6.3 Cara Pengelolaan
Cara pengelolaan yang dilakukan Yusuf Wibisono dilakukan melalui dua teknik. Pertama adalah mengumpulkan dan mengelola seniman-seniman “cabutan”,
yaitu seniman dari manapun yang dianggapnya mampu melaksanakan tugas.yang diberikan kepadanya apakah sebagai pemain musik: akordeon, biola, gendang,
keyboard, atau juga sebagai penari. Biasanya cara pengelolaan yang mengandalkan pemain cabutan ini, adalah pertunjukan yang dianggap lebih besar dan lebih
profesional, dan bisanya juga diminta oleh yang punya hajat. Pemain cabutan ini biasanya juga adalah pemain yang lebih senior dan dipandang oleh Yusuf Wibisono
dan seniman lain lebih profesional dan lebih berpengalaman. Teknik menggunakan pemain cabutan ini, selalu juga dilakukan oleh
kelompok-kelompok kesenian lainnya yang ada di Sumatera Utara. Biasanya pula sudah menjadi kesepakatan umum di antara seniman-seniman Melayu di Sumatera
Utara, meskipun ia memiliki satu buah grup dan ia menjadi anggotanya, namun ia tidak dilarang untuk bermain dengan grup lain atau pengelola lain, asalkan tidak
bertubrukan waktunya dengan jadwal pertunjukan grupnya. Yusuf Wibisono juga menerapkan peraturan ini kepada grupnya. Ia sendiri pun kadang dipesan oleh
pengelola atau grup lain untuk melakukan pertunjukan, dalam rangka memenuhi permintaan seni pertunjukan yang ada di Sumatera Utara dan sekitarnya.
Cara kedua adalah menggunakan pemain-pemain kelompoknya, yaitu Al- Kanon. Pemain-pemain kelompoknya ini memiliki jadwal latihan yang tetap, dua
Universitas Sumatera Utara
kali seminggu dan jika ada permintaan yang menggunakan repertoar tari dan musik yang harus akan latihan bisa saja ditingkatkan frekuensinya. Khusus untuk
kelompoknya ini, Yusuf Wibisono telah memiliki pengalaman, untuk mengisi hiburan-hiburan di berbagai hotel di Kota Medan. Kemampuannya mengelola
kelompoknya ini dilatarbelakangi oleh pengalaman dalam kesenian Melayu. Kelompoknya dipercayakan mengisi hiburan di Hotel Inna Dharma Deli Medan,
Garuda Plaza Hotel Medan, dan yang terakhir di Hotel Danau Toba Internasioal Medan.
Dalam memenuhi permintaan pihak hotel ini, menurut penjelasan Yusuf Wibisono, mereka melakukan sistem kontrak, biasanya satu sampai dua tahun masa
kerja. Setelah itu, kontrak dapat diperpanjang atau diselesaikan saja pada waktunya, tergantung kepada pihak hotel, apakah memang mereka terus dibutuhkan atau perlu
pengganti kelompok lainnya. Di dalam kontrak perjanjian yang ditandatangani pihak hotel dan Yusuf Wibsono sebagai pihak yang mewakili kelompoknya,
biasanya terdiri dari butir-butir perjanjian, apa yang harus mereka lakukan, berapa jumlah jam pertunjukan per minggu selama satu atau dua tahun, dan perjanjian
bilamana ada pelanggaran kerjasama, dan lain-lainnya. Kontrak ini biasanya dibuat di atas surat kontrak yang disaksikan oleh notaris di bidang hukum.
Adapun proses pengelolaan seni pertunjukan Melayu yang dilakukan oleh Yusuf Wibisono sepenuhnya adalah sistem “tradisional” artinya mengikuti pola-
pola yang ada dalam kebudayaan Melayu, dan tidak mengadopsi sistem manajemen modern Barat, yang sepenuhnya berdasar kepada sistem kontrak kerja yan pasti dan
Universitas Sumatera Utara
sangat profesional. Dalam sistem manajemen Yusuf Wibisono, ia mendasarkan honorarium sepenuhnya setiap kali pertunjukan, terutama dalam sistem pemain-
pemain cabutan. Untuk memenuhi kontrak oleh hotel honorarium sepenuhnya diatur oleh pihak hotel dan pembagian setiap pemain penuh menjadi wewenang
Yusuf Wibisono. Menurut penjelasannya, honorarium tertinggi adalah untuk dirinya sebagai pengelola dan pemain, kemudian disusul pemain akordeon, keyboard, biola,
gendang. Penyanyi dan penari mendapat honor yang juga sama dengan pemain musik.
Dalam kelompoknya sendiri, Yusuf Wibisono hanya menjalankan tata organisasi tradisional, artinya ia ketua dan lainnya adalah anggota. Kelompok ini
tidak dibentuk berdasarkan organisasi modern seperti adanya wakil ketua, sekretaris, bendahara, manejer pertunjukan, dan lainnya. Yusuf Wibisono dan
kelompoknya cukup menggunakan manajemen tradisi seperti tersebut, dan terbukti mampu melestarikan kesenian Melayu dan menjadi satu kelompok yang cukup
lama bertahan, serta mampu memenuhi kebutuhan terhadap kesenian Melayu di kawasan Sumatera Utara.
Kemudian cara pengelolaan lainnya, terhadap sistem regenerasi, Yusuf Wibisono juga melihat bakat-bakat pemusik dan penari Melayu yang berasal dari
generasi muda. Ini dilakukannya dengan cara pengamatan dan melalui informasi antar seniman. Setelah itu ia secara diam-diam melihat generasi muda itu
melakukan pertunjukan. Setelah dipandangnya mampu, maka dalam kesempatan tertentu diberinya kesempatan sebagai pemain cabutan. Jika ia merasa cocok, maka
Universitas Sumatera Utara
dijadikan dan direkrut menjadi anggota kelompoknya Al-Kanon. Dengan cara sedemikian rupa, maka Yusuf Wibisono tak pernah kekurangan akan seniman yang
mampu melaksanakan tugas yang diembannya.
Gambar 6.1
Yusuf Wibisono dengan Para Pemusik dan Penari Melayu Sebelum Mengadakan Pertunjukan di Medan tahun 1983
Universitas Sumatera Utara
BAB VII GAYA PERMAINAN MUSIK
Pada Bab VI ini akan penulis analisis bagaimana gaya permainan musik Yusuf Wibisono, pada tiga alat musik, yaitu: a gendang ronggeng Melayu, b
akordeon, dan c biola dengan memilih beberapa lagu saja. Gaya permainan Yusuf Wibisono ini merupakan bagian yang menyatu dan terintegrasi dengan peranannya
dalam kebudayaan musik Melayu Sumatera Utara.
7.1 Gaya Permainan Gendang Ronggeng Melayu 7.1.1 Empat Jenis Warna Bunyi
Setiap suku bangsa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap bunyi yang dianggap musikal maupun cara menghasilkan bunyi tersebut Merriam, 1964:3.
Bunyi yang dianggap musikal dari kebudayaan, belum tentu dianggap musikal oleh kebudayaan lainnya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya berbagai kesulitan dalam
melakukan penelitian musik, khasnya untuk mengukur bunyi mana yang dianggap benar-benar musikal dan yang dianggap tidak musikal oleh masyarakatnya.
Masalah ini terjadi dalam pengalaman penelitian ketika mengumpulkan data tentang bunyi yang dianggap baik dan benar dalam memainkan gendang Melayu.
Universitas Sumatera Utara