mewarisi nilai-nilai pembebasan dari keterbelangan dan kemiskinan Maawardi, 2007.
2.1.3 Komunitas
Ife 1995 menyebutkan pengertian komunitas dengan warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas society melalui kedalaman
perhatian bersama a community of interest atau oleh tingkat interaksi yang tinggi. Para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama common needs.
Jika tidak ada kebutuhan bersama maka bukan suatu komunitas. Aktivitas anggota komunitas dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan langsung anggota
komunitas dalam kegiatanprogram yang dijalankan. Suatu komunitas mempunyai lokalitas atau tempat tinggal tertentu. Komunitas yang mempunyai tempat tinggal
tetap dan permanen biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Di samping iu, harus ada suatu perasaan
diantara anggota bahwa mereka saling memerlukan dan bahwa lahan yang mereka tempati memberikan kehidupan bagi semuanya. Unsur-unsur perasaan komunitas
community sentiment dijelaskan oleh Nasdian 2006 antara lain seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan.
2.1.4 Partisipasi
Konsep partisipasi berasal dari bahasa Inggris ”participation” yang berarti turut ambil bagian. Nasdian 2006 mengartikan partisipasi sebagai proses aktif
dan inisiatif yang diambil oleh warga komunitas itu sendiri, dibimbing oleh cara mereka sendiri dengan menggunakan sarana dan proses lembaga dan mekanisme
dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Kategori partisipasi meliputi: 1 warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah difikirkan
atau dirancang dan dikontrol oleh orang lain; 2 partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak
partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar. Dengan partisipasi, program yang
dilaksanakan akan lebih berkelanjutan karena disusun berdasarkan kebutuhan dasar yang sesungguhnya dari masyarakat setempat.
Pembahasan lebih lanjut mengenai partisipasi telah dikemukakan oleh para ahli yang mengklasifikasikan beberapa model partisipasi. Syahyuti 2006
menyebutkan model-model dari partisipasi sebagai berikut: 1.
Partisipasi pasif atau manipulatif. Partisipasi ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Karakteristik dari partisipasi jenis ini
adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak
memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran.
2. Partisipasi informatif. Dalam partisipasi ini masyarakat hanya menjawab
pertanyaan-pertanyaan untuk proyek namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan.
3. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi sedangkan orang luar mendengarkan dan menganalisis masalah serta pemecahannya. Belum terdapat peluang untuk
pengambilan keputusan bersama. 4.
Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh imbalan berupa insentif, biasanya dalam bentuk upah, meski
masyarakat tersebut tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen yang dilakukan.
5. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian
dari proyek setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal masyarakat masih tergantung pada pihak luar tetapi
secara bertahap masyarakat kemudian menunjukkan kemandiriannya. 6.
Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam proses analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan.
Pola ini cenderung melibatkan metode indisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan
sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka sehingga memiliki andil dalam
keseluruhan proses kegiatan.
7. Mandiri self mobilization. Masyarakat mengambil inisiatif sendiri
secara sistematis dan bebas tidak dipengaruhi pihak luar untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung.
Menurut Asia Development Bank ADB seperti dikutip Soegijoko 2005 dalam
Huraerah 2008, tingkatan partisipasi dari yang terendah sampai tertinggi sebagai berikut:
1 Berbagi informasi bersama sosialisasi
Pemerintah hanya menyebarluaskan informasi tentang program yang akan direncanakan atau sekadar memberikan informasi mengenai
keputusan yang dibuat dan mengajak warga untuk melaksanakan keputusan tersebut.
2 Konsultasimendapatkan umpan balik
Pemerintah meminta saran dan kritik dari masyarakat sebelum suatu keputusan ditetapkan.
3 Kolaborasipembuatan keputusan bersama
Masyarakat bukan sebagai penggagas kolaborasi tetapi masyarakat dilibatkan untuk merancang dan mengambil keputusan bersama sehingga
peran masyarakat secara signifikan dapat mempengaruhi hasilkeputusan. 4
Pemberdayaankendali Masyarakat memiliki kekuasaan dalam mengawasi secara langsung
keputusan yang telah diambil dan menolak pelaksanaan keputusan yang bertentangan dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan
prosedur dan indikator kinerja yang mereka tetapkan bersama.
Arnstein
1969 seperti dikutip Chusnah 2008 menjelaskan ada delapan tangga partisipasi masyarakat, yang kemudian dikenal dengan tipologi Arnstein,
yaitu sebagai berikut: 1.
Manipulation
Dengan mengatasnamakan partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai ’stempel karet’ dalam badan penasihat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai
formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah
tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa.
2. Therapy
Pada tingkat therapy atau pengobatan ini, pemegang kekuasaan sama
dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai penyakit mental. Dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu
perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam
berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebab lukanya.
3.
Informing
Dengan memberi informasi kepada masyarakat tentang hak, tanggung
jawab dan pilihan mereka merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Namun seringkali pemberian informasi dari
penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki
kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk
mempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan
media pemberitaan, pamflet dan poster. 4.
Consultation Meminta pendapat masyarakat merupakan suatu langkah logis menuju
partisipasi penuh. Namun konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering
digunakan dalam tingkat ini adalah jajak pendapat, pertemuan warga dan dengar pendapat. Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan
tersebut hanyalah merupakan suatu partisipasi palsu. Masyarakat pada dasarnya hanya dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi hanya diukur dari
frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga dari seberapa banyak kuesioner dijawab. Dengan demikian,
pemegang kekuasaan telah merasa memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti
rangkaian pelibatan masyarakat.
5.
Placation Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun
dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat memang diperbolehkan untuk memberikan masukan atau
mengusulkan rencana tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan. Salah satu strateginya adalah dengan memilih masyarakat miskin
yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. 6.
Partnership Pada tingkat ini, kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang
kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan dengan
melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Partnership dapat berjalan efektif bila dalam
masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpinnya bertanggung jawab, masyarakat mampu membayar honor yang cukup bagi pemimpinnya serta adanya
sumber dana untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat. Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar-menawar yang
tinggi, sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan.
7. Delegated Power
Negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah bisa
mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu. Pada tingkat ini masyarakat menduduki mayoritas
kursi, sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain itu, masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas
program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu
meresponnya tetapi dengan mengadakan proses tawar menawar. 8.
Citizen Control Pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa
kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial
dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengadakan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan
sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati
pihak ketiga.
Berdasarkan kedelapan tangga tersebut, Arnstein mengelompokkannya lagi menjadi tiga tingkat, yaitu: a Nonparticipation; b Degree of tokenism, dan
c Degree of Citizen Power. Tingkat nonparticipation adalah tingkat partisipasi yang bukan dalam arti sesungguhnya. Tingkat ini terdiri dari jenjang terbawah
dari tangga tersebut yaitu tingkat pertama manipulation dan tingkat kedua Therapy. Tingkat Tokenism, yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, terdiri
tiga jenjang yaitu tingkat ketiga informing, tingkat keempat consultation dan tingkat kelima placation. Selanjutnya tingkat keenam partnership, tingkat
ketujuh delegated power dan tingkat kedelapan citizen control masuk dalam tingkatan Degree of Citizen Power, atau tingkat dimana masyarakat telah
memiliki kekuasaan. Secara jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1.
TanggaTingkatan Partisipasi
Hakikat Kesertaan Tingkatan Pembagian
Kekuasaan
1. Manipulasi Manipulation Permainan oleh
pemerintah Tidak ada partisipasi
Non-Participant 2. Terapi Therapy Sekedar
agar masyarakat tidak
marahmengobati 3. Pemberitahuan
Information Sekedar pemberitahuan
searahsosialisasi Tokenismsekedar justifikasi
agar masyarakat mengiyakan Degree of
Tokenism 4. Konsultasi Consultation Masyarakat
didengar, tapi tidak selalu
dipakai sarannya 5. Penentraman Placation Saran
masyarakat diterima tapi tidak
selalu dilaksanakan 6. Kemitraan Partnership Timbal-balik
dinegosiasikan Tingkatan kekuasaan ada di
masyarakat Degree of Citizen Power
7. Pendelegasian Kekuasaan Delegated power
Masyarakat diberi kekuasaan
sebagianseluruh program
8. Kontrol Masyarakat Citizen control
Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat
Gambar 2.1 Tangga Partisipasi Arnstein, 1969 dari berbagai sumber
2.1.5 Pesantren