5.5 Persepsi Para Pihak tentang Pelaksanaan Pendidikan Konservasi di Pesantren
Persepsi para pihak terkait pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren menunjukkan setuju tidaknya terhadap pelaksanaan pendidikan konservasi di
pesantren Tabel 16. Pelaksanaan pendidikan konservasi disetujui oleh para pihak dengan berbagai alasan. Pendidikan konservasi dianggap sangat penting karena
sebagai sarana pembekalan santri untuk dapat turut serta menyelesaikan permasalahan lingkungan. Selain itu, pendidikan konservasi juga merupakan
komponen penerapan program eco-pesantren dengan menghubungkan ajaran- ajaran agama menjadi motivasi untuk mewujudkan santri dan pesantren
berwawasan lingkungan. Tabe l6 Persepsi warga pesantren terhadap pelaksanaan pendidikan konservasi
di Pesantren Darul Muttaqien
No. Responden
Jumlah n
Setuju Tidak Setuju
n n
1. Santri
191 191
100 2.
Guru 22
18 81,82
4 18,18
3. Pimpinan Pesantren
1 1
100 4.
Kepala Madrasah 1
1 100
5. Tenaga Administrasi
6 6
100 6.
Karyawan 1
1 100
7. Orang tuawali Santri
39 39
100 8.
Tokoh Masyarakat 7
7 100
9. Pengambil Kebijakan
3 3
100 10.
Pakar 2
2 100
Jumlah 273
268 98,53
4 1,47
Pelaksanaan pendidikan konservasi disetujui oleh pihak internal pesantren. Secara kelembagaan, Pimpinan Pesantren dan Kepala Madrasah Aliyah
menyetujui pelaksanaan pendidikan konservasi bagi santri. Tenaga administrasi dan karyawan juga menyetujuinya bahkan mereka berkomitmen untuk terlibat
aktif untuk keberhasilan program pendidikan konservasi. Santri secara keseluruhan menyatakan persetujuannya, bahkan santri terlihat sangat antusias
untuk mengikuti program pendidikan konservasi. Hampir keseluruhan guru menyatakan persetujuannya, hanya sebagian kecil yang tidak menyetujuinya.
Alasan guru yang tidak menyetujuinya dikarenakan beberapa hal: 1 jadwal pesantren yang sudah terlalu padat, sehingga pelaksanaan pendidikan konservasi
akan menambah beban mata ajaran bagi santri, selain juga menambah beban bagi
guru, dan 2 tidak terdapat ujian tertulis pada pendidikan konservasi, sehingga pelaksanaannya dinilai belum terlalu penting.
Pihak eksternal pesantren juga menyetujui pelaksanaan program pendidikan konservasi. Tokoh masyarakat desa sekitar pesantren, orang tuawali
santri, pengambil kebijakan, dan pakar menyetujui pelaksanaannya. Adapun pengambil kebijakan dan pakar ahli juga memberikan pendapat terkait dengan
pendekatan, media, metode, materi, dan evaluasi pelaksanaan program pendidikan konservasi.
Pendekatan pelaksanaan pendidikan konservasi berdasarkan persepsi berbagai pihak, yaitu pendekatan kurikuler dan non kurikuler. Pendekatan
kurikuler dengan cara integratif, memasukkan materi konservasi ke dalam mata ajaran yang sudah ada, baik mata ajaran umum maupun agama, misalnya IPA,
IPS, tafsir, dan hadits. Pendekatan non kurikuler dengan cara ekstrakurikuler karena mengingat kondisi sistem pembelajaran pesantren dengan jadwal yang
sangat padat. Media yang dapat digunakan yaitu dengan memanfaatkan sumberdaya
yang ada. Lingkungan merupakan prioritas utama yang disarankan oleh para pihak sebagai media pembelajaran. Selain itu, media yang dapat digunakan yaitu
audio-visual dan textbook. Menurut pengambil kebijakan, untuk lebih mudah diterima oleh komunitas, maka media yang digunakan yaitu buku-buku
lingkungan maupun kitab tentang lingkungan dengan menggunakan bahasa Arab, misalnya fiqih lingkungan. Media yang dipilih menunjukkan bahwa responden
menginginkan inovasi dan kombinasi media pembelajaran untuk mengefektifkan pelaksanaan pendidikan konservasi. Proses pembelajaran dapat lebih menarik dan
diminati dengan menggunakan dan membuat media pembelajaran yang lebih bervariatif, juga dengan menggunakan media baru seperti audio visual tanpa
menghilangkan media lama seperti hand out. Hamalik
1994 dalam
Arsyad 2009 menyatakan media merupakan alat komunikasi guna meningkatkan
efektivitas proses belajar mengajar. Gerlach dan Ely 1971 dalam Arsyad 2009 menyatakan bahwa media secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian
yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Gerlach dan Ely 1971 dalam Arsyad 2009 lebih
lanjut menyatakan, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media, bahkan media dalam proses belajar mengajar secara lebih khusus diartikan
sebagai alat-alat geografis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
Metode pembelajaran pendidikan konservasi yang diinginkan responden hampir merata. Metode pembelajaran yang diinginkan yaitu seimbang antara
pemberian teori dan praktek dengan cara eksperimen, diskusi, karyawisata fieldtrip, observasi, bermain peran role playing, dan pengajaran proyek.
Pengambil kebijakan menjelaskan bahwa konservasi lingkungan melalui tiga hal, yaitu: 1 gerakan pencerahan atau pengembangan wawasan di bidang lingkungan
terhadap warga pesantren dengan sistim contoh yang baik uswatun hasanah, 2 gerakan penyadaran melalui pelatihan dan dialog, dan 3 gerakan advokasi atau
pendampingan lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa responden menginginkan adanya variasi, inovasi dan kombinasi metode pembelajaran dalam proses
pelaksanaan pendidikan konservasi. Shaleh 2005 menyatakan bahwa banyak
metode belajar-mengajar yang telah dikenal guru, akan tetapi bagaimana menggunakan suatu metode dengan pendekatan keterampilan agar menunjang
siswa belajar aktif masih menjadi problem, sehingga hal ini akan mejadi titik tolak uraian dalam peninjauan diagram yang menggambarkan hubungan antara
beberapa metode yang dianggap cukup penting dalam pengaturan cara belajar. Beberapa metode belajar yang dianggap cukup penting dalam pengaturan cara
belajar, yaitu 1 metode pemberian tugas, 2 metode demonstrasi dan eksperimen, 3 metode proyek, 4 metode diskusi, 5 metode karyawisata, 6
metode tanya jawab, 7 metode sosiodrama dan bermain peran, 8 metode bercerita, 9 metode latihan, dan 10 metode ceramah Shaleh
2005. Dale
1969 dalam Arsyad 2009 menyatakan pengalaman langsung akan memberikan kesan paling utuh dan paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang
terkandung dalam pengalaman itu, karena melibatkan indera penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba yang dikenal dengan istilah
learning by doing belajar dari bekerja. Evaluasi yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan konservasi yaitu
evaluasi tertulis maupun non tertulis. Evaluasi tertulis melalui tes dan pengisian
kuesioner, sedangkan non tertulis melalui lisan tanya jawab maupun diskusi dan observasi. Menurut Shaleh 2005, alat penilaian ada yang berbentuk tes dan ada
yang berbentuk non-tes. Alat penilaian berbentuk tes merupakan semua alat penilaian yang hasilnya dapat dikategorikan menjadi benar dan salah, misalnya
penilaian untuk mengungkapkan aspek kognitif dan psikomotorik. Alat penilaian non-tes hasilnya tidak dapat dikategorikan benar salah, dan umumnya dipakai
untuk mengungkapkan aspek afektif. Materi yang diusulkan yaitu skala lokal, nasional, dan global. Diantaranya:
1 pengelolaan lingkungan hidup dan alam berdasarkan teologi umum dan teologi Islam, 2 penanaman, 3 daur ulang sampah dan limbah, dan 4 konservasi
tanah dan air. Hal ini menunjukkan bahwa guru telah memiliki harapan yang cukup besar terhadap pemberian materi pendidikan konservasi yang dipenuhi
dengan materi tentang peranan lingkungan hidup dan alam sekitar untuk kesejahteraan manusia.
Persepsi para pihak yang menyetujui pelaksanaan pendidikan konservasi merupakan kekuatan dan peluang untuk keberhasilan pelaksanaan pendidikan
konservasi. Persetujuan dari pihak internal pesantren merupakan kekuatan, sehingga para pelaku dan sasaran program dapat mengikuti program dengan baik.
Adapun persetujuan dari pihak eksternal kampus merupakan peluang untuk mengakses dukungan positif, baik dukungan moril maupun materil. Dukungan
yang positif dari pihak eksternal dapat menjadi embrio adanya kerjasama untuk mengakses program, baik di instansi pemerintah maupun swasta sehingga
keberhasilan program pendidikan lingkungan didukung oleh multi pihak dan para stakeholder.
5.6 Program Non Kurikuler Pesantren yang Berkaitan dengan Lingkungan