Faktor Penyebab Stres Hubungan Antara Individual Arena dan Work Arena dengan Stres Kerja Pada Pekerja Pembuatan Offshore Pipeline and Mooring Tower (EPC3) Proyek Banyu Urip di PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Menurut penelitian Gautama 2008 berdasarkan uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan
stres kerja dengan Pvalue= 0,000. Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Diah 2006 berdasarkan uji statistik menunjukkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan stres kerja dengan Pvalue= 0,795.
b. Pendidikan Menurut Shostak dalam La Dou 1994 yang dikutip dari
Yunus 2011 menyatakan seseorang dengan keahlian yang kurang dalam suatu bidang pekerjaan menyebabkan rendah diri pada pekerja.
Sedangkan menurut Anderson dalam Yunus, 2004 menyatakan bahwa karyawan baru yang memiliki harapan tinggi dengan latar
belakang pendidikan yang tidak menunjang pekerjaan akan sering mengalami stres kerja.
Maslach 1982 dalam Murtiningrum 2005 menyatakan bahwa seseorang yang berlatar belakang pendidikan rendah cenderung
rentan terhadap stress jika dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Seseorang yang berpendidikan rendah memiliki
harapan atau aspirasi yang tinggi sehingga ketika dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan,
maka muncullah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat
menimbulkan stres. Sebaliknya, bagi seseorang yang berpendidikan tinggi, mereka cenderung mempunyai pandangan yang lebih realistis
ketika menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Menurut penelitian Lelyana 2003 berdasarkan uji statistik
diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan stres kerja dengan Pvalue= 0,002. Namun, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Gitalia 2009 berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara tingkat pendidikan dengan kejadian stress kerja dengan Pvalue= 0,585.
d. Status perkawinan Belum banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa status
perkawinan berpengaruh terdapat produktivitas kerja. Menurut Robbins 1998 menyatakan bahwa karyawan yang telah menikah
lebih kecil absensinya dan lebih puas dengan pekerjaannya daripada pekerja yang belum menikah. Dan memiliki hubungan perkawinan
yang baik dapat membantu untuk mencegah atau mengurangi stres kerja.
Sedangkan menurut Evayanti 2003 menyatakan bahwa pekerja yang berstatus menikah, bila mempunyai masalah di rumah
kecenderungan untuk mendapatkan stres di tempat kerja akan lebih
besar. Sebaliknya bila rumah tangga dirasakan aman, nyaman, dan menyenangkan maka masalah-masalah ditempat kerja dapat dihadapi
dengan lebih baik karena keadaan keluarga bisa menjadi penghambat, mempercepat atau menjadi penangkal proses terjadinya stres.
Menurut European Commision for Employment and Social Affair 1999, pekerja yang telah berpisah dengan pasangannya atau
yang menjadi single parent merupakan kelompok yang lebih rentan mengalami stres karena dihadapkan pada masalah sosial dan
emosional dari lingkungan dan anggota keluarga. Menurut Munandar 2004 bahwa isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan
keuangan, dan konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan di dalam pekerjaan, semuanya dapat merupakan tekanan bagi pekerja sehingga
akan menyebabkan seseorang menjadi stres dalam pekerjaannya. Menurut penelitian Gitalia 2009 berdasarkan uji statistik
didapatkan Pvalue = 0,031 hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan stres kerja.
2.2.2 Work Arena Work Arena adalah penyebab stres stressor yang bersumber dari
situasi dan kondisi yang berhubungan langsung dengan pekerja di lingkungan kerja, antara lain :
a. Rutinitas Rutinitas adalah pekerjaan rutin yang berulang-ulang
sehingga menimbulkan kejenuhan karena bersifat monoton Munandar, 2008. Pada pekerjaan yang sederhana dimana banyak
terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau
sedikitnya tugas atau terlampau banyakanya tugas yang harus dikerjakan. Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja
gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nugrahani 2008
berdasarkan uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara rutinitas pekerjaan dengan kejadian stres kerja dengan
Pvalue=0,001. b. Jam Kerja
Jam kerja menentukan efisiensi dan produktivitas seseorang. Umumnya seseorang dapat bekerja baik 6-8 jam sehari atau 40-50 jam
seminggu Suma’mur, 1996. Berdasarkan standar yang dikeluarkan Hiperkes bahwa rata-rata jam kerja sehari selama 8 jam. Sehingga
segala bentuk penambahan jam kerja diluar standar dapat meningkatkan usaha adaptasi pekerja jumlah jam kerja yang banyak
merupakan sumber dari stres. Menurut, Hurrell dkk bahwa jam kerja
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja Munandar, 2008.
Penambahan jam kerja diluar standar dapat meningkatkan usaha adaptasi pekerja, yang kemudian dapat meningkatkan ekskresi
katokholamin yaitu hormon adrenalin dan non-adrenalin. Menurut beberapa penelitian, kerja lembur yang terlalu sering, apalagi kalau
tanpa kontrol jumlah jam kerja yang berlebihan ternyata tidak hanya mengurangi kuantitas dan kualitas hasil kerja, juga seringkali
meningkatkan kuantitas absen dengan alasan sakit atau kecelakaan kerja munandar, 2008.
Menurut hasil penelitian Noer 2004 diketahui bahwa 87,5 responden yang bekerja 12 jam menunjukan gejala stres. Hal ini
diperkuat dengan hasil uji statistik dengan p value = 0,002 yang artinya ada hubungan yang bermakna antara jam kerja dengan stres
kerja. c. Beban kerja
Menurut Every dan Giordano 1980 dalam Suprapto 2008 beban kerja adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan jumlah
pekerjaan yang diterima oleh individu. Beban kerja yang berhubungan dengan stres berkaitan erat dengan tenggat waktu dalam
menyelesaikan sebuah pekerjaan deadline. Kategori beban kerja
yaitu kerja berlebihan kuantitatif dan kualitatif disemua taraf industri dan wiraswasta.
Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit bekerja berlebih atau terlalu sedikit “kuantitatif”, yang timbul sebagai akibat
dari tugas-tugas yang terlalu banyak atau sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban
kerja berlebih atau terlalu sedikit “kualitatif”, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak
menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitaif ialah desakan waktu,
yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat tertentu, dalam hal tertentu waktu
akhir dead line Munandar, 2008. Menurut penelitian Suprapto 2008 dari hasil uji statistik
didapatkan p value = 0,000 lebih kecil dari α 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara beban kerja
dengan stres kerja. Dalam Permenakertrans No. PER.13MENX2011, diketahui
bahwa pengelompokan beban kerja dibagi menjadi tiga yaitu beban kerja ringan, sedang dan berat. Penetapan beban kerja tersebut
dikaitkan dengan konsumsi energi atau jumlah kalori yang dikeluarkan pekerja. Padahal derajat ketegangan fisik atau beban
kerja seseorang tidak seluruhnya bergantung pada pengeluaran kalori, tapi dapat dilakukan dengan pengukuran denyut jantung,
metabolisme, respirasi dan suhu tubuh Sastrowinoto, 1985. Menurut Konz 1998 jika berada dalam keadaan yang stabil atau
tidak emosi, denyut jantung merupakan salah satu estimasi laju metabolisme yang baik. Berikut disajikan kategori beban kerja
berdasarkan metabolisme, respirasi, suhu tubuh dan denyut jantung Christensen 1996 dalam Tarwaka dkk, 2004.
Tabel 2.1 Kategori beban kerja berdasarkan metabolisme, respirasi, suhu tubuh,
dan denyut jantung
H
Cristensen, 1996 Encyclopedia of Occupational Health and Safety. ILO Ganeva
d. Shift kerja Shift kerja adalah semua pengaturan jam kerja, sebagai
pengganti atau sebagai tambahan kerja siang hari sebagaimana yang biasa dilakukan. Definisi yang lebih operasional dari shift kerja
disebutkan sebagai pekerjaan yang secara permanen, atau pekerjaan
Kategori Beban Kerja
Konsumsi Oksigen
lmin Ventilasi
Paru lmin
Suhu Rektal
Denyut Jantung
denyutmin
Ringan 0.5 - 1.0
11 – 20 37.5
75 – 100 Sedang
1.0 – 1.5 21 – 30
37.5 – 38.0 101 – 125
Berat 1.5 – 2.0
31 – 43 38.0 – 38.5
125 – 150 Sangat Berat
2.0 – 2.5 44 – 56
38.5 – 39.0 151 – 175
Sangat Berat Sekali
2.5 – 4.0 57 - 100
39 175
yang jam kerjanya tidak biasa atau pekerjaan yang jamnya berubah- ubah dan juga tidak teratur Kuswadji , 1997 .
Berdasarkan hasil dari penelitian terdahulu menunjukkan bahwa shift kerja malam merupakan sumber utama dari stres bagi
para pekerja pabrik yang berpengaruh secara emosional dan biologikal. Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang
kelelahan dan gangguan perut dari pada pekerja pagi dan siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin
menyebabkan gangguan-gangguan pada perut Munandar, 2008. Dan menurut Kroemer Grandjean 1997 pekerja wanita lebih
berisiko mengalami stres kerja daripada pekerja pria. Dalam penelitian yang dilakukan Adas 2006 dari hasil uji
statistik didapatkan nilai p value = 0,000 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan stres kerja. Sedangkan
menurut penelitian Vierdelina 2008 dari hasil uji statistik didapatkan p value = 1,000
≥ α 0,05 sehingga didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara shift kerja dengan stres kerja.
e. Konsumsi Alkohol Konsumsi alkohol dapat menyebabkan kerusakan pada otot
jantung dan sirosis serta hepatitis alkoholik dan meningkatkan tekanan darah Swarth, 2006. Dengan mengkonsumsi alkohol, detak
jantung akan meningkat, pelebaran pada pembuluh darah di lengan
dan kulit, serta menurunkan tekanan darah. Sedangkan jika mengkonsumi alkohol secara rutin, maka akan menyebabkan
kesulitan bergerak, berbicara dan berkonsentrasi, kemudian akan berlanjut pada kejadian kelelahan yang berkombinasi dengan keadaan
muak atau cepat bosan, sakit perut, pusing, meningkatnya sensitivitas pada suara dan menjadi marah Hanson dan Venturelli, 1995.
Konsumsi alkohol juga dapat mengganggu kualitas tidur seseorang, yang kemudian jika kualitas tidur buruk akan menyebabkan
kelelahan yang dapat menimbulkan stres NSW, 2008. f. Kebisingan
Kondisi kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan
pembangkit stress stresor. Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran, dapat juga
menimbulkan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dan kesiagaan serta ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi
demikian memudahkan timbulnya kecelakaan, misalnya tidak mendengar suara-suara peringatan sehingga timbul kecelakaan
Munandar, 2008. Kebisingan adalah salah satu polusi yang tidak dikehendaki
manusia. Dikatakan tidak dikehendaki karena dalam jangka panjang,
bunyi-bunyian tersebut akan dapat mengganggu ketenangan kerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi
bahkan kebisingan yang serius dapat mengakibatkan stres bahkan kematian Santa, 2011. Menurut Ivancevich dan Matteson 1980
menyatakan bahwa bising yang berlebih sekitar 85 dB yang berulang kali didengar, untuk jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan stres. Namun, menurut Shofwati dan Satar 2009 dalam bukunya Hygiene Industri mengatakan bahwa tingkat
kebisingan yang rendah bekisar antara 40-75 dB dapat pula menyebabkan stres. Stres dapat berbentuk seperti kelelahan,
kegelisahan, depresi dan dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah mengurangi toleransi dari tenaga kerja terhadap pembangkit stres
yang lain, dan menurunkan motivasi kerja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Airmayanti 2010
didapatkan p value = 0,005 lebih kecil dari α 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara kebisingan dengan stres kerja.
Kebisingan dapat disebabkan oleh berbagai sumber. Sumber bising
dalam pengendalian kebisingan lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Bising interior,
Bising yang berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga atau mesin-mesin gedung yang antara lain disebabkan
oleh radio, televisi, alat-alat musik, dan juga bising yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang ada digedung tersebut
seperti kipas angin, motor kompresor pendingin, pencuci piring dan lain-lain.
b. Bising eksterior,
Bising yang dihasilkan oleh kendaraan transportasi darat, laut, maupun udara, dan alat-alat konstruksi. Dalam
dunia industri jenis-jenis bising yang sering dijumpai antara lain meliputi:
1.
Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang luas. Misalkan suara yang ditimbulkan oleh mesin
bubut, mesin frais, kipas angin, dan lain-lain.
2.
Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang sempit. Misalkan bising yang dihasilkan oleh suara
mesin gergaji, katup gas, dan lain-lain.
3.
Bising terputus-putus intermittent. Misal suara lalu lintas, suara kapal terbang.
4.
Bising impulsive seperti pukulan palu, tembakan pistol, dan lain-lain.
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas NAB kebisingan menurut
Permenakertrans No 13 Tahun 2011 Waktu pemaparan
perhari Intensitas kebisingan
dalam dBA 8
Jam 85
4 Jam
88 2
Jam 91
1 Jam
94 30
Menit 97
15 Menit
100 7,5
Menit 103
3,75 Menit
106 1,88
Menit 109
0,94 Menit
112 Catatan : tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB,
walaupun sesaat.
a. Pengukuran Kebisingan Pengukuran kebisingan di tempat kerja dapat dilakukan
dengan Sound Level Meter. Alat ini dapat mengukur kebisingan diantara 30 – 130 dB dan dari frekuensi 20 – 20000 Hz Suma’mur
2009. Selain itu, ntuk mengukur nilai ambang pendengaran dapat menggunakan Audiometer. Sedangkan, untuk menilai tingkat
pajanan pekerja lebih tepat digunakan Noise Dose Meter karena
pekerja umumnya tidak menetap pada suatu tempat kerja selama ia melakukan pekerjaan.
Cara melakukan pengukuran kebisingan dapat dilihat berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI tahun 2009 tentang
metode pengukuran intensitas kebisingan di tempat kerja. Pengukuran kebisingan pada dasarnya meliputi pengukuran
intensitas kebisingan, frekuensi dan dosis kebisingan. Adapun cara pengukuran kebisingan dengan Sound Level
Meter sesuai SNI 7231 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: 1 Hidupkan alat ukur intensitas kebisingan.
2 Periksa kondisi baterei, pastikan bahwa keadaan power dalam kondisi baik.
3 Pastikan skala pembobotan. 4 Sesuaikan pembobotan waktu respon alat ukur dengan
karakteristik sumber bunyi yang diukur S untuk sumber bunyi relatif konstan atau F untuk sumber bunyi kejut.
5 Posisikan mikropon alat ukur setinggi posisi telinga manusia yang ada di tempat kerja.
6 Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang sumber bunyi.
7 Arahkan mikropon alat ukur dengan sumber bunyi sesuai dengan karakteristik mikropon mikropon tegak lurus
dengan sumber bunyi, 70
o
– 80
o
dari sumber bunyi. 8 Pilih tingkat tekanan bunyi SPL atau tingkat tekanan bunyi
sinambung setara Leq Sesuaikan dengan tujuan pengukuran.
9 Catatlah hasil pengukuran intensitas kebisingan pada lembar pengukuran.
g. Tekanan Panas Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405 Tahun
2002 tentang kondisi lingkungan kerja yang sesuai dengan persyaratan kesehatan, suhu ruangan yang cocok berkisar 21-30°C.
Suhu panas dan dingin, dapat menyebabkan pekerja mudah merasa lelah disamping pengaruh kesehatan lainnya. Efek suhu di tempat
kerja baik di dalam maupun di luar ruangan harus memperhatikan status kesehatan pekerja, kelembaban, kecepatan aliran udara, jenis
pakaian yang digunakan dan lama pemaparan. Karena jika keadaan ini terjadi berlarut-larut dapat menyebabkan pekerja tidak mampu
bekerja dengan baik karena menurunnya gairah bekerja atau bila terpaksa bekerja maka dapat mengakibatkan stres Munandar,2004.
Menurut Achmadi 1990 tekanan panas yang berlebihan merupakan beban tambahan yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan. Beban tambahan berupa panas lingkungan dapat menyebabkan beban fisiologis seperti kerja jantung menjadi
bertambah. Menurut penelitian Siswanti 2004 didapatkan hasil uji
statistik Pvalue sebesar 0,039 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tekanan panas dengan stres kerja. Selain itu hasil
OR sebesar 3,82 hal ini berarti pekerja yang merasakan panas memiliki kecenderungan untuk terkena stres 3 kali lebih besar
daripada pekerja yang tidak terkena panas. a. Pengukuran Tekanan Panas
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 tahun 2011 tentang nilai ambang batas
faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja, pengukuran panas dilingkungan kerja juga dapat diketahui dengan
menggunakan parameter ISBB Indeks Suhu Basah dan Bola yang dimana ketentuan-ketentuannya memperhatikan hal-hal
berikut ini: 1 Suhu udara kering dry bulb temperature: suhu yang
ditunjukkan oleh termometer suhu kering. 2 Suhu Basah Alami natural wet bulb temperature: suhu
yang ditunjukkan oleh termometer bola basah alami. Merupakan suhu penguapan air yang pada suhu yang
sama menyebabkan terjadinya keseimbangan uap air di udara, suhu ini biasanya lebih rendah dari suhu kering.
3 Suhu Bola globe temperature : suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola. Suhu ini sebagai indikator tingkat
radiasi. Pengukuran beberapa faktor lingkungan yang telah
disebutkan diatas dapat dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan alat ukur Thermal Environmental Monitor atau
yang biasa disebut dengan WBGT Wet Bulb Globe Temperature. WBGT memiliki 3 termometer yang masing-
masing berfungsi untuk mengkur suhu kering, suhu bola basah, suhu radian atau suhu global.
Perhitungan hasil pengukuran panas lingkungan kerja dapat dibedakan menjadi dua kelompok uaitu:
1 Indoor area, yaitu lingkungan yang tidak terpajan oleh cahaya matahari secara langsung. ISBB untuk
pekerjaan tanpa panas radiasi adalah :
ISBB = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,3 Suhu Bola
2 Outdoor area, yaitu lingkungan kerja yang terpajan oleh cahaya matahari secara langsung. ISBB untuk
pekerjaan diluar ruangan dengan panas radiasi adalah :
ISBB = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,2 Suhu Bola + 0,1 Suhu Kering
Dalam penerapannya di lapangan, pengukuran tekanan panas dengan WBGT dilaksanakan bersamaan dengan
perhitungan jumlah panas metabolik yang diterima pekerja beban kerja sesuai dengan klasifikasi beban kerja menurut
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011 dan
mengukur waktu kerja tenaga kerja setiap jam. Tabel 2.3
Nilai Ambang Batas NAB Tekanan panas
Pengaturan waktu kerja setiap jam
ISBB
o
C Beban Kerja
Ringan Sedang
Berat
75 - 100 31.0
28.0 -
50 - 75 31.0
29.0 27.5
25 - 50 32.0
20.0 29.0
0 - 25 32.2
31.1 30.5
Adapun cara pengukuran takanan panas dengan WBGT sesuai SNI 16-7061 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1 Prinsip Alat diletakkan pada titik pengukuran sesuai dengan waktu
yang ditentukan, suhu basah alami, suhu kering dan suhu bola dibaca pada alat ukur, dan indeks suhu basah dan bola
diperhitungkan dengan rumus.
2 Peralatan Alat-alat yang dipakai harus telah dikalibrasi oleh
laboratorium yang terakreditasi untuk melakukan kalibrasi, minimal 1 tahun sekali.
Alat-alat yang digunakan terdiri dari: a Termometer suhu basah alami yang mempunyai
kisaran –5 C sampai dengan 50
C dan bergraduasi maksimal 0,5
C b Termometer suhu kering yang mempunyai kisaran –
5
o
C sampai dengan 50 C dan bergraduasi maksimal
0,5 C
c Termometer suhu bola yang mempunyai kisaran – 5
o
C sampai dengan 100 C dan bergraduasi
maksimal 0,5 C
3 Prosedur kerja Langkah-langkah prosedur kerja adalah sebagai berikut:
a Rendam kain kasa putih pada termometer suhu basah alami dengan air suling, jarak antara dasar lambung
termometer dan permukaan tempat air 1 inci. Rangkaikan alat pada statif dan paparkan selama 30
menit - 60 menit.
b Rangkaikan termometer suhu kering pada statif dan paparkan selama 30 menit – 60 menit.
c Pasangkan termometer suhu bola pada bola tembaga warna hitam diameter 15 cm, kecuali alat yang
sudah dirakit dalam satu unit, lambung termometer tepat pada titik pusat bola tembaga. Rangkaikan alat
pada statif dan paparkan selama 20 menit – 30 menit. d Letakkan alat-alat tersebut di atas pada titik
pengukuran dengan lambung termometer setinggi 1 meter – 1,25 meter dari lantai.
e Waktu pengukuran dilakukan 3 kali dalam 8 jam kerja yaitu pada awal shift kerja, pertengahan shift
kerja dan akhir shift kerja. 4 Penentuan titik pengukuran
Letak titik pengukuran ditentukan pada lokasi tempat tenaga kerja melakukan pekerjaan.
h. Pencahayaan Menurut Suma’mur 2009 permasalahan dalam penerangan
meliputi kemampuan untuk melihat sesuatu, sifat-sifat indera penglihatan, usaha-usaha yang diperlukan untuk melihat objek lebih
baik serta pengaruh penerangan terhadap lingkungan. penerangan
yang baik memungkinkan pekerja untuk melihat pekerjaannya lebih teliti, cepat dan tidak perlu menggunakan tenaga yang tidak perlu
serta membantu menciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan.
Sifat-sifat penerangan yang baik meliputi : 1. Pembagian luminensi dalam lapangan penglihatan
2. Pencegahan kesilauan 3. Arah cahaya
4. Warna 5. Panas ruangan terhadap keadaan lingkungan
Jika pencahayaan tidak sesuai dengan standar maka akan menimbulkan kerugian-kerugian diawali dengan keluhan
didaerah mata selanjutnya ditandai oleh timbulnya kelelahan dan pusing sekitar kepala kemudian menyebabkan kerusakan
pada penglihatan yang tak jarang akan menyebabkan kecelakaan kerja Suma’mur 2009.
Pencahayaan yang kurang maupun berlebih ditempat kerja dapat menyulitkan pekerja untuk bekerja secara optimal,
sehingga jika hal ini terjadi untuk waktu yang lama dapat
menyebabkan pekerja mengalami stress dan ketidaknyamanan dalam bekerja Suprapto, 2008.
Tabel 2.4 Nilai ambang batas intensitas cahaya ditempat kerja menurut
Keputusan Menteri Kesehatan No. 261MENKESSKII1998:
Jenis kegiatan Tingkat
pencahayaan minimal LUX
Keterangan
Pekerjaan kasar tidak terus
menerus 100
Ruang penyimpanan ruang peralata instalasi
yang memerlukan pekerjaan yang kontinyu
Pekerjaan kasar terus
menerus 200
Pekerjaan dengan mesin perakitan penyusun
Pekerjaan rutin 300
Pekerjaan kantor administrasi, ruang control,
pekerjaan mesin perakitan penyusun.
Pekerjaan agak haluS
500 Pembuatan gambar atau
bekerja dengan mesin kantor, pekerja pemeriksaan
atau pekerjaan dengan mesin
Pekerjaan halus 1000
Pemilihan warna, pemprosesan, tekstil,
pekerjaan mesin halus perakitan halus.
Pekerjaan amat halus
1500 tidak menimbulkan
bayangan Mengukir dengan tangan,
pemeriksaan pekerjaan mesin dan perakitan yang
sangat halus
Pekerjaan detail 3000 tidak
menimbulkan bayangan
Pemeriksaan pekerjaan, perakitan sangat halus
i. Getaran Menurut Permenaker No 13 Tahun 2011 Getaran merupakan
gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya. Nilai Ambang Batas getaran
untuk pemaparan tangan-lengan dengan parameter percepatan pada sumbu yang dominan: 4 mdet2 atau 0,40 Grav.
Getaran merupakan sumber stres yang kuat dapat menyebabkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan dari
berfungsinya seseorang secara psikologikal dan neurogikal. Munandar, 2001.
j. Peranan dalam Organisasi Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam
organisasi, artinya setiap tenaga kerja memiliki tugas yang harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, tidak semua
pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Hasil yang kurang baik inilah yang dapat menimbulkan stres karena tidak sesuai dengan tuntutan
yang diinginkan oleh atasan Munandar, 2008. Peranan dalam organisasi merupakan salah satu penyebab utama
terjadinya stres ditempat kerja. Masalah yang timbul dalam stressor ini berupa ambigu atau ketidakjelasan peran dalam organisasi dan konflik
antar peran. Ketidakjelasan peran dapat terjadi jika terdapat dua jenis jabatan yang bersinggungan peran dan fungsinya maupun akibat dari
tidak adanya deskripsi yang jelas terkait pekerjaan oleh manajemen. Sedangkan, konflik antarperan dalam organisasi terjadi disebabkan
karena adanya ketidakpuasan kerja satu sama lain. cooper dan Davidson, 1987.
Cox, Griffiths dan Gonzales 2000 dalam Prativi 2013 menambahkan aspek berbahaya lainnya pada peran dalam organisasi
meliputi kelebihan peran, ketidakcukupan peran dan tanggung jawab yang berlebih.
k. Pengembangan Karir Sistem peningkatan jenjang karir menjadi sumber utama stres
terutama bagi beberapa pekerjaan yang menekankan adanya hubungan pengembangan karir dengan kompetensi. Mayoritas pekerja khususnya
pekerja formal, memiliki sistem peningkatan karir berjenjang dan pekerja dapat terkena stres jika kompetensi tinggi yang dimilikinya
tidak membuat karirnya naik. Menurut Marshal 1977 dalam Prativi 2013 menyatakan bahwa
terdapat dua sumber potensial stres kerja yang termasuk dalam pengembangan karir yaitu ketidakpastian pekerjaan dan
ketidaksesuaian status yang diperoleh pekerja. Aspek pengembangan karir yang menyebabkan stres pada pekerja meliputi promosi jabatan,
degradasi jabatan, gaji, ketidaksesuaian status dengan kompetensi, ketidaksesuaian akan jaminan kerja dimasa depan dan ambisi dalam
meraih kenaikan jabatan yang terhalangi cooper dan Davidson, 1987. l. Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal yang baik idealnya terjalin diantara semua level pekerja, baik dengan atasan, staf maupun pekerja dengan
level yang sama. Hubungan interpersonal didalam pekerjaan dan dukungan sosial dari rekan kerja, atasan maupun anggota memiliki
keterkaitan dengan stres kerja cooper dan Davidson, 1987. Hubungan yang buruk ditempat kerja dapat menimbulkan ketidakjelasan peran
sehingga dapat menimbulkan ketegangan psikologis serta menimbulkan ketidakpuasan ditempat kerja. Hubungan interpersonal
ditempat kerja berhubungan erat dengan kesehatan pada pekerja dan lingkungan kerja itu sendiri. Hubungan interpersonal yang baik tidak
hanya berguna untuk menunjang profesionalisme dalam pekerjaan tetapi juga mencegah terjadinya stres kerja Munandar, 2008.
Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejalagejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam
pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketaksaan peran yang tinggi, yang mengarah ke
komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang
rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya Kahn dkk, 1964.
m. Struktur dan Iklim Organisasi Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada
sejauh mana tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada dukungan sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam
pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan
peningkatan produktivitas, dan kesehatan mental dan fisik Munandar, 2008.