dan memberikan seperangkat norma yang membedakan dan memperjelas karakteristrik berbagai kebudayaan.

Dalam konteks skripsi ini, pentingnya analisis terhadap gaya permainan musik Yusuf Wibisono, adalah untuk mengetahui secara jelas tentang ekspresi tingkat kompleksitas musik Melayu. Selain itu adalah untuk memperjelas karakteristik budaya musik Melayu.

1.5.4.3 Lokasi Penelitian

Dalam menentukan lokasi penelitian, penulis memilih wilayah Medan dan Yusuf Wibisono sebagai lokasi atau daerah penelitian. Hal ini didasari oleh alasan bahwa sehari-hariYusuf wibisono sejak tahun 1973 bertempat tinggal di kawasan


(45)

ini. Yusuf Wibisono beralamat di Jalan Denai, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan, Sumatera Utara. Beliau dikenal sebagai pembuat gendang Melayu, pemusik Melayu dan memiliki grup entertainment yang bernama Al-Khanoen.

Lokasi penelitian ini tempat tinggal Yusuf Wibisono bersama isteri dan anak lelakinya. Sementara anak perempuannya tinggal di Jakarta sebagai seniman pemusik akordeon Melayu, yaitu Yusniati. Rumah Yusuf Wibisono terletak di sebelah barat Jalan Denai. Rumah beliau selain sebagai tempat tinggal, juga difungsikan sebagai tempat pembuatan gendang dan alat-alat musik Melayu lainnya. Isteri beliau juga membuka kedai berjualan soto, nasi dan berbagai aneka minuman, yang memiliki pembeli langganan di sekitar rumahnya. Rumah beliau ini terdiri dari dua pintu dengan ukuran masing-masing empat kali delapan meter bujur sangkar. Kawasan ini terdiri dari rumah-rumah penduduk yang padat. Di sebelah utara terdapat sebuah sungai dan jembatan. Jalan Denai ini akan tembus ke arah Terminal Amplas Kota Medan, sebagai pusat terminal bus angkutan kota Medan, bus antar kota dalam provinsi, dan bus antar kota antar provinsi.

Di kawasan sekitar rumah Yusuf Wibisono ini, umumnya tinggal berbagai etnik pribumi Indonesia, seperti Melayu, Jawa, Mandailing, Angkola, Batak Toba, Simalungun, dan Minangkabau. Mereka hidup dalam komunitas etniknya dan juga hidup dengan suku-suku lain dalam konteks kota Medan yang heterogen. Yusuf Wibisono juga bergaul dengan semua kalangan sosial dan sukubangsa yang ada di kawasan Medan Denai ini.


(46)

1.6 Pengalaman Penelitian

Penulis dalam rangka penelitian ini tentu saja memiliki pengalaman penelitian. Pemilihan Yusuf Wibisono sebagai informan kunci ini, tak terlepas dari masukan para teman dan dosen di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, terutama Pak Fadlin dan Pak Takari. Penulis tertarik menulis peranan Yusuf Wibisono dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara karena beberapa hal. Di antaranya belum banyak para alumni etnomusikologi yang mengkaji hal sejenis. Selain itu, Yusuf Wibisono adalah berketurunan suku Jawa, kenapa ia begitu giat aktif dalam kesenian Melayu, kenapa tidak dalam kesenian Jawa. Di sisi lain, baik orang Melayu atau orang bukan Melayu memandang peranan sosial dan budaya Yusuf Wibisono dalam budaya musik Melayu begitu penting dan signifikan. Kemudian, kedua anaknya juga mengikuti jejak beliau, yaitu aktif berkecimpung dalam musik Melayu di Sumatera Utara. Ia pun menurunkan bakat kesenimanannya kepada kedua anaknya. Di sisi lain, Yusuf Wibisono juga tetap menganggap dirinya sebagai orang Jawa Deli (Jadel) dan sekaligus juga bagian dari budaya Melayu. Ia pun seperti yang dikemukakan kepada penulis akan tetap melestarikan kesenian Melayu sepanjang hidupnya.

Awalnya dua tahun lalu yaitu tahun 2006, tepatnya bulan Februari , penulis mencoba menjumpai Yusuf Wibisono di rumahnya Jalan Denai Medan. Penulis sebelumnya melakukan observasi dan perjanjian untuk bertemu dengan beliau. Ia pun bersedia dijumpai dan dikaji perannya dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara. Penjelasan-penjelasannya yang mudah dicerna dan sifatnya yang terbuka


(47)

untuk memberi keterangan apa pun yang diminta, memberikan pengalaman kepada penulis bahwa Yusuf Wibisono adalah orang yang terbuka terhadap apa pun yang diinginkan dalam rangka penelitian ini. Ia juga mengharapkan bahwa skripsi ini nantinya dijadikan sebagai buku, untuk dapat didokumentasikan, demi kepentingan perkembangan kesenian di kawasan ini.

Penulis melihat langsung bagaimana ia membuat gendang ronggeng dan berbagai gendang melayu lain seperti bedug dan marwas di rumah kediamannya ini. Begitu juga dengan bagaimana ia memperbaiki alat-alat musik yang rusak seperti biola dan akordeon. Penulis juga memperhatikan peralatan yang digunakan, bahan yang digunakan, proses pembuatan dan perbaikan, dan hal-hal sejenis.

Selain itu, penulis juga melihat secara langsung bagaimana pertunjukan secara langsung yang dilakukan Yusuf wibisono dan kawan-kawannya. Pertama, selama empat kali penulis menyaksikan beliau dan kawan-kawannya yang tampil di Hotel Danau Toba Internasional Medan. Kemudian penulis juga menyaksikan pertunjukan di berbagai upacara memeriahkan pesta kawin di berbagai tempat di kota Medan, Binjai, dan Tanjungmorawa. Ini penulis lakukan untuk dapat merasakan dan melihat langsung apa yang dilakukan Yusuf Wibisono, dalam mendukung studi bagaimana perannya dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara.

Tahun 2008 ini, penulis harus menyelesaikan studi ini. Oleh karenanya dengan bimbingan para pembimbing, yaitu Ibu Frida Deliana Harahap dan Bapak Muhammad Takari tulisan ini diselesaikan, walau tentu saja agak terburu-buru,


(48)

namun penulis mencoba segala kemampuan akademis yang diperoleh selama ini. Akhirnya di bulan Juni 2008 tulisan ini pun penulis rampungkan. Namun tentu saja terdapat kekurangan-kekurangan di sana-sini. Oleh karenanya penulis selalu memohon kepada para pembaca untuk menyempurnakan tulisan ini. Demikian sekilas pengalaman yang penulis peroleh dalam rangka studi ini.

1.7 Pembagian Bab

Tulisan ini dibagi ke dalam delapan bab. Setiap bab merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam mengelola satu pokok pikiran besar. Adapun masing-masing bab berisi unsur-unsur sebagai berikut.

(a) Bab I, merupakan pendahuluan, yang kemudian terdiri dari sub-sub bab: latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, konsep dan teori yang dipergunakan, metode penelitian (studi kepustakaan, metode transkripsi, dan metode analisis), lokasi penelitian, pengalaman penelitian, dan pembagian bab.

(b) Bab II berisi bahasan tentang etnografi etnik Melayu dalam konteks Sumatera Utara yang heterogen.

(c) Bab III berisikan kajian tentang biografi Yusuf Wibisono.

(d) Bab IV berisi kajian yang difokuskan pada perannya sebagai pengrajin, pembuat dan orang yang dapat memperbaiki kerusakan alat-alat musik Melayu.

(e) Bab V berisikan kajian tentang perannya sebagai seniman musik Melayu.


(49)

(f) Bab VI berisi kajian tentang perannya sebagai pengelola seniman Melayu dalam rangka memenuhi permintaan pertunjukan kesenian Melayu di Sumatera Utara.

(g) Bab VII berisikan tentang kajian terhadap struktur permainan gendang ronggeng, biola, dan akordeon gaya Melayu oleh Yusuf Wibisono.

(h) Bab VIII berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini.

Tulisan ini juga dilengkapi dengan bibliografi, daftar notasi, daftar informan, tabel, dan lainnya.


(50)

BAB II

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MELAYU DALAM KONTEKS KEBUDAYAAN YANG HETEROGEN

DI SUMATERA UTARA

Pada Bab II ini, penulis akan mendeskripsikan latar belakang sosial budaya Melayu dalam konteks kebudayaan yang heterogen atau plural di Sumatera Utara. Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk melihat kedudukan Yusuf Wibisono dalam konteks sosial budaya Sumatera Utara. Ia adalah keturunan suku Jawa, yang banyak terlibat baik langsung atau tidak langsung dalam seni pertunjukan (musik dan tari) Melayu di Sumatera Utara. Di lain sisi, identitas etnik dalam kebudayaan Melayu termasuk ke dalam sebuah kebudayaan yang terbuka, yaitu orang Melayu menerima etnik lain untuk menjadi bahagian dari masyarakat Melayu. Untuk itu terlebih dahulu dikaji keberadaan Sumatera Utara dan ibukotanya Medan, baik secara kewilayahan maupun kebudayaan.

2.1 Gambaran Umum Sumatera Utara dan Ibukotanya Medan

Secara geografis Sumatera Utara berada pada 1º sampai 4° Lintang Utara dan 98° sampai 100° Bujur Timur, yang berbatasan langsung di sebelah utara dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan Provinsi Riau, sebelah timur dengan Selat Melaka dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia.


(51)

Sumatera Utara kaya sumber daya alam dan keadaan alam seperti hasil laut dari daerah pantai, perkebunan dan pertanian di dataran tinggi, hutan, danau, sungai hingga daerah kepulauan.

Berdasarkan letak geografi, kebudayaan Melayu itu meliputi berbagai-bagai negara yang terbentang di kawasan Asia Tenggara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand (khususnya daerah Patani), dan Brunai Darussalam. Di Indonesia sendiri, etnik Melayu mendiami daerah budaya: Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Pesisir Kalimantan. Etnik Melayu pesisir Timur Sumatera Utara, berdasarkan ciri khusus kebudayaannya, dapat dikelompokkan lagi ke dalam daerah: Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, dan Labuhan Batu.3

Pada masa Kesultanan Melayu di kawasan ini, wilayah mereka lebih lazim disebut dengan Sumatera Timur, dan kemudian setelah masa kemerdekaan disebut Sumatera Utara (yang termasuk di dalamnya wilayah kebudayaan masyarakat Batak dan Nias). Masyarakat yang mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara terdiri dari delapan etnik setempat: (1) Melayu, (2) Batak Toba, (3) Mandailing-Angkola, (4) Simalungun, (5) Karo, (6) Pakpak-Dairi, (7) Pesisir Barat, dan (8) Nias. Selain itu ditambah pula oleh etnik pendatang seperti: Jawa, Sunda, Minangkabau, Aceh, Banjar, Tamil, Benggali, Tionghoa, dan Eropa (Usman Pelly 1994).

3

Tentang wilayah budaya Melayu ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan: (1) Tengku Luckman Sinar (1994); (2) Ismail Hussein (1984); (3) Mohd Anis Md Nor (1990:66-67); (4) J. C. van Eerde (1920:17-20) dan (5) C. Lekkerkerker (1916:119).


(52)

Selain kaya akan keadaan alam dan sumber daya alam, Sumatera Utara juga memiliki struktur tanah yang sangat subur. Hal ini menyebabkan Sumatera Utara menjadi daerah yang sangat strategis bagi lahan perkebunan dan pertanian. Oleh karenanya juga, maka Sumatera Utara menjadi tujuan utama para migran baik dari Nusantara maupun dunia. Sehingga pada masa sekarang ini Sumatera Utara adalah provinsi yang terpadat penduduknya di pulau Sumatera.

Perkebunan dan pertanian sendiri telah lama menjadi komoditas utama yang diperdagangkan dari daerah ini, bahkan jauh sebelum kolonial Belanda menginjakkan kakinya di daerah ini. Hingga saat sekarang ini perkebunan dan pertanian tetap menjadi komoditas utama dari Sumatera Utara selain komoditas-komoditas lainnya yang juga mendukung perekonomian daerah ini.

Keadaan alam yang sangat beragam di Sumatera Utara juga mempengaruhi kehidupan sosial budaya penduduk daerah ini, ini dikarenakan masyarakat Sumatera Utara terdiri dari sekumpulan masyarakat heterogen yang datang dari beragam suku, etnik bahkan bangsa, yang telah memperkaya budaya daerah ini. Sumatera Utara memiliki penduduk dengan beragam suku seperti Melayu, Batak, Karo dan Jawa. Etnik pendatang Dunia juga banyak ditemui di daerah ini, terutama etnik China (Tionghoa) dan India.

Keragaman sosial budaya yang dimiliki daerah ini tentunya berhubungan erat dengan keragaman alam yang dimilikinya. Kita dapat melihat dari sisi historisnya bagaimana daerah ini telah menjadi sebuah tempat yang sangat dinamis


(53)

melalui sumber daya alam dan juga letak daerahnya yang sangat strategis bagi pelayaran perdagangan dunia di masa lalu hingga saat ini. Bagaimanapun Selat Malaka sebagai salah satu jalur pelayaran dunia mendistribusikan hasil-hasil dari daerah ini ke seluruh dunia tentunya memiliki peran yang sangat penting juga dalam membentuk masyarakat Sumatera Utara yang heterogen.

Sumatera Utara adalah daerah dengan cakupan sosial budaya yang sangat beragam sekali, dengan kekayaan alamnya Sumatera Utara telah membentuk masyarakatnya menjadi masyarakat heterogen yang kaya akan budaya. Salah satu daerah yang dapat dikatakan menjadi pintu gerbang dari seluruh keanekaragaman yang ada di Sumatera Utara adalah kota Medan. Sejak masuknya era kolonial Belanda, Medan adalah salah satu tempat yang paling penting atau dapat dikatakan strategis bagi perekonomian khususnya perdagangan kolonial bangsa Belanda dan Eropa. Sejak berlakunya Traktat London, 1824, yang mengharuskan Inggris untuk menukar pulau jajahannya Andalas (Sumatera) dengan Semenanjung Malaysia kepada Belanda, maka sejak saat itulah Medan menjadi pusat kegiatan perekonomian dan sekaligus pemerintahan Belanda di Sumatera.

Secara geografis, Kota Medan terletak pada 3°30' sampai 3°43' Lintang Utara dan 98°35' sampai 98°44' Bujur Timur. Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan daerah kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah barat, selatan dan timur. Sepanjang wilayah utaranya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang terpadat di dunia. Sebagai daerah yang mengelilingi hampir seluruh Kota Medan, Kabupaten


(54)

Deli Serdang adalah salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan hasil hutan. Karenanya secara geografis Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain.

Dengan kondisi yang sangat strategis ini membuat Kota Medan menjadi daerah yang sangat penting secara ekonomis, Medan adalah pintu gerbang bagi sumber daya alam dari Sumatera Utara yang ingin di ekspor ke luar dari daerah ini. Ini dikarenakan kota Medan adalah gerbang langsung menuju Selat Malaka, sebuah daerah dengan lalu lintas laut yang sangat padat dari segi perekonomian. Dengan alasan sebagai pusat pemerintahan dan juga pusat perekonomian dari Sumatera Utara, Medan yang dahulunya dikenal dengan Deli akhirnya menjadi tempat tinggal ataupun bermukim bagi suku, etnik dan bangsa-bangsa yang melakukan kontak perdagangan baik itu di Sumatera Utara maupun di daerah Medan sendiri.

Secara historis, Medan yang lahir pada tanggal 1 Juli 1590 telah memiliki sejarah yang cukup panjang dan juga kompleks. Benih awal berdirinya kota Medan dapat dikatakan ketika Guru Patimpus mendirikan sebuah kampung bernama kampung Medan Puteri di pertemuan antara sungai Babura dan sungai Deli. Guru Patimpus dikenal sebagai seorang putra Karo yang bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang putri Datuk Pulo Brayan. Dalam bahasa Karo, terminologi nama beliau dapat diartikan yakni "Guru" berarti "Tabib" ataupun "Orang Pintar", kemudian kata "Pa" merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau


(55)

keadaan seseorang, sedangkan kata "Timpus" berarti bundelan, bungkus, atau balut. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang Tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat diperhatikan pada monumen Guru Patimpus yang berada di seputaran daerah jalan Raden Saleh di kota Medan.

Deli atau kota Medan saat ini memiliki bukti-bukti historis betapa banyaknya masyarakat yang datang dari berbagai latar suku, etnik dan bangsa yang tinggal menetap dan membaur di daerah ini dan sebagian besar masih dapat dilihat hingga saat ini. Sebut saja daerah Kampung Keling yang pada dahulunya lebih dikenal dengan nama Kampung Madras, dimana dari terminologi bahasanya dapat dipastikan bahwa mayoritas penduduk daerah ini adalah orang Keling yang berasal dari India. Walaupun saat ini mayoritas penduduknya tidak lagi orang-orang Keling saja ataupun orang-orang yang berasal dari daerah India tetap dapat membuktikan bahwa ada bekas dan jejak pemukiman dari bangsa dan etnik lain di daerah kota Medan. Dan tidak hanya sebatas itu masih banyak lagi daerah di kota Medan yang menjadi daerah-daerah pemukiman dari suku, bangsa dan etnik di luar dari daerah ini, seperti daerah Kesawan (jalan Ahmad Yani) dan tempat pemukiman orang Arab tempo dulu di Jalan Mesjid.

Awalnya mayoritas penduduk kota medan adalah suku Melayu, ini disebabkan karena daerah ini adalah pusat dari kerajaan Melayu Deli. Suku-suku yang menjadi pendukung daerah ini setelah suku Melayu adalah suku Batak dan


(1)

memiliki jaringan dengan para seniman, dan menjaga hubungan baik, agar sama-sama dapat menambah pendapatan dari bidang seni musik dan tari Melayu ini. Dengan melihat fungsinya yang ketiga ini, pantas pula dikatakan bahwa Yusuf Wibisono memiliki peran strategis sebagai pemimpin di bidang kesenian Melayu, karena tak semua seniman mampu memimpin dan mengelola kelompok dengan baik. Selama ini Yusuf Wibisono, dipercayai oleh rekan-rekan senimannya untuk mengelola pertunjukkan kesenian Melayu. Dari penelitian di lapangan, tidak dijumpai penolakan para seniman jika diajak Yusuf Wibisono melakukan pertunjukkan. Dengan rela hati dan bersungguh-sungguh para seniman ini mengabulkan niat Yusuf Wibisono untuk memenuhi permintaan pertunjukkan. Demikian kira-kira kesimpulan yang dapat penulis uraikan dari tiga peranan Yusuf Wibisono dalam budaya musik Melayu Sumatera Utara.

8.2 Saran

Dari tiga hal peranan Yusuf Wibisono, maka sudah sepantasnya, masyarakat Melayu secara khusus dan masyarakat Sumatera Utara secara umum, memberikan penghormatan atau penghargaan kepada Yusuf Wibisono dan seniman-seniman Melayu lainnya seperti Ahmad Setia, Konong, Khairuddin, Yose Rizal Firdaus, Cicik, Sirtoyono (Almarhum), dan lain-lainnya, atas peranan mereka dalam melestarikan dan meneruskan eksistensi kebudayaan Melayu di Sumatera Utara. Berkat usaha-usaha mereka ini seni pertunjukkan Melayu di Sumatera Utara dikenal secara ramai, dalam tingkat daerah, nasional, maupun internasional.


(2)

Selanjutnya saran penulis adalah perlunya dibuka sekolah menengah kesenian dan institusi perguruan tinggi yang khas mengelola sains kesenian, agar kesenian tradisi di Sumatera Utara dapat dikaji secara saintifik, dikembangkan dan kemudian dilakukan aktivitasnya dalam saluran-saluran sosial yang ada. Pemungsian kesenian dalam berbagai bidang baik adat, pariwisata, dan lainnya menjadikan kesenian sebagai bidang yang menjanjikan untuk digeluti secara profesional. Profesi dalam kesenian bukan hanya dipandang sebagai mata pencaharian tambahan atau sambilan saja, seperti yang umum dipersepsikan masyarakat di kawasan ini.

Di Sumatera Utara banyak contoh seniman-seniman bekerja secara penuh masa dan menumpahkan semua aktivitasnya di bidang seni. Mereka menjadi profesional, dan akhirnya dapat menopang kehidupan ekonomi keluarganya, termasuk di antaranya Yusuf Wibisono. Ke depan profesi di bidang seni ini perlu ditingkatkan sumber daya manusianya, melalui lingkungan berkesenian dan mengkaji seni secara saintifik. Kedua bidang itu haruslah saling bekerjasama dalam menumbuhkembangkan kesenian.

Penelitian ini barulah sebatas dalam tahap awal untuk memenuhi tugas akhir di Departemen Etnomusikologi dalam rangka memperoleh gelar sarjana seni. Masih banyak kekurangan-kekurangan secara saintifik tulisan ini. Oleh karena itu mohon kritik sehat dari para pembaca skripsi ini. Penulis berharap agar ke masa depan kajian-kajian tentang tokoh-tokoh kesenian di Sumatera Utara dalam bentuk tulisan ilmiah seperti makalah, skripsi, tesis, dan disertasi perlu ditingkatkan, karena


(3)

selama ini menurut perhatian penulis, para ilmuwan kesenian di Sumatera Utara, lebih cenderung melihat kajian-kajian seperti analisis tekstual, musikal, organologis, dan sejenisnya saja. Belum banyak di antara mereka yang mengeksplorasi hal-hal yang agak kurang diperhatikan, misalnya biografi tokoh musik, peranan sosiobudaya seniman atau tokoh seni, musik perkotaan, musik religi, musik dan politik, dan lain-lain. Dengan melakukan eksplorasi yang sedemikian rupa, maka akan memajukan ilmu-ilmu seni seperti etnomusikologi, etnokoreologi, antropologi teater, dan lainnya.

Saran terakhir dari penulis adalah dalam rangka mengembangkan aktivitas kesenian dan tumbuh suburnya iklim saintifik di kalangan kita, tak lain tak bukan adalah perlunya kerjasama antara semua unsur masyarakat seperti seniman, pengelola seni, komponis, koreografer, penulis skenario, sutradara, pemerintah (departemen pendidikan nasional, departemen pariwisata, seni, dan budaya), dan semuanya. Dengan demikian persatuan dan kesatuan yang dibina ini akan dapat memberdayakan masyarakat Indonesia di semua bidang tanpa harus menggadaikan harga diri dan marwah kebangsaan. Wassalam.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Admansyah, Butir-Butir Sejarah Suku Melayu Pesisir

1993 Sumatera Timur.

Damanik, wilda Siantar FM Dalam Mensosisalisasikan 2005 Kontribusi Radio Lagu-Lagu Simalungun

Di Kota Pematang Siantar,

Skripsi Sarjana Fakultas Sastra

Departemen Pendidikan Antologi Biografi Pengarang Sastra Dan Kebudayaan. Indonesia 1920-1950

1997 Jakarta : Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa

Departemen Pendidikan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Nasional Jakarta : Balai Pustaka

2001

Girsang, Berlianta Ilah pada Kebudayaan Etnis simalungun Di 1994 Desa Dolog Huluan Kecamatan Raya : Suatu Kajian Tekstual Dan Musikologis,

Skripsi Sarjana Fakultas Sastra

Gazalba, Sidi Dakwah Islamiah Malaysia Masa Kini 1983 Penyunting : Zainal Ismail, --Malaysia

Universitas Kebangsaan Malaysia

Husni, T. Lah Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk

1975 Pesisir Sumatera Timur 1612-1650


(5)

1986 Butir-Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kayam, Umar Seni, Tradisi, Masyarakat,

1981 Jakarta : penerbit Sinar Harapan

Koentjaraningrat Metode Penelitian Masyarakat, 1981 Jakarta : Gramedia

1983 Metode-Metode Penelitian Masyarakat Jakarta : Gramedia

2000 Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta

Lukman sinar Basyarsyah II Kebudayaan Melayu Sumatera Timur,

2001 Medan : USU Press

Malm, William P Music Culture Of Pacific Music The Near 1977 East and Asia, New Jersey : Prentice Hall, Inc.

England Wood Cliffs Terjemahan Rizaldi Siagian

Merriem, Alan P The Antropology Of Music,

1964 Chicago, North Western University Press

Nettle, Bruno Theory and Method In Ethnomusicology 1963 New York : The Free Press

Ridwan, T. Amin Budaya Melayu Menghadapi Globalisasi,


(6)

Sinuraya, Leni Rahmawati Analisis Struktur Teks Lagu-Lagu Ronggeng

1994 Melayu Di Kota Medan,

Skripsi sarjana Fakultas Sastra

Takari, Muhammad “ studi Banding Antara Nada Pentatonik 2005 dan Diatonik”, dalam Jurnal Etnomusikologi,

Medan, USU Press

Yos Rizal Nilai-Nilai Religius Dalam Mantra Jamuan 1997 Laut Masyarakat Melayu Pantai Labu,

Laporan Penelitian Medan : USU