Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan pasal 1 ayat 7, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya termasuk proses
yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, implementasi, serta penegakkan
hukum dari peraturan perundangan yang dilakukan oleh pemerintah yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya ikan.
Satu-satunya mekanisme yang tersedia untuk mempertahankan biomassa dan produktivitas suatu sumberdaya pada suatu tingkat yang diinginkan adalah
dengan mengendalikan mortalitas penangkapan dengan cara mengatur banyaknya ikan yang ditangkap, kapan ikan ditangkap, serta umur dan ukuran saat ditangkap.
Dalam mengatur mortalitas penangkapan ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan, dan masing-masing mempunyai implikasi dan efesiensi yang berbeda.
Langkah-langkah tersebut, diantaranya FAO 1997: Kontrol Input upaya: seperti peraturan ukuran kapal, kapasitas kapal,
upaya tangkap intensitas dan waktu, wilayah tangkap Kontrol output hasil tangkapan: seperti menentukan total tangkapan
yang diperbolehkan
TAC, kuota
individu, kuota
komunitas masyarakat
Ukuran teknis peraturan teknologi: seperti batasan alat tangkap, penutupan area daerah asuhan, penutupan musim musim pemijahan
Pengelolaan berbasis ekologi Ecologically based management: seperti kebijakan daerah perlindungan laut, pendekatan multi-spesies
Instrumen ekonomi: seperti pajak dari tangkapan atau dari upaya tangkap.
Kategori-kategori tersebut tidak saling independen, kemungkinan ada beberapa yang tumpang tindih. Sebagai contoh kontrol terhadap inputupaya dan
outputhasil dapat
dengan menggabungkan
langkah-langkah teknis
dan pendekatan biologi, yang tentunya akan berdampak juga atau berimplikasi
terhadap ekonomi. FAO 1995 mengemukakan bahwa berdasarkan status pemanfaatan
eksploitasi, sumberdaya ikan dibagi menjadi 6 enam kelompok yaitu:
1 Unexploited: Stok sumberdaya ikan belum tereksploitasi belum terjamah, sehingga aktifitas penangkapan ikan sangat dianjurkan guna
memperoleh manfaat dari produksi. 2 Lightly exploited: Sumberdaya ikan yang baru tereksploitasi dalam
jumlah sedikit 25 dari MSY, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian
sumberdaya, dan hasil tangkapan per unit upaya CPUE masih bisa meningkat.
3 Moderately exploited: Stok sumberdaya sudah tereksploitasi setengah dari MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan masih dianjurkan
tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya, namun CPUE mungkin mulai menurun.
4 Fully Exploited: Stok sumberdaya sudah terexplotasi mendekati nilai MSY nya. Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak
dianjurkan walaupun jumlah tangkapan masih bisa meningkat karena akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, dan CPUE pasti
menurun. 5 Over exploited: Stok sumberdaya sudah menurun karena tereksploitasi
melebihi MSY.
Upaya penangkapan
harus diturunkan
karena kelestarian sumberdaya ikan sudah terganggu
6 Depleted: Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahu mengalami penurunan secara drastis. Upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk
dihentikan karena kelestarian sumberdaya sudah sangat terancam.
2.3 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 6 menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya sumberdaya ikan. Menurut Simanjuntak 2000,
konsep dasar dari keberlanjutan adalah penggunaan sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga tidak terkuras atau rusak secara permanen. Untuk itu diperlukan
pengetahuan mengenai batas kekuatan sumberdaya alam tersebut sampai seberapa jauh bisa digunakan tanpa terkuras atau rusak secara permanen.
Pelestarian sumberdaya ikan yang terbatas mengharuskan adanya pengelolaan yang berkelanjutan, melalui pendekatan holistik yang melibatkan
semua aspek perikanan: operasi penangkapan, proses pengolahan, lingkungan nelayan, ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang, dan estuari,
daerah pemijahan,
dan daerah
pengasuhan. FAO
telah mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan adalah sebagai: ” pengelolaan dan pelestarian basis sumber daya alam dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan
sedemikian rupa sehingga menjamin pencapaian dan kepuasan serta keberlanjutan kebutuhan manusia untuk generasi sekarang dan masa depan. Pembangunan
berkelanjutan tersebut termasuk dalam sektor kehutanan, pertanian, dan perikanan, pelestarian tanah, air, tanaman dan sumber daya genetik ternak,
sehingga lingkungan tidak menurun terdegradasi, layak secara teknis, dan secara ekonomi-sosial dapat diterima.” Asian Productivity Organization 2002.
Menurut Charles
2001, keberlanjutan
pembangunan perikanan
mengandung 4 empat komponen dasar yang harus dipenuhi. Komponen dasar tersebut adalah:
1 Keberlanjutan ekologi ecological sustainability: perhatian untuk memastikan hasil panen terus berkelanjutan, dan menjaga tidak terjadi
pengurangan deplesi stok ikan, mempertahankan sumberdaya terkait spesies pada tingkat tertentu untuk masa depan, memlihara dan
meningkatkan ketahanan dan kesehatan ekosistem. 2 Keberlanjutan
sosial-ekonomi socio-economic
sustainability :
menjaga dan meningkatkan keseluruhan kesejahteraan sosial ekonomi jangka panjang. Kesejateraan sosial dan ekonomi ini didasarkan pada
perpaduan antara indikator ekonomi dan sosial. Adanya distribusi manfaat yang merata dan sesuai antar peserta perikanan.
3 Keberlanjutan Masyarakat community sustainability: berfokus pada keinginan untuk mempertahankan masyarakat sebagai sistem manusia
yang mempunyai hak sendiri atas sumberdaya alamnya. Menekankan untuk mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dalam sistem perikanan dengan menjaga kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya di setiap komunitasmasyarakat
4 Keberlanjutan kelembagaan institutional sustainability: termasuk menjaga
kesesuaian keuangan,
administrasi, dan
kemampuan organisasi sepanjang sepanjang waktu, sebagai suatu prasyarat untuk
ketiga komponen dari keberlanjutan di atas. Sedangkan menurut Swaminathan Research Foundation MSSRF 1998
in Asian Productivity Organization APO, 2002, merekomendasikan prinsip-
prinsip dalam pengelolaan perikanan berkelajutan adalah: 1 Pendekatan
dasar untuk
pengelolaan Basic
Approach to
Management: Untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan, langkah awal yang penting adalah mengidentifikasi permasalahan sumberdaya,
ekosistem, dan pemangku kebijakan stakeholder. 2 Kesadaran
Masyarakat Public
Awareness :
langkah penting
berikutnya adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat, terutama diantara stakeholder tentang perlunya pelestarian dan pengelolaan
sumberdaya untuk memastikan keberlanjutan manfaat. 3 Peraturan Regulation: Pemanfaatan sumberdaya milik umum, dengan
akses terbuka, tidak ada batasan input, akan membuat permasalah dalam pengelolaan perikanan, sehingga diperlukan peraturan.
4 Rasionalisasi kapasitas penangkapan sesuai hasil yang berkelanjutan: penting untuk
menilai efektifitas dari kapasitas penangkapan.
Pendekatan rasional selanjutnya penting untuk memonitor perbaikan stok ikan, produksi, laju tangkapan, dan ukuran ikan yang ditangkap.
5 Rasionalisasi jumlah nelayan: rasionalisasi upaya penangkapan atau jumlah nelayan akan berdampak pada surplus alat tangkap, dan
kehidupan nelayan sehingga perlu alternatif ekonomi. 6 Penangkapan yang ramah lingkungan: teknik penangkapan yang ramah
lingkungan harus didorong diantara metode yang ada. 7 Penangkapan spesies bukan target harus dihindari melalui penggunaan
alat tangkap yang selektif
8 Penangkapan spesies langkah harus dilarang, dan jika tertangkap maka mereka harus dikembalikan ke laut
9 Penutupan daerah pembiakan dan pengasuhan saat musim pemijahan merupakan konsep dasar dari pengelolaan dan pelestarian
10 Konservasi biodiversitas: termasuk keragaman dan jumlah sumberdaya dalam ekosistem
11 Resources Enhancement: Perbaikan atau peningkatan sumberdaya, dapat dilakukan dengan membuat terumbu karang buatan, dll
12 Ketahanan pangan: pemerintah lebih mendorong terutama pada pasar internasional, namun perhatian yang sama harus diberikan pada pasar
dalam negeri domestik untuk memenuhi kebutuhan pangan 13 Keamanan mata pencaharian: program pengelolaan perikanan harus
menjamin keamanan mata pencaharian nelayan, dengan penguatan keahlian teknis, bantuan logistik, dll.
14 Penyelesaian konflik: nelayan harus mendorong untuk menyelesaikan konflik perikanan dan perselisihan yang bersifat lokal oleh mereka
sendiri dengan mengembangkan kode etik atau aturan. 15 Database pengumpulan data: Nelayan harus dikenalkan, dilatih dan
didorong untuk mengumpulkanmenyimpan data yang memungkinkan dari
hasil tangkapan
untuk diserahkan
kepada pihak
yang berwenangkantor perikanan untuk dilakukan analisis.
2.4 Penangkapan Berlebihan Overfishing
Overfishing secara sederhana dapat dipahami sebagai penerapan sejumlah
upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan Widodo dan Suadi 2008. Berdasarkan model Schaefer, Overfishing terjadi jika upaya penangkapan
terus meningkat dan melampaui nilai MSY nya, sehingga mengakibatkan fungsi hasil tangkapan menurun atau turun ke nol, dan menyebabkan stok berkurang
Pontecorvo, 2008. Beberapa cirri-ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi overfishing diantaranya adalah: waktu melaut
menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil, yang kemudian diikuti