Pengetahuan Lokal sebagai Prasarat Ko-manajemen Pengelolaan Kolaboratif

25

2.7 Pengetahuan Lokal sebagai Prasarat Ko-manajemen Pengelolaan Kolaboratif

Pengetahuan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan tradisional tidak hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan hubungan antar manusia, melainkan menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan hubungan antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh kearifan tradisional tersebut dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari- hari Keraf 2002. Menurut Berkes et al. 2000, pengetahuan lokal adalah pengetahuan dan kepercayaan secara turun-menurun antar generasi tentang kehidupan masyarakat, baik terkait antar individu dalam masyarakat maupun hubungan antara masyarakat dan lingkungan. Selanjutnya Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006, mendefinisikan indigenous knowledge pengetahuan lokal sebagai suatu pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang yang terpelihara antar generasi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Pengetahuan tersebut berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat. Proses kreativitas dilakukan dengan menggabungkan pengaruh luar dan inovasi dari dalam untuk menyesuaikan dengan kondisi baru. Pengetahuan lokal dapat memberikan masukan dalam pengelolaan sumberdaya alam, pengembangan ekonomi alternatif, konservasi, dan lingkungan. Pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia sesungguhnya dimulai dengan inisiatif yang muncul dari masyarakat lokal dengan menggunakan pemahaman yang dimiliki. Pengetahuan lokal tersebut kemudian dilembagakan dengan menggunakan sistem hukum adat atau customary laws Adrianto et al. 2009. Beberapa praktek pengelolaan sumberdaya alam berbasis pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat dan dilembagakan dalam hukum adat Indonesia adalah: 1. Sasi di Desa Haruku Maluku, yaitu larangan pemanenan sumberdaya alam tertentu seperti tumbuhan dan binatang dalam rangka melindungi populasinya. 26 Sasi merupakan inisiatif kolektif dan diformulasikan oleh masyarakat setempat, termasuk pemantauan yang dilakukan oleh lembaga adat Wiratno et al . 2001. 2. Nagari di Sumatera Barat, yaitu seperangkat hukum adat untuk mengelola hubungan sosial, perilaku, pembagian sumberdaya secara komunal dan adil, menciptakan keseimbangan antara alam dan manusia, serta mengatur sistem pemerintahan lokal secara otonom. 3. Lubuk Larangan di Mandailing Natal, yaitu kesepakatan bersama dalam menetapkan suatu wilayah terlarang dalam hal ini sungai untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu. 4. Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Timur, yaitu seperangkat norma yang mengatur perilaku masyarakat terkait hubungannya dengan Tuhan, sesama masyarakat, dan lingkungan disertai dengan sanksi adat yang ditegakkan oleh institusi pemerintahan desa adat setempat. Praktek-praktek hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin tereduksi oleh rejim pengelolaan yang lebih didominasi oleh pemerintah atau command and control regime, khususnya di era Tahun 1966-1998. Hal ini tidak saja terjadi pada pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi menjadi salah satu pola pengelolaan negara yang cenderung sentralistik. Semua ditentukan oleh negara, hingga istilah desa menjadi istilah wajib bagi entitas paling kecil suatu wilayah. Reduksi peran komunitas lokal membuat pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tidak efisien. Konflik antar nelayan dan degradasi sumberdaya perikanan merupakan salah satu turunan dari problem sentralisasi pengelolaan perikanan. Ketidakseimbangan antara peran negara dan masyarakat dalam pengelolaan perikanan melatarbelakangi pentingnya kolaborasi antar pihak dalam pengelolaan perikanan Adrianto 2007. Masyarakat sekitar kawasan Danau Rawa Pening memiliki keterikatan yang kuat dengan lingkungannya yang dipraktekkan dalam pemanfaatan sumberdaya danau dan diakui secara turun-temurun. Pengetahuan lokal yang diakui masyarakat sekitar Danau Rawa Pening adalah adanya nilai ngepen dan wening dalam pemanfaatan sumberdaya danau. Nilai ngepen dan wening terpelihara antar generasi dan dipercaya dapat menjaga kelestarian ekosistem 27 danau. Menurut Sutarwi 2008, nilai ngepen memiliki makna pengelolaan danau harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak setengah hati. Nilai wening berarti pemanfaatan sumberdaya danau harus jujur dan tidak serakah. Sifat tidak serakah dalam pemanfaatan sumberdaya danau tercermin dari perilaku nelayan, yaitu adanya kebiasaan nelayan dalam menangkap ikan, apabila sudah mendapatkan hasil yang cukup, maka kegiatan harus dihentikan. Nelayan percaya bahwa pengabaian terhadap ketentuan tersebut akan mengakibatkan musibah. Nelayan jua percaya, bahwa apabila tidak mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, maka pada suatu hari akan mendapatkan gantinya. Sebagian masyarakat mengakui adanya hari pantangan atau larangan menangkap ikan atau memanfaatkan sumberdaya lain, yaitu pada hari Selasa Kliwon dalam penanggalan Jawa. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat, maka hari pantangan untuk menangkap ikan tersebut sudah tidak dipatuhi oleh sebagian nelayan. Tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat sekitar Danau Rawa Pening adalah Sedekah Rowo yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Muharram. Secara lahiriah, Sedekah Rowo memiliki makna adanya silaturahmi antar anggota kelompok tani dan nelayan di Danau Rawa Pening. Sedangkan makna batiniahnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas rejeki yang didapat dari Danau Rawa Pening. Menurut Nasution et al. 2007, dimensi pengetahuan lokal merupakan pengkajian sistem masyarakat nelayan setempat. Ruang lingkup kajian dibatasi pada pengetahuan lokal tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan setempat secara arif. Dalam hal ini digali informasi tentang perilaku masyarakat yang ramah lingkungan beserta tata nilai yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat, diperlukan kajian terhadap faktor-faktor pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, konservasi sumberdaya perikanan, serta law enforcement atau penegakan peraturan. Masyarakat menganggap bahwa Danau Rawa Pening merupakan sumberdaya milik bersama. Mekanisme pemanfaatan sumberdaya perikanan masih bercirikan pada pola open acces, yaitu siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya Rawa Pening. Dampak negatif dari pengelolaan open acces adalah 28 tidak adanya pihak yang peduli untuk memperbaiki kondisi sumberdaya perikanan yang telah rusak akibat eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan konservasi untuk memperbaiki potensi sumberdaya perikanan di Danau Rawa Pening, seperti penebaran benih ikan, pembersihan Eceng Gondok, dan pengerukan sedimentasi merupakan tanggungjawab pemerintah. Masyarakat nelayan merasakan bahwa kondisi sumberdaya perikanan saat ini semakin kritis dan berkurang produksinya. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekosistem danau yang semakin rusak akibat ekspansi tanaman penggangu. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara formal diatur oleh pemerintah melalui Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 25 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Rawa Pening, serta Keputusan Bupati Semarang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 25 Tahun 2001. Pengaturan pemanfaatan sumberdaya mencakup wilayah perikanan, pengelolaan sumberdaya perikanan, zonasi perairan, perijinan, larangan, serta pelaksanaan dan pengawasan. Sanksi terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan sumberdaya alam, bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku, dan belum ada bentuk sanksi yang berasal dari masyarakat lokal. Dalam hal ini, penegakan peraturan dilakukan oleh pemerintah bersama Satuan Tugas Rawa Pening dengan bersumber pada peraturan daerah. Sanksi diberlakukan terhadap penggunaan alat tangkap yang kontruksi dan pengoperasiannya dapat merusak lingkungan, seperti penggunaan branjang kelambu, racun dan bahan peledak

2.8 Konsep Pemberdayaan Masyarakat