6 a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.500.000.000,00 lima ratus juta rupiah
sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 dua milyar lima ratus juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 lima puluh
milyar rupiah. Sedangkan yang dimaksud Usaha Besar berdasarkan Undang-Undang No. 20
Tahun 2008 adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha
Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.
2.2 Karakteristik UMKM Secara Umum
Karakteristik Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia secara umum dapat digambarkan seperti di bawah ini Sukarman 2007:
a Tradisional b Perorangan
c Sarat penggunaan sumber daya lokal d Menghasilkan produk sederhana
e Teknologi yang digunakan tepat guna f Usaha lebih fleksibel dan padat karya
g Khusus usaha mikro terutama berada pada golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.
2.3 Kendala yang Dihadapi Oleh Sektor UMKM Secara Umum Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia mempunyai kendala umum
sebagai berikut Sukarman 2007: a Kualitas SDM rendah 94,7 SLTP ke bawah
7 b Akses pasar terbatas
c Manajemen sederhana atau tradisional d Sistem pembukuan administrasi keuangan belum baik
e Belum terdaftar secara formal f Tidak memenuhi persyaratan bank teknis
g Kurang akses informasi dan pemanfaatan teknologi h Kurang menjaga kualitas produk
i Permodalan untuk mengembangkan usahanya.
Berdasarkan hasil survei RICS Rural Investment Climate Survey maka hambatan terbesar yang dihadapi oleh perusahaan di pedesaan dan perkotaan seperti terlihat pada
Gambar 1. Permintaan akan barang dan jasa Demand for goods and services, akses terhadap kredit formal Access to formal credit, dan akses jalan Road
access merupakan tiga keluhan utama dari Perusahaan non-pertanian di pedesaan
Non-Farm Enterprise. Selain itu interest rates, access to market, uncertain economic policy,
dan complicated loan procedures masing-masing merupakan peringkat hambatan kelima, keenam, kesembilan dan kesebelas Indopov 2006.
Namun penulis berpendapat bahwa interest rates dan complicated loan procedures ada kaitannya pula dengan kesulitan dengan access to formal credit sehingga
responden belum merasakan kedua faktor tersebut. Posisi utama dari permintaan pada daftar hambatan di atas memberikan
konfirmasi tentang pentingnya hal ini. Tetapi hasil tersebut harus juga ditafsirkan dengan catatan. Kebanyakan perusahaan lebih suka menerima
pesanan yang banyak daripada sedikit. Kurangnya permintaan dapat menunjukkan bahwa perusahaan menghadapi pasar yang terlalu lokal. Jawaban
terhadap hal ini adalah memperluas jangkauan pasar mereka dengan mengurangi biaya baik yang terkait secara fisik maupun mengenai informasi
yang diperlukan untuk menjangkau pasar. Tetapi hal ini dapat juga merupakan suatu indikasi bahwa mutu barang dan jasa yang dihasilkan masih rendah dan
8 oleh sehingga perusahaan ini kehilangan pelanggan yang menyukai perusahaan
modern dimana produk yang dihasilkan lebih bermutu Indopov 2006.
perusahaan
Gambar 1
Diagram Hambatan Paling Besar yang Dihadapi oleh Perusahaan Perkotaan dan Pedesaan. Indopov 2006
Akses terhadap kredit formal merupakan hambatan terbesar kedua yang dihadapi oleh Perusahaan non-pertanian pedesaan Non-Farm Enterprise.
Kuncinya di sini adalah kredit formal itu sendiri yang merupakan hambatan, dibandingkan dengan sumber kredit informal. Walaupun Indonesia cukup merasa
bangga dengan reputasi internasionalnya untuk perbankan pedesaan, masih banyak celah yang perlu diperbaiki, dengan jumlah kelompok minoritas dengan perusahaan
mikro dan kecil masih tetap tidak bisa mendapatkan akses terhadap sistem perbankan resmi.
Ketiga, akses jalan masuk dan biaya transportasi terasa berat bagi Perusahaan non-pertanian di pedesaan Non-Farm Enterprise, NFE. Akses jalan,
biaya transportasi dan mutu jalan semuanya muncul di antara tujuh hambatan yang
9 dihadapi perusahaan non-pertanian di pedesaan NFE. Ini mencerminkan mutu
jalan di tingkat Kabupaten Indopov 2006. Keluhan
utama Perusahaan non-pertanian di pedesaan NFE sangat
berbeda dengan keluhan perusahaan besar yang terletak di wilayah perkotaan . Walaupun sulit melakukan perbandingan secara langsung, penilaian terhadap iklim
investasi perusahaan besar di perkotaan cenderung menggarisbawahi masalah- masalah yang berhubungan dengan instabilitas makroekonomi, ketidakpastian
kebijakan, korupsi, sistem hukum dan isu perpajakan . Sementara beberapa dari ciri
ini juga merupakan keluhan dari Perusahaan non-pertanian di pedesaan NFE, tetapi jelas masalah itu tidak merupakan yang utama Indopov 2006.
Sedangkan menurut Hubeis, kendala pengembangan industri kecil dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah mental dan budaya kerja,
tingkat pendidikan SDM, terbatasnya keterampilan dan keahlian, keterbatasan modal dan informasi pasar, volume produksi yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan
yang sederhana, infrastruktur dan peralatan yang usang, beberapa kebijaksanaan dan tingkah laku dari pelaku bisnis yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan produk yang
dihasilkannya sangat beragam, baik dalam mutu, ukuran, warna maupun bentuk desainnya, yang pada akhimya berdampak terhadap harga jual yang kurang
kompetitif Hubeis, 1997. Selain itu industri kecil belum memiliki bentuk organisasi yang mampu untuk
menghadapi perubahan dengan cepat, karena struktur organisasi internalnya masih sederhana mendekati organisasi lini, yaitu manajer umum pemilik merangkap
jabatan pengawas, dan bagian lain produksi, penjualan dan pemasaran, serta pembelian diserahkan kepada orang tertentu di lingkungan keluarga atau pegawai
yang telah dipercayai. Struktur tersebut pada dasarnya telah mencerminkan adanya lalu lintas wewenang dan tanggung jawab secara vertikal, serta hubungan antar
bagian secara horisontal, tetapi yang menjadi persoalan masil dominannya keterlibatan pemilik dalam segala kegiatan usaha one man show. Untuk
memperbaiki situasi tersebut diperlukan peningkatan. kemampuan personil komunikasi, kerja kelompok, inovasi dan leadership dan kemampuan manajerial
10 kepemimpinan dan penerapan manajemen fungsional, serta gaya kerja, baik secara
mutlak necessary condition maupun tambahan sufficient condition dalam mencapai kompetivitas secara spesifik maupun global Hubeis, 1997.
Industri kecil sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional terlibat mulai dari sektor primer, sekunder dan tersier. Dalam perkembangannya,
sektor sekunder dari industri kecil, yaitu industri kecil pengolahan telah berkembang pesat dari segi jumlahnya, terutama yang memiliki omzet Rp. 50 juta bila
dibandingkan dengan yang lainnya. Terpusatnya industri kecil pada lapisan omzet Rp. 50 juta, sebagaimana usaha kecil pada umumnya lebih disebabkan oleh
keterbatasan faktor-faktor seperti modal, pemasaran, persaingan, bahan baku, teknik produksi dan manajerial. Di sisi lain, ternyata industri kecil yang bergerak di bidang
pangan, sandang dan kulit, kimia dan bahan bangunan, kerajinan dan umum memiliki kemampuan ekspor. Hal itu menunjukkan bahwa industri tersebut memiliki
kemampuan berkembang cepat dan berdaya saing kuat, karena dapat memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, padat karya dan menerapkan teknologi
produksi yang beragam. Oleh karena itu, industri kecil sebagai unsur dari sistem bisnis perlu dilengkapi dengan kompetensi, disamping telah menerapkan strategi
untuk hidup dan tumbuh melalui kemampuan multi resources pooling fleksibilitas pada mutu, nilai-nilai dan ketersediaan barang dan jasa yang dihasilkannya Hubeis,
1997.
2.4 Pengembangan Industri Kecil