Ruang Lingkup Stres Hubungan Antara Individual Arena dan Work Arena dengan Stres Kerja Pada Pekerja Pembuatan Offshore Pipeline and Mooring Tower (EPC3) Proyek Banyu Urip di PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013

yang berlebihan. Bila ia mampu untuk mengatasinya maka tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuhnya artinya ia tidak mengalami stres. Sebaliknya, bila tenyata terdapat gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik artinya ia mengalami stres. Hawari, 2001. Menurut Anoraga 2001 stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang menekan dan dirasakan mengganggu serta mengakibatkan dirinya terancam dalam menghadapi pekerjaannya. Pernyataan ini sesuai dengan NIOSH 1999 mendefiniskan stres kerja adalah respon emosional dan fisik yang bersifat menggangu atau merugikan yang terjadi pada saat tuntutan tugas tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya atau keinginan pekerja. Begitu pula dengan Robbins 2003, menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian diperantarai oleh perbedaan- perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar lingkungan, situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang. 2.1.2 Pendekatan-pendekatan dalam mempelajari Stres Pada dasarnya terdapat tiga pendekatan dalam mempelajari stress cox dan Ferguson, 1991 dalam Urianti 2000, yaitu: 1. Pendekatan Kerekayasaan Dasar dari pendekatan ini adalah stimulus. Stress digambarkan sebagai cirri-ciri stimulus lingkungan yang dikenal, diketahui dan dapat merusak. Dilingkungan terdapat kondisi-kondisi, peristiwa- peristiwa yang menyebabkan ketegangan. Stress eksternal menimbulkan reaksi stress pada seseorang. Contohnya kepada penerbang, yang menjadi stress adalah tugas terbang kondisi eksternal. Jadi titik berat dari pendekatan ini adalah tugas eksternal dan bukan apa yang terjadi pada diri seseorang. 2. Pendekatan Medik-Fisiologik Pendekatan medic-fisioligik merumuskan stress sebagai suatu respon umum dan non-spesifik terdapat tuntutan fisikk ataupun emosional, baik dari lingkungan eksternal maupun dari dalam diri seseorang internal. Respon otomatis ini berupa serangkaian respon fisiologik yang disebut sebagai sindrom adaptasi umum Selyem 1976. Bila terdapat tuntutan atau ancaman, maka pertama-tama adalah reaksi alarm. Reaksi ini ditandai dengan adanya perubaha- perubahan dalam tubuh, antara lain meningkatnya hormone coticol, ketegangan, meningkatnya emosi. Pada tahap kedua, reaksi alarm diikuti dengan perlawanan melalui mekanisme pertahanan diri. Pada tahat ini, strategi pertahanan stress meninggi dan usha fisiologik untuk mengatasi stress akan mencapai kapasitas penuh. Jika stress berkepanjanga maka ia akan ke tahap ketiga yaitu keletihan. Pada tahap ini, individu menguras seluruh tenaganya , sehingga bisa mengganggu aktivitas dan jatuh sakit. Terlihat bahwa titik berat pada pendekatan ini adalah adanya respons-respons dan aktivitas fisiologik pada individu. 3. Pendekatan Psikologik Penjelasan dari kedua pendekatan di atas adalah penjelasan yang bersifat umum dan kurang dapat menerangkan perbedaan individual sewaktu mengalami stres. Suatu kejadian dapat meyebabkan stres pada seseorang tetapi kejadian yang sama tidak menimbulkan stres pada orang lain. Pendekatan ini mencoba mengatasi kekurangan dari kedua pendekatan di atas. Bagaimana seseorang mempersepsikan suatu peristiwa atau suatu kondisi berperan dalam menentukan stres. Pendekatan ini dikenal sebagai “Appraisal Model”. Pada pendekatan cara ini, merumuskan stress sebagai suatu keadaan psikologik yang merupakan representasi dari transaksi khas dan problematik antara seseorang dan lingkungannya. Jadi stres merupakan suatu keadaan yang timbul bila seseorang berinteraksi dan bertransaksi dengan situasi yang dihadapinya dengan cara tertentu. Bila seseorang menilai ada perbedaan antara tuntutan dengan kemampuannya untuk memenuhi tuntutannya itu, atau dengan kata lain bila ia mempertanyakan apakah ia akan mampu mengatasi atau beradaptasi, maka akan timbul stres yang kemudian diikuti reaksi stres. 2.1.3 Tahapan Stres Gejala stres awalnya seringkali tidak disadari karena stres timbul secara lambat. Dan baru dirasakan jika tahapan gejala sudah lanjut dan menggangu fungsi kehidupan sehari-hari. Dr. Robert J. Van Amberg Hawari, 2001 membagi tingkatan-tingkatan stress sebagai berikut : a. Stres Tingkat 1 Pada tingkat ini, merupakan tingkat stress yang paling ringan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan yang memiliki semangat yang besar, memiliki penglihatan yang tajam tidak seperti biasanya, gugup secara berlebihan, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, merasa senang dengan pekerjaan tersebut namun tanpa disadari bahwa sebenarnya cadangan energinya sudah menipis. b. Stres Tingkat 2 Pada tingkat ini, dampak stres yang menyenangkan pada tingkat pertama mulai menghilang dan mulai timbul keluhan- keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup untuk sepanjang hari. Keluhan-keluhan tersebut seperti merasa letih saat bangun pagi, terasa lelah sesudah makan siang, merasa lelah sepanjang hari, lambung atau perut merasa tidak nyaman, jantung berdebar-debar, dan tersa tegang yang tak biasa pada otot punggung dan tengkuk. c. Stres Tingkat 3 Pada tingkat ini, keluhan-keluhan terasa mengganggu dan terlihat lebih nyata. Seperti, gangguan pada pencernaan , ketegangan otot semakin terasa, perasaan cenderung tidak tenang dan emosi semakin meningkat, badan terasa lesu seperti ingin pingsan dan gangguan pola tidur sulit tidur, terbangun tengah malam dan sulit untuk tidur kembali. Pada tingkatan ini penderita sudah dapat berkonsultasi kepada dokter untuk menjalani terapi agar beban stress dapat berkurang. d. Stres Tingkat 4 Pada tingkat ini, gejala stress sudah semakin buruk ditandai dengan kehilangan kemampuan dalam menanggapi situasi, sulit untuk melakukan kegiatan sehari-hari, sulit untuk bertahan sepanjang hari, gangguan tidur semakin parah serta sering mengalami mimpi buruk dan terbangun dimalam hari, kemampuan konsentrasi menurun dan selalu perpikiran negative serta takut yang tidak dapat dijelaskan. e. Stres Tingkat 5 Pada tingkat ini, stress sudah lebih buruk lagi ditandai dengan keletihan yang mendalam phsycal and psychological exhaustion, terasa kurang mampu untuk melakukan pekerjaan yang sederhana, gangguan sistem pencernaan maag dan gangguan pada usus lebih sering, sulit buang air besar dan sebaliknya feses encer dan sering mengalami perasaan takut panik. f. Stres Tingkat 6 Pada tingkat ini disebut sebagai keadaan gawat darurat. Tidak jarang penderita dirawat diruang Intensive Care Unit ICU. Gejala-gejala yang terlihat semakin nyata dan mengerikan seperti debaran jantung terasa sangat kuatkeras zat adrenalin meningkat, badan gemetar, keringat bercucuran, tubuh dingin, tidak memiliki tenaga untuk melakukan hal-hal kecil dan sering pingsan atau collaps. 2.1.4 Indikator Stres Kerja Menurut Weiss DH Terdapat empat kelompok gejala stres yaitu gejala fisik, gejala emosional, gejala intelektual dan gejala interpersonal Nawawinetu dan Adriyani, 2007. 1. Gejala Fisik antara lain meliputi sakit kepala, sakit punggung, terutama di bagian bawah, gangguan pencenaan, gatal di kulit, urat tegang terutama di leher dan bahu, bisulan, tekanan darah tinggi, serangan jantung, keringat berlebihan, berubah selera makan, lelah atau kehilangan energi, sering melakukan kesalahan dalam kerja atau hidup. 2. Gejala emosional antara lain berupa rasa gelisah atau cemas, mudah panas dan marah, gugup, rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah tersinggung, mudah menyerang orang, dan bermusuhan. 3. Gejala intelektual meliputi sulit berkonsentrasi atau memusatkan pikiran, sulit membuat keputusan, mudah lupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun berlebihan, pikiran dipenuhi satu hal saja, kehilangan rasa humor yang sehat, prestasi dan produktivitas kerja menurun, mutu kerja rendah, banyak melakukan kesalahan dalam bekerja. 4. Gejala interpersonal berupa kehilangan kepercayaan pada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak memenuhi janji, suka mencari kesalahan orang lain atau menyerang orang dengan kata-kata, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan diri, “mendiamkan” orang lain. 2.1.5 Dampak Stres Kerja Umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri pekerja dan organisasi. Konsekuensi tersebut dapat berupa kecemasan yang berlebih, frustasi hingga menurunnya gairah untuk bekerja. Konsekuensi pada pekerja tidak hanya berhubungan dengan aktifitas kerja saja namun dapat meluas pada aktivitas diluar pekerjaan. Seperti sulit tidur, konsentrasi menurun, selera makan berkurang Wantoro, 1999. Konsekuensi bagi organisasi secara tidak langsung yaitu meningkatnya absensi, menurunnya tingkat produktifitas dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi hingga turnover. Robbins, 1998. Handoyo 2001 menyebutkan terdapat empat jenis konsekuensi yang ditimbulkan stres, yaitu : 1. Dampak perilaku : peningkatan konsumsi alcohol dan merokok, penyalahgunaan obat-obatan, tidak nafsu makan atau nafsu makan berlebihan. 2. Dampak Psikologis : sikap lebih agresif, sering merasa gelisah, bosan, depresi, lelah, kecewa, mudah marah, harga diri yang rendah. 3. Dampak Fisiologis : gangguan pada kesehatan fisik berupa penyakit yang sudah diderita sebelumnya maupun sebagai pemicu timbulnya penyakit baru. 4. Dampak Kognitif : ketidakmampuan mengambil keputusan, menurunkan daya konsentrasi dan peka terhadap ancaman. Sedangkan menurut Lubis 2006 stres kerja dapat mengakibatkan hal sebagai berikut : 1. Penyakit fisik yang diinduksi oleh stres seperti penayakit jantung koroner, hipertensi, asma, gangguan menstruasi, tukak lambung, dan lain-lain. 2. Kecelakaan kerja terutama pekerjaan dengan risiko yang tinggi, 3. Lesu kerja, pegawai tidak termotivasi, 4. Absensi kerja, 5. Gangguan jiwa, mulai dari gangguan ringan seperti mudah gugup, tegang, marah-marah, apatis, dan kurang konsentrasi sampai gangguan berat seperti depresi dan cemas yang berlebihan.

2.2 Faktor Penyebab Stres

Banyak faktor yang dapat menimbulkan terjadinya stres kerja pada pekerja. Menurut Cooper dan Davidson 1987 secara garis besar faktor-faktor pemicu stress dibagi menjadi beberapa arena, antara lain : 1. Individual arena, yaitu karakteristik yang melekat pada individu. 2. Work arena, yaitu stressor yang bersumber dari situasi dan kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan. 3. Home arena, yaitu stressor yang bersumber dari kehidupan rumah. 4. Social arena, yaitu stressor yang bersumber dari kehidupan bermasyarakat atau diluar rumah dan pekerjaan. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi sehingga menghasilkan suatu gejala-gejala dalam ruang lingkup manifestasi stres. 2.2.1 Individual Arena Individual arena adalah karakteristik yang melekat pada individu itu sendiri, antara lain: a. Usia Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama Nuswantari, 1998. Sedangkan, menurut Hoetomo 2005 Usia adalah lama waktu hidup sejak dilahirkan. Menurut Cooper usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stres kerja Munandar, 2008. Ada beberapa jenis pekerjaan yang sangat berpengaruh dengan usia, terutama yang berhubungan dengan sistem indera dan kekuatan fisik. Ada keyakinan yang menyatakan bahwa produktivitas dapat menurun dengan semakin tuanya seseorang. Namun, terdapat bukti yang berlawanan dengan keyakinan dan asumsi tersebut. Suatu tinjauan ulang menyeluruh menemukan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan kinerjanya Robbins, 1998. Menurut Hidayat 2013 dalam penelitiannya menyatakan bahwa, dari hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,008. Nilai P value ini lebih kecil dari α 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia dengan stres kerja. Adanya hubungan yang bermakna antara usia dengan stres kerja termasuk faktor yang mempengaruhi stres kerja dapat disebabkan oleh faktor usia yang lebih muda biasanya disebabkan karena mereka biasanya belum memiliki pengalaman dan pemahaman yang banyak dalam bekerja, sehingga pada jenis pekerjaan tertentu usia menjadi pemicu terjadinya stres Suprapto, 2008. b. Masa kerja Masa jabatan yang berhubungan dengan stres kerja berkaitan dengan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja ≥ 5 tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi daripada pekerja yang baru bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat menyebabkan stres dalam bekerja Munandar, 2008. Menurut Munandar 2008, masa kerja baik sebentar maupun lama dapat menjadi pemicu terjadinya stres dan diperberat dengan adanya beban kerja yang besar. Sedangkan, menurut Wantoro 1999 mengatakan bahwa pekerja dengan masa kerja yang lama, lebih memiliki pengalaman yang luas, kematangan dalam berfikir dan bertindak, sehingga dapat bersikap lebih bijaksana karena telah memiliki pengalaman dalam pekerjaannya. Dengan demikian mereka memiliki kemampuan untuk lebih mengatasi segala situasi dalam pekerjaannya, lebih mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan- perubahan disekitarnya dan adanya kesempatan untuk pengembangan kemampuan dan keterampilan. Sehingga dapat terhindar dari stres. Akan tetapi menurut Herawati 2006, masa kerja yang lama akan membuat jenuh dan akhirnya dapat menimbulkan stres. Menurut penelitian Gautama 2008 berdasarkan uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan stres kerja dengan Pvalue= 0,000. Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Diah 2006 berdasarkan uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan stres kerja dengan Pvalue= 0,795. b. Pendidikan Menurut Shostak dalam La Dou 1994 yang dikutip dari Yunus 2011 menyatakan seseorang dengan keahlian yang kurang dalam suatu bidang pekerjaan menyebabkan rendah diri pada pekerja. Sedangkan menurut Anderson dalam Yunus, 2004 menyatakan bahwa karyawan baru yang memiliki harapan tinggi dengan latar belakang pendidikan yang tidak menunjang pekerjaan akan sering mengalami stres kerja. Maslach 1982 dalam Murtiningrum 2005 menyatakan bahwa seseorang yang berlatar belakang pendidikan rendah cenderung rentan terhadap stress jika dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Seseorang yang berpendidikan rendah memiliki harapan atau aspirasi yang tinggi sehingga ketika dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka muncullah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat