Sumber dan Cara Penularan Pengobatan Epidemiologi

Edisi Revisi Tahun 2011 81

H. FILARIASIS

Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, payudara, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak langsung, penyakit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk, dapat berdampak pada penurunan produktivitas kerja penderita, beban keluarga dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara yang tidak sedikit. Di Indonesia, berdasarkan laporan dari kabupatenkota, sampai tahun 2010 terdapat lebih dari 11.000 kasus yang jumlahnya meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan rekapitulasi data kabupatenkota dari tahun 2005-2010 terdapat kenaikan jumlah kasus kronis dua kali atau lebih dari kasus kronis yang tahun sebelumnya, yang terjadi di beberapa provinsi antara lain provinsi Sumatera Barat, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Kriteria Kejadian Luar Biasa yang mengacu pada PERMENKES Nomor 1501MenkesPERX2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan, yaitu rata-rata jumlah kesakitan per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.

1. Gambaran Klinis

Kasus klinis filariasis adalah seseorang yang terinfeksi cacing filaria, dan sudah menunjukkan gejala- gejala klinis baik akut maupun kronis. Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis, orkitis, epididimitis dan funikulitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan mengalami penyembuhan dengan meninggalkan jaringan parut terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Gejala klinis akut pada infeksi Brugia tampak lebih jelas dan berat. Gejala klinis kronis terdiri dari limfedema, lymph scrotum, kiluria urin seperti susu, dan hidrokel. Gambaran klinis yang tampak tergantung dari cacing penyebab filariasis. Pada infeksi Brugia, pembengkakan terjadi pada kaki terdapat di bawah lutut, pada lengan di bawah siku. Pada infeksi Wuchereria brancrofti pembengkakan terjadi pada seluruh kaki, seluruh lengan, scrotum, penis, vulva, vagina dan payudara. Sebagian besar kasus filariasis yang ditemukan di Indonesia adalah kasus filariasis kronis, sedangkan untuk kasus klinis akut dapat ditemukan melalui survei aktif kasus. Penegakan diagnosis berdasarkan pemeriksaan sediaan apus tebal darah jari yang dilakukan malam hari. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila ditemukan mikrofilaria pada sediaan darah.

2. Etiologi

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu, Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Dari ketiga jenis cacing filaria, Brugia malayi paling banyak tersebar di wilayah Indonesia, sementara Brugia timori hanya terdapat di wilayah Indonesia timur yaitu di pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di wilayah NTT. Sedangkan Wuchereria bancrofti terdapat di pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua.

3. Masa Inkubasi

Masa inkubasi filariasis tergantung dari jenis spesies yang menginfeksi. Pada infeksi oleh Brugia spp masa inkubasi berlangsung selama 2 bulan, sedangkan pada spesies Wuchereria bancrofti masa inkubasi selama 5 bulan.

4. Sumber dan Cara Penularan

Sumber penularan Filariasis adalah nyamuk. Di Indonesia, telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk yang menjadi penular filariasis. Seorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva cacing stadium 3. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, larva ini akan keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Saat nyamuk menarik probosisnya, larva ini akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju sistem limfe. 82 Edisi Revisi Tahun 2011 Kepadatan nyamuk, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media penyebaran filariasis antar daerah.

5. Pengobatan

Pengobatan filariasis terdiri dari pemberian obat massal pencegahan filariasis POMP Filariasis dan pengobatan individual. POMP Filariasis dilaksanakan dengan memberikan obat filariasis kepada seluruh penduduk sasaran di wilayah yang telah dinyatakan endemis melalui survei darah jari dan atau survei serologismikrofilaria rate 1. POMP filariasis tidak diberikan kepada anak 2 tahun, balita dengan gizi buruk, ibu hamil, orang dengan sakit berat, dan lansia di atas 65 tahun. POMP Filariasis bertujuan untuk memutus mata rantai penularan filariasis di daerah endemis. Obat yang diberikan adalah Diethyl Carbamazine Citrate DEC, Albendazole dan Paracetamol. Pengobatan individual dilaksanakan pada kasus klinis akut dan kronis filariasis. Tujuan pengobatan ini adalah untuk mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Obat yang diberikan adalah DEC, dan Paracetamol.

6. Epidemiologi

Di Asia Tenggara terdapat 9 negara endemis filariasis yaitu Bangladesh, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand dan Timor-Leste dan diperkirakan 700 juta orang tinggal di daerah endemis filariasis, atau sekitar 64 dari angka kesakitan filariasis di dunia. Diperkirakan 60 juta orang mengandung mikrofilaria yang dapat bermanifestasi klinis menjadi filariasis kronis. Keadaan di Asia Tenggara ini mencerminkan separuh dari gambaran filariasis di dunia. Di Indonesia, Filariasis tersebar di seluruh wilayah. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan kabupatenkota, sampai tahun 2010 jumlah kasus kronis di Indonesia mencapai 11.696 kasus. Terdapat tiga provinsi dengan kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam 2.359 orang, Nusa Tenggara Timur 1.730 orang dan Papua 1.158 orang. Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali 18 orang, Maluku Utara 27 orang, dan Sulawesi Utara 30 orang . Kejadian filariasis di NAD sangat menonjol bila dibandingkan dengan provinsi lain di pulau Sumatera dan merupakan kasus tertingi di seluruh Indonesia. Menurut kabupaten, terdapat tiga kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara 1.353 kasus, Manokwari 667 kasus dan Mappi 652 kasus. Berdasarkan survei darah jari dan kajian epidemiologi telah teridentifikasi 356 kabupaten kota endemis filariasis dengan tingkat endemisitas filariasis mencapai 0,5-19,64. Penentuan endemisitas filariasis di kabupatenkota melalui survey darah jari di desa dengan jumlah kasus klinis filariasis terbanyak. Mikrofilaria rate Mf 1 atau lebih merupakan indikator sebagai kabupatenkota endemis filariasis. Mf rate dihitung dengan cara membagi jumlah sediaan yang positif mikrofilaria dengan jumlah sedian darah yang diperiksa dikali seratus persen.

7. Kejadian Luar Biasa Kasus Klinis Filariasis dan Penanggulangannya