dalam bermain gendang ronggeng Melayu, berbagai unsur kendhang Jawa ia sisipkan di dalamnya, terutama ketika dalam mengiringi lagu-lagu Jawa dalam
ronggeng Melayu. Sebagaimana diketahui masyarakat Sumatera Utara pada umumnya, dalam ronggeng Melayu terdapat berbagai lagu etnik yang ada di
Nusantara, seperti lagu-lagu dari Aceh, Karo, Batak Toba, Mandailing, Minangkabau, Jawa, Kalimantan, dan lainnya. Di sini peran kreativitas seni Yusuf
Wibisono sebagai keturunan suku Jawa, memunculkan pola-pola ritme kendhang Jawa dalam gendang ronggeng Melayu gaya atau strukturnya lihat pada Bab VII.
Berikut akan dianalisis bagaimana perannya sebagai pemain musik akordeon, biola, dan gendang ronggeng Melayu.
5.1 Sebagai Pemain Akordeon
Yusuf Wibisono adalah seorang seniman Melayu yang memiliki berbagai kemampuan baik dalam bermain musik juga dalam hal sebagai pengrajin. Dalam
sub bab ini penulis akan membahas mengenai Yusuf Wibisono yang adalah seorang pemusik Melayu yang bisa memainkan alat musik Melayu yaitu akordeon.
Akordeon adalah instrumen free reed box aerophone yang berasal dari luar tradisi Melayu tepatnya benua Eropa. Instrumen ini dibawa masuk oleh bangsa
Portugis ke Indonesia sekitar abad ke-19 atau pada masa pemerintahan Kesultanan Deli, yaitu Sultan Delikhan Akbar.
Akordeon merupakan alat musik ritmis dan melodis, membutuhkan teknik khusus dalam memainkannya dan juga memiliki tangga nada khusus pula dalam
Universitas Sumatera Utara
permainannya, sehingga memberikan nuansa tersendiri bila kita mendengarnya. Alat musik ini juga memiliki fungsi yang penting dalam suatu komposisi musik
Melayu. Akordeon merupakan alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi.
Pada prinsipnya alat musik ini hampir sama dengan alat musik piano ataupun keyboard karena sama-sama dimainkan dengan cara menekan tutsnya dengan jari.
Namun jika piano sumber bunyinya berasal dari senar yang bergetar atau keyboard sumber bunyinya berasal dari listrik, maka akordeon sumber bunyinya berasal dari
udara yang keluar masuk melalui resonatornya. Akordeon disangkutkan dengan cara mengalungkan dua buah selempang
yang ada di badan akordeon ke bahu, dan disandarkan didada si pemain. Cara memainkannya, tangan kiri berfungsi sebagai pemompa resonator kearah kiri dan
kanan serta menekan tombol-tombol kecil yang memainkan akord, sementara tangan kanan menekan tuts yang tersedia untuk memainkan melodi. Bentuk
akordeon biasanya relatif sama, tetapi terdapat ukuran dan merk yang berbeda-beda. Namun sebaliknya dilakukan oleh pemain kidal seperti pemain akordeon kenamaan
Sumatera Utara, Bapak Ahamad Setia. Sementara Yusuf Wibisono, main dengan tumpuan pada tangan kanan membawakan melodi.
Yusuf Wibisono belajar memainkan akordeon pada saat beliau sedang ikut bergabung bersama pemusik Melayu yang sedang latihan untuk mengisi acara di
Radio Republik Indonesia. Mereka berkumpul di warungnya Wak Ijah. Saat penulis bertanya siapa orang yang pertama mengajarkan beliau memainkan
Universitas Sumatera Utara
akordeon, beliau mengatakan lupa tetapi beliau hanya mengingat dua puluh lima tahun yang lalu beliau pernah belajar memainkan akordeon. Beliau belajar
memainkan akordeon bersamaan dimana beliau juga belajar memainkan gendang dan biola. Saat itu harga satu buah akordeon Rp.25.000. Saat sekarang ini, Yusuf
Wibisono memiliki tiga buah akordeon mulai dari ukuran yang kecil sampai yang besar, dengan merek dua Hoffner dan satu Parrot. Menurutnya akordeon yang besar
biasanya digunakan untuk mengiringi lagu atau melodi yang menggunakan tiga oktaf atau lebih, sedangkan akordeon yang kecil digunakan untuk mengiringi lagu
atau melodi yang menggunakan sampai tiga oktaf saja. Untuk lagu seperti serampang dua belas ia menggunakan akordeon yang
besar. Sebaliknya jika mengiringi lagu seperti Selayang Pandang ia memakai akordeon yang kecil. Ketika akan bermain memenuhi undangan, ia telah bisa
mengagak-agak akordeon kecil atau besar yang akan dibawanya. Namun jika pertunjukan musik dan tari itu spontanitas dan relatif lama, serta melibatkan
penonton ikut menyanyi atau menari, ia cenderung membawa akordeon besar. Peranan Yusuf Wibisono sebagai pemain akordeon ini cukup menonjol
dalam kelompok musiknya Al-Kanon. Ia selalu memimpin membawakan melodi- melodi utama, baik untuk iringan tari-tari Melayu ataupun lagu-lagu Melayu.
Beberapa tarian Melayu dapat diiringinya dengan akordeon permainannya ditambah alat-alat musik dan pemain lainnya. Di antara tarian Melayu yang lazim ia iringi
dengan permainan akordeonnya adalah: serampang dua belas, mak inang juara, mak inang kampung, lenggang patah sembilan, mak inang pulau kampai, zapin
Universitas Sumatera Utara
Palembang, zapin Persebatian, Tanjung Katung, dan lain-lainnya. Adapun selama ini, tarian yang diiringinya adalah tari-tari tradisi Melayu. Namun menurut
pengakuan beliau, ia juga dapat mengiringi tari-tarian garapan baru, namun harus ada latihan.
Menurut pengamatan penulis, ciri utama permainan akordeon Yusuf Wibisono adalah berjalan lepas dalam alur melodinya, dan di ujung frase yang
terpenting sesuai dengan jatuhnya gong. Hal ini mengingatkan pada tradisi keroncong, yang berjalan agak bebas dan tak terlalu terikat pada metrum atau
ketukan dasar. Melodi yang seperti ini memang sesuai untuk lagu-lagu atau instrumentalia lagu Melayu. Namun jika diterapkan pada lagu untuk iringan tari,
agak sedikit menganggu saraf sensorik penari jika mengikut melodi. Sehingga penari terpaksa harus mengikut rentak gendang dan jatuhnya pukulan gong. Dalam
hal ini menurut Yusuf Wibisono, jika dia mengiringi tari, melodi akordeon akan digarap lebih mengikuti ketukan dasar dan tak bebas sendirian.
Karena ia belajar secara otodidak dan tak pernah belajar dalam sekolah musik baik formal maupun bukan formal, dalam memainkan akordeon ia lebih
berorientasi ke dalam bentuk permainan melodi. Ia tidak begitu mendalami progresi akord dalam konteks ilmu harmoni. Bahkan tak jarang untuk mengiringi
melodinya ia cukup memijit hanya dua tuts harmonik saja. Selain itu, karena orientasinya dalam bermain akordeon terfokus ke dalam melodi, ia banyak
mengembangkan melodi-melodi dasar lagu-lagu Melayu menurut rasa dan keinginan estetikanya, yang biasanya menambah dan “membungai” melodi-melodi
Universitas Sumatera Utara
dasar ini. Dengan demikian, ciri khas beliau ini memberikan kekayaan sendiri terhadap estetika seni musik Melayu Sumatera Utara. Berikutnya ia juga adalah
seorang pemain biola gaya musik Melayu.
5.2 Sebagai Pemain Biola